Share

Bab 2 Bertemu Pito

Davi menatap list kelas 1-10 di hadapannya. Ada beberapa nama yang sepertinya dia kenal karena berasal dari SMP asalnya dulu. Namun, karena tak dekat dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan, Davi pasrah jika memamng harus mendapatkan teman sebelah dari sekolah lain. Di kejauhan dia melihat Matari sedang bercanda dengan teman-teman barunya. Dia tahu, hal itu pasti mudah untuk gadis itu. Matari gampang bersosialisasi, berbeda jauh dengan dirinya.

“Dari SMP Negeri C ya? Adek gue mau daftar di sana,” kata seorang cowok berkulit gelap di sebelahnya.

Seragam SMP dan badge asal sekolah memang menjadi salah satu hal yang bisa menjadi identitas selama menjadi siswa baru di sini. Untungnya minggu depan mereka semua sudah bisa memakai seragam SMA dengan badge sekolah yang sama.

“Eh, iya. Hehehe, kebetulan deket dari rumah gue,” sahut Davi sambil tersenyum.

“Gue Kiwil,” sahut cowok itu sambil mengulurkan tangannya.

“Davi. Kiwil? K-I-W-I-L?” sambut Davi.

“Iyes. Bukan nama asli. Nama panggilan dari SD sih karena kalau rambut gue panjang dikit kriwil-kriwil. Jadi kebiasaan deh sampai sekarang. Lo panggil aja gue itu,” sahut Kiwil sambil tertawa.

“Oh, kirain. Siap, Bung Kiwil!” timpal Davi sambil tertawa.

“Udah punya temen sebangku lo?” tanya Kiwil.

“Belum sih. Nggak banyak yang gue kenal dari SMP gue,” sahut Davi.

“Mau duduk sama gue, nggak?” tanya Kiwil lagi.

Davi mengangguk. “Boleh, boleh aja. Tapi jangan belakang banget ya, boleh tuh kalau nomor 2 atau nomor 3 dari belakang.”

“Tenang, gue juga minus kok. Cuma males pakai kacamata.”

Davi sumringah. Kiwil tampaknya baik. Dia bersyukur, bisa dapat teman sebelah dalam waktu singkat. Dia sudah bertekad, dia nggak akan bersikap sepasif waktu SMP dulu. Dia harus punya banyak teman dan bergaul. Bukannya banyak orang bilang, masa yang paling indah adalah masa SMA? Dia tak boleh menyia-nyiakan masa-masa ini.

BRUK!

Davi hampir terpental saat seorang cewek lewat dan menabraknya secara tak sengaja. Cewek itu memakai baju SMP tanpa badge, sehingga Davi pun tak bisa menerka dia berasal darimana. Bahkan badge nama dia pun tak ada.

“Maaf, maaf, sakit ya?” tanya cewek itu pada Davi. “Marsha, kamu jangan lari-lari dong! Engap nih! Tuh lihat, aku sampai nabrak orang nih!”

Davi menatap cewek bernama Marsha yang berdiri tak jauh dari mereka. Rambut kecokelatannya yang terang dan mencolok tentu menarik perhatian siapapun di dekatnya. Namun, Davi tahu, Marsha adalah tipikal cewek angkuh yang enggan berurusan dengan siapapun. Cewek-cewek seperti itu banyak ditemuinya saat gathering antar keluarga pejabat di seluruh pelosok Jakarta. Sikap mereka kurang lebih sama.

“Lagian elo sih jalan lambat banget!” seru cewek bernama Marsha itu.

“Iya, iya! Maaf deh!” timpal cewek yang baru saja menabrak Davi tersebut. “Eh, beneran kamu nggak papa kan?”

Davi tersenyum. “Santai aja, nggak papa kok gue!”

Cewek berambut model bob pendek itu tertegun menatap Davi terlalu lama, entah kenapa. Hingga akhirnya cewek lain bernama Marsha itu menariknya segera untuk pergi ke kelas mereka.

“Gue denger, dia pakek jalur belakang,” bisik Kiwil pada Davi.

Davi tak menyahut. Kiwil melanjutkan informasinya lagi.

“Dia dulu anak salah satu SMP swasta, makanya lo bisa lihat, rambutnya boleh dicat warna macem-macem kan? Belum aja kena operasi dadakan. Denger-denger, SMA ini sering ngadain kaya gituan,” kata Kiwil lagi.

Davi merasa Kiwil seperti seorang informan. Baru juga sekolah 1 minggu, itupun MOS, dia sudah memegang banyak informasi-informasi ringan. Dia jadi teringat Abdi, dulu, Abdi yang selalu punya informasi-informasi seperti ini saat dia SMP. Sayang, Abdi, sahabat masa SMP-nya itu memilih sekolah militer di luar kota.

“Ini kelas 1-10 ya, Dav?” seorang anak laki-laki bertubuh tambun dan menjulang tinggi berdiri di belakang mereka berdua.

“Iya,” sahut Davi bingung, siapa dia? Sok kenal banget?

“Kata temen gue, gue di sini. Trus barusan cek di daftar nama eh ternyata bener, ada,” kata si cowok sambil mengulum permen karetnya.

“Berarti lo sekelas sama kami!” kata Kiwil.

“Hmmm, gitu ya. Asyiiiik, ada yang kenal!” sahut si cowok dengan wajah polos.

“Nama lo siapa, btw?” tanya Kiwil sok kenal. “Gue Kiwil, ini temen sebelah gue nanti, namanya Davi.”

“Petter Oktavianus, panggil aja Pito, gue dari SMP C Menteng.” sahut cowok itu sambil tersenyum.

“Pito? Lo Pito si drummer?” tanya Davi curiga.

“Ya iyalah! Kalau nggak ngapain tadi gue sok kenal sama lo?”ujar Pito kesal.

Davi sungguh tak percaya. Pito yang dikenalnya saat SMP, meskipun hanya sepintas karena tak pernah dekat, berbeda jauh dari segi fisik saat ini. Pito yang dikenalnya, dulu kurus. Sedangkan cowok di hadapannya itu, hampir 3 kali lebih besar. Tubuhnya yang tinggi, membuatnya semakin seperti raksasa berkulit terang.

“Gue nggak ngenalin tadi, maaf ya?! Hahaha,” sahut Davi.

“Iya, gue beda banget ya? Gue emang menggendut waktu libur sekolah karena banyak makan. Sadar-sadar udah segede ini, ya maklum aja lo pangling lihat gue,” timpal Pito.

“Tenang aja, sob! Masih dalam masa pertumbuhan!” seru Kiwil.

Pito tertawa. Davi merasa lega, ternyata di kelasnya ada yang berasal dari SMP yang sama dengan dirinya. Pito, si drummer yang pernah populer karena satu band dengan Matari, mantan pacarnya, waktu SMP.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status