Yak, dua hari lagi untuk cerita Vienna ya. Sabar. Ditunggu komennya. Boleh misuh-misuh boleh marah-marah.
SUARA-suara itu mengganggu tidurku. Padahal suara itu begitu lemah. Tapi bunyi bip bip bip teratur itu terdengar melengking di afmosfer sesunyi ini. Aku merasa kedinginan. Di mana ini? Apa yang terjadi? Aku berusaha mengingat sambil berusaha membuka mata dan menggerakkan bagian apa pun dari tubuhku. Kabut di kepalaku masih sangat pekat, aku harus menyibak kepekatan kabut untuk melihat bayangan lain yang juga masih sangat buram. Aku terus berusaha, tapi sejauh yang kuingat hanya aku terjatuh dan seseorang berusaha menangkapku. Seseorang itu Vlad. Bayangan itu masih sangat buram. Aku tidak bisa menangkap ekspresi wajahnya. Aku hanya ingat teriakan panik dan takutnya ketika menyebut namaku. Aku bisa mengingat dia terbelalak dengan tangan penuh darah. Tapi di mana Vlad sekarang? Di mana aku? Vl... “… ad….” Apakah itu suaraku? Vlad, kamu di mana? Tolong aku. “Anna, kamu sudah sadar?” Sebuah wajah terlihat begitu dekat. Aku berusaha fokus mengenalinya. Vl... “… ad….?” “Apa yang kamu
AKU mengenal Bagas sejak awal kuliah. Bagas seniorku tapi kami berbeda fakultas. Aku di HI, Bagas di Ekonomi. Tidak butuh waktu lama untuk kami merasa ada rasa yang lain yang membuat kami memutuskan berkencan. Hanya butuh beberapa bulan. Tak lama, Bagas lulus. Namun kami baik-baik saja meski kesibukan membuat kami sulit bertemu. Aku kuliah, Bagas melanjutkan bisnis keluarga. Sepanjang aku kuliah, tidak ada pembicaraan serius. Kami menikmati kami apa adanya. Bagas muda yang sedang euforia dengan aktifitasnya, aku dengan cita-citaku. Kami saling mendukung. Pun ketika aku lulus dan mulai meniti karier. Kami baik-baik saja. Bagas tetap mendukung karierku meski saat itu kami mulai serius membicarakan masa depan kami. Membicarakan pernikahan dan rencana-rencana masa depan yang lain. Aku merasa memang sudah waktunya. Umurku sudah cukup, sekolahku sudah selesai, Bagas pun makin mapan di bisnisnya. Dan tentu ada cinta yang memang sejak awal sudah mengikat kami. Semuanya terasa begitu sempurn
“TERSERAH kamu aja.” Suaraku datar. Apa yang aku harap dari Bhaga? Dia akan menjagaku berbulan-bulan di sini? Pun dia mau, apa aku mau? Aku merasa lebih nyaman sendirian saja. Mungkin aku masih butuh waktu untuk sendiri. Menyelami hati yang terasa mati. Sudah berapa lama Vlad pergi? Baru dua minggu. Tak ada jejak tersisa di ponselku. Vlad dengan sadis menghapus semua jejaknya di ponselku ketika dia mengirim foto ke Bhaga. Tak ada sisa sama sekali bahkan nomor ponselnya. Tidak ada foto pengobat rindu, tidak ada pesan-pesan lama penyemangat hari. Aku benar-benar hanya bisa mengingatnya dalam benak saja. Merindukannya dalam hati dan sepi. Semarah itukah dia padaku? Atau sudah benci? Mengingat itu, aku semakin sakit. Tapi aku berusaha mengerti rasanya. Aku yang salah. Selalu aku yang salah. Hubunganku dengan Bhaga rusak karena salahku. Dengan Vlad pun begitu. Tapi, jika aku bisa meminta, izinkan aku menjelaskan semuanya sekaligus mengatakan sebuah rasa. Mungkin penjelaskanku tidak berar
[Di Negeri di Atas Awan, 2018] . DI saat yang sama, ada yang patah hati dan ada yang jatuh cinta. Pernikahan yang mengesahkan mereka sebagai sepasang suami istri sudah berlalu seminggu lalu. Bulan madu adalah saat yang ditunggu. Dan bulan madu yang mereka rancang tentu tidak jauh dari kegemaran Bhaga. Lepas akad dan resepsi mereka langsung ke Bali. Hanya semalam mereka di sana. Bali hanya tempat take off sebelum mereka memulai petualangan mereka, memilih tempat secara acak untuk berbulan madu. Pilihan pertama Wakatobi dan Taka Bonerate. Bhaga ingin melanjutkan diving di Banda Neira tapi Anna memilih destinasi berikutnya adalah gunung. Dia memilih Nagari Pariangan di lerang Gunung Marapi. Mereka pun ke sana. Hawa sejuk gunung menghangatkan perjalanan bulan madu mereka yang panas. Tak ingin berlama-lama di satu tempat, Bhaga mengajak Anna berpindah lagi. Honeymoon ala backpacker. Jangan harap Bhaga mengajak Anna menginap di hotel bintang lima. Dia mengajak Anna ke cottage-cottage ya
“YA buat apa juga sih laporan. Toh masih sama-sama luar Jawa. Jadwalnya juga sama. Tiga bulan on site, dua minggu cuti. Nggak ada perubahan yang ngaruh ke kamu kan.” Astaga! Aku langsung membanting kaus yang tadi kupegang. Mataku mendelik sempurna. Bhaga sangat keterlaluan kali ini. “Buat apa kata kamu?” Aku mendesis berusaha tidak berteriak. “Kamu anggap apa sih aku selama ini, Ga? Sampai pindah site pun kamu nggak merasa perlu diskusi dulu.” “Kalau pun aku bilang, paling kamu cuma reply dua huruf aja. OK. Sudah. Buat apa? Bikin orang jengkel aja.” “Oh, jadi kamu jengkel kalau aku reply dua huruf itu? Kalau gitu kenapa kamu nggak coba panjangin tu W*? Kalau kamu panjangin, apalagi bilang urusan ini, nggak bakal aku jawab cuma pakai dua huruf itu aja!” Aku sudah berdiri di hadapannya. “Lagian, urusan sepenting itu nggak bisa cuma lewat chat, Ga. Itu harus kita omongin serius. Kalau nggak bisa ketemu ya minimal nelepon. Dan apa harus secepat itu kamu iyakan? Nggak bisa nunggu kita
VIENNA sudah tenggelam di pelukan Bagas dalam isak lirih ketika mengakhiri ceritanya sementara Vlad berdiri kaku terpaku bersandar di meja counter. Dia tidak percaya cerita itu. Semua berbeda dengan yang selama ini dia percayai. “Papa tau kamu nggak percaya, Vlad.” Bagas terus mengelus kepala Vienna yang tersuruk di perutnya. “Bagian mana dari cerita itu yang kamu nggak percaya?” Vlad tergagap. Ingin bertanya tapi otaknya begitu kosong. “Mama bilang…” Vlad tidak bisa melanjutkan kalimatnya. “Apa pun yang mama kamu bilang, itu kan yang selama ini kamu pegang? Apa kamu kasih kesempatan kami ngomong?” “Tapi… ak… aku…” Bagas benar, Vlad tidak pernah membiarkan mereka klarifikasi. Begitu mamanya pergi, Vlad makin tidak terkontrol. Bagas menunggu pertanyaan anaknya. “Aku bukan anak di luar nikah. Aku lahir setahun setelah Papa nikah sama Mama.” Bagas tertawa sinis. “Itu dia puncak kebohongan mama kamu. Atau malah bisa disebut kelicikan.” “Mas…” Vienna sudah mengurai pelukannya. Ba
“AKU pergi. Silakan kamu pikir ulang semuanya lagi. Kalau selama aku pergi kamu sudah yakin, silakan kamu urus semuanya sendiri. Aku tinggal tanda tangan aja.” Dia berjalan tanpa menoleh lagi ke arahku. Selesailah…. Begitu pintu menutup terbanting aku pun terbanting. Tubuhku tidak sanggup lagi berdiri, kepalaku bukan lagi berdenyut, tapi berdentam hebat. Sakit sekali. Semua terasa menusuk. Cahaya lampu menusuk pupil. Suara-suara di luar termasuk suara pintu depan, pagar, dan mobil yang melaju sangat mengganggu. Sakit sekali. Ternyata tetap harus berakhir. Ternyata akhirnya seperti ini. Sesuatu yang kupertahankan dengan mengorbankan dua hati yang sudah saling jatuh cinta tetap harus berakhir. Aku meringkuk mengecilkan diri. Kutarik rambut mendekat ke dada. Mari ke sini, Dearest Hati dan Kepala, kita semua berkumpul saling menguatkan. Sakit sekali. Entah apa yang ada di kepala Bhaga sampai dia merasa tidak penting berdiskusi denganku. Pada dasarnya aku tidak masalah dengan semua ke
[Labuan Cermin, 2018] . “YIHAAAA….” Anna terbahak lepas melihat Bhaga yang berlari lalu langsung terjun ke danau sebening kaca. Semakin hari dia semakin mengerti kecintaan Bhaga pada alam. Lelaki itu begitu menyatu dengan alam. Bhaga sangat bersemangat sepanjang perjalanan mereka. Semangat yang tidak pernah habis meski malam-malam mereka habiskan dengan sama bersemangatnya. “Ayo, Na. Segar banget nih,” panggilnya dari dalam danau. Hanya kepalanya yang ada di atas permukaan air, tapi sisa tubuhnya tetap terlihat jelas. Anna tentu tidak bisa menolak keindahan itu. Akhirnya dia pun menceburkan diri ke beningnya danau meski tanpa meloncat. Dari Dieng, Bhaga memilih menyerang Laut Jawa menuju Kalimantan. Ada sebuah danau istimewa di sana. Danau sebening cermin sehingga nyaris terlihat tanpa air. Danau ini sungguh indah. Dan Bhaga memilih tempat ini sebagai salah satu tempat mereka berbulan madu. Bulan madu impian mereka. Sekarang mereka sudah di Labuan Cermin, Kalimantan Timur. Bhag