تسجيل الدخول“Karena kamu memahami pelajaran pertama dengan baik, aku akan memberikan hadiah,” kata Rendra.
Kalimat itu menggantung di udara, berbahaya dan menggoda. Sebelum Dara sempat bertanya hadiah apa, Rendra sudah membungkuk. Bibirnya tidak menuju bibir Dara, melainkan turun ke lehernya.Ciumannya di sana perlahan, bertele-tele, penuh dengan teknik yang ia kuasai. Setiap sentuhan bibir dan lidahnya seperti sebuah janji. Janji akan kenikmatan yang Arkha tidak pernah berikan, dan sebuah pengingat akan harga yang harus dibayar untuk hubungan mereka.Dan Rendra memahami jika proses itu bukan lagi terapi. Itu adalah transaksi atas rahasia yang dia sembunyikan. Dan Dara, dalam posisi yang terjebak dengan bantal di bawah pinggangnya, mulai memahami bahwa hadiah dari Rendra selalu datang dengan tali yang tak terlihat, mengikatnya lebih erat pada pria itu dan pesonanya yang semakin berbahaya.Mata Rendra yang jeli menangkap reaksi kecil dari tJalanan malam yang lengang menjadi tempat pelampiasan frustrasi Rendra. Dia menekan pedal gas mobilnya lebih dalam sehingga mobil melaju kencang, membawa serta kekacauan emosi dari pertikaian dengan Arkha di rumah Dara.Bayangan terakhir Dara mengusirnya, wajahnya yang lelah, masih terpampang jelas di benaknya. Dia kalah. Bukan oleh Arkha, tetapi oleh keinginan Dara untuk bebas dari mereka berdua.Saat mobilnya mendekati rumahnya, harapan akan ketenangan sirna oleh pemandangan yang sudah ia duga sebelumnya. Kerumunan wartawan yang masih bertahan di depan gerbang dengan kamera itu membuatnya jengkel. Lampu kamera dan sorotan menyala saat mobilnya mendekat, siap menyambutnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama menyiksa.Rasa lelah, marah, dan kekalahan yang terpendam mendidih menjadi satu. Daripada melambat dan terjebak dalam lingkaran pertanyaan yang tak ada habisnya, Rendra memilih cara yang lebih keras. Jarinya menekan tombol klakson mobilnya dengan kuat dan terus-menerus.TIIINN—
“Jadi kamu mau terang-terangan mengakui kalau kamu selingkuh sama istriku, hah?” Arkha berteriak di depan wajah Rendra.Pertanyaannya bukan lagi mencari jawaban, melainkan sebuah tuduhan yang ingin dia tujukan pada Rendra di depan Dara.Rendra merasakan tangan Dara mengeratkan genggamannya di lengan jaketnya dari belakang. Tubuh Rendra yang menjadi perisai itu seketika menegang. Dia tahu, apapun jawabannya akan menjadi bumerang.Jika menyangkal, dia akan terlihat seperti pengecut dan seorang pembohong. Namun, mengakuinya akan menjadi senjata pamungkas bagi Arkha untuk melabeli mereka sebagai pasangan pendosa. Sekaligus pembenaran untuk semua kemarahannya.Rendra mendesah, merasa sudah lelah dengan kebohongan. Dia menatap Arkha, matanya tidak lagi berisi amarah.Rendra tidak membela diri. Dia hanya mengatakan perasaannya. “Aku tidak pernah menyentuhnya dengan niat seperti itu, Arkha. Tidak sampai hari ini. Ta
Langkah Rendra terhenti di depan pintu kayu rumah tua itu. Dari dalam, terdengar suara. Bukan suara tangisan, tetapi teriakan yang teredam, penuh dengan emosi yang meledak. Suara Dara. Dan suara lain yang lebih dalam, sedang marah. Dia menduga itu suara Arkha. Debat. Pertengkaran. Sakit hati yang memecah kesunyian malam di rumah itu. Setiap kata yang tertangkap samar olehnya seperti cambuk di punggung. Rendra tidak tahan. Kekhawatiran berubah menjadi sebuah keberanian yang nekat. Dia tidak bisa hanya berdiri di luar sementara Dara mungkin sedang disakiti. Tanpa berpikir lagi, dia mengepalkan tangannya untuk menggedor pintu kayu yang kokoh itu. Suara gedoran itu keras, memecah ketegangan di dalam rumah. “Dara! Buka pintunya! Dara, aku di sini!” Teriakan Rendra penuh dengan kepanikan dan keinginan melindungi. Dia tidak peduli apakah Arkha ada di dalam. Justru, kemung
Dinginnya air yang mengucur dari keran menyiram wajah Rendra, tetapi tidak bisa mendinginkan kegelisahan yang mendidih di dalam dadanya. Pikirannya berputar-putar di antara strategi hukum, narasi media, dan satu kekhawatiran yang paling membuatnya tak tenang.Dara.Ponsel Dara tak bisa dihubungi atau dia sengaja menonaktifkan daya ponselnya. Setiap kali Rendra menelepon, hanya nada sambung monoton yang terdengar, seolah menegaskan jarak yang tiba-tiba terbentang lagi di antara mereka.Apakah Dara baik-baik saja? Apakah dia terjebak dalam pusaran berita? Atau, yang paling buruk, apakah Arkha telah menemukannya dan melakukan sesuatu yang buruk padanya?Kekhawatiran itu lebih tajam dari segala ancaman pada karirnya.Tok-tok-tok!Ketukan di pintu kamar mandi memutus konsentrasinya. Suara Riani terdengar datar dari balik pintu.“Ren, aku mau keluar sebentar ya,” katanya.Rendra
Pulang ke rumah, yang biasanya merupakan pelarian, kini berubah menjadi medan pertempuran lain. Mobil Rendra disambut oleh kerumunan wartawan dan lensa kamera yang menyorot tajam dari balik gerbang. Lampu blitz kamera berkedip-kedip, menerangi wajahnya yang lelah namun tetap berada dalam ekspresi netral.Rendra dengan santai melangkah keluar mobil, mengabaikan teriakan pertanyaan wartawan yang saling tindih.“Pak Rendra, apa komentar Anda?”“Siapa wanita di foto itu?”“Apakah ini penyalahgunaan wewenang?”“Apa Anda mengakui penyalahgunaan kode etik?”Saat itulah, Riani muncul di pintu teras. Dia sudah bersiap. Berpakaian rapi namun tidak berlebihan, riasan wajahnya natural, senyumnya terlihat di bibir. Sebuah gambaran sempurna istri yang tegar dan mendukung.Dia melangkah turun menyambut Rendra di depan pintu, sebuah pertunjukan yang direncanakan untuk konsumsi publik.Sua
Kalimat itu diucapkan Rendra seperti janji pada Dara, meski ia sendiri belum tahu bagaimana harus mengurus badai skandal yang begitu besar itu.Dara akhirnya mengangguk, mematuhi. Dia mengikuti Maya keluar dari ruangan, melirik sekali lagi ke arah Rendra yang berdiri sendirian di tengah kekacauan yang ia ciptakan.Begitu pintu tertutup, ketegangan di wajah Rendra runtuh. Dia menopang tubuhnya di tepi meja, kepalanya tertunduk. Suara bising dari telepon kantor yang mulai berdering terus-menerus memecah kesunyian. Dunianya yang rapi dan tertata dengan reputasi gemilang telah hancur berkeping-keping dalam sekejap.Dia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Pertempuran telah dimulai. Bukan lagi melawan Arkha secara personal, melainkan melawan opini publik, etika profesional, dan hukum. Dan di tengah semua ini, ada satu hal yang tidak akan ia lakukan.Ia tidak akan menyeret nama Dara lebih dalam ke dalam lumpur itu. Apa







