Share

Bab 3 Sekumpulan Orang yang Unik

Senin yang dinanti sebagai siswi SMA datang. Matari dan Sandra mengecek kembali barang bawaan mereka dan duduk manis di kursi belakang di mobil Tante Dina, Ibunya Sandra. Di sebelah Tante Dina ada Kak Bulan, kakak perempuan Matari, yang berniat menebeng hingga stasiun kereta.

“Kalian cek dulu parkiran sepedanya, jalurnya gimana, kalau emang mau naik sepeda ke sekolah. Kalau kelihatannya bahaya, mending naik bajaj aja berdua. Kalau pas Mama bisa anter, ya nanti Mama anterin,” kata Tante Dina mengingatkan lagi.

“Siaaaap!” sahut Matari dan Sandra kompak.

Tante Dina berjalan perlahan meninggalkan pekarangan. Di belakang mereka, Mbok Kalis, ART rumah mereka, menutup pagar dengan hati-hati agar tidak berisik. Eyang Putri masih tidur. Sudah beberapa hari ini Eyang Putri sakit. Sehingga siapapun di rumah berusaha setenang mungkin. Berjaga-jaga agar Eyang Putri bisa beristirahat dengan baik.

Setelah menge-drop Matari dan Sandra, Tante Dina langsung bertolak menuju Stasiun Tebet untuk menge-drop Kak Bulan.

“Upacara pertama, nggak lupa bawa topi kan lo?” tanya Matari.

“Tenaaaang, udah gue siapin dari semalem,” sahut Sandra yakin. “Eh, sebelum masuk, mau ngecek parkiran sepeda nggak?”

“Boleh, ayok!” seru Matari sambil berjalan mengikuti Sandra menuju parkiran sepeda.

Ternyata parkiran sepeda bergabung dengan parkiran sepeda motor. Tak ada tempat khusus seperti di SMP-nya dulu. Parkiran sepeda motor mulai penuh saat mereka datang, para kakak senior yang sudah memiliki SIM diperbolehkan parkir di sini. Untuk mobil, juga sudah disediakan area khusus. Tapi, pihak sekolah sama sekali tidak mengizinkan siapapun yang tidak memiliki SIM untuk parkir di area mereka. Makanya, selalu ada security yang stand by untuk mengecek saat pagi seperti ini.

Namanya anak SMA, tetap aja ada yang tetap membawa kendaraan bermotor meski tanpa SIM. Bagi yang nekat, ada beberapa parkir liar di belakang sekolah, dekat dengan perkampungan. Jika punya budget lebih memang bisa menitipkan ke beberapa warung nasi yang berjajar, dengan biaya yang tak murah setiap bulannya.

“Kayanya kita harus dateng pagian, biar sepedanya bisa sebelahan, kalau nggak bakalan dapet sisa di deket selokan, bau banget tuh!” kata Sandra.

“Gue ngebajaj aja deh, San. Atau naik angkot. Males gue bawa sepeda,” sahut Matari akhirnya yang melihat parkiran untuk pesepeda kurang diperhatikan.

"Gimana kalau kita coba 1 minggu dulu bawa sepeda?” usul Sandra.

Melihat Sandra yang begitu antusias, Matari akhirnya mengalah.

“Ya udah, gue nurut,” jawab Matari tak tega.

**********************************************************************

Hari pertama masuk setelah upacara hari Senin yang lumayan panjang, Matari mendapat kursi di belakang tempat duduk Ayla dan Dinda. Mereka berbaik hati memilihkan tempat duduk untuk Matari, agar Matari tak kesusahan mencari lagi.

Ayla dan Dinda memilih duduk di barisan ke 3 pojok dekat dengan jendela. Matari duduk di barisan ke empat, dekat dengan jendela juga. Sebelahnya masih kosong. Matari pikir, siapapun boleh di sana. Lagipula tak banyak yang dikenalnya di kelas 1-3. Selang berapa lama, akhirnya seorang cowok memakai ransel warna hitam, datang. Topi baseball yang dipakainya membuat Matari tak bisa melihat wajahnya dengan jelas.

“Kosong?” tanya cowok itu.

“Kosong sih,” sahut Matari pendek.

“Gue di sini ya,” kata cowok itu lagi.

Mengikuti cowok bertopi itu, di belakangnya dua cowok lain duduk di deretan ke 5, deretan paling akhir. Mereka berisik dan gemar bikin lelucon aneh bahkan sejak mereka datang.

“Lumayan, dapet barisan nomor 4,” kata si cowok bertopi pada kedua temannya.

“Tumben mau duduk sama cewek lo?” sahut salah satunya.

“Nggak papa, dia nggak kaya cewek kok? Ya kan?” seru si cowok bertopi asal dan langsung disambut tawa teman-temannya.

“Ih, apa sih, nggak lucu tahu. Emangnya lo udah ngizinin, Ri?” kata Dinda menyamber omongan.

Matari cuma meringis. 

“Udah kan ya? Gue Praja, btw,” sahut cowok bertopi asal menyebutkan namanya.

Matari mengangguk pasrah. “Matari.”

“Gue Beno dan ini sahabat gue, Hafis,” sambung dua cowok di belakang mereka.

“Haiiii, gue Matari,” timpal Matari kikuk, mengulang namanya.

Bagaimana tidak kikuk, ini kali pertamanya duduk di sebelah cowok saat duduk di bangku sekolah. Meskipun Praja dan teman-temannya tampak bukan anak yang bandel, tapi tampak jelas mereka bukan tipe yang serius belajar. Wajah mereka lawak banget. Selain itu tampaknya mereka suka bertingkah konyol dan garing.

“Eh, tukeran kursi dong,” kata Praja. “Gue yang deket jendela ya, please?”

Matari menarik napas kemudian berdiri. “Ya udah, sok atuh, mangga.”

“Mangga mah dipetik dong, hahahahaha!” timpal Beno garing, diikuti tawa Hafis dan Praja.

Matari cuma ikut tersenyum tipis sambil melirik Ayla dan Dinda. Mereka berdua cuma bisa menepuk jidat mereka. Kemudian setelah bertukar kursi, Praja duduk santai di sebelah Matari dan mencoleknya sekali lagi.

“Kenapa lagi?” tanya Matari kesal.

“Ada pulpen nggak lo?” tanya Praja.

“Pulpen?” timpal Matari sekali lagi.

“Iya, pulpen. Emang lo nggak tahu pulpen buat apa? Itu loh yang buat nulis?” sahut Praja disambut tawa Beno dan Hafis.

“Mungkiiin dia kalau nulis masih pakai bulu ayam kali, Ja, kaya jaman nenek moyang kita???? HAHAHAHA!” seru Hafis sambil tertawa.

Praja tertawa. Bahkan Beno tertawa sampai terpingkal-pingkal. Matari sampai bingung melihat tingkah mereka.

“Bukan gitu, ini kan hari pertama sekolah, masa lo nggak bawa pulpen?” sanggah Matari kesal.

“Kalau bisa minjem, ngapain beli?” jawab Praja sambil seenaknya mengambil kotak pensil Matari dan mencari-carinya sendiri seakan-akan mereka sudah dekat satu sama lain.

Matari akhirnya pasrah saat salah satu bolpoinnya diambil Praja tanpa permisi. 

“Mau pindah aja apa?” tanya Ayla merasa kasihan.

Matari menyapukan pandangan di kelas 1-3 itu, semuanya sudah penuh dan memiliki pasangan mereka masing-masing. Tak ada kursi tersisa.

“Nggak usah deh, La, thank you,” jawab Matari.

“Kalau mereka macem-macem ngomong ke gue aja ya,” kata Ayla.

Matari mengangguk.

“Emang gue bakalan macem-macem kaya gimana, Ayla Adriana Santoso?” tanya Praja.

“Lho? Kok lo tahu nama gue?” seru Ayla.

“Ya tahulah. Seluruh sekolah juga banyak yang tahu kali. Lo kan terkenal,” jawab Praja.

Ayla mencubit tangan Praja. “Diem lo! Kalo nggak, gue suruh pindah ke depan, deketan sama guru, mau lo?”

Praja hanya mengerang sakit. Matari tertegun sejenak. Nama lengkap Ayla yang disebutkan oleh Praja terdengar tidak asing. Tapi dia sendiri lupa, pernah mendengarnya di mana. Mungkin benar, Ayla adalah orang yang terkenal. Tapi terkenal soal apa, Matari tak tahu. Toh nyatanya Ayla tampak seperti murid yang biasa saja, meskipun yah, barang-barang yang dipakainya bermerk, tapi itu wajar. Banyak yang seperti Ayla di sekolah ini. Matari sudah melihatnya beberapa kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status