"Aku gak paham sama bapak."
Pergerakan tubuh Savian praktis terhenti, pria yang hendak keluar dari mobilnya itu segera menoleh ke Carla yang barusan buka suara.
"Bapak peluk aku, cium aku, ngelarang aku buat deket sama cowok lain, tapi kenapa bapak gak mau pacarin aku?" Pandangan Carla yang lurus ke depan perlahan-lahan menoleh ke arah kanan, menatap Savian yang tampak terkejut mendengar pertanyaan darinya.
Savian menghela napas pelan, kedua tangannya bergerak naik memegang bahu merosot Carla. "Kita bahas ini nanti, sekarang kita turun dulu-"
Carla menyetak tangan Savian dari kedua bahunya secara kasar, mendengar respon Savian yang demikian membuatnya sudah mengerti apa maksud pria itu mendekatinya tanpa berniat untuk memacari.
Savian menghembuskan napas berat melihat Carla yang turun lebih dulu dengan ekspresi kusutnya, sebelum memutuskan untuk menyusul cewek itu Savian berdecak kesal lebih dulu.
"Tal, Ital!" S
Savian sampai di Bandung jam delapan malam. Sepanjang perjalanan menuju kota kembang pikiran Savian tidak berhenti bekerja, ada banyak hal rumit yang ia pikirkan. Bahkan ketika mobilnya sudah terparkir di garasi rumahnya pun Savian masih ragu untuk turun. "Vi, gak turun?" Kristal bertanya, tangannya menyentuh lengan Savian bermaksud menyadarkan pria itu dari lamunan. Savian mengangguk tanpa suara, ia lantas melepas seatbelt yang melilit tubuhnya kemudian turun dari mobil. Seraya beriringan dengan Kristal Savian berjalan menuju pintu utama, tanpa menekan bel lebih dulu Savian langsung masuk ke dalam kediaman besar berlantai tiga milik orang tuanya. "Mas Savian sudah pulang..." Mbok Sumi yang sedang membersihkan pajangan di lemari menjadi orang pertama yang menyadari kedatangan Savian dengan seorang gadis di sebelahnya. Wanita paruh baya itu segera berjalan mendekat dengan ekspresi senang.
"Kali ini Papa gak boleh lepas dari tanggung jawab Papa begitu aja."Saat ini Savian sedang berbicara empat mata dengan Miko di balkon lantai dua rumahnya. Jelas mereka butuh ruang untuk saling tukar pikiran, dan Savian juga harus mendengar penjelasan yang selama ini Miko sembunyikan dari keluarganya.Selama ini, meskipun Miko selalu kerja di luar kota dan kadang dalam waktu yang cukup lama, tapi tidak pernah terbesit di pikiran Savian kalau Papa nya itu akan selingkuh dengan wanita lain, apa lagi sampai menikah dan memiliki anak. Savian sempat tidak percaya dan hampir hilang akal saat menemukan foto pernikahan Miko dengan wanita bule yang di pajang di bupet kosan Kristal, dan yang lebih mengejutkan lagi bahwa wanita di foto itu adalah ibunya Kristal yang sudah kembali ke Amerika tanpa membawa Kristal, alias Kristal di tinggal begitu saja saat gadis itu duduk di bangku SMA kelas 2.
"Lo gak ada niat buat laporin pacarnya Kristal ke pihak berwajib, Kak?" Savian yang sedang menikmati angin malam di balkon kamarnya spontan menoleh, mendapati Deica yang datang bersama dua cangkir kopi di tangannya. Savian menerima kopi dari adiknya lebih dulu sebelum menjawab pertanyaan yang barusan di ajukan, "Percuma. Pacarnya Kristal anak Menteri." jawab Savian membuat rahang Deica terjatuh. "Tapi memang Kristal cantik, sih." ujar Deica tidak heran. Ya, melihat paras cantik yang Kristal miliki, pria dengan jabatan tinggi sepertinya bisa dibuat jatuh cinta oleh gadis itu. "Gue tadi udah ngobrol sama Kristal, dia mau buat tinggal di sini sama mama." kata Deica mengubah topik pembicaraan mereka. Sejauh ini Deica juga masih bersikap baik dengan Kristal, ia tidak dendam atau merasa benci karena Kristal anak dari selingkuhan p
Tubuh Savian langsung lemas saat sampai di flat dan mendapati banyak darah yang bercucuran di lantai kamar Carla. Kamar gadis itu juga berantakan, sepertinya Carla benar-benar kacau tadi.Savian menghembuskan napas pelan, ia duduk di tepi ranjang Carla. Matanya menggerilya, menatap buku dan barang-barang lainnya yang bertebaran di lantai kamar. Savian tidak menemukan Carla sejak tungkainya menginjak lantai flat, tapi ia tahu dimana gadis itu berada saat ini.Misel yang memberitahunya kalau Carla sudah di bawa ke rumah Alvero dan akan menginap di sana. Misel juga mengatakan kepada Savian untuk tidak bertemu dengan Carla dulu sebelum gadis itu tenang. Karena saat ini mental dan pikiran gadis itu sedang tidak baik-baik saja. Melihat banyaknya darah di lantai kamar Carla, Savian jadi percaya dengan ucapan Misel kalau kondisi mental Carla memang seserius itu.Savian mengusap kasar wajahnya. Sisi tubuhnya terkepal
"Bapak pulang sama Kristal semalam?" Setelah menghabiskan roti dan kopinya, Carla membuka suara dan bertanya. Membuat Savian yang sedang fokus menyetir menoleh sesaat ke arah gadis yang pergelangan tangannya di perban itu. "Nggak, saya pulang sendiri. Kristal masih di Bandung." jawab Savian membuat Carla terdiam dan membuang pandangan ke luar jendela. Pikiran Carla berkecamuk lagi. Bertanya-tanya apa mereka sudah seserius itu dan apa Kristal sudah sangat akrab sampai Savian bisa tenang meninggalkan Kristal di rumahnya? Carla menahan napas, ia menolehkan pandangannya ke Savian. Ia tidak bisa terus menahan diri dan membuat pikirannya berperang sendiri. "Bapak mau nikah sama Kristal?" tanya Carla dengan nada serius. Dengan cepat Savian menoleh, di tatapnya mata Carla
"Kamu tahu ini kesalahan fatal yang kamu lakukan? Apa pernah mama mengajari kamu untuk berbohong?" Carla mendongakkan wajahnya, membalas tatapan tajam Mirda tanpa sungkan. Ada yang perlu gadis itu koreksi dari perkataan yang keluar dari bibir merah mamanya. "Aku memang salah. Tapi aku gak pernah bohong sama mama. Selama ini aku gak pernah bilang ke mama kalau aku tinggal sendiri di flat, dan mama juga gak pernah nanya aku tinggal sama siapa." ujar Carla mencari pembelaan yang mutlak dan bukan sekedar omong kosong. Selama Carla pergi dari rumah, Mirda memang jarang memperhatikannya. Mungkin mamanya itu lebih fokus mengurus Genta dari pada dirinya yang tidak berguna ini. Meski komunikasi terus berjalan, tapi semua hanya basa-basi, sekedar bertanya sudah makan atau belum, atau Mirda akan mengabari jika sudah mengirim uang bulanan untuknya. Dan Carla juga sama masa bodohnya. Sejak mamanya lebih mempercayai Genta, ia jadi malas untu
Carla terdiam menatap Savian yang fokus menyetir di sebelahnya. Carla bahkan masih ingat wajah babak belur Genta, tapi Savian malah tidak terluka seujung kuku pun. Jadi, selain pandai menggombal, Savian juga pandai berkelahi. Dua keahlian yang sangat melengkapi jiwa kejantanan Savian."Genta bilang apa sampai bapak emosi kayak tadi?" tanya Carla seraya memiringkan arah tubuhnya menatap Savian yang saat ini tidak mau membalas tatapannya. Kelihatan sekali pria itu sedang menghindari tatapannya, biasanya setiap Carla buka suara Savian selalu spontan menatap Carla meski hanya sepersekian detik saja."Gakpapa, saya cuma emosi liat muka bajingan itu." jawab Savian, kebencian terlihat jelas dari sorot matanya ketika membicara Genta.Carla menghela napas pelan, ia mendekatkan tubuhnya ke Savian dan menggenggam salah satu tangan Savian, membuat Savian menyetir menggunakan satu tangan saja."Kamu gak mungkin mukulin orang tanpa sebabkan, hmm?" suara Carla yang halu
"Bang Chaka?" Alvero membeku. Kepalanya seakan di timpa batu yang sangat besar melihat Chaka berjalan menuju ke arah meja mereka.Tangan Alvero terkepal kuat, giginya menggeletuk, matanya merah berlinang. Alvero tidak dapat menahan emosinya saat melihat Chaka yang melambaikan tangan dan melempar senyum ke arah mereka. Dengan secepat kilat Alvero bangkit dari duduknya, lalu menyerang Chaka begitu saja di tempat hingga Chaka ambruk ke lantai kafe.Alvero menghabisi wajah Chaka dengan emosi yang menggebu. Chaka yang di serang Alvero tiba-tiba jelas tidak memiliki persiapan untuk melawan, pria berbadan besar itu hanya pasrah di bawah kukungan emosi Alvero yang meledak."Lepasin gue, anjing!" Alvero memberontak pada dua pria yang asing menarik dirinya menjauh dari Chaka."Udah bang, santai, santai!" ujar salah satu pria itu membuat Alvero menghentakkan kakinya kesal ke lantai. Ia bel