"Ezar, aku melepaskanmu."
Kalimat pertama yang keluar dari bibir Rose sejak kedatangannya lima belas menit lalu ke kafe tempat Ezar bekerja paruh waktu, nyatanya mampu melunturkan senyum laki-laki itu dalam sekejap.
"Rose," panggil Ezar. Ditatapnya lekat-lekat manik mata Rose. "Kenapa begini?"
"Kenapa apanya? Aku akan menikah, tentu saja kita harus berpisah," ujar Rose.
"Sudah kukatakan, aku akan mencari jalan keluarnya. Kau hanya perlu menunggu dan bersabar. Apa sesulit itu untukmu?"
"Sampai kapan? Ezar, kalau kau mau, kita bisa melakukannya bersamaan. Kita bisa menikah dan kau tetap melanjutkan pendidikanmu."
Ezar menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak bisa, itu tidak semudah yang kau bayangkan. Aku tidak mau membawamu dalam kesusahan hidup bersamaku."
"Aku tidak peduli. Aku sudah mengatakannya berulang kali bahwa aku mencintaimu apa adanya. Kenapa kau tidak mengerti? Kadang aku berpikir kau tidak benar-benar mencintaiku."
Ezar mengerang. Di hadapannya, Rose tampak menunggu penjelasan darinya sementara dia saja tidak mengerti bagaimana caranya menjelaskan bahwa menikah tak semudah kelihatannya.
"Rose, kalau begitu untuk apa aku bekerja keras demi menyelesaikan pendidikanku kalau bukan karenamu? Aku sungguh-sungguh mencintaimu," ujar Ezar.
Kedua mata Rose mulai berkaca-kaca. "Kalau kau sungguhan mencintaiku, kau tidak akan membiarkan aku menikah dengan orang lain, Zar!"
"Rose, kau jelas tahu aku tidak bisa melamarmu dalam waktu dekat. Pendidikanku belum selesai, dan aku tidak mungkin melamarmu dengan tangan kosong." Ezar nampak frustasi sementara Rose memalingkan wajahnya, mencoba meredam debar tak menyenangkan yang bersemayam di dada.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain selain menerima perjodohan ini," putusnya. "Pilihannya hanya ada dua. Kau yang menikahiku, atau Reega. Apalagi, orang tua kami sudah sepakat memajukan tanggal pernikahan. Jadi, waktu sebulan yang kuberikan padamu sebelumnya, sudah tak berlaku lagi.”
"Pikirkan lagi baik-baik, Rose. Aku akan mencari jalan keluarnya untuk kita." Ezar masih berusaha membujuk Rose.
"Zar, aku selalu bisa menunggumu selama apa pun itu, tapi orang tuaku tidak." Rose menarik napasnya sebelum berdiri. "Sekali lagi, Ezar, aku ... melepaskanmu."
***
"Sudah kuduga, dia pasti melarikan diri dan menghindar darimu terlepas dari pekerjaannya." Felix geram melihat gelagat sang sahabat yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
Reega tampak menahan emosi saat kekasihnya tidak dapat ditemui. Dia baru saja mengetahui dari beberapa staff mengenai lokasi Padma berada, jika perempuan itu hendak ke luar kota untuk beberapa hari.
Reega hampir saja membanting ponselnya ke tanah kalau saja tidak ingat banyak file dan pekerjaan penting di dalamnya. Sudah belasan kali ponsel Padma tidak dapat dihubungi sejak tadi, pun dengan managernya. Kemungkinan mereka sudah berada di dalam pesawat dan Padma tidak memberitahukan soal keberangkatannya ini.
"Selalu berspekulasi sendiri. Mungkin mereka sudah di dalam pesawat." Reega mencoba berpikir positif.
Felix menghela napas berat. "Dari pada membuang waktu, lebih baik kau temui Rose. Bicarakan soal pernikahan kalian yang tinggal dua minggu lagi itu. Kalian tidak punya banyak waktu."
"Aku masih punya waktu untuk membujuk Padma," kekeuh Reega.
"Lupakan soal membujuk Padma untuk menikah, perempuan itu tidak akan mau. Ayolah, Reega! Papamu meneleponku sejak tadi. Kau harus mulai mengurusi soal pernikahanmu."
"Bagaimana kalau Padma pulang, dan dia tahu aku sudah menikah?"
"Itu bagus. Percayalah, dia tidak akan peduli." Felix menepuk pundak Reega. "Dia juga harus tahu apa yang dinamakan kehilangan. Dia harus terima ketika kau menjadi milik orang lain. Lagi pula, kalau benar dia mencintaimu, dia pasti memilihmu bukan pekerjaannya," jelas Felix panjang lebar.
"Kedengarannya kau sama sekali tidak menyukai Padma." Reega menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku, sebab cuaca benar-benar panas meski hari beranjak sore.
"Memang," aku Felix. "Aku tidak pernah menyukainya sejak dia pertama kali muncul di sampul majalah satu tahun lalu."
"Yang benar saja kau ini." Reega melangkah keluar gedung lebih dulu. Ucapan Felix barusan menggelitik perutnya, bak lelucon di siang bolong.
Namun pada saat ingin keluar gedung, kedua lelaki itu sudah disambut oleh beberapa wartawan yang menunggu sejak tadi. Mereka sudah siap dengan kamera, ponsel, dan pertanyaan.
"Ada banyak wartawan. Apa mereka ingin bertemu denganku? Atau model-model di sini?" Kalimat Reega lebih mengarah ke pernyataan ketimbang pertanyaan.
"Entahlah, Kepercayaan dirimu tinggi sekali. Bisa jadi kau, bisa jadi bukan."
"Kenapa kita tidak buktikan saja?" Reega menarik sudut bibit melengkung kemudian berjalan lagi.
"Hey, Reega! Kau gila?" Felix menyusulnya di belakang. "Astaga, dia nekat." Dia khawatir jika para wartawan mengenali sahabatnya.
Dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidung, Reega berhasil melewati dan mengelabui satu per satu wartawan. Lalu, dia tidak sengaja menangkap pembicaraan mereka dan menyebut nama Padma.
"Hey, itu bukannya Pak Reega?" seru salah seorang wartawan yang mengenali Reega. Dia sangat jeli dengan postur badan lelaki itu.
Seruan itu juga terdengar di telinga Reega dan Felix. Keduanya kompak menoleh ke belakang, dan nampak para wartawan berbondong-bondong mendekati mereka. Melihat itu, mereka lantas mempercepat langkah.
"Sial! Masih saja ketahuan," ucap Reega saat mereka sudah berada di dalam mobil.
"Jelas mereka sudah berpengalaman. Mereka sangat jeli."
Reega mengatur napasnya yang naik turun. "Sudah cepat! Kita pergi dari sini!"
Para wartawan sudah mendekati mobil mereka. Bahkan di antaranya ada yang mengetuk-ngetik kaca jendela. Reega bukan tak ingin menghadapi mereka, akan tetapi dia belum siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan untuknya. Semuanya belum jelas.
***
"Rose, kurasa perombakan toko bisa dimulai besok pagi." Arka, asisten pribadinya menghampiri Rose yang duduk di sudut toko, tempat yang tidak terlalu menyita perhatian.
"Bagus sekali, lebih cepat lebih baik." Wajah Rose yang semula murung, menjadi sedikit lebih cerah mendengar kabar tersebut. "Aku percayakan semuanya padamu."
"Tenang saja, kupastikan kau akan menyukainya. Tapi sepertinya mulai besok kita tidak bisa membuka toko dulu."
Rose menganggukkan kepala. "Tidak apa-apa, atur saja bagaimana baiknya."
Denting lonceng di atas pintu toko yang berpadu dengan ketukan pantofel membuat Rose menolehkan kepala. Tepat di ambang pintu, sosok yang sejak beberapa hari ini menjadi sumber kekacauan di kepalanya, tengah berjalan ke arahnya.
"Bagaimana lamaranmu? Berhasil? Dia mau, kan, menikah denganmu?" cecar Rose langsung ketika Reega baru menempatkan dirinya di kursi.
Reega menggeleng pelan. "Padma menolakku. Bahkan sebelum aku menemuimu, aku berusaha menemuinya lagi. Tapi dia tidak ada di lokasi syuting. Ternyata dia pergi keluar kota, dan sampai sekarang ponselnya tidak bisa dihubungi," ucapnya panjang lebar.
"Kekasihku, Ezar, dia juga belum siap untuk melamarku. Lima tahun kami berpacaran, aku lelah jika harus menunggunya lagi," ungkap Rose tanpa malu. "Oh, ya, Ga! Aku mendapat surat saat makan malam keluarga kemarin." Rose mengeluarkan surat yang didapatnya itu dari tas, kemudian memberikannya pada Reega.
Reega meraih kemudian membacanya. "Kau tidak tahu siapa pengirimnya?"
"Seorang pelayan yang memberikannya padaku. Menurutmu, apa seseorang sedang menerorku? atau itu hanya sekadar surat kaleng?" Sebenarnya Rose menolak untuk peduli. Akan tetapi, kadangkala dia juga memikirkannya.
"Entahlah, mungkin orang iseng. Bisa saja dari fansku, fansmu, atau fans Padma." Reega menatap kembali surat yang masih dipegangnya. "Walau begitu, kita harus tetap hati-hati. Tenang saja, aku akan mengerahkan pengawalan dan penjagaan untukmu."
Rose mengangguk. "Baiklah, terima kasih. Jadi, bagaimana kelanjutan pernikahan ini? Kau ingin mundur atau ...."
"Rose." Reega langsung memotong kalimat perempuan itu. "Mari kita sederhanakan soal pernikahan ini.” Dia menghela napas pelan. “Kita hanya menikah. Aku tidak akan mengusik hidupmu dan kau juga tidak boleh mengusik hidupku. Selang beberapa bulan, kita akan bercerai dan mereka tidak bisa menghalangi keputusan kita. Bukankah itu terdengar lebih mudah?”
"Maksudmu ... nikah kontrak?"
Rose duduk menyendiri di taman rumah sakit dengan amplop di tangannya. Ia menghela napas pelan, ada banyak andai-andai di kepalanya, banyak pertanyaan yang tak kunjung temui jawab. Tentang donor mata kakaknya, dan hubungan apa yang terjalin di antara kakaknya dengan suaminya."Papa dan Mama harusnya tahu soal ini," gumamnya. "Tapi kenapa tidak ada yang membahas hal ini sebelumnya?"Rose memasukkan amplop tersebut ke dalam tas kemudian bersiap untuk pulang. Hal sebesar ini, mustahil kalau orang tuanya tidak tahu menahu. Lora tidak mungkin mengambil keputusan seperti ini tanpa melibatkan ayah dan ibunya, maka Rose harus menanyakan pada mereka tentang hal ini.Baru saja ia berdiri untuk pergi, ponselnya sudah lebih dulu berbunyi menandakan panggilan masuk. Rose meraih ponselnya dan mengernyit ketika mendapati nama Reega sebagai penelepon, ia segera mengangkat panggilan tersebut."Hallo, Ga, ada apa?" sambutnya begitu panggilan tersambung."Kau sibuk? Masih di toko?" balas Reega dari sebe
Selesai menyantap sarapan pagi, Rose membereskan semua alat makan di meja dan membawanya ke wastafel. Meskipun ada Gista, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Bagi Rose, hal itu sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari."Aku ingin ke toko hari ini." Rose kembali dari dapur usai mencuci peralatan makan tadi. "Apa kau mengizinkan?" sambungnya."Aku tidak mengizinkanmu ke mana-mana. Lebih baik kau ikut denganku ke kantor." Reega menggeleng, menolak memberi izin dengan alasan tak ingin menempatkan Rose dalam keadaan bahaya lagi."Ke kantormu lagi?" Rose menarik napasnya lalu dia hembuskan dengan pelan. "Sejujurnya aku bosan berada di kantormu. Tidak ada satupun yang bisa kulakukan di sana.""Lalu maumu apa? Mengizinkan dan membiarkanmu dalam bahaya lagi?" Reega menahan emosinya. "Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.""Kau berlebihan, Ga. Aku hanya ke toko untuk memperbaharui beberapa resep." Rose memutar otak, bingung dengan alasan apa lagi dia bisa membujuk suaminya yang keras
"Aku harus kembali ke ruang meeting setelah ini." Reega mengusap mulutnya dengan saputangan. "Kau tidak masalah, kan, kutinggal di sini lagi?"Rose yang sedang membereskan peralatan makan mendengus pelan. "Ya mau bagaimana lagi, kan? Kau tidak mengizinkanku diam di rumah, tapi aku juga tetap sendirian di sini.""Mau kupanggilkan Ilona untuk menemanimu?" tawar Reega."Tidak perlu," jawab Rose. "Tapi aku boleh pakai kamarmu? Aku agak mengantuk." Ia menunjuk ke salah satu ruangan yang pintunya sedikit terbuka.Reega mengangguk. "Pakai saja. Kau boleh memakai seluruh ruangan di kantor ini sesukamu, tidak akan ada yang melarang.""Reega, kurasa setelah ini kau tetap harus meminta maaf pada Padma. Dia cukup tersinggung dengan ucapanmu tadi," ujar Rose serius. "Bukannya apa-apa, hanya saja kalau aku berada di posisi yang sama dengannya, aku juga pasti marah sekali. Kau harus menjelaskannya pada Padma kalau masih ingin hubunganmu baik-baik saja."Reega menghela napas. "Iya, aku akan menelepon
Rose berlari mengejar Padma melewati meja Ilona dan menaiki lift. Wujud Padma cepat sekali menghilang dari pandangan. Meski seringkali cekcok, Rose berharap Padma masih berada di sekitar kantor Reega.Rose bernapas lega saat menemukan Padma sedang duduk di sofa yang tak jauh dari resepsionis. "Untung saja kau masih di sini," ucap Rose ngos-ngosan. Dia mengambil tempat duduk di samping Padma."Untuk apa kau menyusulku kemari? Kau ingin mengejekku, ya, karena Reega menolakku tadi," ujar Padma suudzon. Dia masih kesal dengan sikap Reega yang berubah drastis."Kau ini belum apa-apa sudah berburuk sangka lebih dulu. Aku ke sini untuk minta maaf atas perlakuan Reega tadi. Percayalah, Reega melakukannya untuk kebaikan semuanya." Rose menjelaskan supaya Padma tidak salah paham lagi."Oh, ya? Bukankah dia sedang membelamu? Semenjak kau hadir di antara hubungan kami, sikap Reega semakin berubah.""Maksud Reega bukan seperti itu. Dia hanya ingin menjaga nama baik perusahaan dan keluarganya. Bahk
"Maaf, Bu, saya sudah berusaha menahan tapi Ibu Padma memaksa untuk masuk." Ilona yang berdiri di belakang Padma berujar dengan kepala menunduk.Padma berdecak. "Berkali-kali kubilang, aku belum setua itu untuk dipanggil Ibu!"Rose merotasikan matanya malas. "Bahkan tingkahmu saja sudah melebihi ibu-ibu komplek," komentarnya. Ia beralih menatap Ilona yang masih berdiri di sana. "Tidak apa-apa, kau boleh kembali ke tempatmu. Biar aku yang mengurus orang ini.""Baik, Bu."Sepeninggal Ilona, Rose membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah sofa. "Ada urusan apa kau kemari?" tanyanya pada Padma yang baru saja menutup pintu. "Kenapa pula pintunya ditutup? Kau mau berduaan saja denganku di sini?""Jangan harap!" balas Padma. "Aku datang karena ingin menemui kekasihku, lah, memangnya apa lagi? Harusnya aku yang bertanya untuk apa kau di sini, merusak pemandangan saja.""Yang kau bilang kekasihmu itu nyatanya suamiku kalau kau lupa.""Pernikahan kalian hanya sebatas kontrak, kalau kau juga lupa
Seusai menelepon, Reega kembali duduk di samping Rose. "Kau sedang melihat apa?" tanya Reega penasaran sebab Rose terlihat memandang sesuatu di seberang jalan."Ah, itu ...." Rose menoleh sebentar pada Reega. "Ada temanku di seberang jalan sana." Dia mengarahkan telunjuknya ke seberang namun tidak menemukan apa-apa di sana.Dahi Reega berkerut. "Temanmu? Di mana? Tidak ada siapa pun di sana.""Tadi dia di sana dan berdiri seorang diri. Sungguh." Rose kekeuh jika penglihatannya tidaak mungkin salah."Mungkin kau salah lihat. Lagi pula ini sudah malam, penglihatanmu pasti kabur." Reega menggelengkan kepala. Dia beranjak dari duduknya menuju penjual pecel lele untuk membayar semua tagihan makanannya."Tidak mungkin aku salah lihat. Jelas sekali aku melihat Aruni di sana," gumam Rose dalam hati."Ayo, kita pulang. Aku sudah membayar semuanya," ajak Reega seraya mengulurkan telapak tangannya.Rose mengernyit. Beberapa hari ini kelakuan suaminya itu terbilang aneh. Seperti lebih peduli dan p