Mag-log inTok tok tok
“Masuk.”
Sophia membuka pintu ruang kerja Mike untuk membahas saran dari sahabatnya semalam.
Di dalam, Mike sedang duduk di balik meja kerja yang luas dengan laptop terbuka, dasi masih melingkar di leher, dan kening berkerut tajam. Ia bahkan tidak menatap Sophia ketika perempuan itu masuk.
“Mike,” sapa Sophia dengan pelan.
“Hmm,” jawabnya singkat tanpa mengangkat kepala.
Sophia berdiri canggung di depan meja, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan tubuh. “Aku ingin bicara.”
“Kalau soal proyek, bicarakan saja ke Clara. Aku sedang sibuk.”
“Bukan soal pekerjaan,” ucap Sophia dengan hati-hati. “Ini tentang ... aku.”
Baru kali itu Mike mengangkat kepala dan menatap Sophia dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada lelah di sana, tapi juga ketidaksabaran. “Ada apa lagi, Sophia?”
Sophia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. “Aku ... aku memikirkan saran Bianca tentang terapi.”
Mike bersandar ke kursi lalu menautkan jari-jarinya di depan dada. “Terapi?”
“Ya. Psikolog spesialis yang bisa membantu masalahku.” Ia menatap mata Mike, berusaha menemukan sedikit pengertian di sana. “Aku tahu aku terlambat, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin sembuh, Jo.”
Namun alih-alih senang, Mike malah menatapnya dengan ekspresi sinis. “Baru sekarang kau kepikiran? Setelah setahun, setelah semua usahaku yang sia-sia mengajarimu agar terangsang?”
Sophia tertegun. “Aku ... aku takut, Mike. Aku tidak tahu harus mulai dari mana.”
“Tapi kenapa tidak dari dulu?” nada suaranya meninggi hingga membuat Sophia refleks menunduk.
“Kenapa baru sekarang kau merasa perlu mencari pertolongan? Apa harus aku yang mendorongmu terus? Kau tahu ini memengaruhi hubungan kita, kan?”
“Maaf,” suara Sophia hampir tak terdengar. “Aku tahu ini semua salahku. Tapi aku berjanji, aku akan mencari dokternya. Aku akan—”
“Tunggu.” Ia bergumam pelan. “Aku punya seseorang yang bisa kau datangi.” Mike seolah baru teringat sesuatu.
Sophia mengerjap. “Seseorang?”
“Ya,” jawabnya tanpa ekspresi. “Sepupuku. Dia seorang psikolog. Spesialis trauma hubungan dan gangguan seksual. Banyak pasiennya berhasil pulih setelah terapi dengannya.”
Sophia menatap Mike tak percaya. “Kau ... punya sepupu seperti itu?”
Mike mengangguk acuh. “Kenapa kau lihat aku begitu?”
“Karena ....” Sophia menahan napas, mencoba menyusun kata-katanya agar tidak terdengar seperti tuduhan. “Kenapa baru sekarang kau memberitahuku? Kenapa tidak dari dulu?”
Mike mengembuskan napas tajam, lalu menatap Sophia dengan pandangan dingin. “Karena kau juga tidak pernah bertanya, Sophia. Yang punya masalah ini kan kau, bukan aku.”
Kata-kata itu menghantam dadanya lebih keras daripada yang dia bayangkan. Sophia menunduk dan menatap ujung sepatunya. “Jadi ... semua ini salahku?” tanyanya lirih.
Mike berdiri dan berjalan ke arah jendela besar membelakangi Sophia. “Aku tidak bilang salahmu. Tapi kau harusnya tahu kapan harus minta tolong. Aku sudah terlalu lama menunggu perubahan, Sophia. Aku tidak bisa terus hidup dengan jarak ini.”
Hening menguasai ruangan selama beberapa detik. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan. Sophia menggigit bibir bawahnya menahan perih di dada. Ia tahu Mike lelah, tapi caranya menyalahkannya terasa menusuk.
Mike berbalik lalu mengambil ponselnya, dan mulai mengetik sesuatu dengan cepat.
“Aku kirim alamat kliniknya ke ponselmu. Dia profesional. Datangi saja.”
Beberapa detik kemudian, ponsel Sophia bergetar. Sebuah pesan baru muncul di layar:
Dr. John Maxwell — Maxwell Therapy & Counseling Center
“Katakan padanya aku yang menyarankanmu datang. Dia akan bantu.”
Nama itu membuat dahi Sophia berkerut. Ia menatap layar ponselnya lama, seolah mencoba mengingat sesuatu dari masa lalu. “John Maxwell,” gumamnya pelan. “Nama itu … sepertinya tidak asing.”
Mike yang sudah kembali ke kursinya hanya menjawab dengan datar, “Memang seharusnya tidak asing. Dia pernah tinggal di London Timur, sekolah di SMA Jins.”
Sophia menatap Mike dengan mata melebar. “SMA Jins? Kau yakin?”
Mike mengangguk tanpa menatapnya. “Ya. Kenapa?”
“Tidak. Hanya terdengar familiar saja,” ucapnya dengan suara rendah, hampir seperti berbicara pada diri sendiri.
Bayangan samar seorang remaja laki-laki dengan mata tajam dan senyum misterius tiba-tiba muncul di benaknya—bayangan yang entah kenapa membuat dadanya berdebar aneh.
Mike menghela napas panjang, jelas tak tertarik dengan reaksinya. “Kalau sudah tahu, segera buat janji dengannya. Aku tidak mau menunda hal ini lagi.”
Sophia mengangkat wajahnya pelan. “Boleh aku memintamu menemaniku, Mike? Aku agak gugup jika datang seorang diri.”
Pria itu akhirnya menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan yang tak memberi ruang bagi penolakan. “Aku sibuk, Sophia. Kau bisa sendiri, kan? Kau yang butuh terapi, bukan aku.”
Ada jeda hening yang menyesakkan. Sophia mengangguk pelan, sambil berusaha menyembunyikan kekecewaannya. “Baik. Aku akan pergi sendiri.”
Mike tak menjawab. Ia hanya menunduk ke arah laptopnya lagi, seolah percakapan itu sudah selesai.
Satu jam kemudian. Sophia berdiri di depan sebuah gedung kaca bertingkat tiga yang tampak elegan namun hangat. Di plakat depan tertulis: Maxwell Therapy & Counseling Center.
Udara pagi London terasa dingin menusuk, tapi jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya. Ia pun melangkah masuk menuju meja resepsionis.
“Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” tanya resepsionis dengan ramah.
“Ya, aku Sophia Russell. Sudah membuat janji beberapa menit yang lalu,” ucapnya sambil memperlihatkan pesan konfirmasi.
“Baik, Miss Russell. Silakan masuk, Dokter sudah menunggu.”
Sophia menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya, lalu memutar gagang pintu.
Begitu pintu terbuka dan matanya langsung menangkap sosok pria di balik meja kerja—dengan rahang tegas, sorot mata tenang namun dalam, dan senyum yang terlalu familiar untuk dilupakan.
“Miss Russell?”
Sophia membeku di ambang pintu. Untuk sesaat, dunia seolah berhenti berputar ketika melihat pria tersebut. Pria itu menatapnya sambil tersenyum tipis.
“Senang bertemu denganmu lagi ... Sophia.”
“Apa kau gila? Mana mungkin aku berciuman denganmu,” sahut Sophia dengan mata membulat dan napasnya yang tiba-tiba terasa memburu usai mendengar ucapan John barusan.Pria itu menyunggingkan senyum tipis. “Aku hanya ingin kau belajar memahami tubuhmu. Belajar kapan rasa takut itu muncul. Dan kalau kau ingin memahaminya, kadang kau perlu menghadapi sumbernya.”“Denganmu?” ucapnya dengan nada datar.“Siapa lagi yang lebih aman daripada seseorang yang tahu batasnya?” bisiknya seolah tengah menghipnotis Sophia agar mengikuti perintahnya.Meski ucapan itu terdengar tenang, tapi justru membuat Sophia semakin bingung.Bagian rasional dirinya tahu, ini seharusnya murni terapi.Namun bagian lain—bagian yang sudah lama dia tekan, mengatakan bahwa yang sedang terjadi jauh melampaui itu.John melangkah satu langkah mendekat. Aromanya kembali memenuhi ruang kecil itu yang begitu samar, hangat, menenangkan, tapi memabukkan.“Ketakutanmu muncul setiap kali seseorang mencoba mendekat secara fisik,” uj
Tiga hari kemudian.Sophia duduk di sofa yang sama seperti minggu lalu, tapi suasananya kali ini cukup berbeda. Ada sesuatu di udara, sebuah keheningan yang terlalu sunyi, dan detak jantungnya yang terlalu keras.John Maxwell menutup pintu dengan tenang, lalu berjalan mendekat dengan langkah yang terukur.Ia mengenakan kemeja biru gelap hari ini, lengan bajunya tergulung hingga siku, dan dasinya tidak seketat biasanya. Dan entah kenapa, penampilan sederhana itu justru membuat Sophia sulit menatap secara langsung.“Bagaimana kabarmu sejak pertemuan terakhir, Sophia?” tanya John sambil duduk di kursinya.“Baik,” jawab Sophia, meski nada suaranya terdengar tidak yakin.“Baik seperti sungguh baik, atau baik sebagai jawaban sopan?” tanyanya lagi dengan sorot mata yang begitu lekat menatap wajah Sophia yang hampir merah karena tatapan yang begitu intens.Sophia menatapnya balik sembari menahan debar jantung yang semakin tak karuan. “Kau selalu tahu cara menelanjangi kalimat orang, ya.”“Pek
“Over here!” serunya begitu melihat Sophia masuk. Kini, mereka berada di kafe yang tak jauh dari klinik milik John.Sophia tersenyum lemah dan menghampiri sambil melepas mantel panjangnya, lalu duduk di hadapan sahabatnya itu.“Jadi?” tanya Bianca tanpa basa-basi, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana sesi keduamu? Kau terlihat berbeda setelah melakukan terapi pertama.”“Berbeda bagaimana?” tanyanya bingung.“Entahlah.” Bianca menyipitkan matanya menatap lekat wajah Sophia. “Wajahmu seperti orang yang baru saja melihat hantu, atau baru saja jatuh cinta.”Sophia terdiam sambil menatap uap yang naik dari cangkirnya. “Mungkin keduanya,” gumamnya lirih.Bianca mengernyit. “Apa maksudmu?” tanyanya kemudian.Sophia menatap ke luar jendela seolah mencari keberanian lalu menghela napas panjang. “John Maxwell,” katanya pelan. “Psikolog itu … dia bukan orang asing. Aku mengenalnya.”“Kenal?” Bianca mendekat dengan raut wajah antusiasnya. “Dalam arti kenal bagaimana? Kau pernah bekerja
John menutup buku catatannya dengan tenang lalu berdiri. Suara gesekan kursinya terdengar lembut namun cukup untuk membuat dada Sophia bergetar aneh.Pria itu berjalan mengelilingi meja, langkahnya mantap, hingga berhenti tepat di depannya.Ia lalu menarik kursi dan duduk, begitu dekat hingga Sophia bisa mendengar napasnya, bisa mencium aroma samar cologne yang hangat dan maskulin, perpaduan kayu cedar dan vanila yang memunculkan memori samar dari masa remaja.Kehadirannya mendominasi ruangan, bukan dengan ancaman, tapi dengan aura yang kuat dan menenangkan di saat bersamaan.“Kita akan mulai perlahan,” katanya dengan suara rendah yang nyaris seperti bisikan.Sophia hanya mampu mengangguk. Detak jantungnya terasa begitu keras hingga dia yakin ruangan ini bisa mendengarnya.“Pertama,” lanjut John, “aku ingin kau mengenali tubuhmu sendiri. Mengenali kapan rasa takut itu mulai muncul, dan dari mana asalnya. Aku tidak akan menyentuhmu, tidak ada paksaan apa pun di sini. Kau hanya perlu ju
“Silakan duduk dengan nyaman,” ujar suara berat itu dengan nada lembut tapi berwibawa. “Tidak perlu tegang. Di sini tidak akan ada yang menghakimimu.”Dr. John Maxwell menutup map di tangannya, lalu menatap perempuan yang duduk di seberangnya. Sekilas, pria itu tampak seperti seseorang yang sudah terbiasa menampung rahasia-rahasia terdalam manusia—tenang, sabar, dan sangat profesional.Namun di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang membuat udara di ruangan terasa padat.Sophia hanya bisa menatapnya dalam diam, tubuhnya kaku di kursi empuk berwarna krem, sementara pikirannya berputar cepat, mencoba menyesuaikan antara kenangan masa lalu dan kenyataan yang kini terhampar di depan mata.Ia mengenalnya. Terlalu mengenalnya.John Maxwell—nama lengkap yang dulu sering ditulis gadis SMA itu di halaman belakang buku catatannya, dan diapit coretan hati kecil.Cinta pertamanya. Pria yang dulu dia tinggalkan tanpa sempat menjelaskan apa pun.Dan kini, pria itu duduk di hadapannya, mengenakan ke
Tok tok tok“Masuk.”Sophia membuka pintu ruang kerja Mike untuk membahas saran dari sahabatnya semalam.Di dalam, Mike sedang duduk di balik meja kerja yang luas dengan laptop terbuka, dasi masih melingkar di leher, dan kening berkerut tajam. Ia bahkan tidak menatap Sophia ketika perempuan itu masuk.“Mike,” sapa Sophia dengan pelan.“Hmm,” jawabnya singkat tanpa mengangkat kepala.Sophia berdiri canggung di depan meja, kedua tangannya saling menggenggam erat di depan tubuh. “Aku ingin bicara.”“Kalau soal proyek, bicarakan saja ke Clara. Aku sedang sibuk.”“Bukan soal pekerjaan,” ucap Sophia dengan hati-hati. “Ini tentang ... aku.”Baru kali itu Mike mengangkat kepala dan menatap Sophia dengan pandangan yang sulit dibaca. Ada lelah di sana, tapi juga ketidaksabaran. “Ada apa lagi, Sophia?”Sophia menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. “Aku ... aku memikirkan saran Bianca tentang terapi.”Mike bersandar ke kursi lalu menautkan jari-jarinya di depan







