Anea, gadis manis itu menatap cermin di depannya. Riasan sederhana di wajah mungil itu membuat pesonanya semakin paripurna. Dress ketat di atas lutut dengan jelas menjiplak lekuk tubuhnya yang indah. Ia menimbang-nimbang sepatu mana yang cocok dia gunakan saat ini. Ia akhirnya memutuskan pilihan pada high hells merah menyala yang cocok dengan semangatnya yang menggelora. Tentu saja semangat untuk menggapai isi dompet para lelaki yang meminta kehangatan malam kepadanya.
Jam menunjukkan pukul 19.00 Wib, ia harus segera berangkat. Menemukan pelanggan yang royal adalah hal yang menjadi rebutan para wanita seprofesinya. Sejujurnya dengan pesonanya sekarang, tak susah untuk mendapatkan “ikan” gemuk, hanya saja ia tak mau sampai keduluan teman-temannya dan akhirnya mendapat ikan sisa.
Pelanggan di Bar tentu saja memiliki banyak karakter tersendiri. Hal yang sangat menjengkelkan adalah jika mendapat pelanggan tua, berperut buncit, berbadan tambun dan yang paling parah terlalu pelit, sehingga tak ada uang tips tambahan selain harga sewa kepada bos diawal . Betapa buruknya jika hal itu terjadi.
Bib!
Dering gawainya berbunyi. Satu buah pesan masuk, Anea lantas membukanya.
[datanglah padaku, wanita cantik!]
Sebuah kalimat yang indah ketika ia membaca siapa pengirim pesan tersebut.
Jan, lelaki tampan yang akhir-akhir ini memenuhi isi hati. Sepertinya nasibnya sedang beruntung hari ini, ikan yang sedap sudah berada di genggaman dan yang terpenting adalah Anea sepertinya menyukai Jan!
[Ok, aku sedang menuju ke sana. Tunggulah, tak akan lama.]
Dia sedang gila sepertinya. Sebelumnya Anea tak pernah menggunakan perasaan dengan pelanggan. Bukankah itu hanya sebuah pekerjaan yang tak perlu hati untuk melakukannya. Ia hanya butuh uangnya.
Jikalau biasanya para pelanggannya yang luluh dengan pesonanya, tapi tidak sekarang. Lihatlah, Anea yang malah terpesona dengan Jan.
Mobil berhenti tepat didepan Bar. Mamy Han, Bos Anea memberikan fasilitas mobil kepada setiap anak buah sepertinya agar memudahkan wanita-wanita itu datang ke tempat kerja tanpa ada halangan.
Anea tak kunjung turun bahkan saat sopir sudah membukakan pintu hingga kemudian ia menegur Anea dengan hati-hati.
“Silahkan turun nona, kita sudah sampai.”
Apa yang dilakukan Anea. Ia malah melamun! Setidaknya sebelum sang sopir membuyarkan lamunannya. Entah mengapa rasanya sedikit grogi saat akan bertemu Jan kali ini. Ada apa dengan Anea, tak seharusnya ia bersikap seperti ini. Tanpa bicara sepatah katapun ia segera keluar dari mobil dan menuju kedalam Bar.
”Santai lah Anea, dia hanya pelanggan seperti biasa. Cukup lakukan pekerjaanmu dan kau akan mendapatkan banyak uang” bisiknya pelan kepada diri sendiri.
Sebelum bertemu pelanggan, ia masuk kedalam ruangan pribadi para pekerja. Beberapa teman-temannya juga terlihat sudah siap menggoda para lelaki hidung belang. Anea meletakkan tas di lemari miliknya dan bersiap bertemu Jan.
“Anea!” itu adalah Mitha, teman Anea yang paling dekat dibanding yang lainnya.
“Hey Mitha”dengan ceria Anea menjawab.
“Sepertinya seseorang menunggumu, aku sudah berusaha menggodanya dan harus kecewa setelah dia mengatakan sedang menunggumu.” Mitha bercerita dengan wajah sedih yang dibuat-buat.
“Oh ya? Kenapa kau tak berusaha lebih keras agar dia tergoda” tawa kecil menyusul setelahnya.
“Aku tau sulit jika harus menyaingimu. Maka dengan berat hati aku harus rela melepasnya.”
“Ooh manis sekali, apakah kau sedang menyanjungku saat ini?”
“Kau tau aku berkata jujur, Ne. Tapi lupakanlah, itu dia. Lelakimu sudah menunggu lama.”
Mitha kemudian membaur dengan yang lain, berdansa dan tentu saja mencari mangsa. Anea perlahan mendekati Jan. Jantungnya berdetak kencang, mungkin jika musik di bar ini dimatikan ia bisa mendengar dengan jelas irama detakannya.
Jan tersenyum saat melihat Anea, segelas minuman sedang menemaninya. Ia menarik kursi dan mempersilahkan Anea duduk. Keduanya belum mengucapkan sepatah katapun.
Tetapi tiba-tiba Jan mengambil tangan Anea yang diatas meja dan dengan lembut menciumnya.
Ooh, bukankah itu sangat manis? Jika pria lain yang melakukannya ia tidak akan merasa aneh seperti ini. Tapi jika Jan yang melakukannya sungguh berbeda. Anea hampir terbang di buatnya, meskipun dalam hati ia malah mengutuk perbuatan Jan.
Jika Jan terlalu bersikap manis kepada Anea, bukan tidak mungkin Anea akan jatuh cinta kepada Jan. Itu adalah hal buruk bagi karirnya. Apalagi jika Mamy Han mendengarnya, wanita itu pasti akan sangat marah. Dan Anea harus berhati-hati jika tidak ingin menerima murka dari Mamy Han.
“Kau begitu spesial malam ini” lagi-lagi Jan bersikap manis.
“Bukankah aku selalu spesial setiap malam?" Anea berusaha sekuat tenaga untuk menahan deburan ombak dihatinya yang diciptakan Jan.
Kemudian Jan tersenyum simpul. Ia merasa Anea berbeda dengan gadis lain yang di Bar ini tentunya. Hal itu yang membuat Jan selalu membooking
Anea ketika datang kesini.Lokasi bar ini sangat strategis, di tengah kawasan Industri di pusat kota membuatnya tak pernah sepi dari para pelanggan. Jan salah satunya, lokasinya yang dekat dengan tempat kerja, membuatnya tak repot pergi jauh jika membutuhkan pelampiasan nafsu kelelakiannya atau hanya sedang kesepian saja. Apalagi dia tidak punya keluarga disini, Jan adalah seorang WNA asal Korea selatan yang ditugaskan oleh kantornya untuk menghandle urusan importir dari Indonesia.
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid
"Apa? Bagaimana bisa kau tidak tahu?"Anea menggeleng. Rasa panik menyergapnya seketika, seluruh sendi rasanya melemah. July yang melihat Anea syok segera mengambil Albian dari gendongan ibunya."Mari kita ke rumahku!" July menyambar lengan Anea dengan setengah memaksa agar Anea menuruti."Apa kau tahu di mana Jan pindah, July?"Ingin sekali July mengatakan "iya" pada pertanyaan Anea barusan. Tetapi sayang sekali, ia harus menjawab yang sebenarnya. Gelengan kecil July menambah sempit hati Anea."Apa kau benar-benar tak mengetahuinya? Mungkin Jan pernah bilang sesuatu atau petunjuk apa pun itu. Ayolah July... bantulah aku!" Jemari Anea meraih July seraya memohon."Maafkan aku Anea. Tapi aku benar-benar tidak mengetahui apa pun."Air mata telah di ambang pintu. Jika Anea tidak malu dengan July yang telah bersikap baik padanya, mungkin sekarang Anea telah menangis meraung-raung dan berkali memaki Jan. Sayang sekali, kali ini Anea hanya m
"Aku minta kau berubah Jan! Ingatlah dengan Albian." Ungkap Anea sebelum benar-benar mninggalkan Jan lagi.Setelah dua hari di kota, Anea harus kembali ke kampung. Sebenarnya Anea sangat takut jika Jan mengulangi kesalahannya lagi."Aku khilaf Anea. Jiwa laki-laki ku berontak setelah sekian lama tak mendapat pelampiasan." Kilah Jan saat mereka berdebat.Akhirnya Anea mengalah dan memih memaafkan Jan. Anea pun sadar jika godaan Jan yang ditinggal seorang diri memang besar. Namun Anea memperingati Jan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Pesawat membawa raga Anea terbang meninggalkan Jan lagi. Hatinya terus berdoa agar Jan benar-benar menepati Janji. Meski dalam hati kecil Anea, mengatakan Jan akan kembali berulah jika Anea terus meninggalkannya seorang diri. Maka dari itu, sepanjang perjalanan Anea memikirkan jika ia akan kembali tinggal bersama di kota.Kembali menjadi keluarga yang utuh. Ya... mungkin memang
Tiga bulan sudah semenjak Jan menikmati kegadisan Adelia. Sejak itu pula ia merasa ketagihan dan tak putus berganti wanita.Jan semakin melupakan Anea dan Albian. Nafkah untuk mereka pun, dengan tega ia pangkas seminim mungkin. Uang yang ia punya habis untuk berfoya-foya dan bermain wanita.Tanpa Jan sadari, ia telah menelantarkan keluarga kecilnya yang berada jauh dari jangkauan."Sudah lewat tanggal gajian. Mengapa belum transfer uang, sayang?" Tanya Anea lewat pesan singkat di gawainya.Setelah membaca pesan dari istrinya, Jan malah merasa jengkel dengan itu. Susah-susah ia bekerja malah harus memberikan uangnya pada Anea. "Mengapa ia tak bekerja saja seperti dulu?" Pikir Jan saat ini yang tengah kacau. Hari-hari Jan berlalu tanpa absen dengan para wanita bar. Gajinya habis untuk kesenangan itu. Bahkan saat ini ia mengambil hutang lagi di kantor, setelah melunasi huta