Share

Bab 9

Author: Leona Valeska
last update Last Updated: 2025-11-06 19:56:10

Suasana di ruang makan itu begitu tegang hingga udara terasa berat di dada. Piring-piring porselen berkilau di bawah cahaya lampu gantung kristal, namun tak ada yang benar-benar menikmati keindahannya.

Suara denting sendok dan garpu terdengar pelan, diselingi tawa kaku dari keluarga Mike yang sesekali mencoba memecah suasana canggung — tapi gagal total.

Sophia duduk di samping Mike, tangan di pangkuan sambil berusaha sekuat tenaga agar senyum di bibirnya tampak alami.

Namun jantungnya berdetak terlalu cepat, membuat dadanya terasa sesak. Di seberangnya, John duduk tegak dengan kemeja hitamnya yang rapi, wajah tenang seperti biasa. Tapi matanya, matanya terus mencuri pandang ke arah Sophia.

Ia tahu, dari cara Sophia menggigit bibir bawahnya pelan, dari caranya menunduk terlalu lama ke piring, bahwa perempuan itu sedang tidak nyaman.

Dan itu membuat John resah. Ia bisa membaca kegelisahan Sophia sejelas tulisan di kertas putih.

Sementara Mike tampak santai, setidaknya di permukaan. Ia memotong daging steak di hadapannya lalu menatap John dengan senyum sopan.

“John,” katanya tiba-tiba, mencoba memecah keheningan.

Sophia menegang di tempatnya. Sendok di tangannya hampir terjatuh, tapi dia cepat menguasai diri agar Mike tidak curiga padanya.

John mendongak menatap Mike. “Ya?”

“Aku ingin bertanya sesuatu.” Mike menatapnya serius. “Kau sudah menangani Sophia selama beberapa sesi, bukan?”

John mengangguk perlahan. “Benar.”

Mike mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya terdengar lebih rendah dan penuh tekanan. “Menurutmu, apakah Sophia bisa sembuh dari traumanya itu?”

Pertanyaan itu menghantam udara seperti pisau. Suasana meja makan yang sudah kaku kini berubah menjadi dingin. Semua mata kini tertuju pada Sophia terutama sepasang mata tua di ujung meja, milik orang tua Mike.

Tatapan mereka tajam, menilai, dan menuntut. Seolah Sophia adalah proyek gagal yang perlu diperbaiki.

Sophia menunduk merasakan wajahnya jadi panas. Jari-jarinya mengepal di bawah meja. Rasanya dia ingin lenyap saja dari sana, ingin kursinya ambruk, ingin siapa pun memecah situasi ini. Tapi tidak ada yang berbicara.

John menarik napas perlahan sambil menatap Mike dengan tenang. “Setiap trauma berbeda-beda, Mike,” katanya hati-hati. “Dan proses penyembuhan bergantung pada kesiapan pasien. Dalam kasus Sophia, butuh waktu yang cukup panjang.”

Kata-kata itu meluncur pelan, tapi bermakna dalam. Sophia mengangkat pandangannya sekilas dan tatapannya bertemu dengan mata John. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu seperti pengertian, dan juga rahasia.

John tahu. Dia tahu Sophia belum memberitahu Mike bahwa dia ingin menghentikan terapi itu.

Mike mengangguk pelan dan ekspresinya berubah serius. “Aku mengerti,” katanya, lalu menatap Sophia.

“Sayang, kau dengar itu? Kau harus berusaha. Aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kau benar-benar berkomitmen.”

Sophia memaksakan senyum kecil di bibirnya. “Ya ... aku tahu.” Suaranya nyaris tidak terdengar.

Ayah Mike, Benny, pria berusia enam puluhan dengan jas rapi dan wajah tegas, ikut menimpali.

“Aku harap kau tidak menyerah, Sophia. Mike sudah berkorban banyak untuk mendampingimu. Kami semua ingin melihatmu pulih sebelum pernikahan nanti.”

Kalimat itu terdengar seperti perintah, bukan dukungan di telinga Sophia.

Sophia menunduk lebih dalam. Jemarinya menggenggam erat kain serbet di pangkuannya.

Lalu suara Shinta, ibu Mike, terdengar. Nada bicaranya manis tapi mengandung racun.

“Benar kata ayahmu, Mike,” katanya sambil meneguk wine-nya pelan.

“Kita semua ingin yang terbaik untuk kalian berdua. Aku hanya khawatir,” ia menatap Sophia dengan senyum tipis, “kalau nanti kau belum benar-benar sembuh, bagaimana dengan masa depan keluarga ini? Aku tidak ingin menunggu terlalu lama untuk punya cucu.”

Suara tawa kecil mengiringi ucapannya, tapi tidak ada yang benar-benar tertawa.

Sophia menatap piringnya dengan bibir bergetar. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang Shinta bayangkan.

John langsung mengangkat wajahnya menatap Shinta—bibinya dengan pandangan tajam tapi sopan.

“Proses terapi bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, Bibi,” katanya dengan tenang, namun nadanya terdengar tegas. “Tekanan justru bisa memperparah kondisi pasien.”

Shinta menatapnya sejenak, lalu tersenyum seolah tak peduli. “Tentu, aku mengerti, John. Hanya saja, aku rasa setiap perempuan pasti ingin menjadi istri dan ibu yang sempurna, bukan?” Tatapannya beralih ke Sophia, seolah tengah menelanjangi rasa tidak nyamannya.

Sophia merasakan seluruh darah naik ke wajahnya. “Maaf,” bisiknya tiba-tiba, hampir tak terdengar. Ia lalu meletakkan serbet di atas meja dan berdiri pelan. “Aku ... aku perlu ke kamar kecil.”

Mike menatapnya sekilas dengan alis terangkat. “Sekarang?”

Sophia hanya mengangguk cepat tanpa berani menatap siapa pun. Ia berjalan cepat meninggalkan meja makan itu, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh.

John memperhatikan punggung Sophia menjauh, tubuhnya kaku di kursi. Ia tahu perempuan itu sedang berada di ambang batas.

Suasana meja kembali hening. Mike mencoba mencairkan keadaan dengan tersenyum canggung, tapi ketegangan sudah terlanjur meresap di udara.

Shinta berbisik pada suaminya, cukup keras untuk terdengar. “Aku benar-benar tidak yakin, Mike. Gadis itu tampak terlalu rapuh. Bagaimana kalau nanti—”

“Bibi,” potong John pelan tapi jelas. “Aku harap Bibi tidak membicarakan pasienku dengan cara seperti itu. Setiap orang punya kapasitas dan cara masing-masing untuk bangkit dari trauma. Kalau Bibi berkata seperti itu, sama saja dengan meragukan kemampuanku.”

Tatapan mata Shinta bertemu dengan John. Ada sedikit keterkejutan di sana, mungkin karena tidak biasa ada orang yang berani menegurnya. Namun John tidak mundur.

Mike berdeham, mencoba menengahi. “Baiklah, baiklah. Kita di sini untuk makan malam, bukan untuk debat. Aku yakin Sophia hanya butuh waktu.”

John mengangguk kecil. “Benar. Tapi waktu itu hanya berguna kalau orang-orang di sekitarnya memberikan ruang yang aman untuk dia tumbuh.”

Kalimat itu menancap di udara seperti pisau.

Mike diam sejenak lalu menghela napas. “Aku mengerti, John. Dan aku berharap kau mau terus membantunya. Aku ingin kau bekerja sama denganku untuk membuat Sophia benar-benar sembuh. Aku hanya ingin dia kembali seperti dulu.”

John menatapnya dalam-dalam. “Kerja sama?”

“Ya. Aku tahu aku bukan terapis, tapi aku tunangannya. Aku ingin tahu apa yang harus kulakukan, apa yang harus dia hindari, agar prosesnya berjalan dengan cepat.”

John berpikir sejenak. Ia tahu niat Mike terdengar tulus, tapi ada nada memiliki dalam suaranya yang membuat John tidak nyaman.

Akhirnya dia hanya berkata pelan, “Setiap perubahan butuh kejujuran di antara semua pihak, Mike. Itu hal yang paling penting.”

Mike tersenyum kecil. “Tentu. Aku selalu jujur padanya.”

John menatap Mike lama, lalu menurunkan pandangannya ke meja. Ada jeda yang panjang dan berat sebelum akhirnya dia menegakkan tubuh, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan sesuatu yang dalam.

“Kalau begitu,” katanya perlahan, suaranya nyaris seperti bisikan tapi cukup jelas untuk seluruh meja mendengarnya, “sepertinya Sophia belum memberitahumu sesuatu yang terjadi di terapi kedua ini.”

Suasana meja makan seketika membeku. Mike menatap John dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 32

    Panas lembut matahari pagi menyusup melalui sela-sela tirai tipis apartemen John.Cahaya keemasan itu jatuh di kulit Sophia yang masih terbaring setengah tertutup selimut, tubuhnya telanjang, napasnya masih berantakan seolah baru bangun dari mimpi panjang yang tak sepenuhnya bisa dia terima.Sophia mengerjap pelan. Sedetik kemudian, kesadaran menamparnya. Dia masih telanjang. Di ranjang John, dengan tubuh yang masih terasa lemas dan tanda-tanda yang terlalu jelas bahwa malam tadi bukan mimpi.Jantung Sophia langsung melonjak. “Astaga,” bisiknya pelan lalu menutup sebagian wajah dengan punggung tangan. “Aku sudah mulai gila.”Ia tak tahu harus merasa apa. Ada bahagia yang merayap perlahan dari dasar perutnya, menghangatkan setiap inci tubuhnya. Tapi bersamaan dengan itu, ada panik, bingung, terkejut, dan rasa bersalah yang saling bertabrakan tanpa kontrol.Sophia memejamkan matanya sambil mengulang-ulang kejadian semalam di kepalanya. Sentuhan John, bagaimana dia tak bisa berpikir jern

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 31 (21+)

    “Kau sudah yakin, Sophia? Karena setelah aku menyentuhmu, kau tidak akan pergi dariku,” ucap John meyakinkan terlebih dahulu bahwa Sophia tidak akan menyesali keputusannya.Sophia mengangguk dengan pelan. “Aku tidak akan menyesal. Justru aku ingin lebih dari sekadar ciuman yang kita lakukan, John.”Pria itu terdiam dan hanya menatap wajah Sophia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.“Baiklah, aku pun sudah tidak bisa menahan diri lagi.”Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, John memiringkan wajahnya, menghapus jarak terakhir itu dan menempelkan bibirnya pada bibir Sophia.Ciuman itu lembut pada awalnya. Hangat dan lambat. Seolah dia sedang memberikan Sophia kesempatan untuk menarik diri jika mau.Namun Sophia tidak bergerak mundur. Sebaliknya, dia justru merasakan lututnya melemah, tubuhnya seakan kehilangan kendali, dan dia tersandar ringan pada dada John.Ketika ciuman itu semakin dalam, napas Sophia pecah meninggalkan bibirnya dalam desahan kecil yang tak bisa ditahan.Suara

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 30

    Pukul sepuluh malam.Langit di luar jendela apartemen John sudah benar-benar gelap, hanya disisipi lampu kota yang berpendar seperti ribuan bintang palsu.John baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, kaus hitamnya melekat di tubuhnya ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Suara itu membuatnya berhenti seketika.Tidak ada yang akan datang di jam seperti ini. Dan tidak ada siapa pun yang biasanya tahu kode lift menuju lantai khusus ini.John berjalan perlahan menuju pintu sedikit waspada dan sedikit curiga. Tapi begitu pintu terbuka, semuanya runtuh begitu saja.Sophia berdiri di sana.Wajahnya pucat. Rambutnya berantakan seperti dia terburu-buru keluar rumah. Matanya sembab, tapi bukan karena habis menangis melainkan karena terlalu banyak menahan sesuatu di dalam diri.“S-Sophia?” John hampir kehilangan suaranya. “Kau datang tanpa pesan dulu.”Sophia menatapnya dengan ragu, seolah takut kalau kedatangannya salah waktu, salah tempat dan salah segalanya. “Apa …

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 29

    “Sophia. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Mike datang ke butik Sophia tanpa pemberitahuan bahkan membuat Sophia terkejut sesaat.Pegawai butik saling pandang takut melihat raut wajah Mike yang sangat tidak bersahabat.Sophia mengangkat tangannya memberi isyarat agar mereka meninggalkan ruang utama. Setelah ruangan benar-benar sepi, barulah Sophia mendekat dan mencoba tersenyum meski dadanya berdebar.“Katakan apa yang terjadi, Mike?” tanyanya masih dengan nada lembutnya.Mike tidak menjawab dulu. Dia hanya menatap Sophia dari ujung kepala hingga kaki, seolah memastikan bahwa wanita di depannya ini tidak menyembunyikan sesuatu.“Aku ingin kau berhenti terapi dengan John.” Ucapan itu keluar tanpa jeda. Tanpa alasan dan tanpa penjelasan.Alis Sophia mengerut. “Apa?” ucapnya masih tak paham dengan ucapan Mike barusan.Mike melangkah maju satu langkah dengan deru napas yang berat. “Aku bilang berhenti. Mulai hari ini.”Sophia menelan salivanya. “Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 28

    Suasana klinik masih lengang ketika pintu utama terbuka dengan hentakan keras. John yang sedang berdiri di depan meja resepsionis tengah membaca berkas pasien, langsung mengangkat kepala.Resepsionis di sisi lain tampak tersentak, tetapi sebelum sempat menegur, sosok yang baru datang itu sudah berjalan cepat melewati ruang tunggu.Mike.Wajahnya tegang, rahang mengeras, matanya tajam seperti seseorang yang sudah menahan kekesalan selama berhari-hari.Tanpa mengetuk pintu, Mike langsung mendorong masuk ke ruang kerja John. “Kita bicara sekarang.”John menghela napas perlahan sambil menutup map pasiennya, lalu menatap Mike dengan ekspresi netral yang sangat dipaksakan. “Baik. Duduk dulu.”“Aku tidak punya waktu untuk duduk.” Mike melipat kedua tangannya di dada, suaranya meninggi sejak awal. “Aku ingin kau mempercepat terapi Sophia.”John mengedipkan mata sekali lalu dua kali. Tidak heran permintaan itu muncul, tapi cara Mike menyampaikannya seolah Sophia hanyalah proyek yang harus sege

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 27

    Dua hari berlalu. Waktu sudah menunjuk angka lima sore saat Sophia berdiri di depan klinik John.Angin sore menyapu rambutnya yang tergerai, sementara kedua tangannya terus meremas tali tas selempangnya.Ada getaran gugup yang tak bisa dia sembunyikan, campuran antara takut, cemas, dan rindu yang tidak seharusnya dia rasakan.Begitu pintu kaca terbuka, aroma lavender khas klinik menyambutnya.“Selamat sore. Dokter John sudah menunggu,” ucap resepsionis ramah yang sudah mengenali Sophia.Sophia hanya mengangguk kecil. Jantungnya berdetak lebih keras saat melangkah menuju ruang kerja John.Setiap langkah membuatnya semakin ragu, apa dia seharusnya datang? Apa dia akan semakin tenggelam dalam perasaan yang tidak seharusnya?Saat dia masuk, John baru saja menutup sebuah buku catatan yang sebelumnya dia buka di atas meja nakas. Pria itu menoleh dan senyuman lembut langsung terbit di bibirnya.“Hi,” sapa John dengan suara rendah yang menenangkan.“Padahal aku baru mau menghubungimu. Tapi, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status