Share

5. Bujukan Maut

"Pentas seni?" tanya Firman dengan tatapan tegasnya.

Lista mengangguk dengan tegas dan berani. Ia diajarkan untuk tak takut oleh orang tuanya. Jadi demi bisa bertemu Angkasa, ia akan melakukan segala cara.

"Angkasa sudah janji mau bantuin Lista. Lista juga sudah batalkan acara rekam pertunjukan seni di kampusnya abang Lista yang diadakan kemarin karena Angkasa bilang Angkasa mau bantu.  Jika Angkasa nggak datang hari ini, Lista akan marah besar sama dia. Angkasa terkenal sebagai anak yang pintar di sekolah, dan Lista percaya Angkasa nggak akan tega tipu Lista."

"Tipu?"

Lista mengangguk, "Angkasa tak mungkin berbuat curang. Menjatuhkan nilai kesenian Lista demi mempertahankan nilainya di sekolah."

Firman terdiam. Ia menatap mata Lista dan tatapan serius dari Lista membuat Firman merasa jika gadis di hadapannya itu memang serius.

"Om tenang saja. Om bisa percaya pada Lista kalau Angkasa tak akan macam-macam. dia cuma mau bantuin Lista om."

Sungguh Aiden dan Heru tak percaya dengan keberanian Lista. Mereka tak menyangka Lista bisa mengarang cerita sedemikian rupa hanya untuk membuat Angkasa bisa bermain band.

Apalagi wajah meyakinkan dari Lista yang kini sedang memancar dari wajahnya.

Sungguh, Lista sangat jago akting.

"Apa jaminan kamu jika Angkasa macam-macam."

"Lista yang akan hubungi Om duluan dan beritahukan semuanya sama om."

"Cih! Jangan mengelabui saya."

"Tidak. Lista diajarkan oleh orang tua Lista untuk selalu pegang ucapan. Jangan pernah jadi penghianat."

Jawaban tegas Lista membuat Firman terdiam. Ia melihat gadis di hadapannya ini sangat berani dalam berbicara. Hingga ia sendiri tak bisa lagi membantah.

"Baiklah. Saya pegang ucapan kamu. Jika Angkasa macam-macam, bukan hanya kamu, tapi ketiga teman-teman kamu ini saya laporkan ke polisi."

Deg!

Aiden, Heru dan Ririn mendadak pucat. Namun tidak dengan Lista.

"Siap om."

"WHAT? MAIN SIAP AJA NI BOCAH.!" teriak Heru membatin.

"Baiklah."

Firman melangkah meninggalkan keempat teman anaknya dan berjalan menuju kamar sang anak. Namun langkah Firman terhenti saat baru setengah langkah ia berjalan, suara sang anak bungsu dari lantai atas terdengar.

"Ayah mau ke mana? Abang di atas di kamar Rama." ucap sang anak.

Rama menatap Firman tak terlalu suka. Jujur, ia tak suka dengan ayahnya saat di meja makan tadi. Membuat nafsu makannya berkurang.

Berkurang ya, bukan menghilang. Karena sekelas Rama yang makannya sekarung, bisa kehilangan nafsu makan itu adalah musibah.

Sebenarnya Rama sudah mendengar sedari tadi percakapan tersebut, sedangkan Angkasa sibuk mendengarkan musik menggunakan Earphone bluetooth yang ia tutupkan ke telinganya.

"Panggilin abang kamu.!"

Rama menggeleng.

"Kalau cuma buat abang sedih, biarin aja abang di dalam kamar Rama."

Melihat jawaban sang anak, Lira pun langsung mendekati Rama, "Sayang. Kakak kakak ini datang mau jemput abang kamu."

"Bawa ke Car Free Day?"

Lira mengangguk.

"Beneran?"

Lira mengangguk lagi.

"Yes! Oke! Rama panggilin abang dulu."

"Om! Ramanya ikut langsung juga nggak apa-apa om. Atau om sama tante kalau mau ikut langsung juga nggak apa-apa. Di sana banyak sarapan om. Yang jualan pakaian bagus juga ada tante. Jadi---"

"No!!"ucapan Lista terhenti saat Rama bersuara sedikit keras, "bunda sama ayah itu,  kalau di bawa ke sana sukanya ribet kak. Jadi bawa Rama aja." selorohnya.

Firman dan Lira yang mendengarnya langsung tersenyum tipis, bahkan sangat tipis.

"Ya sudah sana, panggil abang kamu."

Dengan semangat Rama berlari ke atas dan masuk ke dalam kamarnya. Tak berapa lama, Rama keluar lagi sambil menarik lengan Angkasa.

Dan betapa terkejutnya Angkasa saat ia melihat ada teman-temannya di bawah dan yang lebih membuatnya tak percaya, di bawah ada Lista dan juga, Ririn?.

Ngapain kedua gadis itu ada di rumahnya? Namun ekspresi terkejutnya ia simpan baik-baik. Pantas saja tadi Rama mewanti-wantinya dengan raut wajah. Ternyata ini maksud dari perkataan adiknya tadi.

"Angkasa, tapi lo janji mau bantuin gue buat tugas karya seni. Tapi lo nggak datang. Mau main curang ya?"
ANgkasa dibuat bingung karena pertanyaan Lista. Namun ia segera melihat sang ayah yang sedang melihatnya.

Ia kembali menatap Lista, "Sorry. Gue bukannya curang, cuma ada sedikit masalah. Gue--"

"Abang! Abang boleh pergi!"

Ha? Angkasa melongo seketika. Ia tak menyangka kalimat tersebut keluar dari mulut sang ayah. Bahkan tadi ayahnya masih bersikeras tak mengizinkannya.

"Bantuin tu teman kamu. Jangan curang dalam nilai." setelah mengakhiri kalimatnya, Firman kembali duduk di ruang TV dan menikmati tontonan dengan santai.

Angkasa dibuat tak percaya. Ia menatap bundanya dan bundanya juga mengangguk sambil tersenyum.

Lira menatap Lista, dari awal melihat anak itu ,ia sudah yakin jika Lista akan membawa perubahan baik.

"Tapi bawa Rama ya." perintah sang bunda.

"Siap bunda."

Angkasa berjalan menyalami bundanya lalu menuju sang ayah dan ia salami juga. Setelah pamit, rumah mendadak sepi. Hanya menyisakan kedua orang tua yang baru saja mendapat kejutan dari seorang gadis.

Lira berjalan mendekati suaminya dan merangkul suaminya itu.

"Sudah saatnya ayah percaya sama Angkasa." ucap Lira lembut.

"Ayah percaya bun, hanya saja--"

"Bunda paham yah. Ini pasti karena trauma ayah yang kehilangan sahabat ayah itu kan? Bunda paham. Tapi anak kita itu anak kita. Kita yang tahu bagaimana Angkasa. Selama ini apa ayah lihat Angkasa membantah? Apa ayah lihat, Angkasa diam-diam curi waktu untuk bohong?"

Firman menghela nafas panjang.

"Sekarang, ayah cukup percayakan itu semua pada Angkasa. Lagian Rama juga ikut. Rama bisa jadi CCTV kita."

Menyerah, Firman pun akhirnya menurut. Ia menggenggam jemari sang istri.

"Ayah akan coba." ucapnya.

Lira tersenyum. Suasana hening sejenak.

"Oh ya Yah, Lista boleh juga. Bunda suka sama gadis yang satu itu."

Firman langsung memutar pandangan menatap sang istri.

"Maksud bunda?"

Tak menjawab, Lira justru hanya senyum-senyum sendiri sambil mengedipkan matanya pada sang suami.

Sungguh,  pria itu yakin jika ada sesuatu hal yang akan direncanakan oleh istrinya. Ia yakin jika wanita terbaiknya ini sedang menyusun sesuatu dan itu berhubungan dengan anaknya Angkasa serta gadis manis yang tadi berbicara tegas dengannya.

"Jangan dipaksa. Anak kita bukan akan TK. Abang punya kehidupannya sendiri. Apalagi urusan cinta." tebak Firman.

Lira memukul lengan sang suami, "Ih! Mas, ikut-ikutan saja. Ini urusan aku."

"Ya apalagi kalau bukan soal jodoh-jodohan."

"Ya kalau Angkasanya mau apa salahnya."

"Kamu tahu sifat anak kamu yang satu itu kan?"

Lira mengangguk.

"Mas yakin dia nggak akan suka."

"Kalau soalan itu, mas tenang saja. Itu biar jadi urusan aku."

Firman hanya geleng-geleng kepala.

Lira bahkan melihat wajah suaminya begitu lucu. Dengan semangatnya ia meraih kedua pipi sang suami dan dengan kilat mengecup bibir suaminya, "I love you Mas."

Firman menatap Lira takjub. Ia lalu tersenyum dan membalas kecupan sang istri, "I Love You too." balasnya

"Pokoknya nanti, mas nggak ikut campur ya jika di tengah-tengah usaha kamu, Angkasa menolak."

Lira mengarahkan jempolnya pada sang suami. "Ayah tenang saja. Semua sudah ada dalam kepalaku."

Lira tersenyum manis. Sementara Firman kembali melihat layar TV.

Entah apa yang nanti istrinya lakukan. Yang jelas ia hanya akan menurut saja. Karena untuk soalan seperti itu, ia tak berpengalaman.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status