Share

Tragedi di Rumah Mewah Mertua

Aku tidak mampu menaksir nilai rumah itu. Tapi kemungkinan besar di atas tiga puluh lima milyar rupiah. Karena kisaran harga properti di sekitar Pondok Indah sudah melebihi angka tersebut. Apakah bangunan ini kelak akan diwariskan kepada suamiku? Mudah-mudahan lebih ya. Karena rumah mertuaku ada beberapa lagi.

Cukup pagi kami tiba. Pukul sembilan. Ketika mobil Mas Priyo masuk ke halaman, sudah terpakir tiga mobil mewah di sana. Ada satu mobil yang sepertinya aku kenal atau pernah melihat. Aku pikir mungkin ipar-iparku sudah tiba. Namun info dari suami, kami lah yang pertama sampai.

Malu-malu aku masuk ke dalam membuntuti Mas Priyo yang sangat rapi mengenakan setelan jas hitam, dasi abu-abu, dan celana panjang hitam. Rambutnya mengkilap tersisir belah pinggir dibaluti minyak pomade. Tak kalah rapi seperti saat pesta pernikahan lusa kemarin.

Di ruang tamu, aku bertemu dengan Dewi. Pertemuan yang mengejutkan. Ada urusan apa dia di rumah ini? Tapi mengingat ia rekan bisnis mertuaku, maklum lah ia ada di sini. Dan baru aku sadar bahwa mobil yang terparkir di depan adalah mobilnya.

"Dewi? Apa kabar? Kamu ngapain di sini?" sapaku.

"Assalamu'alaikum, cantik." Ia bangkit dan merentangkan tangan untuk memelukku. Salamnya kujawab. "Aku ada keperluan presentasi properti yang mau diborong Pak Broto," terangnya.

"Yang di Leuwiliang kemaren, jadi gak?"

"Enggak, Dina. Ada masalah kepemilikan. Makanya sekarang aku mau ketemu beliau mau presentasi properti yang lain."

"Dewi, ini suamiku. Mas Priyo," aku memperkenalkan lelaki gagah yang ada di samping yang kemudian mengulurkan lengan untuk berjabat. Tapi Dewi hanya menyambut dengan dua tepalak tangan yang dirapatkan. Tak mau bersentuhan. Bukan mahrom.

"Dina, yang kamu w******p tadi malem beneran? Rumah yang kamu tempatin sekarang mau dijual?"

Aduh. Aku tidak enak hati dengan Mas Priyo yang ikut mendengar pertanyaan itu. Aku gugup. Untungnya suamiku menjawab, "Benar. Itu salah satu rumah saya. Mohon bantu dijualkan ya. Saya butuh untuk keperluan bisnis. Untuk komisinya, silakan diatur. Saya percaya aja sama Mbak Dewi."

Aku membatin, "gak salah dia bilang 'salah satu rumah saya'? Emang dia punya rumah berapa? Harus pake ngibul ya buat jaga image?"

"Iya, Mas. Mohon dilengkapi dengan foto-foto rumah dan sertifikat ya." pinta Dewi.

"Baik. Akan segera dikirim," jawab suamiku.

Setelah itu kami beranjak masuk ke dalam. Di salah satu ruangan - karena banyak sekali ruangan di rumah ini - aku bertemu dengan kedua mertuaku. Tangan mereka kugamit untuk kucium dengan takzim. Papa mertua tampak segar dengan balutan non formal. Kaus tebal berkerah warna kuning dan celana jeans biru. Tak perlu memakai jas sebagaimana yang dikenakan suamiku. Rambutnya tersisir rapi walau tak pakai minyak. "Habis renang," ujarnya. Luar biasa gagah di umur segitu.

Tak lama, papa mertua minta izin untuk menemui tamu. Ia dan Dewi melakukan meeting di ruangan lain. Meninggalkan aku dan mama mertua yang berbincang berbasa-basi.

*****

Kini anak-anak Pak Broto tengah berkumpul di sebuah ruangan yang luas, yang di tengahnya terdapat meja sepanjang enam meter, yang di atasnya terhidang makanan, buah-buahan, dan minuman. Di salah satu sisi ruangan, terpampang televisi yang ukurannya cukup besar: 146 inch. Biasanya berfungsi untuk presentasi. Di sampingnya berderet lukisan-lukisan indah dengan didominasi aliran naturalisme.

Dari rumah aku sudah mempersiapkan kalimat yang akan disampaikan bila diminta memperkenalkan diri kepada ipar-iparku. Di hadapan orang kaya aku tak boleh ketinggalan gengsi.

Agenda hari itu - diselingi dengan menyantap hidangan yang ada - adalah paparan bisnis Pak Broto kepada anak-anaknya. Termasuk rencana melepas saham di dua perusahaan yang kurang punya prospek di tengah pandemi ini. Juga rencana menutup utang yang sebentar lagi jatuh tempo dengan uang penjualan saham tadi.

Lantas, Pak Broto bercerita soal rencana pembelian properti di beberapa tempat sebagai investasi. Berbagi informasi soal perkembangan bisnis yang dijalankannya serta rencana-rencana ke depan.

Selesai, dilanjut dengan anak pertama yang kemudian berbicara soal perkembangan usaha bidang IT yang ia geluti. Krisis menerpa perusahaan-perusahaan konsultan perangkat lunak. Meski penjualan laptop dan perangkat wifi melonjak karena kebutuhan orang untuk bekerja dari rumah. Ada sisi yang menurun, ada sisi yang mendapat keuntungan.

Di ujung pembicaraan, ia menawarkan sepuluh persen saham di salah satu perusahaan miliknya kepada mertuaku yang tak perlu dipikir panjang disanggupi begitu saja. Aku heran.

Selesai, harusnya Mas Priyo sebagai anak kedua yang mempresentasikan usahanya. Aku sempat waswas, apa yang bisa ia ceritakan? Sedangkan untuk memulai bisnis saja butuh dukunganku.

Tapi rupanya lanjut ke anak ketiga. Mas Priyo tak mendapat kesempatan berbicara. Aku diam menyimpan kebingungan. Seorang wanita berdiri lantas berjalan mendekati televisi layar lebar setelah putra pertama Pak Broto duduk tanda menyelesaikan paparannya.

Di layar, kini terpampang foto-foto pertambangan di daerah Kalimantan. Juga foto-foto perkebunan di Pulau Sumatera. Wanita itu mengaku hanya menanamkan uang ke beberapa perusahaan berprospek cerah, tak sampai mengurus langsung. Sebelum ia menyudahi gilirannya, ia pun meminta mertuaku untuk membelikan beberapa porsi saham di sebuah perusahaan Kelapa Sawit di daerah Sulawesi yang baru saja IPO. Lagi, Pak Broto mengangguk setuju begitu saja.

Sekarang giliran anak ke empat. Wanita yang belum sampai usia tiga puluh tahun. Mengaku hanya ibu rumah tangga biasa namun punya beberapa properti bersama suaminya di daerah Jabodetabek. Ada rencana membeli sebuah vila di daerah Puncak dan ia meminta dukungan papa. Tentu saja diiyakan dengan mudah.

Aku sudah tidak antusias memperhatikan acara yang berlangsung. Pikiranku mengembara kemana-mana. Termasuk menerka-nerka apa yang terjadi di keluarga ini, mengapa suamiku tak mendapat dukungan sebagaimana anak-anak yang lain?

Akhirnya sampai juga giliranku. Aku diminta papa mertua untuk memperkenalkan diri sebagai bagian dari keluarga besar di rumah itu.

Perkenalan basa basi dilakukan. Kalimat yang telah dipersiapkan dari rumah pun disampaikan.

"Alhamdulillah saya pegang tiga merk jilbab terkenal. Dan dua pekan lagi akan meluncurkan brand baru. Sebagai ambassador saya rekrut artis-artis hijrah." Aku menyebut sebuah nama. Tiba-tiba pembicaraanku disela oleh putra pertama Pak Broto.

"Oh... Saya kenal orang itu. Waktu belum pake jilbab kayak sekarang, saya pernah nawar dia buat maen semalem. Waktu itu... ratenya empat puluh juta kalo gak salah. Tapi sayang saya ada urusan mendadak, gak jadi deal. Sekarang berapa ya ratenya? Udah pake jilbab harusnya lebih mahal."

Gelak tawa pecah di ruangan tersebut. "Huuu... Kacau lu Mas Pram. Paraaah," ujar adik-adiknya. Ucapan itu didengar juga oleh istrinya yang cuma tersipu malu. Ya ampun.

"Saya gak tahu urusan pribadi orang," jawabku. "Yang saya kenal, dia wanita baik-baik. Dan artis kedua adalah..." aku menyebut nama lain.

"Oh itu mah youtuber lebay. Jijik banget saya liat gayanya." Anak ketiga yang mengomentari. Diiyakan oleh anak keempat. "Ya kalo gak lebay, gak dapet uang. Gayanya udah kayak cewek murahan."

Aku menghela napas berat. Anak-anak yang lain ketika memaparkan bisnis-bisnis mereka tak ada yang dijatuhkan sedemikian rupa seperti yang aku alami. Mas Priyo pun hanya diam. Tak ada pembelaan.

"Insya Allah launching brand baru ini akan dilakukan di..." Aku melanjutkan kata-kataku.

Tapi kembali disela. "Udah, Mbak. Gak usah cerita soal bisnis. Gak ada yang nanya," ujar anak yang bungsu.

Menelan ludah, aku berhenti bicara. "Ya itu saja perkenalan dari saya," pungkasku dengan tatapan tertunduk. Habis sudah mentalku di ruangan ini. Yang paling parah adalah aku tak merasa punya ksatria yang melindungi istrinya dari rundungan orang. Lelaki necis di samping yang harusnya menjadi penjaga kehormatanku kini hanya bisa bungkam tanpa perasaan bersalah.

"Ya cukup. Sudahi saja. Jangan merasa spesial karena kamu bukan martabak," kata adiknya Mas Priyo anak ketiga.

Acara selesai. Ipar-iparku pulang. Tapi suamiku bertahan. Papa mertua mengajaknya berbincang di ruangan lain. Dan aku diminta menunggu di ruangan berbeda, melanjutkan obrolan dengan mama mertua.

Karena cukup haus, aku - dengan seizin mama mertua - berjalan ke dapur untuk mengambil minuman. Di tengah jalan terdengar percakapan antara suami dan mertuaku.

"Beneran kamu mau jual rumah itu?" Aku mengenali suara itu. Milik Pak Broto.

"Iya, Pa. Aku terlilit utang empat ratus juta rupiah. Terus, aku perlu modal. Mau usaha kecil-kecilan buka warung kopi."

"Istri kamu kan pengusaha."

"Iya, Pa. Dia lebih sukses dari aku."

"Dia gak bisa bantu kamu?"

"Dia udah bayarin utang aku kemarin, empat puluh dua juta rupiah. Sama bantu sekolah anak-anak. Aku tidak enak hati kalau terlalu bergantung hidup dari dia. Jika rumah itu dijual, rencananya aku mau tinggal di rumahnya."

"Lho, emang tujuan kamu nikah buat apa kalau bukan supaya ada yang menopang bisnis kamu? Masak utang empat ratus juta aja gak mau bayarin? Ceraikan saja kalau begitu."

Apaaaaa???? Lututku lemas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status