Share

Bab 8

Author: Leona Valeska
last update Last Updated: 2025-11-06 10:57:44

“Aku ingin menghentikan terapi ini,” ucap Sophia terdengar tegas, tapi ada sedikit getar yang tak bisa dia sembunyikan.

John, yang sedang mencatat sesuatu di buku kecil di tangannya, berhenti menulis. Ia mendongak perlahan menatap Sophia tanpa ekspresi berlebihan.

“Kalau itu yang kau inginkan,” ucapnya santai, nada suaranya datar, nyaris terlalu tenang untuk situasi yang tegang seperti itu. “Aku tidak akan memaksa.”

Sophia mengerutkan keningnya karena tak menyangka tanggapan John akan sesederhana itu. “Begitu saja?” tanyanya tak percaya.

John menyandarkan tubuh ke kursinya sambil melipatkan di dada, seolah semua ini hanya percakapan biasa.

“Terapi hanya akan berhasil kalau pasiennya mau melakukannya. Kalau kau merasa ini tidak masuk akal, ya sudah. Aku tidak akan memaksakan metode yang kau sendiri anggap salah.”

Ada jeda hening di antara mereka. Sophia menatapnya lama. Ada sesuatu di tatapan John yang sulit diartikan, bukan marah, bukan kecewa, tapi seolah mengerti. Dan entah kenapa, itu justru membuat Sophia semakin gugup.

“Baiklah,” katanya akhirnya lalu mengambil tasnya dengan gerakan cepat. “Terima kasih untuk waktumu.”

John hanya mengangguk sekali. “Sama-sama, Sophia. Jaga dirimu.”

Tanpa sepatah kata lagi, Sophia melangkah pergi dari ruang praktik itu. Suara hak sepatunya terdengar tergesa menapaki koridor panjang.

Begitu keluar dari gedung, udara sore yang lembap menyambutnya. Ia menghela napas keras-keras, mencoba menenangkan diri, tapi bayangan kejadian sebelumnya terus berputar di kepalanya.

Ciuman itu. Ciuman yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Setibanya di apartemennya, Sophia langsung melempar tas ke sofa dan berjalan cepat ke arah cermin besar di ruang tamu.

Lampu remang menciptakan pantulan samar dirinya sendiri, rambut yang masih berantakan, pipi memerah, dan bibir … oh Tuhan. Bibirnya masih sedikit bengkak.

Dia lalu mengangkat tangannya dan menyentuh bibir itu dengan jari gemetar.

Seketika, bayangan John kembali muncul dalam benaknya cara pria itu mendekat, suaranya yang rendah, tatapannya yang dalam, lalu sentuhan hangat yang membuat tubuhnya bergetar.

Sophia menggeleng keras, menepis pikiran itu. “Tidak, ini gila,” gumamnya pada diri sendiri. “Itu cuma reaksi ... eksperimen yang bodoh. Tidak lebih.”

Tapi tubuhnya masih ingat.

Ia mundur setapak dari cermin dan menatap refleksinya lagi dengan pandangan tajam, seolah berusaha menemukan sesuatu yang salah dari dirinya.

‘Kenapa aku cuma bereaksi pada John? Apa karena dia tahu cara memicu ketertarikanku? Atau karena aku memang ….’

Sophia mengembuskan napas keras dan menghentikan pikirannya sendiri. “Tidak. Tidak mungkin.”

Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu dengan tangan meremas rambutnya gelisah.

‘Mungkin aku harus membuktikan sesuatu. Mungkin aku harus mencoba dengan Mike. Ya, tunanganku sendiri.’

Itu terdengar masuk akal. Kalau dengan Mike, semuanya pasti normal. Ciuman, sentuhan, gairah—semuanya seharusnya terasa alami, bukan aneh seperti tadi.

Ia baru hendak mengambil ponselnya saat dering nada panggilan terdengar memecah keheningan. Nama di layar membuat jantungnya mencelos.

Mike.

Sophia menatap layar itu beberapa detik sebelum akhirnya menekan tombol hijau. “Halo, Mike?”

“Nanti malam datang bersamaku untuk makan malam bersama keluarga,” ucap Mike di seberang sana.

“Makan malam?” alis Sophia terangkat mendengarnya.

“Ya,” jawab Mike dengan nada datarnya, seperti biasa.

“Keluargaku ingin makan malam bersama kita. Sekalian aku mau mengenalkanmu lagi ke mereka. Kau tahu kan, mereka ingin lebih dekat sebelum pernikahan. Dan, oh, satu lagi.”

Mike berhenti sejenak sebelum menambahkan, “Aku juga mengundang John. Aku ingin berbincang dengannya soal terapi yang kau jalani.”

Wajah Sophia langsung pucat. “Apa? John?” ucapnya dengan suara tercekat.

“Ya, John bilang padaku soal terapinya beberapa waktu lalu. Aku pikir bagus kalau dia bisa jelaskan secara langsung pada keluargaku tentang metode yang dia gunakan. Supaya mereka tahu kau dalam tangan yang tepat.”

Dalam hati, Sophia menjerit. Tidak. Tidak boleh.

“Mike, aku ...,” suara Sophia mulai bergetar, “aku rasa aku tidak bisa datang malam ini. Aku ... sedang tidak enak badan.”

“Tidak enak badan?” nada suara Mike berubah jadi sedikit tegas. “Apa maksudmu tidak enak badan? Memangnya kau habis dari mana? Hanya dari klinik John saja, kan?”

“Ya. Aku butuh istirahat setelah terapi tadi, Mike.”

Hening sejenak di ujung telepon. Lalu suara Mike terdengar lebih serius, datar tapi menekan.

“Sophia, ini penting. Keluargaku sudah menyiapkan semuanya. Aku tidak mau kau membuat mereka kecewa, apalagi di depan John. Jangan permalukan aku!” ucapnya dengan dingin.

Sophia menutup matanya rapat-rapat. Dia sudah tahu Mike tidak mau mendengar penolakan darinya. Namun, dia tidak siap jika harus bertemu dengan John.

Akhirnya dia menyerah. “Baiklah,” bisiknya. “Aku akan datang.”

“Bagus. Aku jemput jam tujuh. Pakai gaun yang kupilihkan minggu lalu.”

Sebelum Sophia sempat menjawab, sambungan sudah terputus.

Ia menatap layar ponselnya lama, sebelum menjatuhkannya di sofa dan membenamkan wajah ke kedua tangannya.

“Ini mimpi buruk,” desisnya pelan.

Beberapa jam kemudian, Sophia berdiri di depan cermin yang sama, kini dengan wajah yang tampak sempurna di balik riasan lembut, gaun berwarna krem muda membingkai tubuhnya dengan elegan.

Tapi matanya menyiratkan kecemasan yang dalam.

Ia menggigit bibir bawahnya pelan, secara refleks yang langsung membuat rasa nyeri halus muncul. Bibir itu masih bengkak. Bukti nyata dari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi.

Bagaimana kalau John bicara? Bagaimana kalau dia mengatakan pada Mike tentang ciuman itu?

Sophia meneguk ludahnya perlahan. Ia tahu John bukan tipe pria sembrono, tapi tetap saja, kejadian tadi bukan hal yang bisa dianggap enteng.

Ia menatap dirinya sekali lagi lalu menghela napasnya dengan panjang. “Tenang, Sophia. Kau hanya perlu bersikap normal. Jangan panik. Jangan biarkan siapa pun mencium kegugupanmu.”

Pukul tujuh tepat, suara bel apartemennya berbunyi.

Mike berdiri di depan pintu, tampak rapi dalam setelan hitam dan dasi perak. Senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kau terlihat luar biasa malam ini,” katanya sambil mengecup pipi Sophia sekilas.

Sophia tersenyum kaku. “Terima kasih.” Lagi-lagi Sophia merasa gugup saat Mike menyentuh pipinya. Tidak ada reaksi yang menggetarkan dalam dirinya, berbeda sekali saat John mencium bibirnya.

Mereka turun bersama ke mobil. Perjalanan menuju restoran berlangsung dalam diam.

Mike sibuk dengan ponselnya, sementara Sophia hanya menatap keluar jendela, memandangi deretan lampu kota yang berkelebat cepat.

Setiap menit yang berlalu membuat dadanya semakin sesak. Ia bahkan sempat berharap sesuatu terjadi, mungkin hujan lebat, ban mobil bocor, atau apa pun yang bisa membatalkan makan malam itu. Tapi tidak, malam ini terlalu lancar untuk keberuntungannya.

Begitu tiba di restoran mewah di pusat kota, Sophia merasakan seluruh tubuhnya tegang.

Pelayan membukakan pintu, dan di ujung ruangan, dia melihat meja panjang dengan keluarga Mike dan di sana, duduk dengan tenang, John.

Pria itu menatapnya sebentar. Tatapan singkat, tapi cukup untuk membuat Sophia hampir kehilangan keseimbangan.

Waktu seakan berhenti. Napasnya tersengal. Dan dalam kepalanya hanya satu pikiran yang terus berputar: Bagaimana kalau John memberitahu Mike soal ciuman itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 32

    Panas lembut matahari pagi menyusup melalui sela-sela tirai tipis apartemen John.Cahaya keemasan itu jatuh di kulit Sophia yang masih terbaring setengah tertutup selimut, tubuhnya telanjang, napasnya masih berantakan seolah baru bangun dari mimpi panjang yang tak sepenuhnya bisa dia terima.Sophia mengerjap pelan. Sedetik kemudian, kesadaran menamparnya. Dia masih telanjang. Di ranjang John, dengan tubuh yang masih terasa lemas dan tanda-tanda yang terlalu jelas bahwa malam tadi bukan mimpi.Jantung Sophia langsung melonjak. “Astaga,” bisiknya pelan lalu menutup sebagian wajah dengan punggung tangan. “Aku sudah mulai gila.”Ia tak tahu harus merasa apa. Ada bahagia yang merayap perlahan dari dasar perutnya, menghangatkan setiap inci tubuhnya. Tapi bersamaan dengan itu, ada panik, bingung, terkejut, dan rasa bersalah yang saling bertabrakan tanpa kontrol.Sophia memejamkan matanya sambil mengulang-ulang kejadian semalam di kepalanya. Sentuhan John, bagaimana dia tak bisa berpikir jern

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 31 (21+)

    “Kau sudah yakin, Sophia? Karena setelah aku menyentuhmu, kau tidak akan pergi dariku,” ucap John meyakinkan terlebih dahulu bahwa Sophia tidak akan menyesali keputusannya.Sophia mengangguk dengan pelan. “Aku tidak akan menyesal. Justru aku ingin lebih dari sekadar ciuman yang kita lakukan, John.”Pria itu terdiam dan hanya menatap wajah Sophia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.“Baiklah, aku pun sudah tidak bisa menahan diri lagi.”Dan tanpa memberi waktu untuk berpikir, John memiringkan wajahnya, menghapus jarak terakhir itu dan menempelkan bibirnya pada bibir Sophia.Ciuman itu lembut pada awalnya. Hangat dan lambat. Seolah dia sedang memberikan Sophia kesempatan untuk menarik diri jika mau.Namun Sophia tidak bergerak mundur. Sebaliknya, dia justru merasakan lututnya melemah, tubuhnya seakan kehilangan kendali, dan dia tersandar ringan pada dada John.Ketika ciuman itu semakin dalam, napas Sophia pecah meninggalkan bibirnya dalam desahan kecil yang tak bisa ditahan.Suara

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 30

    Pukul sepuluh malam.Langit di luar jendela apartemen John sudah benar-benar gelap, hanya disisipi lampu kota yang berpendar seperti ribuan bintang palsu.John baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih sedikit basah, kaus hitamnya melekat di tubuhnya ketika bel pintu apartemennya berbunyi. Suara itu membuatnya berhenti seketika.Tidak ada yang akan datang di jam seperti ini. Dan tidak ada siapa pun yang biasanya tahu kode lift menuju lantai khusus ini.John berjalan perlahan menuju pintu sedikit waspada dan sedikit curiga. Tapi begitu pintu terbuka, semuanya runtuh begitu saja.Sophia berdiri di sana.Wajahnya pucat. Rambutnya berantakan seperti dia terburu-buru keluar rumah. Matanya sembab, tapi bukan karena habis menangis melainkan karena terlalu banyak menahan sesuatu di dalam diri.“S-Sophia?” John hampir kehilangan suaranya. “Kau datang tanpa pesan dulu.”Sophia menatapnya dengan ragu, seolah takut kalau kedatangannya salah waktu, salah tempat dan salah segalanya. “Apa …

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 29

    “Sophia. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Mike datang ke butik Sophia tanpa pemberitahuan bahkan membuat Sophia terkejut sesaat.Pegawai butik saling pandang takut melihat raut wajah Mike yang sangat tidak bersahabat.Sophia mengangkat tangannya memberi isyarat agar mereka meninggalkan ruang utama. Setelah ruangan benar-benar sepi, barulah Sophia mendekat dan mencoba tersenyum meski dadanya berdebar.“Katakan apa yang terjadi, Mike?” tanyanya masih dengan nada lembutnya.Mike tidak menjawab dulu. Dia hanya menatap Sophia dari ujung kepala hingga kaki, seolah memastikan bahwa wanita di depannya ini tidak menyembunyikan sesuatu.“Aku ingin kau berhenti terapi dengan John.” Ucapan itu keluar tanpa jeda. Tanpa alasan dan tanpa penjelasan.Alis Sophia mengerut. “Apa?” ucapnya masih tak paham dengan ucapan Mike barusan.Mike melangkah maju satu langkah dengan deru napas yang berat. “Aku bilang berhenti. Mulai hari ini.”Sophia menelan salivanya. “Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?”

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 28

    Suasana klinik masih lengang ketika pintu utama terbuka dengan hentakan keras. John yang sedang berdiri di depan meja resepsionis tengah membaca berkas pasien, langsung mengangkat kepala.Resepsionis di sisi lain tampak tersentak, tetapi sebelum sempat menegur, sosok yang baru datang itu sudah berjalan cepat melewati ruang tunggu.Mike.Wajahnya tegang, rahang mengeras, matanya tajam seperti seseorang yang sudah menahan kekesalan selama berhari-hari.Tanpa mengetuk pintu, Mike langsung mendorong masuk ke ruang kerja John. “Kita bicara sekarang.”John menghela napas perlahan sambil menutup map pasiennya, lalu menatap Mike dengan ekspresi netral yang sangat dipaksakan. “Baik. Duduk dulu.”“Aku tidak punya waktu untuk duduk.” Mike melipat kedua tangannya di dada, suaranya meninggi sejak awal. “Aku ingin kau mempercepat terapi Sophia.”John mengedipkan mata sekali lalu dua kali. Tidak heran permintaan itu muncul, tapi cara Mike menyampaikannya seolah Sophia hanyalah proyek yang harus sege

  • Sentuh Aku, Pak Mentor   Bab 27

    Dua hari berlalu. Waktu sudah menunjuk angka lima sore saat Sophia berdiri di depan klinik John.Angin sore menyapu rambutnya yang tergerai, sementara kedua tangannya terus meremas tali tas selempangnya.Ada getaran gugup yang tak bisa dia sembunyikan, campuran antara takut, cemas, dan rindu yang tidak seharusnya dia rasakan.Begitu pintu kaca terbuka, aroma lavender khas klinik menyambutnya.“Selamat sore. Dokter John sudah menunggu,” ucap resepsionis ramah yang sudah mengenali Sophia.Sophia hanya mengangguk kecil. Jantungnya berdetak lebih keras saat melangkah menuju ruang kerja John.Setiap langkah membuatnya semakin ragu, apa dia seharusnya datang? Apa dia akan semakin tenggelam dalam perasaan yang tidak seharusnya?Saat dia masuk, John baru saja menutup sebuah buku catatan yang sebelumnya dia buka di atas meja nakas. Pria itu menoleh dan senyuman lembut langsung terbit di bibirnya.“Hi,” sapa John dengan suara rendah yang menenangkan.“Padahal aku baru mau menghubungimu. Tapi, k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status