LOGINKhansa gelagapan. Saking terkejutnya ia karena melihat pria itu, Khansa sampai terlalu fokus menatapnya. Pria itu pun melihat Khansa, dan ia juga menatap intens kepadanya. Tatapan pria itu membuat Khansa seperti terintimidasi. Secara otomatis, Khansa segera memalingkan wajahnya, takut jika nanti pria itu mengenali wajahnya.
“Gawat… Gawat… Kenapa dia ada di rumah Bu Danton? Apa hubungannya orang itu sama Bu Danton, ya?” batin Khansa kebingungan. Sesekali, Khansa masih melirik-lirik pria itu karena penasaran. Khansa sampai tidak terlalu fokus dengan anaknya Bu Danton. Untunglah, tak lama kemudian Bu Danton keluar dan langsung menyambut pria itu dengan ramah, jadi lirikan Khansa pun berhenti. Khansa tidak terlalu mendengar pembicaraan Bu Danton dengan pria itu. Isi kepalanya sendiri sudah berkecamuk. Khansa panik berkepanjangan. Kalau sampai pria itu mengenalinya, dunia Khansa akan hancur. Obrolan Bu Danton dengan pria asing itu tidak lama. Hanya kurang dari setengah jam saja, setelah itu, pria tersebut langsung pamit lagi. Bu Danton mengantarnya sampai ke teras. Khansa tanpa sadar bernapas lega ketika akhirnya pria itu pergi. Ia belum bisa merasa lega sepenuhnya, tetapi setidaknya pria itu sudah tidak ada di rumah Bu Danton lagi. Khansa refleks mengusap dadanya sendiri sembari membatin, “jangan sampai dia saudaranya Bu Danton, kalau sampai pria itu saudaranya Bu Danton, bisa-bisa lain waktu bakal ketemu lagi.” Karena terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri, Khansa sampai tidak sadar kalau Bu Danton sudah selesai mengantar pria itu ke depan dan sudah berjalan ke ruang tengah di mana Khansa membantu mengasuh anaknya Bu Danton. “Bu Bima? Bu Bima?!” Khansa mengerjap dan agak tersentak. “Eh, iya Bu Danton?” Bu Danton mengernyit. “Kok ngelamun gitu, Bu Bima? Kenapa?” Khansa buru-buru menggeleng. “Oh enggak, maaf Bu Danton agak kurang fokus.” Bu Danton geleng-geleng kepala. “Iya nggak papa, cuma saya kan jadi khawatir kalau Bu Bima melamun gitu. Jangan-jangan Bu Bima terlalu capek karena dititipi anak saya.” “Enggak Bu Danton. Saya malah seneng. Saya suka momong anak kecil.” Bu Danton tersenyum. “Oh ya Bu Bima, lihat nggak laki-laki yang barusan datang?” Khansa mengernyit. Ekspresi Bu Danton kelihatan lumayan antusias ketika beralih topik membicarakan tamunya yang tadi. “Iya?” “Itu Danki baru kita lho, Bu Bima. Jadi, acara yang kita siapkan ini ya salah satunya untuk menyambut orang itu besok.” Khansa sontak melotot. “Danki baru kita?” Bu Danton mengangguk. “Iya. Ganteng ya. Gagah banget lagi. Tapi denger-denger masih jomblo,” katanya sembari cekikikan. Khansa tidak tahu harus berkata apa usai mendengar fakta mencengangkan ini. Dia, pria yang saat itu tidur dengan Khansa ternyata adalah Danki baru? Sepertinya Tuhan memang sedang menghukum Khansa karena sudah berbuat nekat hari itu. “Eh Bu Bima, saya balik ke dapur dulu ya, kalau capek jagain anak saya bilang aja, emang dia itu nggak bisa diem.” Khansa memaksakan senyum kemudian mengangguk. “Iya, Bu.” Setelah Bu Danton kembali ke dapur, Khansa seketika mengembuskan napas kasar. Jantungnya semakin berdebar gila-gilaan. Kalau pria itu adalah Danki baru, itu artinya mereka akan tinggal satu kawasan. Mereka akan sering bertemu. Khansa mengusap wajanya kasar. Ia sungguh menyesali keputusan nekatnya malam itu. Andai saja akal sehatnya masih bekerja, hal seperti ini tidak akan terjadi. Sekarang, Khansa merasa hidupnya malah semakin semrawut. Ini bisa saja menjadi sumber masalah baru. * Sepulangnya dari rumah Bu Danton, pikiran Khansa masih melayang ke mana-mana. Ia lumayan lelah juga karena ditugasi untuk menjaga anaknya Bu Danton. Khansa memang tidak ikut memasak dengan ibu-ibu lainnya, tetapi menjaga anak Bu Danton yang sangat aktif juga membutuhkan tenaga yang besar. Khansa berjalan pulang sambil terus mengembuskan napas berat. Ah, ia benar-benar tidak tenang sekarang. Ketika dalam perjalanan pulang itu, Khansa yang memang isi pikirannya sedang melanglang buana menjadi tidak fokus. Angin yang agak kencang mendadak berembus, menerbangkan beberapa dedaunan kering di sana. Lalu, Khansa yang kebetulan berada di bawah pohon kelapa itu tidak sadar ada pelepah kelapa yang sudah tua akan jatuh menimpanya. “Awas!" Khansa mendengar teriakan seseorang. Ia terkejut melihat pelepah kelapa akan menimpanya. Khansa sudah memejamkan matanya, bersiap menerima apapun yang akan terjadi padanya. Tetapi pelepah kelapa itu tak jadi mengenai Khansa. Seseorang melindunginya. Dan orang yang menyelamatkannya itu... Si Danki baru. “Kamu nggak apa-apa?” tanya pria itu. Khansa menggeleng. Sialnya, Danki baru itu malah menatap Khansa lekat-lekat. Sorot matanya tajam. Khansa bisa merasakannya dari jarak jauh ketika di rumah Bu Danton tadi, dan sekarang mereka malah saling menatap dalam jarak yang amat dekat, hanya sekian senti saja. Hawa intimidasi pria itu terlampau kuat. “Lain kali hati-hati,” katanya. Khansa tersadar ia masih berada dalam dekapan pria itu, jadi ia pun buru-buru melepaskan diri sambil mengangguk. “I-Iya, terima kasih. Kalau begitu saya permisi.” Khansa berucap cepat. Ia juga langsung membungkukkan badannya kemudian segera melipir pergi. Ternyata, si Danki baru itu tidak langsung beranjak dari tempatnya. Ia terus memperhatikan Khansa dengan begitu lekat hingga Khansa benar-benar sudah tidak terlihat lagi. Sesampainya di rumah, rupanya Bima sudah pulang. Bima tidak menanyakan ke mana Khansa pergi sebab ia sendiri sudah tahu kalau Khansa seharian ini ke rumah Bu Danton untuk bantu-bantu. Khansa segera ke kamar mandi kemudian mencuci mukanya, baru kemudian ia ke kamar untuk menyisir rambut. Khansa benar-benar merasa lelah luar biasa. Rasanya, seluruh energi kehidupannya seperti terserap habis begitu saja. Bima masuk ke kamar dan melirik Khansa, lalu pria itu menyadari ada sesuatu yang kurang dari sang istri. “Sa, anting kamu yang sebelah ke mana?” tanya Bima. Khansa refleks meraba telinganya sendiri meskipun sebenarnya pantulan wajahnya tampak dari cermin rias di kamar. Khansa mendadak takut. “Apa jangan-jangan ketinggalan di hotel waktu itu, ya? Aduh gimana ini?” Khansa membatin dan berakhir panik sendiri. Bima mengernyit heran melihat Khansa tidak langsung menjawab, jadi ia mendekat dan menepuk bahu sang istri. “Kok malah bengong sih?” Khansa menelan ludahnya sendiri dengan susah payah. “Enggak… Enggak papa, Mas.” Khansa langsung menyudahi sesi sisir rambutnya kemudian menghindar pergi ke dapur untuk minum. Di dapur itu, Khansa menenggak air banyak-banyak. Dadanya bergemuruh. Ia tidak tenang jika seperti ini. Khansa memijat sekat hidungnya sendiri sembari memejamkan mata. “Aduh… Kira-kira si Danki baru itu ingat apa enggak, ya? Semoga antingnya ilang di tempat lain aja,” batin Khansa gelisah. * Sementara itu di ruangannya, Kapten Rama sedang duduk sembari memegangi benda berkilau kecil di jemarinya. Sebuah anting emas dengan desain sederhana. Ia terus memandangi anting itu, dan teringat dengan bentuk anting yang sama terpasang di daun telinga seorang wanita. Kapten Rama mengembuskan napas panjang. “Apa hanya kebetulan saja, ya?” ***Rama pulang ketika tengah malam. Ia pikir, Khansa sudah tidur karena memang sudah terlalu larut untuk tetap bangun. Namun, perkiraan Rama salah. Ketika ia baru masuk, Khansa justru sedang duduk di kursi ruang tamu sambil menyilangkan kedua lengannya. Tatapan mata wanita itu begitu tajam mengarah kepada Rama. “Khansa, kamu belum tidur?” Khansa menatap sinis kepada Rama. “Bagus ya, pulang malam-malam. Nggak inget di rumah ada istri yang lagi hamil muda!”Rama mengerjap, kaget karena Khansa tiba-tiba marah. “Khansa, saya—”“Sibuk ya sama perempuan lain?”“Hah?”“Kamu pasti sibuk seneng-seneng sama Hesti di rumah ibu kamu makanya nggak inget waktu buat pulang. Oh? Kamu minta jatah ke dia karena aku nggak ngelayanin kamu? Udah puas?”Amarah Khansa semakin menggebu-gebu. Meskipun mulutnya berkata sinis, tetapi ekspresi wajahnya menandakan kalau ia sudah hampir menangis. Kedua matanya sudah penuh dengan air mata dan sangat memerah. Rama yang bingung karena tiba-tiba dituduh seperti itu ak
Kebetulan sekali, Rama dan Khansa melewati Bima. Mereka berdua sedikit kaget melihat Bima ada di rumah sakit. Apalagi penampilannya juga kelihatan kusut seolah ia kurang tidur. Rama langsung berpura-pura basa-basi di depan bawahannya itu. “Ketemu di sini kita, Praka Bima,” kata Rama. Bima menganggukkan kepalanya. “Kapten Rama.”“Lagi ngapain di rumah sakit?” tanya Rama. “Ibu saya baru saja kecelakaan, Kapten. Baru selesai operasi,” kata Bima. Khansa yang sejak tadi diam saja kaget mendengar ibunya Bima kecelakaan. Meskipun selama menjadi istri Bima ia sering mendapatkan perlakukan kurang mengenakkan dari ibunya Bima, tetap saja mendengar wanita tua itu kecelakaan dan baru saja selesai operasi membuat Khansa khawatir. “Terus gimana keadaan Ibu, Mas?” tanya Khansa tiba-tiba. Rama langsung menoleh. Bima sendiri juga kaget karena sejak tadi Khansa diam saja dan seperti tidak berniat untuk bicara dengannya. “Ibu sudah siuman kok. Hanya saja sejak tadi nggak berhenti menangis karena
Bima baru saja pulang ke rumah untuk makan siang. Sekarang kondisi rumahnya sepi karena Sindi sudah pulang usai mereka ribut waktu itu. Suasana hati Bima terus memburuk seiring waktu. Sudah ditipu, Bima juga kepikiran pula dengan perkataan Sindi yang mengatakan bisa saja bukan Sindi yang mandul, tetapi justru Bima sendiri. Ia yakin dirinya baik-baik saja, tetapi entah mengapa kali ini ia kepikiran. Di tengah suasana hati yang buruk itu, tiba-tiba ia mendapatkan panggilan dari nomor asing. Bima mengernyit bingung, tetapi segera mengangkatnya.“Halo, siapa ini?” tanya Bima. “Kami dari rumah sakit Citra Medika ingin mengonfirmasi apakah ini benar dengan Pak Bima?”“Iya benar. Saya sendiri.”“Pak Bima, saat ini Ibu anda dirawat di rumah sakit Citra Media karena kecelakaan. Mohon segera datang untuk mengurus administrasi.”Bima membelalak kaget. “Apa?! ibu saya kecelakaan?”“Benar, Pak. Saat ini ibu anda harus melakukan operasi jadi membutuhkan persetujuan wali.”Bima syok berat. Bagaima
“Kurang ajar!” Rama marah besar dan langsung menarik kerah pakaian Kahfi. Hal itu tentu saja membuat Kahfi kaget. Ia sama sekali tidak kenal dengan Rama, tetapi pria itu tiba-tiba saja memperlakukannya dengan tidak sopan.“Apa-apaan ini? Kenapa Anda—”Buagh!Sebelum Kahfi selesai bicara, Rama sudah lebih dulu meninju wajahnya dengan keras. Kahfi terdorong mundur dengan ujung bibir berdarah.“Mas Rama!” jerit Khansa panik. Sayangnya, Rama yang sudah diliputi oleh amarah dan rasa cemburu tidak mendengarkan keributan di sekitarnya. Ia fokus berusaha untuk menghajar Kahfi. “Hentikan! Hentikan Mas!” Khansa berusaha menarik lengan Rama, tetapi usahanya tidak membuahkan hasil. Bu Rohmah yang mendengar keributan di luar langsung berlari tergesa-gesa ke depan. Ia kaget bukan main melihat Rama dan Kahfi sudah berkelahi satu sama lain.“Hentikan! Tolong jangan membuat keributan di panti asuhan! Ada banyak anak-anak di sini!” teriak Bu Rohmah. Kahfi sendiri tidak terima tiba-tiba dipukul. Ia
Khansa keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Perutnya masih terasa melilit. Ia tidak tahu mengapa perutnya mual. Sekarang setelah muntah, tubuhnya juga terasa lemas.“Apa aku masuk angin ya?” gumam Khansa.Rupanya, Bu Rohmah melihat Khansa yang tadi mual dan muntah di kamar mandi. Ia khawatir terjadi sesuatu dengannya.“Khansa, kamu sakit?” tanya Bu Rohmah.Khansa menggeleng. “Khansa sehat kok Bu.”“Tapi tadi Ibu lihat kamu mual dan muntah di kamar mandi.”Khansa mengusap tengkuknya sendiri. Ia jadi merasa tidak enak. “Mungkin masuk angin saja Bu. Khansa sehat kok.”“Khansa, Nak… Masaknya biar Ibu aja yang handle ya. Kamu istirahat aja. Kayaknya kamu capek?”Khansa mengerjap. “Tapi Bu…”“Udah, nggak papa. Kamu istirahat aja dulu, yang di dapur biar Ibu urus.”Khansa menghela napas panjang dan akhirnya mengangguk. “Maaf, Bu.”“Nggak masalah, nggak usah minta maaf.”Khansa tahu meskipun tetap di dapur pun ujung-ujungnya malah tidak terlalu membantu. Namun, Khansa merasa tidak enak
Setelah cukup lama pingsan, Sindi akhirnya sadar. Ia merasa kepalanya agak pening. Ketika ia menoleh, Sindi melihat Bima duduk di sampingnya dengan tatapan datar.“Bim?”“Oh, udah sadar kamu,” kata Bima.“Bim! Tadi Ibu dorong aku. Dia mau nyolong perhiasan aku katanya buat bayar pinjol dan ketipu arisan. Aku nggak mau soalnya Ibu sering pinjam uang aku tapi nggak pernah dibalikin.”Bima yang mendengar Sindi mengadu hanya diam. Bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan ekspresi sama sekali. Hal itu tentu saja membuat Sindi heran. “Bima, kok kamu diem aja sih?” tanya Sindi. “Oh, kamu nggak percaya sama aku? Kamu mau belain Ibu kamu?”Bima menghela napas panjang, ia tidak merespon sama sekali pertanyaan Sindi. Justru Bima malah mengatakan hal lain. “Kamu udah sehat ‘kan? sekarang ikut aku,” kata Bima. Sindi kelihatan bingung. “Ke mana? Aku masih agak pusing. Kayaknya aku butuh waktu istirahat lebih lama Bim.”Bima tidak mau mendengarkan alasan tersebut. Ia justru langsung mencengkeram pe







