Share

Komandan Baru

Penulis: Brata Yudha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-18 09:24:03

Khansa gelagapan. Saking terkejutnya ia karena melihat pria itu, Khansa sampai terlalu fokus menatapnya. Pria itu pun melihat Khansa, dan ia juga menatap intens kepadanya. Tatapan pria itu membuat Khansa seperti terintimidasi. Secara otomatis, Khansa segera memalingkan wajahnya, takut jika nanti pria itu mengenali wajahnya.

“Gawat… Gawat… Kenapa dia ada di rumah Bu Danton? Apa hubungannya orang itu sama Bu Danton, ya?” batin Khansa kebingungan.

Sesekali, Khansa masih melirik-lirik pria itu karena penasaran. Khansa sampai tidak terlalu fokus dengan anaknya Bu Danton.

Untunglah, tak lama kemudian Bu Danton keluar dan langsung menyambut pria itu dengan ramah, jadi lirikan Khansa pun berhenti.

Khansa tidak terlalu mendengar pembicaraan Bu Danton dengan pria itu. Isi kepalanya sendiri sudah berkecamuk. Khansa panik berkepanjangan. Kalau sampai pria itu mengenalinya, dunia Khansa akan hancur.

Obrolan Bu Danton dengan pria asing itu tidak lama. Hanya kurang dari setengah jam saja, setelah itu, pria tersebut langsung pamit lagi. Bu Danton mengantarnya sampai ke teras.

Khansa tanpa sadar bernapas lega ketika akhirnya pria itu pergi. Ia belum bisa merasa lega sepenuhnya, tetapi setidaknya pria itu sudah tidak ada di rumah Bu Danton lagi.

Khansa refleks mengusap dadanya sendiri sembari membatin, “jangan sampai dia saudaranya Bu Danton, kalau sampai pria itu saudaranya Bu Danton, bisa-bisa lain waktu bakal ketemu lagi.”

Karena terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri, Khansa sampai tidak sadar kalau Bu Danton sudah selesai mengantar pria itu ke depan dan sudah berjalan ke ruang tengah di mana Khansa membantu mengasuh anaknya Bu Danton.

“Bu Bima? Bu Bima?!”

Khansa mengerjap dan agak tersentak. “Eh, iya Bu Danton?”

Bu Danton mengernyit. “Kok ngelamun gitu, Bu Bima? Kenapa?”

Khansa buru-buru menggeleng. “Oh enggak, maaf Bu Danton agak kurang fokus.”

Bu Danton geleng-geleng kepala. “Iya nggak papa, cuma saya kan jadi khawatir kalau Bu Bima melamun gitu. Jangan-jangan Bu Bima terlalu capek karena dititipi anak saya.”

“Enggak Bu Danton. Saya malah seneng. Saya suka momong anak kecil.”

Bu Danton tersenyum. “Oh ya Bu Bima, lihat nggak laki-laki yang barusan datang?”

Khansa mengernyit. Ekspresi Bu Danton kelihatan lumayan antusias ketika beralih topik membicarakan tamunya yang tadi.

“Iya?”

“Itu Danki baru kita lho, Bu Bima. Jadi, acara yang kita siapkan ini ya salah satunya untuk menyambut orang itu besok.”

Khansa sontak melotot. “Danki baru kita?”

Bu Danton mengangguk. “Iya. Ganteng ya. Gagah banget lagi. Tapi denger-denger masih jomblo,” katanya sembari cekikikan.

Khansa tidak tahu harus berkata apa usai mendengar fakta mencengangkan ini. Dia, pria yang saat itu tidur dengan Khansa ternyata adalah Danki baru? Sepertinya Tuhan memang sedang menghukum Khansa karena sudah berbuat nekat hari itu.

“Eh Bu Bima, saya balik ke dapur dulu ya, kalau capek jagain anak saya bilang aja, emang dia itu nggak bisa diem.”

Khansa memaksakan senyum kemudian mengangguk. “Iya, Bu.”

Setelah Bu Danton kembali ke dapur, Khansa seketika mengembuskan napas kasar. Jantungnya semakin berdebar gila-gilaan. Kalau pria itu adalah Danki baru, itu artinya mereka akan tinggal satu kawasan. Mereka akan sering bertemu.

Khansa mengusap wajanya kasar. Ia sungguh menyesali keputusan nekatnya malam itu. Andai saja akal sehatnya masih bekerja, hal seperti ini tidak akan terjadi. Sekarang, Khansa merasa hidupnya malah semakin semrawut. Ini bisa saja menjadi sumber masalah baru.

*

Sepulangnya dari rumah Bu Danton, pikiran Khansa masih melayang ke mana-mana. Ia lumayan lelah juga karena ditugasi untuk menjaga anaknya Bu Danton. Khansa memang tidak ikut memasak dengan ibu-ibu lainnya, tetapi menjaga anak Bu Danton yang sangat aktif juga membutuhkan tenaga yang besar.

Khansa berjalan pulang sambil terus mengembuskan napas berat. Ah, ia benar-benar tidak tenang sekarang. Ketika dalam perjalanan pulang itu, Khansa yang memang isi pikirannya sedang melanglang buana menjadi tidak fokus. Angin yang agak kencang mendadak berembus, menerbangkan beberapa dedaunan kering di sana. Lalu, Khansa yang kebetulan berada di bawah pohon kelapa itu tidak sadar ada pelepah kelapa yang sudah tua akan jatuh menimpanya.

“Awas!" Khansa mendengar teriakan seseorang. Ia terkejut melihat pelepah kelapa akan menimpanya. Khansa sudah memejamkan matanya, bersiap menerima apapun yang akan terjadi padanya. Tetapi pelepah kelapa itu tak jadi mengenai Khansa. Seseorang melindunginya. Dan orang yang menyelamatkannya itu... Si Danki baru.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya pria itu.

Khansa menggeleng.

Sialnya, Danki baru itu malah menatap Khansa lekat-lekat. Sorot matanya tajam. Khansa bisa merasakannya dari jarak jauh ketika di rumah Bu Danton tadi, dan sekarang mereka malah saling menatap dalam jarak yang amat dekat, hanya sekian senti saja. Hawa intimidasi pria itu terlampau kuat.

“Lain kali hati-hati,” katanya.

Khansa tersadar ia masih berada dalam dekapan pria itu, jadi ia pun buru-buru melepaskan diri sambil mengangguk.

“I-Iya, terima kasih. Kalau begitu saya permisi.”

Khansa berucap cepat. Ia juga langsung membungkukkan badannya kemudian segera melipir pergi. Ternyata, si Danki baru itu tidak langsung beranjak dari tempatnya. Ia terus memperhatikan Khansa dengan begitu lekat hingga Khansa benar-benar sudah tidak terlihat lagi.

Sesampainya di rumah, rupanya Bima sudah pulang. Bima tidak menanyakan ke mana Khansa pergi sebab ia sendiri sudah tahu kalau Khansa seharian ini ke rumah Bu Danton untuk bantu-bantu.

Khansa segera ke kamar mandi kemudian mencuci mukanya, baru kemudian ia ke kamar untuk menyisir rambut. Khansa benar-benar merasa lelah luar biasa. Rasanya, seluruh energi kehidupannya seperti terserap habis begitu saja.

Bima masuk ke kamar dan melirik Khansa, lalu pria itu menyadari ada sesuatu yang kurang dari sang istri.

“Sa, anting kamu yang sebelah ke mana?” tanya Bima.

Khansa refleks meraba telinganya sendiri meskipun sebenarnya pantulan wajahnya tampak dari cermin rias di kamar.

Khansa mendadak takut. “Apa jangan-jangan ketinggalan di hotel waktu itu, ya? Aduh gimana ini?” Khansa membatin dan berakhir panik sendiri.

Bima mengernyit heran melihat Khansa tidak langsung menjawab, jadi ia mendekat dan menepuk bahu sang istri.

“Kok malah bengong sih?”

Khansa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. “Enggak… Enggak papa, Mas.”

Khansa langsung menyudahi sesi sisir rambutnya kemudian menghindar pergi ke dapur untuk minum. Di dapur itu, Khansa menenggak air banyak-banyak. Dadanya bergemuruh. Ia tidak tenang jika seperti ini.

Khansa memijat sekat hidungnya sendiri sembari memejamkan mata. “Aduh… Kira-kira si Danki baru itu ingat apa enggak, ya? Semoga antingnya ilang di tempat lain aja,” batin Khansa gelisah.

*

Sementara itu di ruangannya, Kapten Rama sedang duduk sembari memegangi benda berkilau kecil di jemarinya. Sebuah anting emas dengan desain sederhana. Ia terus memandangi anting itu, dan teringat dengan bentuk anting yang sama terpasang di daun telinga seorang wanita.

Kapten Rama mengembuskan napas panjang. “Apa hanya kebetulan saja, ya?”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Viva Oke
yaelah Khansa menyesal GK ada gunanya. sial Ding Khansa antingnya udh ditangan kapten.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Semalam Dengan Komandan   Kebencian Hesti

    Khansa menangis di sepanjang jalan sambil menenteng tas besarnya. Ia mungkin tampak kuat dan menggebu-gebu ketika berhadapan dengan Bima tadi, tetapi tidak bisa dipungkiri, hatinya sakit luar biasa. Ketika sampai di depan pintu jaga, Khansa ditatap oleh tentara yang sedang berjaga di sana. Tentara itu melihat Khansa menenteng tas besar, apalagi wajahnya memerah dan kelihatan sedang menangis. “Bu… Bima? Bener, ‘kan? ada masalah, Bu? Ibu mau ke mana?” tanya tentara itu.Khansa langsung buru-buru menghapus sisa air mata di wajahnya. Ia tidak menjawab pertanyaan tentara itu dan langsung keluar dari battalion. Khansa berhenti di pinggir jalan. Ada warung yang sedang tutup tak jauh dari sana. Khansa duduk di emperan warung itu dan memesan taksi online melalui ponselnya. Selama menunggu taksi, Khansa benar-benar kesulitan menahan tangisnya. Hatinya sudah terlalu terluka sampai ketika ia hanya diam sambil melamun, tiba-tiba pikirannya memproyeksikan kejadian-kejadian buruk yang ia alami den

  • Semalam Dengan Komandan   Kita Buktikan Siapa Yang Mandul

    “Kok malah bengong? Dari mana aja kamu, Sa? Malam-malam kayak gini kok keluyuran.”Khansa mengepalkan telapak tangannya. Ia terpicu dengan ucapan Bima. Masalahnya, Bima sendiri sudah mengatakan bahwa pernikahan mereka sudah tidak ada masa depan, alias ujung-ujungnya akan cerai juga. Sudah lelah Khansa menangis dan merasa bersalah karena keadaan ini, padahal kalau dipikir-pikir, bukan salahnya juga mereka belum punya anak. Tidak pernah ada vonis bahwa dirinya mandul dari dokter. Mereka hanya belum diberi rezeki saja dari Tuhan.“Bukan urusan kamu!” balas Khansa ketus. Bima jelas tidak terima dilawan seperti itu. Ia terbiasa dengan Khansa yang penurut serta memperlakukan Bima di atas dirinya sendiri. Ketika Khansa menunjukkan perlawanan, bahkan meski hanya sedikit, harga diri Bima seketika tercederai.“Bukan urusanku gimana sih? Aku itu suami kamu. Lagian kok kamu bicaranya kurang ajar gitu sih ke suami?”Khansa terkekeh mendengar ucapan Bima. “Suami ya… Bukannya kita bakal cerai? Jadi

  • Semalam Dengan Komandan   Kamu Harus Tanggung Jawab

    “K-Kapten Rama?!”Khansa seketika gelagapan begitu tahu siapa yang memergokinya berjongkok di kegelapan sambil menangis sendirian. Refleks, Khansa langsung menghapus sisa air mata yang masih membasahi kedua pipi dan sudut matanya. Rama menatap Khansa tajam. Sorot matanya begitu lurus sampai rasanya Khansa tidak sanggup untuk bertatapan dengan pria itu. Khansa sudah merasakan ini sejak awal pertama kali bertemu pandang dengan pria itu di rumah Bu Danton. “Kamu… menangis?” tanya Rama.Khansa buru-buru menunduk. Sebenarnya, Khansa tahu sendiri bahwa hal itu juga tidak ada gunanya. Mau ia menunduk atau bahkan menutupi mukanya sekalian, Rama sudah melihat wajah Khansa yang penuh air mata tadi gara-gara ia menoleh. “M-Maaf, Kapten Rama. Saya permisi dulu.” Khansa melewati Rama, tetapi baru saja selangkah ia bergerak, Rama langsung menahan lengan wanita itu. Seluruh tubuh Khansa terasa menegang akibat sentuhan tersebut. Bahkan detak jantungnya pun naik drastis. “Tunggu dulu,” kata Rama.

  • Semalam Dengan Komandan   Keputusan Bima

    “Maksud Ibu apa?” tanya Khansa. Ia jelas syok. Bagaimana mungkin ibu mertuanya sendiri secara terang-terangan mengatakan bahwa Sindi akan menjadi menantunya setelah Bima menceraikan Khansa? Bukankah itu artinya, sudah ada rencana bahwa Khansa akan diceraikan dalam waktu dekat?“Bu, jawab pertanyaan Khansa. Apa maksudnya?!” Khansa meledak. Ia mencengkeram lengan ibu mertuanya dan menuntut jawaban dari wanita itu. Sindi yang semula berdiri berdampingan dengan ibunya Bima didorong oleh Khansa hingga tubuhnya oleng dan hampir jatuh.“Khansa!” seru Bima kesal. “Apa-apaan sih kamu?!”Khansa semakin meradang. Di saat seperti ini, Bima malah membentak Khansa dan membela mantan kekasihnya. Harga diri Khansa sebagai istri sah rasanya seperti terinjak-injak. Namun, Khansa mengabaikan bentakan Bima dan memilih tetap menuntut jawaban kepada ibu mertuanya mengenai perceraian yang disebutkan tadi.“Bu, jawab Khansa, Bu. Apa maksudnya kalau Sindi bakal jadi menantu Ibu?” tuntut Khansa.Ibunya Bima m

  • Semalam Dengan Komandan   Dia Bukan Orang Asing

    Khansa menenangkan diri sejenak di taman itu. Ia merasa lega sebab ternyata antingnya dibawa oleh petugas hotel. “Tapi… kok petugas hotel baik banget ya sampai repot-repot ngajak ketemu buat antar antingnya?” pikir Khansa. Khansa teringat ketika ia memesan kamar hotel waktu itu. Memang kamar itu dibayar menggunakan uangnya—yang sekarang sudah diganti oleh gigolo pesanannya waktu itu. Namun, yang memesan kamarnya adalah si gigolo itu. Seharusnya nama yang tertera dalam data tamu bukankah nama pria itu? Khansa menggeleng kencang. “Aduh, mending jangan mikir aneh-aneh, siapa tau memang nama dan kontakku juga ada di hotel itu. Lagian aku juga nggak pernah nginep di hotel sebelumnya, nggak ngerti juga sama sistemnya.”Khansa menarik napas panjang kemudian segera bergegas pulang. Untuk saat ini, setidaknya kekhawatiran Khansa mengenai antingnya yang lepas dan tertinggal di kamar hotel itu sudah beres.*Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bahkan sebelum Khansa selesai memasak di dapur, Bi

  • Semalam Dengan Komandan   Masuk Dalam Perangkat

    Semalam setelah pulang dari rumah dinas Rama, Khansa langsung masuk ke kamar dan meringkuk ke dalam selimut. Ia menangis karena sakit hati. Sialnya, Bima sama sekali tidak merasa bersalah. Jangankan meminta maaf, Bima malah terus-terusan menyalahkan Khansa dan mengatakan bahwa apa yang ia lakukan di rumah Rama itu tidak sopan dan mempermalukan Bima sebagai suami. Khansa sungguh tidak habis pikir. Ia tidak menjawab semua ucapan Bima dan diam saja di dalam kamar sampai ketiduran. Malam itu, Bima tidak tidur sekamar dengan Khansa melainkan tidur di sofa ruang tamu.Keesokan harinya ketika Khansa bangun, ia baru bisa lebih tenang dan berpikir jernih. Khansa berusaha mengulas apa saja yang terjadi semalam, dan jujur ia sendiri sadar bahwa apa yang ia lakukan dengan pergi begitu saja dari rumah dinas Rama memang tidak sopan. Semalam, ia hanya terlalu sedih karena seolah tidak dianggap sebagai istri oleh Bima, makanya ia tidak bisa berpikir rasional.Khansa menghela napas panjang. “Mungkin m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status