Share

Bab 7

Bab 7

Tepat pukul 20.00, James memarkir motornya di depan rumah kontrakan Chen. Tuan rumah yang masih sibuk dengan pasien berkaki empatnya, belum menyadari kedatangan rekannya itu.

“Silakan ambil nomor antrian, Tuan,” kata seorang wanita berumur dengan dandanan agak menor sambil menyodorkan sebuah kartu kecil bertuliskan nomor urut.

“Ini aku, Bibi. Apa Chen masih sibuk?” tanya James pada wanita itu.

“Ah, kau rupanya. Maafkan, aku tidak memperhatikan. Dokter Chen masih ada seekor pasien. Anjing yang malang. Tadi pagi ketika ditinggal kerja pemiliknya, dia keluar rumah sendiri tanpa ada yang tahu. Ada orang yang menemukannya di taman. Kakinya terperosok sebuah lubang dan sepertinya ada tulang yang patah. Kasihan sekali,” jelas Bibi Mei dengan mimik sedih.

James tidak tahu mengapa dia mendengarkan kisah sedih si pasien Chen ini dengan wajah serius. Ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang, baru dia tersadar.

“Serius amat, James,” canda Chou yang datang bersama Angel.

“Kalian mengagetkan aku saja! Dari mana kalian? Jangan bilang kalian sempat cek in di hotel itu,” balas James membuat wajah Angel bersemu merah.

“Eits, enggak ada yang melarang, kan? Lagi pula kami sudah dewasa, makanya kau cepat cari pasangan, jangan jomlo terus!” seloroh Chou sambil merangkul Angel dan masuk ke dalam rumah Chen lewat tangga yang ada di samping luar. Kontrakan Chen memang minimalis. Ruang depan dijadikan tempat klinik hewan. Sedang rumah inti ada di bagian belakang dan letaknya di atas basemen.

Ruang kecil yang hanya terdiri dari satu kamar serba guna, kamar mandi, dan dapur kecil di sudut dekat jendela. Chen memang seorang yang sangat hemat kalau tidak boleh dibilang pelit. Beberapa orang sudah menyarankan agar dia pindah ke tempat yang lebih besar dan strategis agar lebih nyaman tinggal dan berpraktik. Namun, selalu saja Chen menolak dengan alasan terlalu mahal.

Chou, Angel, dan James menunggu Chen menyelesaikan pekerjaannya. Di antara mereka berempat, Chen satu-satunya yang bekerja sangat keras. Karena selain menghidupi diri sendiri, dia juga harus menanggung hidup orang tua dan keempat adik perempuannya. Sebagai sulung dan anak lelaki satu-satunya, kewajiban menanggung semua kebutuhan hidup orang tua dan adik-adiknya yang belum menikah berada di pundaknya. Itulah adat orang China. Maka dari itu Chen sangat membatasi pergaulannya. Jarang keluar hanya untuk sekadar nonton atau makan di kedai. Kalau pun dia ikut acara makan-makan, bisa dipastikan itu gratis.

James mulai gelisah, berulang kali dia melihat jam tangannya. Sedikit kesal karena melihat Chou dan Angel sedang melihat drama Korea dari gawai sambil duduk berpelukan.

“Hai! Jaga perasaan orang lain!” tegur James sambil melempar bantal kecil ke arah Chou dan Angel.

Chou terbahak melihat raut wajah James yang merajuk. Angel tersipu tanpa berani menatap sahabat kekasihnya itu. Beberapa waktu yang lalu, Angel pernah menolak James saat dia mengungkapkan isi hatinya. Angel pun tidak tahu mengapa hatinya lebih nyaman berada di dekat Chou. Sedangkan James punya segalanya. Materi, kecerdasan, koneksi, dan tentu wajah tampannya yang selalu membuat para gadis tergila-gila.

Saling ejek dan goda tidak terelakkan antara James dan Chou. Angel hanya menggeleng melihat kedua sahabat itu bertingkah seperti anak kecil. Gadis itu tidak habis pikir di situasi genting ini mereka masih saja bisa bergurau dan tertawa lepas. Sedang Angel, tersenyum saja berat rasanya.

“Sudahlah, jangan membuat kamarku porak-poranda,” mohon Chen memelas saat dia muncul dan melihat dua rekannya sedang bergulat memperebutkan bantal kecil yang digunakan untuk saling memukul.

“Chou, sudahlah. Sudah cukup bercandanya,” tegur Angel.

Chen mengambil bantal dari tangan Chou. Belum sempat dia meletakkannya di tempat aman, James sudah merebut dan memukulkannya tepat di wajah Chou. Keduanya terbahak lagi. Untung saja Chou tidak membalas, kalau diteruskan bisa sampai pagi mereka bergurau.

“Sudah, sudah, kita fokus sekarang,” pinta Chou sambil beringsut duduk di sebelah Angel.

“James tutup semua jendela. Chen, Bibi Mei sudah pulang, kan? Angel, tolong berikan laptopku,” perintah Chou.

James memeriksa semua jendela. Angel mengangsurkan komputer jinjing milik Chou yang sedari siang dibawa ke mana pun oleh Chou.

“Bibi Mei sudah pulang, dia ada acara makan-makan di restoran dekat pasar ikan,” jawab Chen sambil mengambil satu gelas minuman yang dibawa James.

“Kita harus menemukan kelelawar itu sebelum orang lain. Setidaknya kita tahu bahwa tidak akan ada orang yang memanfaatkan hewan itu untuk menjatuhkan kita,” kata Chou sambil mengaktifkan komputernya.

“Bagaimana kalau hewan itu mati?” tanya Angel hati-hati.

“Itu lebih baik, setidaknya kita bisa meyakinkan kalau hewan itu sudah mati,” timpal James.

Itulah keunikan duo sahabat, James dan Chou. Saat bergurau mereka seperti anak kecil, tetapi saat serius tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian mereka pada masalah yang sedang dihadapi. Dua orang yang saling melengkapi. Bahu membahu dan saling menopang saat ada salah satu dari mereka rapuh. Tidak segan mengulurkan tangan untuk membantu siapa pun, tanpa perhitungan.

Hening beberapa lama, semua mata tertuju pada Chou yang menatap layar komputer jinjingnya nyaris tidak berkedip. Tidak ada yang berani mengganggu Chou, termasuk James, apalagi Angel.

“Angel, ingatkah kamu siapa orang yang masuk ke laboratorium kita setelah hewan itu menghilang?” tanya Chou tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.

Angel terdiam sambil berpikir. Mencoba mengingat-ingat siapa saja yang masuk ke laboratorium mereka hari itu. Laboratorium mereka sangat eksklusif. Berada di ujung koridor lantai dua. Tidak sembarang orang boleh mendekat apalagi masuk. Angel tidak tahu apa istimewanya tempat itu. Baginya semua sama saja, sebuah laboratorium untuk meneliti beberapa sampel obat baru untuk berbagai penyakit yang semakin hari semakin unik. Sebatas itu saja yang Angel tahu. Keterlibatannya dengan proyek ini memang karena Chou. Chou yang bersikeras meminta James untuk memasukkan nama Angel ke tim mereka.

“Aku--aku tidak paham maksudmu,” jawab Angel jujur.

Chou menatap Angel, James, dan Chen sambil tersenyum. Senyum yang selalu muncul saat dia menemukan ide cemerlang.

“Aku tahu siapa yang bisa membantu kita menyelesaikan masalah ini,” kata Chou seraya memamerkan sebaris gigi putih yang terawat apik.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status