Untuk menghindari Savian, Carla sampai tidak keluar dari dalam kamar seharian. Tapi sayangnya, rasa lapar di perut tidak dapat di hindarkan. Dengan terpaksa Carla melangkahkan kakinya keluar kamar, dia sedikit tertegun mendapati Savian yang duduk di depan televisi.
"Hai, Car," Savian menyapa. Mata Carla langsung menyipit dan menatap Savian sinis.
"Enak ya seperti di rumah sendiri!" sindir Carla mengamati meja yang dipenuhi dengan bungkus snack dan kaleng minuman. Carla berdecak jengkel, padahal tersedia tempat sampah di dapur, tapi Savian malah mengotori ruang tengahnya dengan sampah bungkus cemilan.
"Mau Pizza, Car?" tanya Savian tak menghiraukan sindiran pedas dari Carla, dia tetap memasang wajah cool sambil menggigit sepotong Pizza.
Carla mengalihkan pandangannya ke kotak pizza di hadapan Savian lalu ia meneguk saliva, menahan diri agar tidak tergoda dengan tiga potong Pizza yang tersisa di sana.
"Gak, makasih!" tolak Carla, dia berniat beranjak dari sana kalau saja-
Kruk kruk~
Perutnya tidak berkruk kelaparan, dan sialnya berbunyi tepat di samping Savian, membuat Savian langsung terkekeh kecil mendengarnya.
"Yakin gak mau?" goda Savian sambil memainkan alis tebalnya.
Dengan rasa malu yang masih tersisa, Carla mengeluarkan cengirannya, dia memegang perutnya sebentar sebelum memutuskan untuk mengubur gengsi lalu beranjak duduk di samping Savian. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Carla menyomot sepotong Pizza dengan topping kesukaannya, lalu memakannya.
Savian terkekeh lagi, tak menduga akan semudah itu meruntuhkan gengsi Carla.
Mendengar kekehan Savian, kunyahan Carla langsung berhenti, tatapan tajamnya melirik Savian sinis, "Ini aku terpaksa ya karena kamu udah nawarin, gak enak mau nolaknya." celetuk Carla yang Savian angguki saja.
"Pelan-pelan makannya, gak bakal ada yang ngambil juga." ujar Savian sambil mengusap sudut bibir Carla yang belepotan, membuat Carla spontan bergeser menghindar, ia paling sensitif dengan hal-hal seperti itu.
Savian terdiam, sedikit kaget melihat Carla yang menolak perlakuan manisnya. Namun ia berusaha untuk terlihat biasa saja agar suasana tidak canggung dan ia juga tidak terlalu malu.
"Mau saya pesan lagi gak Pizza nya? Saya tau kamu lapar berat karena seharian gak makan, cuma sarapan aja kan tadi?"
"Kok kamu tahu?" Carla menatap Savian bingung.
"Saya dari tadi di sini, gak kemana-mana, jadi saya tahu kalau kamu seharian gak keluar kamar."
Carla manggut-manggut seraya ber-oh ria, Ia memilih melanjutkan makan dari pada menjawab ocehan tidak penting Savian.
"Misel bilang kamu baru pulang liburan ya?" Beberapa menit terdiam, Savian kembali bersuara, membuka topik pembicaraan yang baru.
Carla mendengus, "Liburan apanya!" sahutnya dengan wajah jengkel. Walaupun ia berada dua minggu di Bandung, tapi tidak bisa disebut liburan karena selama di rumah orang tuanya Carla lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar ketimbang jalan-jalan.
"Jadi kamu di sana gak liburan? Sayang banget waktu 2 minggu kebuang begitu saja. Gini deh, kapan-kapan mau gak liburan sama saya?"
Mata Carla menyipit, menatap Savian dengan raut wajah tak percaya. Apa-apaan Savian, baru kenal belum 2 hari sudah mengajak liburan. Carla cuma diam, lanjut makan dan mengabaikan Savian yang terus mengoceh.
"Jari kamu kecil banget, Car?" Savian tak kehabisan akal, ia menarik dan memainkan jemari Carla tanpa permisi. Tentu saja karena Savian harus memanfaatkan situasi seperti ini.
Carla yang lagi sibuk makan jelas langsung tertegun saat tiba-tiba Savian menyentuh dan memainkan jemari tangannya. "Ngapain sih pegang-pegang?!" sentak Carla galak, ia langsung menepis tangan Savian dari tangannya.
"Pegang doang masa gak boleh," celetuk Savian dengan wajah mengejek. Ia terkekeh kecil merasa puas melihat wajah Carla yang berubah jengkel.
"Ya gak bolehlah! memang aku cewek apaan main pegang aja!" Carla jelas tidak terima. Mau pergi tapi makanan yang Savian beli enak-enak dan masih banyak, sayang jika tidak di habiskan.
"Jangan jual mahal, Car, nanti saya cicil loh." kata Savian sambil menyenggol pundak Carla menggunakan pundaknya.
Carla berdecih, "Dih, gak jelas!" ujar Carla membuat Savian semakin tertawa keras, raut wajah kesal Carla sangat menghiburnya. Walaupun sebenarnya penolakan dari Carla sedikit melukai harga diri Savian, sebab hanya Carla yang berani menolaknya.
Jujur saja, Savian ini penakluk wanita, wanita manapun dapat ia luluhlantakan hanya dengan bermodal kata-kata manis dan sentuhan manja. Tapi setelah mendapatkan penolakan pertama dari wanita bernama Carla membuat tantangan baru tersendiri untuk Savian. Ia penasaran sampai mana wanita dengan bola mata coklat jernih bisa menahannya.
"Hmm, Car... Kamu gak kesepian tinggal disini sendirian?" tanya Savian sambil memainkan rambut sebahu Carla yang tergerai.
Carla yang sibuk mengunyah keripik kentang fokus menghadap televisi, saking seriusnya menonton sampai tidak sadar rambutnya jadi mainan jemari Savian.
"Biasa saja." jawab Carla santai, ia meraih kaleng minuman soda, belum sempat Carla buka tutupnya, tapi sudah diambil Savian lebih dulu untuk di bukain. Perlakuan kecil Savian membuat Carla menahan diri untuk terlihat biasa saja, meski sebenarnya ia terpesona sesaat dengan kepekaan yang Savian miliki.
"Terus kalau ada apa-apa sama kamu gimana? Atau sama flat ini, misal atapnya bocor atau kebanjiran, repot loh nanti kamu kerja sendirian." kata Savian sambil menyodorkan Carla kaleng soda yang sudah ia bukakan tutupnya.
Carla meneguk sodanya sebelum menjawab ucapan Savian, "Aku punya tetangga, ada teman juga walaupun gak banyak."
Savian menepuk pundak Carla pelan, "Kamu lupa?! kamu juga punya saya, saya juga bisa bantu kamu kalau kamu kesulitan." kata Savian sambil tersenyum manis.
Tentu saja tingkah sok akrab Savian mengundang rasa kebingungan Carla, mulut Carla sudah gatal ingin berkata pedas, tapi mengingat Savian adalah bagian dari keluarga Misel, Carla jadi sungkan.
"Ya, ya, terserah kamu!" sahut Carla asal, ia malas merespon saja Savian masih banyak bicara, apa lagi kalau diladeni, bisa keluar semua sifat pria itu.
Savian merapatkan mulutnya, membuat suasana hening seketika, hanya suara televisi saja yang menggema di ruangan berwarna biru awan itu. Savian berdehem, ia merapatkan duduknya mendekat pada Carla.
"Car, boleh gak saya tinggal di sini satu bulan, atau seengaknya sampai saya dapat tempat tinggal baru?"
Mulut Carla langsung berhenti mengunyah seketika, kelopak matanya yang di bungkus bulu mata lentik itu perlahan melebar, menatap Savian dengan raut wajah terkejut campur tak percaya.
Sebelum Carla buka suara, Savian berkata lagi, "Sekarang lagi musim hujan, Car, kalau besok saya pergi terus malamnya kamu kebanjiran, siapa yang bantuin kamu?"
Carla menggaruk kepalanya yang tak gatal, satu jarinya ia masukan kedalam daun telinga, mengoreknya sesaat sebelum membalas ucapan lawan bicaranya, "Kamu barusan ngomong apa? Aku gak salah dengarkan?"
Dengan cepat Savian menggelengkan kepalanya, "Gak kok, kamu gak budek. Saya serius mau tinggal di sini, boleh ya?"
Kahfi memandang wajah Keina dari samping. Istrinya itu tengah sibuk memainkan ponsel setelah beberapa jam lalu melakukan pengakuan atas kebohongnnya. Kini wajah Keina sudah tidak sepanik dan secemas tadi. Dia bahkan beberapa kali tertawa pelan saat menonton video lucu di ponsel.Awalnya Kahfi kecewa dan tidak habis pikir dengan apa yang istrinya itu lakukan setelah mendengar semuanya dari Keina. Tapi sekarang, dia malah merasa bahwa kebohongan itulah yang membawanya sampai ke sini. Mungkin memang seperti itu cara Tuhan membuat Keina menjadi miliknya. Jika saja saat itu Keina tidak berbohong dan terus menjalin hubungannya yang tak direstui itu, mungkin sampai saat ini Keina masih bersama Dirga. Iya, kan?Kahfi mengenal Keina sejak lama. Dia bahkan pernah menjadi tutor private gadis itu. Jadi Kahfi tahu betul bagaimana tingkahnya. Tapi menurutnya, Keina seperti itu karena dia terlahir dari keluarga yang kurang lengkap dan membuat Keina mencari perhatian dengan cara yang berbeda.Hati da
Keina menghembuskan napas gusar. Tungkainya melangkah mundar-mandir di depan ranjang. Sejak siang dia sudah sampai dengan selamat di kediaman suaminya. Namun sampai hari menjelang sore, keduanya tidak banyak berbicara. Kahfi yang segera masuk ke ruang kerja sebab pria itu ada virtual meeting sejak siang tadi. Pekerjaannya juga pasti menumpuk karena ditinggal mudik dadakan selama dua hari.Tubuh Keina tersentak manakala pintu kamarnya terbuka, menampilkan Kahfi yang datang sambil tersenyum lembut ketika bersitatap dengan bola mata istrinya.Pelan tapi pasti, Kahfi berjalan mendekati Keina. "Kamu kenapa, Na? Sejak sampai di rumah kayaknya gelisah. Ada apa?" tanya Kahfi begitu berdiri di hadapan Keina yang nampak cemas wajahnya sejak tadi. Seperti ada yang gadis itu pikirkan. Keina menunduk, kembali dia menghembuskan napas berat. Gurat kecemasannya memang tidak dapat dia samarkan. Hatinya risau, bingung harus memulai obrolan dari mana untuk mengatakan yang sejujurnya dengan Kahfi.Kein
"Jadi kamu enggak hamil, Na?"Keina menggeleng dengan kepala menunduk dalam. Dia ketahuan. Kebohongannya terbongkar disaat yang tidak tepat. Kondisi mamanya yang sedang tidak baik-baik saja, ditambah mertuanya mengetahui rahasia besar yang sudah dia tutup-tutupin sejak lama.Gara-gara bocor, Keina harus mengangkui dengan berat hati bahwa kenyataan dirinya tidak sedang berbadan dua. Wanita hamil mana yang mengalami menstruasi."Kenapa harus berbohong, Na?" Savian bertanya. Dia tidak berekspresi apapun. Tidak juga menyudutkan menantunya atas kebohongan yang dia lakukan. Savian malah merasa lega karena ada kemungkinan Keina masih terjaga pergaulannya. Keina mengangkat wajah, saat ini dia sedang di salah satu kafe bersama Carla dan Savian. Mertuanya itu sengaja membawanya keluar dari rumah sakit untuk membicarakan masalah ini dengan serius."Karena saat itu aku cuma perlu restu Mama untuk menikah sama Dirga, Pah, Ma. Dulu kami saling mencintai dan mencari cara supaya bisa dinikahkan sece
Keina melenguh, dia terbangun dari tidur dan memegangi perutnya yang terasa nyeri. Gadis itu mendudukan diri, di tatapnya wajah sang suami yang tertidur pulas di sisi kanan. Teduh dan nampak tenang untuk dipandang. Sayang, kondisi sedang tidak memungkinkan untuk menikmati pemandangan itu. Sambil meringis kecil, Keina berjalan menuju toilet.Gadis itu menghembuskan napas panjang setelah mengecek tamu bulanannya yang dia kira akan datang, tapi untungnya tidak. Namun, Keina ingat-ingat dia memang agak terlambat bulan ini. Itu sudah biasa, siklus datang bulannya memang tidak teratur.Sebelum keluar dari toilet, Keina menyempatkan waktu untuk berwudhu. Ini sudah jam 3 pagi dan biasanya Kahfi akan bangun untuk sholat tahajud. Entah ada angin apa, rasanya Keina ingin ikut tahajud tanpa harus dipaksa-paksa lagi. Mungkin karena sudah terbiasa."Kak..," Dengan pelan Keina mengusap pundak Kahfi, tidak bersentuhan secara langsung sebab Keina menjaga wudhunya.Tidak perlu banyak usaha untuk membua
"Mbak, tadi mampir kemana dulu sama Pak Kahfi? Tumben lama, padahal Bu Rita udah sampe sebelum dzuhur."Likha yang sedang berjalan menuju ruangannya sehabis dari toilet spontan menghentikan langkah tatkala melewati kubikel Rara yang mendadak bertanya."Tebak dong gue habis darimana?" Wanita itu jadi mengurungkan niatnya lalu berbelok dan berdiri di depan kubikel staff purchasing itu.Rara menaikkan alisnya. "Enggak mungkin ngedate. Soalnya Pak Kahfi udah nikah." balasnya mengejek.Decakan sebal langsung Likha keluarkan, "Sekalipun Pak Kahfi belum nikah juga gak mungkin gue ngedate sama dia." Ya, Likha sih tahu diri saja. Walaupun banyak atasan yang tertarik padanya dan banyak juga yang mengakui kalau paras Likha diatas rata-rata. Tapi, untuk mendapatkan Kahfi kecantikan saja tidak cukup. Likha juga yakin kalau istrinya Kahfi memiliki kelebihan yang tidak dimiliki semua orang. Atau mungkin Keina dari anak yang latar belakangnya tidak biasa. "Iya juga sih," balas Rara dengan polosnya.
"Sayang, ini Likha, Sekretarisku." Keina menyambut kedatangan suaminya dengan senyum canggung. Pasalnya, untuk pertama kali setelah mereka menikah, Kahfi memperkenalkan dirinya dengan teman kantor pria itu. Padahal saat mereka menikah tidak ada satupun teman kerja Kahfi yang datang, bahkan Keina sempat mengira kalau Kahfi menyembuyikan status barunya sebagai seorang pria yang telah beristri. Well, Keina tahu tabiat pria, meski tidak bisa disamaratakan, namun kebanyakan pria yang sudah menikah kerap terlibat skandal perselingkuhan dengan rekan kantornya sendiri."Halo, Keina..." Gadis itu menyodorkan tangannya seraya tersenyum kikuk.Yang segera Likha sambut dengan ramah, sesaat mereka berjabat tangan. "Likha," balasnya lalu melepaskan jabatan tangan mereka."Mari masuk--- Kak," Keina menggeser tubuhnya dari depan pintu, memberi akses untuk Kahfi dan Likha masuk ke dalam. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung harus memanggil Likha apa. Jelas umurnya lebih muda dari wanita i