Share

Sentuh Aku, Pak Mentor
Sentuh Aku, Pak Mentor
Author: Leona Valeska

Bab 1

Author: Leona Valeska
last update Huling Na-update: 2025-11-03 17:35:54

“Buka mulutmu, Sophia.”

Sophia Russell, 27 tahun, tengah duduk di pinggir tempat tidur mewahnya bersama Mike Myers—tunangan yang semua orang bilang sempurna dan tengah menatapnya dengan penuh hasrat.

Pria itu tampan, berkelas, dan berpendidikan. Setelan kemeja putihnya sudah terbuka di dua kancing atas, memperlihatkan kulit dada yang hangat dan sedikit berotot.

“Sayang, kita sudah terlalu sering menunda,” ucap Mike dengan suara rendah, serak namun menggoda.

Tangannya menyentuh pipi Sophia dengan lembut tapi dengan intensitas yang membuat udara di antara mereka menegang.

Sophia mengangguk dengan pelan, meski dalam dadanya bergejolak rasa takut yang sama seperti setiap kali pria itu mendekat. Ia lalu mencoba tersenyum. “Aku tahu.”

Mike menarik tubuh Sophia ke dalam pelukannya lalu bibirnya mendarat di bibir Sophia.

Ciuman itu seharusnya membuatnya bergetar, seharusnya menghadirkan desir hangat di seluruh tubuhnya.

Tapi yang dia rasakan hanyalah dingin. Dingin seperti batu. Tubuhnya menegang, tak ada satu pun otot yang mau menuruti perintah otaknya untuk merespons.

Mike memperdalam ciumannya, tangannya kini merayap ke belakang leher Sophia, namun tak ada respons.

Mata Sophia menatap kosong ke arah bahu Mike. Napasnya tak beraturan, tapi bukan karena gairah, melainkan panik yang kian menekan dadanya.

“Sayang?” suara Mike terdengar berat dan kecewa. Dia akhirnya melepaskan ciuman itu dan menatap Sophia lama, dengan tatapan nyaris tak percaya. “Kau bahkan tak bergerak sama sekali.”

Sophia terdiam, bibirnya bergetar. “Aku—aku sudah mencoba, Jo. Sungguh. Aku mencoba untuk—”

“Untuk apa?” potong Mike dengan tajam sembari menarik diri dari pelukannya. “Untuk membuatku merasa seperti sedang mencium patung?”

Ucapan Mike barusan cukup membuat Sophia sakit hati. Namun, dia tidak mau memperlihatkan itu di hadapan sang tunangan. “Maaf, aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa ….”

Mike menghela napas panjang lalu beranjak dari duduknya dan memijat pelipisnya karena frustrasi.

“Setiap kali kita mencoba, kau selalu begini. Membeku. Menolak tanpa menolak. Apa aku begitu menjijikkan untukmu, Sophia?”

“Tidak! Aku hanya … aku takut, aku tidak tahu kenapa—”

“Sudah cukup,” potong Mike dengan nada dinginnya. Ia lalu meraih jaketnya yang tergantung di kursi, lalu berjalan menuju pintu. “Aku butuh udara. Aku tidak bisa terus seperti ini.”

Pintu menutup dengan bunyi keras dan meninggalkan Sophia sendirian di kamar yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

Ia lalu menunduk sambil menatap tangannya yang gemetar di atas selimut. Lagi-lagi dia gagal lagi.

Ciuman yang seharusnya menjadi ungkapan cinta justru selalu berakhir dengan ketakutan.

Air mata akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan. Apa yang salah denganku?

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, Sophia keluar dari apartemennya.

Dengan rambut bergelombang panjang dan wajah elegan, dia masih tampak memukau meski mata sembab dan senyumnya palsu.

Bar kecil di sudut kota London itu tampak hangat oleh cahaya kuning temaram yang memantul di dinding bata ekspos. Aroma lemon dan alkohol tipis bercampur dengan suara musik jazz yang lembut.

Di sudut ruangan, Bianca Adams sudah menunggu dengan dua gelas margarita di depan meja. Ia melambai ketika melihat Sophia datang, wajahnya langsung menampilkan ekspresi prihatin begitu melihat sahabatnya itu.

“Sophia, kau tampak berantakan,” ucap Bianca tanpa basa-basi, alisnya terangkat.

Sophia tertawa kecut, lalu duduk dan melepaskan mantel panjangnya. “Terima kasih atas pengingatnya. Aku tahu aku bukan pemandangan yang menyenangkan malam ini.”

“Bahkan lebih parah dari terakhir kali,” gumam Bianca sambil menyerahkan gelas margarita.

“Jadi?” Ia mencondongkan tubuh ke depan. “Bagaimana malammu dengan Mike? Katamu ingin mencoba lagi.”

Sophia menatap cairan bening di gelasnya, mengaduk pelan dengan sedotan. “Gagal lagi,” katanya lirih.

Bianca terbelalak. “Gagal lagi? Maksudmu—”

“Bahkan sebelum kami benar-benar memulai.” Sophia meneguk minumannya sedikit lalu mengembuskan napas panjang. 

“Dia menciumku, tapi aku tidak merasakan apa-apa. Tidak ada debaran, tidak ada gairah. Hanya... takut. Tubuhku kaku. Aku seperti membeku.”

Bianca menatapnya dengan tatapan lembut namun khawatir. “Sophia, ini sudah kesekian kalinya. Kalian sudah setahun bersama, dan setiap kali kau mencoba, kau selalu ... pingsan, demam, atau panik. Ini bukan hal sepele, sayang. Ada sesuatu yang salah.”

Sophia menatap meja kosong di antara mereka. “Aku tahu. Tapi aku tidak tahu kenapa. Aku mencintainya, Bianca. Tapi tubuhku ... menolak. Mike mulai kehilangan sabar. Aku takut dia menyerah.”

Bianca diam sejenak, lalu menatap sahabatnya dalam-dalam. “Mungkin sudah waktunya kau bicara dengan seseorang yang bisa membantu.”

“Bicara dengan seseorang?” Sophia mengerutkan dahi. “Maksudmu siapa? Aku sudah bicara denganmu.”

“Aku bukan ahli terapi, Sophia.” Bianca menghela napas pelan, lalu menautkan jemarinya di atas meja. “Aku bicara tentang ... psikolog. Atau lebih tepatnya, terapi seksual.”

Sophia menatapnya, nyaris tersedak margarita. “Terapi seksual? Tunggu ... memang ada yang seperti itu?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 7

    “Apa kau gila? Mana mungkin aku berciuman denganmu,” sahut Sophia dengan mata membulat dan napasnya yang tiba-tiba terasa memburu usai mendengar ucapan John barusan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin kau belajar memahami tubuhmu. Belajar kapan rasa takut itu muncul. Dan kalau kau ingin memahaminya, kadang kau perlu menghadapi sumbernya.”“Denganmu?” ucapnya dengan nada datar.“Siapa lagi yang lebih aman daripada seseorang yang tahu batasnya?” bisiknya seolah tengah menghipnotis Sophia agar mengikuti perintahnya.Meski ucapan itu terdengar tenang, tapi justru membuat Sophia semakin bingung.Bagian rasional dirinya tahu, ini seharusnya murni terapi.Namun bagian lain—bagian yang sudah lama dia tekan, mengatakan bahwa yang sedang terjadi jauh melampaui itu.John melangkah satu langkah mendekat. Aromanya kembali memenuhi ruang kecil itu yang begitu samar, hangat, menenangkan, tapi memabukkan.“Ketakutanmu muncul setiap kali seseorang mencoba mendekat secara fisik,” uj

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 6

    Tiga hari kemudian.Sophia duduk di sofa yang sama seperti minggu lalu, tapi suasananya kali ini cukup berbeda. Ada sesuatu di udara, sebuah keheningan yang terlalu sunyi, dan detak jantungnya yang terlalu keras.John Maxwell menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang terukur.Ia mengenakan kemeja biru gelap hari ini, lengan bajunya tergulung hingga siku, dan dasinya tidak seketat biasanya. Dan entah kenapa, penampilan sederhana itu justru membuat Sophia sulit menatap secara langsung.“Bagaimana kabarmu sejak pertemuan terakhir, Sophia?” tanya John sambil duduk di kursinya.“Baik,” jawab Sophia, meski nada suaranya terdengar tidak yakin.“Baik seperti sungguh baik, atau baik sebagai jawaban sopan?” tanyanya lagi dengan sorot mata yang begitu lekat menatap wajah Sophia yang hampir merah karena tatapan yang begitu intens.Sophia menatapnya balik sembari menahan debar jantung yang semakin tak karuan. “Kau selalu tahu cara menelanjangi kalimat orang, ya.”“Pek

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 5

    “Over here!” serunya begitu melihat Sophia masuk. Kini, mereka berada di kafe yang tak jauh dari klinik milik John.Sophia tersenyum lemah dan menghampiri sambil melepas mantel panjangnya, lalu duduk di hadapan sahabatnya itu.“Jadi?” tanya Bianca tanpa basa-basi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana sesi keduamu? Kau terlihat berbeda setelah melakukan terapi pertama.”“Berbeda bagaimana?” tanyanya bingung.“Entahlah.” Bianca menyipitkan matanya menatap lekat wajah Sophia. “Wajahmu seperti orang yang baru saja melihat hantu, atau baru saja jatuh cinta.”Sophia terdiam sambil menatap uap yang naik dari cangkirnya. “Mungkin keduanya,” gumamnya lirih.Bianca mengernyit. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.Sophia menatap ke luar jendela seolah mencari keberanian lalu menghela napas panjang. “John Maxwell,” katanya pelan. “Psikolog itu … dia bukan orang asing. Aku mengenalnya.”“Kenal?” Bianca mendekat dengan raut wajah antusiasnya. “Dalam arti kenal bagaimana? Kau pernah bekerja

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 4

    John menutup buku catatannya dengan tenang lalu berdiri. Suara gesekan kursinya terdengar lembut namun cukup untuk membuat dada Sophia bergetar aneh.Pria itu berjalan mengelilingi meja, langkahnya mantap, hingga berhenti tepat di depannya.Ia lalu menarik kursi dan duduk, begitu dekat hingga Sophia bisa mendengar napasnya, bisa mencium aroma samar cologne yang hangat dan maskulin, perpaduan kayu cedar dan vanila yang memunculkan memori samar dari masa remaja.Kehadirannya mendominasi ruangan, bukan dengan ancaman, tapi dengan aura yang kuat dan menenangkan di saat bersamaan.“Kita akan mulai perlahan,” katanya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan.Sophia hanya mampu mengangguk. Detak jantungnya terasa begitu keras hingga dia yakin ruangan ini bisa mendengarnya.“Pertama,” lanjut John, “aku ingin kau mengenali tubuhmu sendiri. Mengenali kapan rasa takut itu mulai muncul, dan dari mana asalnya. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak ada paksaan apa pun di sini. Kau hanya perlu ju

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 3

    “Silakan duduk dengan nyaman,” ujar suara berat itu dengan nada lembut tapi berwibawa. “Tidak perlu tegang. Di sini tidak akan ada yang menghakimimu.”Dr. John Maxwell menutup map di tangannya, lalu menatap perempuan yang duduk di seberangnya. Sekilas, pria itu tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa menampung rahasia-rahasia terdalam manusia—tenang, sabar, dan sangat profesional.Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat udara di ruangan terasa padat.Sophia hanya bisa menatapnya dalam diam, tubuhnya kaku di kursi empuk berwarna krem, sementara pikirannya berputar cepat, mencoba menyesuaikan antara kenangan masa lalu dan kenyataan yang kini terhampar di depan mata.Ia mengenalnya. Terlalu mengenalnya.John Maxwell—nama lengkap yang dulu sering ditulis gadis SMA itu di halaman belakang buku catatannya, dan diapit coretan hati kecil.Cinta pertamanya. Pria yang dulu dia tinggalkan tanpa sempat menjelaskan apa pun.Dan kini, pria itu duduk di hadapannya, mengenakan ke

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 2

    Tok tok tok“Masuk.”Sophia membuka pintu ruang kerja Mike untuk membahas saran dari sahabatnya semalam.Di dalam, Mike sedang duduk di balik meja kerja yang luas dengan laptop terbuka, dasi masih melingkar di leher, dan kening berkerut tajam. Ia bahkan tidak menatap Sophia ketika perempuan itu masuk.“Mike,” sapa Sophia dengan pelan.“Hmm,” jawabnya singkat tanpa mengangkat kepala.Sophia berdiri canggung di depan meja, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan tubuh. “Aku ingin bicara.”“Kalau soal proyek, bicarakan saja ke Clara. Aku sedang sibuk.”“Bukan soal pekerjaan,” ucap Sophia dengan hati-hati. “Ini tentang ... aku.”Baru kali itu Mike mengangkat kepala dan menatap Sophia dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada lelah di sana, tapi juga ketidaksabaran. “Ada apa lagi, Sophia?”Sophia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. “Aku ... aku memikirkan saran Bianca tentang terapi.”Mike bersandar ke kursi lalu menautkan jari-jarinya di depan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status