Share

Permohonan

Author: Tyarasani
last update Last Updated: 2022-05-24 12:03:27

**

Akhir-akhir ini Ariana sangat menyukai duduk di balkon sambil menikmati susu coklat kesukaannya. Ia lebih senang menatap langit dari pada bermain sosial medianya. Baginya, isi sosial media itu hanya menumbuhkan kecemburuan yang benar-benar menjadikan dirinya tak bersyukur dengan apa yang telah ia punya.

Ariana adalah wanita yang beruntung, hidup dengan harta yang berlimpah dan cinta yang maha luas dari sang suami. Namun, itu semua belum cukup untuk membuatnya bersyukur.

Desakan demi desakan dari mertuanya, membuat ia lupa akan anugerah itu. Andai bisa di tukar, ia akan lebih memilih memiliki anak dari pada harta yang banyak.

"Senja, kemari'lah!" titah Ariana pada Senja yang sedang merapikan kamarnya.

"Iya, Nyonya."

"Ini!" Ariana menyodorkan amplop berwarna coklat ke hadapan senja.

"Itu apa?"

"Kamu lupa, kalau hari ini tepat sebulannya kamu bekerja di rumah ini?"

"Astaghfirullah, saya benar-benar lupa, Nyonya."

"Terima'lah. Tapi kamu hitung dulu di sini, siapa tahu kurang biar aku langsung tambahkan!

Senja yang memang benar-benar masih polos itu menurut saja, ia menghitung lembaran demi lembaran uang itu di depan majikannya. Lalu, ia terdiam sesaat sebelum akhirnya ia berani bicara.

"Maaf, Nyonya, ini kebanyakan untuk gaji seorang pelayan. Karena Bude Riris bilang, saya hanya di gaji sekitar tiga juta bukan lima juta," jelas gadis itu.

"Yang gaji, kan aku bukan Bi Riris, kamu terima saja! Lagipula, aku tahu kamu sedang membutuhkan ini, bukankah kamu ingin membawa bapakmu berobat?"

"Hah! Dari mana Nyonya tau?"

"Tidak penting. Yang penting kamu terima uangnya, bulan depan kerja lebih baik lagi, ya!"

"Terimakasih, Nyonya."

Ya, sebulan berlalu dari perdebatan itu. Ariana kini sikapnya mulai kembali menghangat pada Sagara, tidak uring-uringan bahkan kesehatannya pun jauh lebih baik.

"Mas, tau nggak Senja kerja di sini tujuannya untuk apa?" Ariana mulai berceloteh menikmati waktu santai dengan suaminya.

"Palingan cari duit'lah, Sayang. Cari apalagi coba?" ketus Sagara. Kadang, ia mulai bosan ketika istrinya terus membicarakan pelayan baru itu.

"Maksudku, dia cari duit itu untuk apa? Begitu, Mas." Ariana mendengus kesal.

"Ya, nggak tahu. Aku mana pernah bicara sama dia, Sayang!"

'Ah, bicara sama laki-laki ini mesti pakai urat terus!' keluh Ariana dalam hati.

"Mas, sebulan ini aku perhatikan Senja itu gadis yang baik. Meskipun, asal usulnya dari kampung tapi garis keturunannya jelas!" ujar Ariana.

"Maksud kamu apaan, nih? Jangan bilang ...."

"Dengarkan dulu'lah, Mas!" potong Ariana dengan gemas.

"Ya."

"Aku yakin Senja itu gadis baik-baik, jadi kesuciannya terjamin. Lagipula, Senja itu pelayanku di rumah ini, jadi Mama dan Papa tak akan curiga dengan rencana kita!" Ariana mulai berani menjelaskan idenya dengan gamblang.

"Jadi gini, maksud aku biar orang tuamu taunya aku yang hamil," sambung Ariana lagi.

"Kalau itu aku setuju sayang, tapi ... tak adakah perempuan yang lebih baik selain pelayan itu?" seloroh Sagara yang langsung mendapat cubitan keras di pahanya.

"Jangan, nanti kamu jatuh cinta, Mas!" sahut Ariana kemudian.

'Lakukan saja apa yang membuat kamu senang, Ariana! Karena aku tak tahu, sampai kapan kamu sanggup bertahan melawan kanker yang bersarang di tubuhmu,' batin Sagara. Kemudian ia menghapus air mata yang menetes di sudut matanya.

Sagara sebenarnya bukan laki-laki lemah. Namun, jika menyangkut nyawa Ariana dia begitu sangat lemah. Itu semua karena cintanya yang begitu dalam untuk sang istri.

"Memangnya kamu yakin, pelayan itu mau menerima tawaran kamu, Sayang?" tanya Sagara memastikan.

"Mas namanya, Senja. Bisa nggak panggil dia dengan namanya saja?" Ariana sewot.

Sagara yang mendengar Ariana sangat berantusias dengan ide gilanya terkekeh dan akhirnya mereka tertawa bersama.

"Terimakasih, ya, Mas!" ucap Ariana.

Ariana memeluk Suaminya dengan kuat, seolah ia tak berniat untuk melepasnya lagi. Bahkan, ia pernah punya keinginan, jika tuhan nanti menjemputnya, ia ingin menghembuskan napas terakhirnya di pelukan sang suami.

"Iya. Apapun akan aku lakukan untuk kamu, Ariana."

**

Setelah mendapat persetujuan dari Sagara, Ariana semakin gencar mendekati Senja, si gadis polos yang menjadi incarannya.

"Duduk!"

"Ada apa, Nyonya?"

Senja menurunkan tubuhnya dan hendak duduk di lantai. Berulangkali ia mendapat peringatan dari Ariana, namun ia tetap mengulangnya dengan alasan tak sopan jika duduk bersanding dengan sang majikan.

"Senja, duduk lah di sampingku!" titah Ariana lagi.

"Ta-tapi, Nyonya ...."

"Aku ingin bicara serius sama kamu dan tak mungkin jika dengan posisi seperti ini!" protes Ariana.

"Baik, Nyonya."

Mau tak mau Senja menuruti perintah Ariana, meski dengan rasa canggung yang luar biasa. Walau bagaimanapun, Ariana telah memperlakukannya dengan sangat baik. Sudah sepantasnya ia pandai dalam membawa diri untuk menyenangkan hati sang Nyonya.

"Senja, apa perempuan yang tidak bisa melahirkan anak itu sangat hina?"

"Tidak, Nyonya."

"Lalu, kenapa mereka menyalahkanku, membenciku bahkan memakiku dengan sangat kasar?"

"Nyonya harus kuat, anggap saja itu ujian hidup. Sebenarnya, Nyonya adalah perempuan yang sangat beruntung, memiliki pasangan hidup yang begitu mencintai Nyonya dengan segala kekuranganmu. Mungkin, jika tuan Saga bukan lelaki yang baik, bisa saja di berpaling!"

"Apa kamu mengagumi mas Saga, Senja?"

"Ya. Jika kelak nanti aku menikah, aku akan mencari pria yang setia seperti tuan Saga."

Ariana terdiam.

"Eh, maaf Nyonya maksud saya tidak begitu. Mengangumi bukan berarti menginginkan, sekali lagi maafkan saya, Nyonya!" Senja ketakutan, hingga tangannya mulai bergetar, bahkan hatinya bergemuruh dengan hebat. Membayangkan perempuan di depannya akan mencakar atau menjambak jilbabnya.

"Aku paham, Senja. Lalu, bagaimana kalau kamu saja yang membantuku?"

"Membantu? Membantu apa, Nyonya?"

"Lahirkan anak untuk mas Saga!"

Degh.

Kedua mata Senja membulat dengan sempurna, ia tak habis pikir dengan ide majikannya.

"Apa maksud, Nyonya?"

"Kamu tenang dulu, senja. Biar aku jelaskan pelan-pelan, ya!"

Ariana mencoba menenangkan gadis kurus itu, mungkin cara penyampaiannya yang terlalu intim membuat Senja syok berat.

"Senja kamu tahu aku sakit? Kanker itu terus menggerogoti sebagian tubuhku dan dokter sudah memvonisku tak bisa punya anak karena penyakit tersebut. Aku hanya ingin membahagiakan mas Saga, Mama dan Papa mertuaku."

"Senja, kamu gadis yang baik, sehat juga masih muda. Aku yakin kamu bisa melahirkan anak yang sehat juga. Aku mohon, Senja!" sambung Ariana dengan tangis yang mulai mengucur di kedua matanya.

"Kenapa harus aku? Kenapa tidak yang lain saja, Nyonya?"

"Kamu adalah gadis pilihanku, Senja.

"Ta-tapi, Nyonya ak-"

"Senja, aku akan memberimu waktu selama seminggu untuk berpikir, karena aku tau kamu punya keluarga. Berbeda dengan aku, aku hanya anak panti yang tak punya siapa-siapa di dunia ini, kecuali mas Saga dan kamu yang peduli sama aku."

"Nyonya, jangan bicara begitu. Kita masih punya Allah yang akan mendengar semua doa-doa kita," ucap Senja.

"Senja, tolong pikirkan baik-baik tentang permintaanku!"

"I-insya Allah, Nyonya."

Meski ragu, Senja hanya sanggup mengiyakan perintah Ariana. Lalu, ia pamit dengan alasan ingin menenangkan diri. Sedangkan, hatinya berkecamuk antara ingin marah dan ingin menangis, namun ia tak mungkin melakukan itu semua di depan majikannya.

____________

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Senja Yang Di Hadirkan   Akhirnya Pulang

    ***Dor!Suara tembakan memecah udara. Sagara mendorong Senja ke belakang sebelum tubuhnya sedikit tersentak. Peluru itu hanya menggores lengan kirinya, tapi cukup untuk membuat darah langsung merembes ke kemejanya. Riko cepat bergerak, menendang pistol dari tangan pria itu dan melumpuhkannya.Senja berlari mendekat, ia terlihat panik saat melihat rembesan darah di lengan kemeja Sagara. “Tuan! Kau terluka!”Namun Sagara hanya mengerutkan kening, menahan nyeri yang seolah tak mau diakui. “Ini bukan pertama kalinya aku berdarah,” gumamnya pelan. Ia berusaha berdiri tegak, seolah luka di lengannya tak berarti apa-apa.Riko memandang keduanya, lalu menatap jalan keluar. “Kita harus pergi sekarang. Sebelum mereka datang lebih banyak lagi!”Sagara mengangguk singkat. Ia meraih tangan Senja, menariknya lembut tapi tegas. “Kau ikut denganku.”Senja ingin menolak, tapi tak punya tenaga untuk berdebat. Matanya masih menatap luka di lengan pria itu, dan di saat yang sama, ia merasa seluruh per

  • Senja Yang Di Hadirkan   Maaf Dan Situasi Rumit

    *Malam itu lengang. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering yang tertiup di sepanjang gang sempit. Lampu jalan berkedip lemah, menciptakan bayangan panjang di antara rumah-rumah kontrakan yang saling berimpitan.Riko berdiri di depan pintu kontrakan kecil itu. Di tanah, dua pria berbaju hitam masih terkapar tak sadarkan diri. Napasnya masih memburu, sisa perkelahian singkat barusan membuat ototnya cukup menegang. Namun ia tahu, ia tak punya waktu lagi.Dari balik pintu, Senja terlihat ketakutan. Tubuhnya gemetar, tapi matanya masih berusaha tegar. Ia tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Yang ia tahu, malam ini sungguh mengerikan.“Mas Riko,” suaranya pelan, bergetar di antara napas yang tak beraturan. “Apa yang terjadi?”Riko menatapnya cepat, lalu menunduk sedikit, seperti tak ingin membuatnya panik. “Kita harus pergi sekarang, Non,” katanya datar tapi tegas. “Tempat ini sudah tidak aman. Ada orang yang datang mencarimu, dan mereka punya niat buru

  • Senja Yang Di Hadirkan   Pencarian

    *Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi jalan-jalan kecil di pinggiran kota yang mulai sepi. Lampu jalan berkelap-kelip, sesekali padam karena sambaran angin. Riko melangkah perlahan, mantel hitamnya sudah setengah basah, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, malam itu bukan malam biasa. Ini malam yang menentukan, antara kehilangan dan penebusan.Setelah perintah dari Sagara malam itu, Riko bergerak diam-diam. Ia tak ingin menunggu pagi. Bagi orang luar, ia hanyalah asisten pribadi keluarga Sagara, seseorang yang mengatur jadwal, mengurus keuangan, dan menjaga segala rahasia tetap rapi. Namun malam itu, Riko lebih dari sekadar asisten. Ia menjadi bayangan yang membawa rasa bersalah majikannya.Ia menelusuri setiap rumah sewa dan kontrakan di pinggiran kota, menanyakan keberadaan perempuan berkerudung yang datang beberapa hari lalu. Jawaban demi jawaban terdengar sama. Samar, tak pasti, seperti mencoba diingat dari mimpi. Namun Riko tak menyerah.Ia tahu, Sagara bukan pria yang mudah diger

  • Senja Yang Di Hadirkan   Ruang Yang Kosong

    *Langit sore itu kelabu. Di luar jendela kamar besar itu, hujan menetes perlahan, seperti meniru ritme napas seseorang yang lelah.Calesya duduk di tepi ranjangnya, mengenakan gaun satin warna kelabu muda yang kini tampak kusut. Rambutnya terurai berantakan, mata sembab, dan di tangannya masih tergenggam bingkai foto lama. Foto dirinya bersama Pak Brata.“Kenapa kau pergi secepat ini, Pa?” suaranya nyaris tak terdengar. “Kau bilang kita belum selesai, tapi kenapa kau menyerah begitu saja?”Tak ada jawaban, hanya gema suaranya sendiri yang memantul di dinding kamar luas itu. Di luar, suara petir terdengar samar, seolah menegaskan sepi yang melingkupi rumah megah itu.Calesya menatap bayangannya di cermin. Wajah yang dulu begitu terawat kini tampak asing. Seperti seseorang yang kehilangan arah.Ia berjalan ke arah meja rias, menatap wajahnya lama-lama sebelum menghempaskan bingkai foto ke lantai. Suara kaca pecah mengisi ruangan.“Semua karena mereka,” bisiknya pelan, lirih tapi syarat

  • Senja Yang Di Hadirkan   Pergi

    *Setelah mendapat perawatan di rumah sakit, Senja bersikeras meminta untuk pulang lebih cepat. Dokter sudah menahannya, tapi keras kepalanya membuat dokter mengizinkan dengan catatan tiga hari kemudian harus kontrol.Malam kembali turun dengan wajah kelam. Hujan belum berhenti sejak sore, menetes perlahan di jendela rumah besar milik Sagara. Di ruang tengah yang sepi, suara televisi menjadi satu-satunya kehidupan. Kabar kematian Pak Brata menjadi berita trending beberapa hari ini.“Pak Brata, pengusaha yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus kriminal, meninggal dunia setelah sempat dirawat di rumah sakit--”Sebelum pembawa berita menyelesaikan siarannya, Sagara mematikan televisi tanpa ekspresi.Ia berdiri lama menatap layar gelap itu, lalu melangkah pelan menuju ruang kerjanya tanpa berkata apa pun.Sementara di sudut ruangan, Senja duduk diam di kursi panjang, masih mengenakan perban di bahunya.Sorot matanya redup, seolah sebagian jiwanya ikut tertinggal di antara denting hujan.

  • Senja Yang Di Hadirkan   Rindu Dan Kekecewaan

    *Malam itu rumah sakit sepi. Hujan masih jatuh dari langit, menetes di jendela, menimbulkan suara samar seperti detak jam yang terlalu pelan. Di lorong panjang itu, lampu-lampu putih menyala temaram, dan aroma obat-obatan bercampur dengan sisa bau darah yang belum sempat benar-benar hilang.Senja terbaring di ranjang perawatan, matanya berat, kepalanya berdenyut, dan bahunya terasa seperti terbakar. Sekilas, ia pikir dirinya masih berada di tengah baku tembak, tapi begitu sadar, suara mesin monitor dan dinginnya selimut rumah sakit menyadarkan semuanya. Ia selamat.Namun, yang pertama kali ia lihat bukanlah wajah perawat atau dokter, tapi punggung seseorang yang duduk di kursi dekat jendela. Sagara.Ia tidak bergerak. Tidak juga menoleh. Hanya duduk di sana dengan postur tegak, tangan menggenggam lutut, dan tatapan mengarah ke luar jendela, ke langit malam yang basah.“Tuan,” ucapnya dengan suara yang serak.Sagara tidak menjawab. Bahkan tidak ada gerakan kecil di bahunya. Hening itu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status