Jan memberi segelas anggur kepada Anea, kemudian Anea menerimanya dengan hangat.
“Kau tampak gugup, ada apa?”
“Tidak. Mungkin aku hanya perlu minum, kau cukup baik dan pengertian dengan memberikanku satu gelas.”
“Ayolah, kau bukan Anea yang kemarin ku temui.”
“Sudahlah, bukankah kau datang ke sini untuk bersenang-senang?”
“Kau benar gadisku, kau memang selalu benar!"
“Kalau begitu kemarilah, kita nikmati malam ini.”
Anea tampak mengendalikan kegugupannya, mungkin berkat anggur yang tadi diminumnya. Ia pun mengajak Jan menari dan berdansa mengikuti alunan musik. Hingga saat itu Jan menggiring Anea menuju kamar yang telah ia pesan kepada Mamy Han.
***
Anea terbangun setelah keduanya kelelahan usai pertempuran itu. Dan yang mengejutkan adalah Jan masih ada disampingnya! Bukankah biasanya para pelanggan selalu meninggalkan wanita setelah hasratnya selesai tersalurkan. Tetapi mengapa Jan menunggunya tepat di sisi Anea terbaring. Memang biasanya Anea akan keluar kamar setelah bersih-bersih namun karena mabuk ia tertidur bahkan ia tak tahu ini sudah pukul berapa.
“Jan..kau masih disini” Anea berbicara dengan memegang kepalanya yang masih sedikit pusing.
“Tenanglah, aku sudah memesan kamar ini khusus untuk menunggumu. Tidurlah dengan nyenyak hingga pagi. Jangan pedulikan Mamy Han, ia tak akan memarahimu.”
Anea semakin tak mengerti dengan sikap Jan yang semakin romantis menurutnya. Ia bisa gila dengan Jan jika terus begini.
“Kenapa kau melakukannya?”
Jan terkekeh mendengar pertanyaan Anea.
“Tidurlah, aku akan mengantarmu pulang besok pagi.”
“Kenapa kau tak memjawabku, Jan?” dengan lirih Anea kembali bertanya.
“Anggap ini bonus dariku karena aku sangat puas dengan pelayananmu itu.”
Sekejap hal itu membuat Anea sadar jika dirinya hanyalah pemuas nafsunya. Ia malu sempat mengharapkan cinta dari Jan. Anea tersenyum miring dan memilih kembali menikmati tidurnya. Ia berharap nama Jan akan hilang dari ingatannya besok pagi.
Namun apa ini!
Jan mencium kening Anea dengan penuh kasih sayang dan kelembutan.
“Oh Jan, kau sungguh kelewatan membuatku luluh dengan kehangatanmu.” Batin Anea.
***
Semalam Anea benar-benar tak pulang, ia bermalam di kamar Bar bersama Jan. Begitupun dengan janjinya, Jan menepati dengan mengantarkan Anea pulang ke apartmen-nya.
Menikmati air hangat di bath-up adalah rencana terbaik pagi ini. Air yang dipadukan dengan wangi sabun membasuh badannya dengan lembut. Benar-benar terasa menyegarkan! Sebenarnya ia ingin sedikit lebih lama menikmati mandinya, namun perutnya menuntut jatah. Anea belum makan apapun pagi ini. Ia lekas menyudahi ritual mandinya dan bergegas memakai baju.
Gegas menuju lantai bawah, ia ingin sarapan di kafe seperti biasa. Secangkir kopi dan sebuah hidangan cake dibawa pelayan kehadapannya, kemudian tiba-tiba seorang lelaki duduk di depan Anea.
Tebaklah siapa pria tersebut! Anea hampir saja melotot saat melihat Jan sudah ada didepannya lagi.
“Bukankah kau baru saja pulang, Jan?"
“Aku pulang dan mandi kemudian pergi ke sini untuk sarapan, seperti yang kau lakukan saat ini.”
“Kau bisa sarapan di Restaurant dekat kantormu, kenapa harus ke sini?”
“Aku ingin sarapan dengan pemandangan wanita cantik, sepertinya hanya kafe ini yang bagus.”
“Akuilah, kau berdusta Jan!”
Keduanya saling tersenyum untuk sesaat. Kemudian Jan memanggil waiters dan memesan sarapan.
Tak lama pesanan datang, Nasi goreng dan es teh manis menjadi menu Jan kali ini.
“Aku sangat lapar setelah semalam tenagaku habis terkuras” kerlingan nakal ia tambahkan setelah mengucapkan kalimat itu pada Anea.
“Kenapa kau minum es sepagi ini? Itu sedikit aneh.” Anea tak menanggapi dan memilih mengganti topik pembicaraan.
“Udara di sini terasa panas jika dibandingkan di negara asalku. Lihatlah pipimu sampai bersemu merah.”
Anea tau jika Jan sedang meledeknya saat ini. Pipi Anea memerah karena gombalan yang Jan lontarkan tadi. Anea tak ingin menanggapinya lagi, ia memilih menghabiskan sarapan didepannya.
Baru setengah Jan memakan isi piring, gawainya berdering. Tak menunggu lama, lekas ia mengambil panggilan tersebut. Setelahnya, orang yang di seberang telepon berbicara, nampaknya sangat serius. Jan sangat antusias mendengarnya. Anea ikut memperhatikan Jan, ada apa gerangan pagi-pagi begini sudah ada panggilan mendadak. Memang hal ini tidak ada hubungannya dengan Anea, tetapi karena Jan menelepon di depannya ia jadi penasaran.
“Baiklah akan kutangani sekarang.” Jan menyahut.
Tut!
Panggilan terputus, mimik wajahnya terlihat tidak baik. Anea mencoba bertanya apa yang terjadi.
“Apakah urusan yang sangat penting hingga kau di ganggu sepagi ini?"
“Apa kau benar-benar tak rela aku pergi meninggalkanmu? Tenanglah nona cantik, aku akan menghampirimu setelah ini, tapi aku harus pergi sekarang. Ada masalah di kantor, aku harus segera menyelesaikannya.”
“Hey, bukankah aku hanya bertanya?”
“Baiklah sayang, kau memang pemalu untuk mengakuinya. Tetapi aku harus pergi sekarang.”
Jan kembali meraih tangan Anea. Meremas lembut dan menciumnya pelan.
“Kau tahu kan, kau tidak harus selalu melakukan ini”
Jan tidak menyahut, ia memilih memanggil waiters dan membayar makanannya juga Anea. Lantas bergegas pergi setelahnya, sangat terburu-buru hingga dalam sekejap Anea tak dapat melihat sosoknya lagi.
Malam ini Anea kembali bekerja seperti biasa. Duduk dengan segelas minuman ditangan, ia tak bersemangat kali ini. Seseorang menghampirinya dan merangkul pinggangnya. Anea menoleh dan mendapati seseorang berkulit hitam setengah tua sepertinya sedang menginginkannya. Ia terpaksa meladeni walaupun sedikit malas. Bagaimana tidak, ini adalah pekerjaannya. Meskipun kadang ia mendapat pria tampan dan kaya, namun tak jarang juga ia harus melayani pria yang sama sekali tak menarik selain hanya uangnya tentu saja.
Sang pria tua meminta pelayanan kamar, Anea mengangguk walau ragu karena Jan masih memenuhi kepalanya. Mungkin masalah dikantornya belum beres hingga ia belum menghubungi lagi.
Sial!
Perlakuan pria tua itu sangat kasar. Anea yang beberapa hari terakhir terbiasa dengan lemah lembutnya Jan kini sedikit merutuki si pria tua. Yang bisa Anea lakukan hanya berharap agar lelaki jelek ini segera rampung dengan permainannya.
Setelah keluar kamar dengan membersihkan diri dahulu, Anea bergabung kembali dengan teman-temannya. Riuh suara musik dan teriakan pesta memekakan telinga. Matanya menyusuri sekeliling dan mendapatkan Mitha sedang menari dengan beberapa pria. Ia segera mendekat dan Mitha menyadarinya.
“Mari bergabung Anea.”
Tapi Anea malah menarik tangan Mitha dan membawanya menjauh dari para lelaki itu. Umpatan kesal terlontar dari salah saru pria berbaju putih.
“Kemarilah, aku sedang butuh teman.”
“Woo hooo... Aku tahu kau mencari Jan, aku tak melihatnya datang sama sekali. Apa ada masalah?”
“Entahlah, mungkin ada masalah di kantornya.”
“Maksud ku kau Anea, apa ada masalah denganmu?”
“Aku? Ti-tidak.”
“Oh, apa ini benar. Jangan bilang kau punya perasaan dengan Jan! Oh Anea, ini adalah masalah besar.”
“Aku tak bilang begitu Mitha!”
“Tapi sikapmu mengiyakan ini semua. Bagaimana kalau Mamy Han tahu, Anea. Kau akan diawasi karena Mamy Han pasti khawatir kinerjamu menurun dengan tamu yang lain.”
“Apa aku terlihat semenyedihkan itu Mitha?”
“Ada apa sayang? Ceritalah, aku akan mendengarkanmu.”
“Kau sudah tau semuanya, apalagi yang harus kuceritakan?”
“Ooo.. kau benar-benar sedang jatuh cinta sekarang ya..?"
Anea sendiri bingung kenapa ia bisa jatuh cinta dengan pelanggannya sendiri. Padahal sebelumnya hal ini tidak pernah terjadi. Anea telah menghilangkan kamus cinta dalam dirinya setelah peristiwa itu. Peristiwa yang menyeret dirinya dalam kubangan hitam berlumur dosa seperti sekarang.
Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 02.00 Wib. Sudah waktunya Bar tutup, Anea bersiap pulang. Ia mabuk lagi hari ini, otaknya hanya terisi Jan saat dalam keadaan sadar maka ia meminum banyak anggur agar tak mengingat Jan terus menerus.
Mitha yang menjadi teman baik Anea memapahnya kedalam mobil, mungkin ia akan menginap di apartment Anea karena kondisi Anea yang terlihat buruk.
Beberapa hari ini Anea sudah berpikir matang-matang dengan rencana yang akan ia jalankan.Namun saat melihat wajah polos Albian, akankah ia sanggup?Kadang ingin berontak dengan keadaan, namun apa daya badan!Anea terus mengukuhkan niat. Menebalkan hati. Albian akan lebih menderita seandainya ia tak bekerja dan terus-terusan seperti ini.Bayangkan saja, kebutuhan setiap hari semakin besar sedangkan pemasukan mereka mampet bahkan kering kerontang."Semoga dengan nekatnya Ibu, kamu menjadi anak yang beruntung di hari esok, sayang." Ucapnya pelan hampir tak terdengar seraya mengelus dan mengecup puncak kepalanya.Mungkin malam ini, adalah malam terakhir Anea tidur bersama Albian. Bahkan tidak satu malam penuh. Sore tadi, Anea telah membuat janji dengan tukang ojek desa sebelah untuk mengantarnya ke kota. Anea beralasan mengejar jam pesawat sehingga ia diwajibkan berangkat malam-malam.Anea mencontoh kaburnya Jan waktu itu.Ibunya tidak akan mungkin mengijinkan Anea kembali b
[Mit, ini sembilan juta hutangku. Terima kasih ya!] Bersamaan dengannya, Anea melampirkan sebuah bukti transaksi rekening yang tertuju pada Mitha.Tanah mereka telah berhasil dijual. Sebagian darinya untuk membayar hutang. Meski masih sisa lumayan banyak, namun mereka harus bersabar untuk mengirit-irit mengingat sejauh ini tidak adanya pemasukan.[Secepat ini? Dapat uang dari mana? Bukankah kau bilang tidak ada pemasukan lagi?] Mitha bertanya-tanya.[Kami jual kebun, hehe.] Jawab Anea sedikit malu-malu.[Ya ampun Anea! Kau bisa memakainya dulu! Mengapa sampai jual kebun?][Tak apa, Mit. Kami juga butuh makan setiap hari. Jika tidak jual kebun, bagaimana bisa dapur kami berasap?][Baiklah, tapi jika butuh apa-apa jangan sungkan hubungi aku ya!][Iyaaa..!! Thank you!]Hari berganti hari, kondisi ibunya semakin membaik karena rutin berobat dan minum suplemen dari dokter.Mereka berbahagia, nampak dari pancaran rona muka yang semakin sumringah saban hari."Ibu kangen pergi ke sawah.. Tidu
[Mam, aku ingin kembali!]Susah payah Anea mengetik dan mengirim pesan seperti itu. Lelehan hangat yang turun dari matanya pun setia menemani dengan hati perih terkoyak.Sang ibu masih terbaring tak berdaya pasca terjatuh dua minggu lalu. Tentu saja sudah berobat kesana-kemari dengan menghabiskan rupiah yang tak sedikit.Uang yang mereka pakai pun sebagian dari hasil hutang.Anea hanya bisa menghubungi sahabatnya, Mitha dengan masalah ini. Meski mereka benar sahabat, namun bagaimanapun Anea sungkan jika harus terus meminjam uang, sedangkan hutangnya sudah menumpuk tanpa tahu cara supaya bisa melunasi. Dari seberang sana, orang yang menerima pesan dari Anea terseyum lebar. Gelengan kepala ia lakukan berulang kali seraya menarik ujung bibirnya ke atas setelahnya.[Sudah kubilang waktu kau keluar! Kau pasti akan menyesali keputusanmu!]Anea tak mengerti apa maksud balasan dari mamy Han. Apakah itu berati ia tak mau mempekerjakan dirinya lagi?[Bagaimana, Mam?] Anea harus mer
"Ibu..." Anea berhenti pada kata itu. Keadaan pahit ini harus dikupas agar semua jelas. Kepala itu tertunduk dalam, bahkan tiba-tiba lidah terasa kelu untuk melanjutkan kata.Ibunya menepuk pundak beberapa kali tanda menguatkan. "Ceritalah dengan ibu, Anea...!"Kalimat yang didengar malah mengundang gerimis di kelopak mata. Ia menengadahkan pandangan agar bendungan itu tak merembes."Anea tidak tahu kenapa semua jadi seburuk ini, Bu...""Ada apa sebenarnya dengan kalian, Anea?"Hening, Anea butuh waktu memantabkan hati untuk menjawabnya. Sang ibu setia menunggu tanpa memaksa Anea lebih keras."Ayahnya Albian.. menghilang, Bu!"Sang ibu terkejut hingga kedua kilau di mata itu melebar. Setelah berhasil mengatur napas sejenak, ia kembali membuka suara."Menghilang bagaimana? Apa sesuatu yang buruk telah terjadi padanya?" Tanya sang ibu tak paham."Bukan Bu... Dia sengaja meninggalkan kami.." Ucap Anea dengan linangan air mata yang tak sanggup ia tahan lagi.Genangan air mata sang ibu pun
Kriet!Pintu setengah reyot itu telah terbuka tanpa kunci yang menghalangi.Anea masuk melalui lubang perseginya dengan langkah lesu terseok.Hening.Mungkin ibunya belum pulang dari sawah. Kedua adiknya mungkin ikut membantu. Maklum, sejak Jan jarang memberi nafkah, kini pengeluaran di rumah kecil ini semakin membengkak. Hal itu membuat ibunya pontang-panting mengerjakan sawah sendiri karena jika harus membayar orang untuk bekerja, ia merasa sayang uangnya. Lebih baik mereka gunakan untuk kebutuhan Albian. Alhasil kedua adiknya juga ikut membantu karena kasihan dengan ibu mereka, meskipun mereka masih sekolah.Anea mencoba menghela napas. Menetralkan rasa gugupnya yang membayangi."Kuatkan mama ya, sayang.." Anea mengelus kepala Albian yang sedang berceloteh.Satu tangannya meletakan koper di pojokan, menurunkan sang anak dari gendongan, kemudian mendaratkan bobot tubuh pada kursi kayu berwarna coklat yang selalu menemani keluarga kecil ini bercengkerama.Albian merangkak kesana-kema
Mitha duduk di depan Anea yang hanya terpisah oleh sebuah meja. Saat menatap koper yang Anea bawa, ia yakin jika sahabatnya itu sedang mempunyai masalah."Apa yang terjadi, Anea?" Tanya Mitha segera."Aku tidak tahu, Mitha. Masalah menimpaku bertubi-tubi, rasanya aku sudah tidak sanggup!" Sendu ia berucap.Mitha menggelengkan kepala dan menarik tubuh condongnya, sedikit menjauh dari meja."Kau tidak pernah berbicara padaku lagi. Itu yang ku sayangkan, Anea.""Maafkan aku, Mit. Aku hanya tidak mau kau tahu jika aku selalu dalam keadaan yang tidak baik.""Sudahlah, Ne. Sekarang katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"Anea menggigit bibir bawahnya. Lidah itu terasa kelu untuk memaparkan keadaan. Malu rasanya! Namun memang sekarang hanya Mitha yang dapat melegakan hatinya."Aku tidak tahu Jan ada di mana..."Mitha melotot setelah mendengar pengakuan Anea."Apa maksudmu, Anea? Kau tid