Home / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 52. Hari terakhir

Share

52. Hari terakhir

Author: Rossy Dildara
last update Huling Na-update: 2025-12-16 09:02:55

"Halo, assalamualaikum Nona Qiara. Maaf Bibi ganggu." Suara Bibi terdengar lemah dan bergetar di seberang sana, seperti dia sedang menahan sesuatu—suara itu langsung membuat rasa khawatir meluap di dada.

"Walaikum salam. Bibi kenapa? Ada apa, Bi?"

"Bibi nggak kenapa-kenapa, Nona. Tapi Bibi mau ketemu sama Nona untuk pamit, Nona sekarang masih di rumah orang tua Nona, kan?"

"Pamit??" Kata itu keluar dari bibirku dengan terkejut. "Pamit mau ke mana, Bi?"

"Ini hari terakhir Bibi bekerja, Nona."

"Lho kok gitu, Bi? Kenapa?" Aku mendekat ke jendela, mata memandang keluar yang masih diselimuti kabut pagi—rasanya semua ini terlalu tiba-tiba.

"Pak Bilal sudah memecat Bibi."

"Memecat?!"

Mas Bilal memecatnya? Kok bisa? Dari awal Mas Bilal membeli rumah, Bibi adalah pembantunya yang setia. Dan sekarang, kenapa dia tiba-tiba memecat Bibi tanpa memberitahuku?

Ya meskipun Mas Bilal yang mengajinya, sebagai seorang istri aku perlu tahu juga.

"Iya, Nona. Hari ini Bibi rencananya mau langsung pulang ka
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   69. Garda terdepan

    "Hati-hati di jalan, Gas." "Iya, Lan." Setelah itu aku menutup panggilan dengan lembut, lalu membuka satu persatu pesan yang belum dibuka. * * * Setelah menempuh perjalanan hampir 3 jam melewati jalanan yang rimbun lalu lintas, akhirnya ban mobilku menggesek aspal dengan suara pelan saat berhenti di depan cafe yang sudah begitu akrab bagiku. Cafe bergaya klasik dengan pintu kayu berlapis cat coklat tua ini adalah tempat langgananku bersama Dylan, sudah berdiri sejak kami masih mengenakan seragam mahasiswa dengan dasi yang kadang kusut dan sepatu kulit yang selalu tergores. Lampu gantung dengan warna kuning keemasan dari setiap sudut menerangi ruangan dengan cahaya yang hangat dan sedikit samar—sama seperti dulu kala saat kami sering menghabiskan malam membahas rencana masa depan. Dylan sebenarnya kakak seniorku saat kuliah, tapi kami berbeda jurusan. Aku mengambil kedokteran, yang mengharuskan aku menghabiskan waktu lebih banyak di laboratorium dan ruang praktik, sementara di

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   68. Untuk kesayanganku

    Keesokan harinya.Sebelum matahari benar-benar tinggi menyinari langit Bandung, aku sudah siap pulang ke Jakarta. Aku duduk di kursi belakang, sementara asisten pribadiku yang bernama Jaka—tengah mengemudi dengan tenang, tangan kiri tetap erat di setir sambil mata memantau lalu lintas yang mulai ramai.Namun, sebelum meninggalkan Bandung, aku sudah mengatur rute dengan cermat.Pertama, mampir ke toko oleh-oleh khas yang terletak di pinggir jalan utama—di sana aku membeli 5 kilo peuyeum, bolu susu dan brownies panggang. Semua itu untuk kesayangku—Qiara.Kemudian, kami berhenti di mini market untuk membelikannya beberapa varian susu ibu hamil dengan merek paling bagus. Di perjalanan, ketika mobil sudah melaju stabil di jalan tol, aku mengeluarkan ponselku yang satunya.Saat layarnya menyala dengan cahaya putih yang menyilaukan, deretan pesan masuk bertebaran di layar—dari rekan sesama dokter, Maira, Dylan, Karin dan masih banyak lagi.Tapi, dari sekian banyaknya pesan yang belum terbac

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   67. Luar biasa

    Bunda langsung melepaskan pelukan, kedua tangannya menggenggam bahuku dengan erat hingga membuatku merasa sedikit sakit, tapi aku tahu dia tidak sengaja. Matanya yang masih merah karena menangis kini menatapku dengan tatapan yang penuh kekhawatiran dan kesedihan mendalam. "Nggak! Nggak boleh, Nak!" serunya dengan tegas. Mencoba menggoyahkan aku agar keluar dari lorong pemikiran yang kelam dan mengerikan itu. "Janin di dalam kandunganmu adalah anak yang nggak berdosa. Dia punya hak untuk hidup." "Tapi dia sudah nggak dibutuhkan, Bun." Aku menjawab dengan suara yang tersedu-sedu, napasku terengah-engah karena masih sulit menahan air mata yang terus mengalir lewat pipiku. "Mas Bilal sudah nggak menginginkannya lagi ...." "Meskipun Bilal sudah nggak menginginkannya, tapi Bunda menginginkannya, Nak!" Bunda menjawab dengan cepat. Dia menarik tubuhnya sedikit ke depan, matanya semakin mendekat ke wajahku. "Pokoknya, apapun yang terjadi... kamu harus mempertahankan janin yang ada di perutm

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   66. Meratapi nasib

    Mataku perlahan terbuka, kelopak mataku yang berat terasa seperti ditutup oleh lapisan tebal kapas. Aku menyesuaikan diri dengan cahaya lampu gantung yang menerangi ruangan dengan warna kuning hangat. Sorot mataku berkeliling. Ini seperti kamarku di rumah Ayah. Dan saat ini aku sedang berbaring di atas ranjang. Kutatap jam dinding bundar di atas pintu—jarum jamnya menunjukkan pukul 7 tepat. Tak lama kemudian terdengar suara adzan berkumandang. Sepertinya adzan Isya. Tampaknya sudah memasuki waktu malam. Aku terdiam sejenak, menutup mata sebentar sambil mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sebelumnya. Dan seketika saja, dadaku terasa sesak, bahkan begitu sakit seolah ada batu besar yang ditekan kuat-kuat ke dalamnya. Napasku menjadi pendek dan tidak teratur, setiap tarikan napas rasanya seperti menusuk dada dengan jarum tajam. Tapi, apakah semua yang terjadi adalah mimpi?? Aku berharap begitu. Apalagi posisiku saat ini seperti baru saja bangun tidur. Ceklek~ Suara pintu yang m

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   65. Seorang pengkhianat

    "Mana, Ayah? Coba tunjukkan padaku," pintaku dengan nada cepat dan tegas, tangan kananku secara refleks mengulurkan diri ke arahnya, jari-jari sedikit menggenggam udara karena kegelisahan yang meluap. "Ikutlah dengan Ayah, Ayah akan menunjukkan buktinya." Tanpa basa-basi lagi, Ayah menarik tanganku dengan cukup kuat—cukup untuk membuatku terpaksa mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat menuju arah parkiran mobil. Tubuhku sedikit terpeleset karena alas kakiku yang tidak terlalu nyaman untuk berlari, tapi Ayah tidak berhenti sedikit pun. Kupikir, Ayah akan langsung menunjukkan bukti itu di dalam mobil, ketika kami berdua sudah sama-sama masuk dan pintunya terkunci rapat. Tapi ternyata tidak. Setelah menyalakan mesin dan mengendarai mobil keluar dari area parkir rumah sakit, dia justru melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi, menjauh dari gedung tinggi itu. Aku bertanya-tanya, ke mana Ayah akan membawaku? Dan bukti apa yang dia maksudkan hingga harus keluar jauh dari rumah saki

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   64. Menantu kurang ajar

    Pandanganku langsung ke dalam kamar, tepatnya di ranjang Mas Bilal. Ayah berdiri kokoh di sisi kanan Mas Bilal, tubuhnya sedikit membungkuk, kedua tangannya yang besar dan berotot mencengkram leher Mas Bilal dengan erat. Wajah Ayah tampak memerah dengan emosi yang membara. Sementara Mas Bilal, dia sudah sadar. Namun, matanya terbuka lebar, hampir melotot. Napasnya terengah-engah. Tangannya yang lemah terlihat menggenggam lengan Ayah dengan sekuat tenaga, seperti berniat mencoba untuk melepaskan diri. "Astaghfirullah Ayah!" teriakku penuh kepanikan. Aku langsung melesat ke arah mereka berdua, kedua tanganku segera meraih lengan Ayah, mencoba menariknya dengan semua kekuatan yang ada di dalam diriku. "Lepaskan Mas Bilal, Ayah! Jangan sakiti dia!!" Bunda juga ikut membantu, tangannya meraih lengan Ayah dari sisi lain, namun tenaga kami seolah tak ada apa-apanya. Kami tak berhasil menghentikan aksi Ayah. "Ayah istighfar! Ayah ini kesurupan atau gimana?!" Bunda teriak dengan su

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status