Senin yang dinanti sebagai siswi SMA datang. Matari dan Sandra mengecek kembali barang bawaan mereka dan duduk manis di kursi belakang di mobil Tante Dina, Ibunya Sandra. Di sebelah Tante Dina ada Kak Bulan, kakak perempuan Matari, yang berniat menebeng hingga stasiun kereta.
“Kalian cek dulu parkiran sepedanya, jalurnya gimana, kalau emang mau naik sepeda ke sekolah. Kalau kelihatannya bahaya, mending naik bajaj aja berdua. Kalau pas Mama bisa anter, ya nanti Mama anterin,” kata Tante Dina mengingatkan lagi.
“Siaaaap!” sahut Matari dan Sandra kompak.
Tante Dina berjalan perlahan meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, Mbok Kalis, ART rumah mereka, menutup pagar dengan hati-hati agar tidak berisik. Eyang Putri masih tidur. Sudah beberapa hari ini Eyang Putri sakit. Sehingga siapapun di rumah berusaha setenang mungkin. Berjaga-jaga agar Eyang Putri bisa beristirahat dengan baik.
Setelah menge-drop Matari dan Sandra, Tante Dina langsung bertolak menuju Stasiun Tebet untuk menge-drop Kak Bulan.
“Upacara pertama, nggak lupa bawa topi kan lo?” tanya Matari.
“Tenaaaang, udah gue siapin dari semalem,” sahut Sandra yakin. “Eh, sebelum masuk, mau ngecek parkiran sepeda nggak?”
“Boleh, ayok!” seru Matari sambil berjalan mengikuti Sandra menuju parkiran sepeda.
Ternyata parkiran sepeda bergabung dengan parkiran sepeda motor. Tak ada tempat khusus seperti di SMP-nya dulu. Parkiran sepeda motor mulai penuh saat mereka datang, para kakak senior yang sudah memiliki SIM diperbolehkan parkir di sini. Untuk mobil, juga sudah disediakan area khusus. Tapi, pihak sekolah sama sekali tidak mengizinkan siapapun yang tidak memiliki SIM untuk parkir di area mereka. Makanya, selalu ada security yang stand by untuk mengecek saat pagi seperti ini.
Namanya anak SMA, tetap aja ada yang tetap membawa kendaraan bermotor meski tanpa SIM. Bagi yang nekat, ada beberapa parkir liar di belakang sekolah, dekat dengan perkampungan. Jika punya budget lebih memang bisa menitipkan ke beberapa warung nasi yang berjajar, dengan biaya yang tak murah setiap bulannya.
“Kayanya kita harus dateng pagian, biar sepedanya bisa sebelahan, kalau nggak bakalan dapet sisa di deket selokan, bau banget tuh!” kata Sandra.
“Gue ngebajaj aja deh, San. Atau naik angkot. Males gue bawa sepeda,” sahut Matari akhirnya yang melihat parkiran untuk pesepeda kurang diperhatikan.
"Gimana kalau kita coba 1 minggu dulu bawa sepeda?” usul Sandra.
Melihat Sandra yang begitu antusias, Matari akhirnya mengalah.
“Ya udah, gue nurut,” jawab Matari tak tega.
**********************************************************************
Hari pertama masuk setelah upacara hari Senin yang lumayan panjang, Matari mendapat kursi di belakang tempat duduk Ayla dan Dinda. Mereka berbaik hati memilihkan tempat duduk untuk Matari, agar Matari tak kesusahan mencari lagi.
Ayla dan Dinda memilih duduk di barisan ke 3 pojok dekat dengan jendela. Matari duduk di barisan ke empat, dekat dengan jendela juga. Sebelahnya masih kosong. Matari pikir, siapapun boleh di sana. Lagipula tak banyak yang dikenalnya di kelas 1-3. Selang berapa lama, akhirnya seorang cowok memakai ransel warna hitam, datang. Topi baseball yang dipakainya membuat Matari tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.
“Kosong?” tanya cowok itu.
“Kosong sih,” sahut Matari pendek.
“Gue di sini ya,” kata cowok itu lagi.
Mengikuti cowok bertopi itu, di belakangnya dua cowok lain duduk di deretan ke 5, deretan paling akhir. Mereka berisik dan gemar bikin lelucon aneh bahkan sejak mereka datang.
“Lumayan, dapet barisan nomor 4,” kata si cowok bertopi pada kedua temannya.
“Tumben mau duduk sama cewek lo?” sahut salah satunya.
“Nggak papa, dia nggak kaya cewek kok? Ya kan?” seru si cowok bertopi asal dan langsung disambut tawa teman-temannya.
“Ih, apa sih, nggak lucu tahu. Emangnya lo udah ngizinin, Ri?” kata Dinda menyamber omongan.
Matari cuma meringis.
“Udah kan ya? Gue Praja, btw,” sahut cowok bertopi asal menyebutkan namanya.
Matari mengangguk pasrah. “Matari.”
“Gue Beno dan ini sahabat gue, Hafis,” sambung dua cowok di belakang mereka.
“Haiiii, gue Matari,” timpal Matari kikuk, mengulang namanya.
Bagaimana tidak kikuk, ini kali pertamanya duduk di sebelah cowok saat duduk di bangku sekolah. Meskipun Praja dan teman-temannya tampak bukan anak yang bandel, tapi tampak jelas mereka bukan tipe yang serius belajar. Wajah mereka lawak banget. Selain itu tampaknya mereka suka bertingkah konyol dan garing.
“Eh, tukeran kursi dong,” kata Praja. “Gue yang deket jendela ya, please?”
Matari menarik napas kemudian berdiri. “Ya udah, sok atuh, mangga.”
“Mangga mah dipetik dong, hahahahaha!” timpal Beno garing, diikuti tawa Hafis dan Praja.
Matari cuma ikut tersenyum tipis sambil melirik Ayla dan Dinda. Mereka berdua cuma bisa menepuk jidat mereka. Kemudian setelah bertukar kursi, Praja duduk santai di sebelah Matari dan mencoleknya sekali lagi.
“Kenapa lagi?” tanya Matari kesal.
“Ada pulpen nggak lo?” tanya Praja.
“Pulpen?” timpal Matari sekali lagi.
“Iya, pulpen. Emang lo nggak tahu pulpen buat apa? Itu loh yang buat nulis?” sahut Praja disambut tawa Beno dan Hafis.
“Mungkiiin dia kalau nulis masih pakai bulu ayam kali, Ja, kaya jaman nenek moyang kita???? HAHAHAHA!” seru Hafis sambil tertawa.
Praja tertawa. Bahkan Beno tertawa sampai terpingkal-pingkal. Matari sampai bingung melihat tingkah mereka.
“Bukan gitu, ini kan hari pertama sekolah, masa lo nggak bawa pulpen?” sanggah Matari kesal.
“Kalau bisa minjem, ngapain beli?” jawab Praja sambil seenaknya mengambil kotak pensil Matari dan mencari-carinya sendiri seakan-akan mereka sudah dekat satu sama lain.
Matari akhirnya pasrah saat salah satu bolpoinnya diambil Praja tanpa permisi.
“Mau pindah aja apa?” tanya Ayla merasa kasihan.
Matari menyapukan pandangan di kelas 1-3 itu, semuanya sudah penuh dan memiliki pasangan mereka masing-masing. Tak ada kursi tersisa.
“Nggak usah deh, La, thank you,” jawab Matari.
“Kalau mereka macem-macem ngomong ke gue aja ya,” kata Ayla.
Matari mengangguk.
“Emang gue bakalan macem-macem kaya gimana, Ayla Adriana Santoso?” tanya Praja.
“Lho? Kok lo tahu nama gue?” seru Ayla.
“Ya tahulah. Seluruh sekolah juga banyak yang tahu kali. Lo kan terkenal,” jawab Praja.
Ayla mencubit tangan Praja. “Diem lo! Kalo nggak, gue suruh pindah ke depan, deketan sama guru, mau lo?”
Praja hanya mengerang sakit. Matari tertegun sejenak. Nama lengkap Ayla yang disebutkan oleh Praja terdengar tidak asing. Tapi dia sendiri lupa, pernah mendengarnya di mana. Mungkin benar, Ayla adalah orang yang terkenal. Tapi terkenal soal apa, Matari tak tahu. Toh nyatanya Ayla tampak seperti murid yang biasa saja, meskipun yah, barang-barang yang dipakainya bermerk, tapi itu wajar. Banyak yang seperti Ayla di sekolah ini. Matari sudah melihatnya beberapa kali.
Dentingan alat musik keyboard mengalun pelan. Matari tahu itu intro lagu Hoobastank-The Reason. Tak seperti versi aslinya, ada intro tambahan panjang dari gitaris klasik setelahnya.Café rumahan yang tak terlalu besar di bilangan Jakarta Selatan, yang sebagian besar bertema outdoor, memamerkan sound system-nya yang minimalis tapi berkualitas. Café itu penuh dengan siswa-siswi kelas 11 IPS 1, yang salah satu siswinya mengubah café sedemikian rupa sehingga bisa menampung kurang lebih 50 orang.Matari baru tahu, Priscilla punya café rumahan kecil di depan rumahnya. Ulang tahun sweet seventeennya kali ini, diadakan di café rumahan miliknya sendiri. Waitress-nya saja terbatas, karena dari kalangan keluarga sendiri.“I'm not a perfect person… There's many things I wish I didn't do…,” si vokalis mengawali dengan suara yang mirip-mirip penyanyi aslinya, serta merta mem
Entah bagaimana Arai dan gengnya menyelesaikan permasalahan mengenai Sindhu. Namun, seminggu kemudian, Sindhu masuk dengan beberapa plester serta perban di wajah dan kakinya, setelah sebelumnya dia tak masuk 2 hari. Dia mengaku jatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Tapi Matari tahu, itu ulah Arai dan para cecunguk GWR.Yang lebih menakjubkan, Sindhu sudah tak berani menatap Matari secara terang-terangan. Sesekali jika kepergok, dia langsung memalingkan muka. Dia juga berubah menjadi lebih pendiam dan tak banyak omong seperti sebelumnya.“Rai, lo apain sih dia?” tanya Matari saat jam pelajaran olahraga berlangsung.Arai yang sedang menunggu giliran sepakbola, hanya tertawa-tawa.“Udah gue bilang kan, kalo permasalahan kandang sendiri mah nggak akan ketahuan. Gue jamin,” jawab Arai mengambang.“Dia bilangnya jatuh dari motor, itu beneran?” tanya Matari.“Ya enggaklah.”“Trus?&r
Setelah menceritakan semua yang dia dengar dari Daffa, wajah Arai tampak konyol. Dia malah setelah itu tertawa-tawa. Gigi taringnya, yang dulu menarik, sekarang terlihat menyebalkan bagi Matari.“Tenang, Ri. Tenaaaang aja. Gue mau kasih tahu kabar mengejutkan soal dia buat lo,” kata Arai kemudian.“Apaan tuh?” tanya Matari.“Kalo ada tambahan cerita gini, gue jadi ikutan pengen mukulin dia.”Matari tampak bingung. Arai kemudian melanjutkan bicara.“Jadiiii, anak-anak GWR itu mau mukulin dia udah lama. Kayanya sih minggu depan bakalan mukulin dia.”“Hah? Rame-rame?”“Iya, tapi aslinya tetep 1 lawan 1 lah, cuma emang kita dateng bareng-bareng. Mukulinnya gantian aja.”Matari bergidik takut.“Hei, udah biasa kaya gini di geng gue. Target sekolah lain emang lagi dipending dulu, mengingat kita diawasin banget kan sekarang sejak desas-desus peredaran
Matari menghela napas, saat malam minggu itu, Arai untuk kesekian kalinya muncul lagi di rumahnya. Hebatnya, Tante Dina sekarang akrab dengannya. Bahkan Ayah, juga secara terang-terangan menyapa dengan lebih ramah seperti saat menyapa teman-teman perempuan Matari.Ayah bahkan tak pernah ramah pada Iko, tetangganya. Ataupun Praja, yang dulu sering mengantarkannya perempuan.“Elo kenapa tobatnya pas udah putus, bego? Nggak inget lo dulu nggak berani masuk ke sini?” ledek Sandra yang akan pergi bermalam mingguan dengan Cakra, seperti biasanya.“Diem aja lo bawel! Kan gue udah sering bilang, kalo statusnya temen, lebih santai,” jawab Arai membela diri.Matari cuma terkekeh dan memberikan asbak pada Arai. Cowok itu sedang merokok di sudut teras.“Auklah, gelap! Gue ke sebelah dulu ya, mau fotokopi dulu. Si Cakra nanti ngejemput di situ. Gue udah bilang nyokap sih, Ri,” kata Sandra sambil membuka pagar.Matari m
Seluruh SMA Negeri dan Swasta yang mendaftar, akan datang bertanding di sekolah Matari secara bergantian merebutkan piala Basket antar SMA se-DKI. Seperti biasa, untuk acara pembukaan, banyak ditampilkan acara-acara penghibur seperti tari tradisional, paduan suara hingga cheers yang Bersatu dengan para breakdancer.Dari tempat duduk penonton, Matari bisa melihat bahwa Sindhu cukup mahir beratraksi meskipun tubuh cowok itu tak setinggi yang lain. Mengingat proporsi tubuhnya juga tambun.“Gue kaya liat bola hidup lagi beraksi tahu nggak?” ledek Kian berbisik pada Matari.Matari cuma tertawa kecil. Matari sejujurnya tak terlalu fokus. Karena acara ini, dia sebenarnya juga didapuk jadi panitia bergabung dengan para volunteer dari sekolah lain.Namun, karena dia ditunjuk ambil bagian di keamanan acara, tugasnya hanya mondar-mandir di area penonton, area sekitar lapangan, area luar dan lain-lain. Patrolilah istilahnya.“Gue patrol
Jam kosong hadir setelah sekian lama. Matari dan teman-teman di kelasnya bergiliran ke kantin untuk diam-diam membeli makanan. Sesuai arahan Daffa, agar pergi tak bersamaan dan cepat kembali. Berjaga-jaga kalau ada guru piket yang datang mengecek tugas yang diberikan.Dalam beberapa hal, Matari sudah mulai enjoy ada di kelas ini. Meskipun saat istirahat, dia akan nongkrong dengan Praja cs, namun, kelas ini tak terlalu buruk, meskipun Sindhu membuatnya tak nyaman.Matari baru kembali dari kantin, duduk bersama berdekat-dekatan dengan Kian, Yana, Priscilla dan Anya. Mereka sedang heboh membahas cerita hantu yang sedang hits menyebar di kalangan sekolah mereka. Kisah ini dialami oleh para anak kelas 10 yang kemahnya kali ini diadakan di sekolah, karena permintaan para wali murid.Sebagian besar dari mereka merasa keberatan diadakan di bumi perkemahan yang biasanya. Mau tak mau, akhirnya kemah diadakan di sekolah dengan mendirikan tenda di tepi-tepi lapanga