Share

Bab 2

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-11-14 15:52:01

Dara kembali ke rumah saat jam menunjuk pukul lima sore. Dua jam sebelum Arkha tiba di rumah. Dia memutuskan untuk merendam diri dengan air hangat, menaburkan bath salt aromaterapi lavender ke dalam airnya.

Uap air hangat mengepul, membuat kaca kamar mandi mengembun. Dara berendam di bathtub, air hangat membuat otot-ototnya yang kaku melentur. Wangi lavender yang menenangkan membuat otaknya rileks, namun tidak mampu meredam debaran jantungnya yang tak karuan.

Dara memejamkan mata, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam bathtub. Ia membiarkan dirinya terbenam lebih dalam, hingga air hampir menyentuh dagunya.

Bayangan percakapan dengan Fanny dan wajah Arkha yang acuh tak acuh bergantian menghantui pikirannya.

“Gimana kalau aku lakukan saran Fanny ya? Dateng ke seks terapis?” bisiknya pada dinding.

Dara tak pernah membayangkan seperti apa proses seks terapis itu. Menceritakan masalah hubungan intim ke orang asing? Bahkan membayangkannya saja dia sudah malu sendiri.

Terlebih lagi, apa yang akan dikatakan Arkha nanti jika dia tiba-tiba meminta hal itu? Pasti suaminya akan tersinggung dan berunjung pada pertengkaran lagi. Padahal Dara haya ingin yang terbaik untuk pernikahan mereka.

"Tapi kayaknya aku memang harus mencobanya. Ini demi hubunganku dengan Mas Arkha."

Dara sudah memutuskan. Dia akan mencoba saran dari Fanny. Dan dia harus mengatakan niat itu pada Arkha.

Dara mulai mempersiapkan dirinya. Dia memasak hidangan kesukaan suaminya dan bersiap menyambut kedatangan suaminya itu. Hingga akhirnya, Arkha sampai di rumah pukul tujuh malam. Dara sudah menunggu suaminya di ruang makan.

Dara menyendokkan nasi ke piringnya, meletakkannya di hadapan Arkha. Dia berusaha menghilangkan rasa gugup, sambil mengumpulkan keberanian yang untuk mengatakan niatnya bertemu seks terapis.

“Makan dulu, Mas,” ujarnya, mencoba membuat suaranya terdengar normal.

Mereka makan tanpa berbicara, hanya diiringi suara sendok dan garpu yang sesekali berdenting. Berita ekonomi dari televisi yang Arkha nyalakan menjadi pelengkap suasana makan malam itu.

Dara menatap suaminya yang asyik dengan ponselnya di sela-sela makan. Hal itu membuat dadanya sesak. Dia menarik napas dalam.

“Mas,” Dara memanggil suaminya dengan suara sedikit serak. Arkha mengangkat pandangan, alisnya naik tanda bertanya.

“Aku ... aku mau bicara sesuatu sama kamu.” Dara mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba menghilangkan rasa gugup dan keraguannya sendiri. “Aku ... aku mau coba untuk pergi ke ... seorang terapis. Terapis … seks.”

Seketika itu juga, udara di ruang makan seperti membeku. Senyum santai Arka pun menghilang, digantikan oleh kerutan di dahinya. Tatapannya yang tadinya hangat, berubah menjadi dingin dan penuh curiga.

“Terapis seks?” tanyanya, suaranya datar namun tajam.

Ponselnya ia letakkan di atas meja dengan bunyi yang keras. “Buat apa, Yang? Apa ada yang nggak beres sama kita?”

“Bukan gitu, Mas. Aku cuma mau kehidupan ranjang kita makin harmonis. Makin romantis.” Dara menjelaskan dengan nada selembut mungkin.

“Itu nggak perlu, Yang. Kamu selama ini selalu puas ‘kan tiap kali kita main? Kamu aja yang pergi, aku sibuk sama kerjaanku.”

“Mas, nggak bisa gitu dong. Kita suami istri, harus datang berdua.”

Arkha menggeleng. “Aku nggak mau. Masalahnya di kamu, bukan aku!”

“Ya udah anggap aja aku yang bermasalah, oke? Tapi kamu harus temenin aku ke sana besok!”

“Ya udah. Aku cuma nemenin aja, kamu yang terapi.”

“Iya!”

Kata ‘iya’ yang diucapkan Dara hanya karena tak ingin ada perdebatan di antara mereka. Dara tak ingin berdebat lagi. Namun pengorbanan kecil dengan mengalah itu segera tenggelam oleh sikap dingin Arkha.

Suaminya langsung kembali menatap piringnya, menghabiskan makan malam dengan santai, seolah percakapan penting sebelumnya tidak pernah terjadi. Ruang makan kembali sunyi, hanya diisi suara televisi dan denting sendok.

Dara membereskan meja dengan gerakan kaku, perutnya mulas oleh campuran rasa lega, malu, dan amarah yang tak tersalurkan. Saat dia membawa tumpukan piring kotor ke wastafel, tangan Arkha tiba-tiba menyentuh pinggangnya, membuatnya terkejut.

“Udah Yang, nanti aja nyuci piringnya, biarin dulu,” bisik Arkha di dekat telinganya, nafasnya hangat. “Aku lagi pengen banget ini.”

Sentuhan itu, yang biasanya dinantikannya, kini terasa seperti perintah. Bukan undangan. Bukan pemanasan yang menggoda, tetapi sebuah perintah mutlak.

Sebuah upaya untuk membuktikan bahwa tidak ada yang salah, bahwa dia masih bisa membuatnya ‘puas’ dengan cara lamanya.

Dara membeku. Piring di tangannya bergetar pelan. “Sekarang banget, Mas?” tanyanya, suaranya lebih kecil dari yang dia harapkan.

“Iya, sekarang. Kamu ‘kan bilang mau yang romantis?” jawab Arkha.

Suaminya itu memeluknya dari belakang dan mencium bagian belakang lehernya. Namun ciuman itu terasa hampa, bukan seperti api yang membakar. Tangannya meraba perut Dara, lalu bergerak ke bawah.

Dara membiarkannya. Tubuhnya pasrah di pelukan Arkha, tetapi hatinya ingin menolak.

Saat Arkha membimbingnya ke arah kamar, Dara memejamkan mata. Dia membayangkan suaminya akan bisa memberinya lebih. Sebuah kepuasan yang selama ini diharapkannya.

Dunia Dara berputar sesaat saat tubuhnya diangkat dengan mudah oleh Arkha. Tangannya secara refleks melingkari leher suaminya, merasakan denyut nadi di sana yang berdetak stabil, tak seperti detak jantungnya sendiri yang berdebar kencang.

Dara menutup matanya, pasrah, membiarkan dirinya dibawa menuju tempat yang seharusnya menjadi ruang paling intim bagi mereka berdua.

Di kamar, Arkha menurunkannya dengan lembut di atas seprai yang masih beraroma pelembut pakaian itu. Penerangan lampu tidur menciptakan bayangan panjang di wajahnya yang tegas. Jari-jari Arkha yang mahir membuka kancing blus Dara satu per satu, terlalu bersemangat bahkan terkesan buru-buru.

Hal itu bukan seperti yang Dara inginkan. Kain blus itu meluncur dari bahunya, meninggalkan rasa dingin yang segera digantikan oleh hawa panas tubuh suaminya.

Lidah Arkha mulai menjelajah. Dimulai dari lekuk lehernya, menggurat pelan, meninggalkan jejak basah yang segera membuat bulu kuduk Dara berdiri. Bukan karena gairah, tetapi karena sebuah penantian yang penuh kecemasan.

Nafasnya memburu ketika mulut itu turun lebih rendah, membasahi tulang selangkanya, meninggalkan rasa hangat di ujung sensitif dadanya.

Arkha mengangkat tangannya, bukan untuk merangkul, tetapi untuk menutup matanya. Di balik kelopaknya yang tertutup, dia membayangkan dirinya sedang berada di sebuah ranjang yang dipenuhi bunga mawar dengan hiasan cahaya lilin temaram beraroma lavender.

“Seandainya kamu tahu, Mas. Setiap gerakan kamu yang monoton ini, semuanya membuatku merasa … kosong,” bisik hatinya, sementara tubuhnya di atas ranjang bergerak mengikuti ritme yang ditentukan Arkha.

Setiap ciuman, setiap sentuhan Arkha, terasa seperti sebuah rutinitas yang monoton dalam kehidupan ranjangnya selama pernikahan dengan Arkha. Lalu pikiran liar Dara mulai mengambil alih.

‘Sampai kapan aku harus terus berpura-pura? Apakah ini semua salahku karena tak bisa menikmati sentuhannya dan merasa puas?'

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 7

    Perdebatan dengan Arkha membuat Dara memutuskan pergi seorang diri ke klinik tempat terapi itu. Namun, sesi terapi itu terasa berbeda. Dara duduk di ruang tunggu seorang diri. “Kok sepi, ya? Kemarin pas dateng rame banget antriannya. Aneh. Apa cuma aku yang ada jadwal terapi hari ini?” Seorang perawat memanggil nama Dara. Dia lalu berdiri, melangkah pelan masuk ke ruangan. Jantung Dara berdebar-debar. Terlebih saat melihat Rendra berdiri dari kursinya untuk menyambutnya. Matanya yang terbingkai kacamata, kemejanya yang menampilkan sedikit otot di lengannya itu, membuat Dara menundukkan pandangan agar tak terlihat gugup. “Duduk dulu ya, Dara.” Rendra memanggilnya Dara tanpa sapaan ‘Bu’ seperti pertemuan sebelumnya. “Sa-saya …” “Rileks, tenang aja. Kita lama nggak ketemu. Anggap aja ngobrol biasa sekalian nostalgia.” Dara merasa ruangan itu mendadak panas. Rendra melepas kacamatanya. “Gimana kabar kamu, Ra?” tanyanya. Dara merasa napasnya tertahan. Panggilan “Ra” yang keluar dar

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 6

    Demi mengusir rasa bosan, Dara meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara tentang kehidupan pribadinya. Fanny, sahabatnya.“Halo, Fan,” sapa Dara.Suara Fanny terdengar di seberang telepon. “Halo, Ra. What's up, Babe?”Suara Fanny di telepon terdengar nyaring penuh antusias, berhasil memberi kehangatan di ruang keluarga yang sepi. Tempat Dara meringkuk di sofanya.“Kemarin jadi ‘kan terapinya?” tanya Fanny.“Iya,” jawab Dara.“Terus gimana sesi terapinya? Cocok nggak? Enak ‘kan konsulnya? Cepet cerita sama aku!” desak Fanny.Dara menarik napas. “Ternyata ... terapisnya itu Rendra, Fan.”Dara memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyapu pikirannya. Bayangan pria dengan senyum percaya diri dan sorotan mata yang tajam tapi hangat itu kembali jelas.Di seberang telepon, terdengar suara Fanny semakin antusias. “Maksudnya, dia Rendra yang pernah kamu ceritain ke aku dulu? Yang waktu kuliah jadi idola kampus, cowok psikologi yang bikin antrean cewek dari

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 5

    Usai sesi terapi itu, Arkha segera membawa keduanya kembali ke rumah. Di perjalanan pulang, Mobil SUV mewah itu meluncur mulus meninggalkan gedung klinik. Namun suasana tegang karena perdebatan di ruang terapi masih terasa di dalam kabin mobil yang dingin karena AC.Senja mulai turun, membuat langit menjadi warna jingga dan keunguan. Namun, keindahan itu seolah tak mampu menembus kaca mobil yang gelap.Dara duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa lelah seolah energinya terkuras habis karena sesi terapi tadi. Bekas sentuhan Rendra saat mereka berjabat tangan, seolah masih melekat di kulitnya. Pria yang dulu pernah membuat jantungnya berdegup kencang itu menjadi seks terapis.Dara menyandarkan kepala di sandaran kurai mobil, menatap ke luar jendela. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tak tenang.Tiba-tiba, Arkha memecah kesunyian. Suaranya datar, namun sarat dengan nada menyalahkan. “Kamu dengar 'kan tadi apa kata Rendra?” ujarnya, tanpa menoleh dari jalanan di had

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 4

    “Selamat siang, Bu Dara, dan ... Pak Arkha. Silakan duduk!” ucap Rendra, suaranya halus namun penuh wibawa, tangannya menunjuk ke dua kursi empuk di seberang meja kerjanya yang rapi.Arkha, yang sebelumnya bersikap acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya. Wajah masamnya pecah oleh ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. “Oh ternyata kamu, Rendra?”Rendra hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terukur sempurna antara keramahan profesional dan pengakuan terhadap seorang teman lama. “Iya, Arkha. Lama nggak ketemu.”Arkha pun menarik kursi untuk Dara sebelum duduk di sampingnya, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih santai, bahkan sedikit akrab. “Iya. Lama banget kita nggak ketemu, ya? Waktu aku nikah juga kamu nggak dateng. Ternyata kamu jadi terapis seks sekarang?” ujarnya, nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti mengejek.“Iya. Dan karena kita udah kenal,” jawab Rendra, matanya berpindah sebentar ke Dara yang masih kaku, sebelum kembali ke Arkha, “bakalan lebih gampang

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 3

    Esoknya, Dara pergi bersama suaminya ke klinik yang direkomendasikan Fanny. Klinik itu jauh dari bayangan Dara. Ruang tunggunya terang, minimalist, dan berhiaskan lukisan abstrak berwarna earth tone yang menenangkan.Namun, ketenangan itu kontras dengan antrean panjang di depan mereka. Hampir semua kursi terisi oleh pasangan dengan ekspresi yang beragam. Ada yang cemas, penuh harap, atau justru kosong seperti Arkha.Dara tak bisa menahan decak kagum. “Banyak banget yang dateng,” gumannya lirih, matanya memandang setiap wajah di ruangan itu.Rasanya lega sekaligus terasing. Dia tidak sendirian menghadapi masalah ini, tetapi di sisi lain, apa yang dilihatnya membuktikan betapa rapuhnya pondasi keintiman hubungan banyak pasangan selain dirinya.“Katanya terapisnya ganteng banget lho,” ucap seorang wanita dengan suara berbisik yang terdengar jelas di keheningan ruang tunggu yang tenang itu. Teman wanitanya menyenggol bahunya sambil cekikikan. Dara tidak sengaja mendengar, dan secercah ras

  • Sentuh Aku Lagi, Sayang!   Bab 2

    Dara kembali ke rumah saat jam menunjuk pukul lima sore. Dua jam sebelum Arkha tiba di rumah. Dia memutuskan untuk merendam diri dengan air hangat, menaburkan bath salt aromaterapi lavender ke dalam airnya. Uap air hangat mengepul, membuat kaca kamar mandi mengembun. Dara berendam di bathtub, air hangat membuat otot-ototnya yang kaku melentur. Wangi lavender yang menenangkan membuat otaknya rileks, namun tidak mampu meredam debaran jantungnya yang tak karuan. Dara memejamkan mata, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam bathtub. Ia membiarkan dirinya terbenam lebih dalam, hingga air hampir menyentuh dagunya. Bayangan percakapan dengan Fanny dan wajah Arkha yang acuh tak acuh bergantian menghantui pikirannya. “Gimana kalau aku lakukan saran Fanny ya? Dateng ke seks terapis?” bisiknya pada dinding.Dara tak pernah membayangkan seperti apa proses seks terapis itu. Menceritakan masalah hubungan intim ke orang asing? Bahkan membayangkannya saja dia sudah malu sendiri.Terlebih lagi, apa yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status