Leah kesulitan tidur. Selain karena posisi berbaring yang terasa aneh dan tidak nyaman, rasa panas dan perih di punggungnya membuatnya hanya bisa tengkurap atau rebahan menyamping. Tapi bukan itu yang paling mengganggunya melainkan suara rintihan dari arah sofa yang berada tak jauh dari ranjangnya.
Valesco.
“Pergi!”
“Sialan!!! Jangan menyentuhku!!”
Leah menatap suaminya yang tidur di sofa dengan mata berkaca-kaca.
Valesco kembali mengerang dalam tidurnya, suaranya pecah, antara marah dan ketakutan. Tubuhnya bergerak tak menentu, seperti berusaha melarikan diri dari sesuatu yang tak terlihat.
“Jangan… jangan.. Vincent!”
Suara itu keras, tajam, memecah keheningan malam seperti kaca jatuh dari ketinggian. Leah bangun, dia beranjak dari ranjang dengan jantung berdegup liar.
“Valesco” Gumam Leah pelan
Pria itu menggeliat dalam tidurnya, tubuhnya berkeringat, napasnya tere
“Bisa kau keluar sebentar Leah?”Leah tak langsung bergerak. Kata-kata Valesco menggantung di udara seperti debu yang lambat-lambat jatuh, membekas di dada. Ia menatap wajah suaminya yang masih pucat, masih berat menahan kesadarannya. Tapi justru karena itu… Leah tak bisa memahami.Leah mendengar dengan jelasBukan permohonan yang lembut. Bukan pula suara kepercayaan yang utuh.Itu adalah batas yang ia sendiri tak tahu datang dari ketidaknyamanan… atau dari pilihan.Sementara Alisa, berdiri diam. Tak berkata apa-apa, tapi tatapannya jelas menyiratkan satu hal yaitu kemenangan. Kecil, sunyi, tapi sangat menusuk.Bukankah ini kamar mereka? Tempat tidur mereka? Rumah yang kini menjadi milik Leah juga? Dan kini, di ruangan yang harusnya menjadi privasi mereka, Leah diminta pergi, sementara seorang wanita yang hanya ‘teman’ suaminya tinggal?Itu bukan hanya menyakitkan. Itu… tidak etis.
Leah masuk ke dalam rumah sambil membawa buku catatannya yang masih hangat oleh pikiran-pikiran yang belum sempat ia uraikan seluruhnya.Langkahnya tenang, teratur, tapi pikirannya masih terpaku pada tiap kalimat yang ia tulis barusan tentang sisi Valesco yang hangat, manja, namun tetap… tidak dapat diprediksi. Begitu ia melewati lorong menuju tangga, matanya bertemu dengan seseorang di ujung lorong: Nola.Gadis itu berdiri kaku di dekat ruang tengah, mengenakan seragam bersih, tangan terlipat di depan perutnya. Tapi yang paling mencolok bukan sikap formalnya—melainkan tatapan yang ia lemparkan pada Leah.Tajam.Penuh dendam yang ditahan.Terlihat belum jera meskipun telah ditodongkan pistol oleh ValescoTatapan Nola bukan milik pelayan yang merasa bersalah. Itu adalah sorot mata seseorang yang merasa kalah tapi belum menyerah. Sorot mata seseorang yang percaya dirinya lebih layak, lebih tahu, dan… lebih mencintai. Namun sa
“Ale...” Gumam Leah“Hm” Jawab Valesco dengan gumaman dingin bercampur kesal“Ini...” Leah menjeda, matanya menatap Valesco dengan bergetar sedangkan tangannya menujuk pada pangkal pada Valesco “Kenapa jadi bengkak begini?” Tanya Leah kakuValesco mengangkat sebelah alis, ekspresinya berubah seketika. Dari wajah murung dan defensif menjadi licik dan penuh godaan. Napasnya masih berat karena demam yang bercampur gairah, tapi senyum tipis mulai menghiasi bibirnya, seperti seekor serigala yang baru saja mencium aroma peluang.“Oh?” gumamnya pelan, lalu menunduk menatap bagian yang dimaksud Leah, bagian yang kini nyaris membuat selimut tipis pun tampak tidak cukup menutupinya. “Kau baru sadar sekarang?” tanyanya malas, hampir seperti mendengus.Leah memalingkan wajah cepat, rona merah menyapu pipinya meski ia berusaha tetap tenang.Valesco tertawa pendek. “Kau yang buk
”Keluarlah” ucap Leah dengan suara tenangnyaNola bangkit dengan langkah tergesa, nyaris tersandung kakinya sendiri saat mencoba berdiri. Kepalanya tertunduk, tak berani menatap Leah atau Valesco.Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya, hanya deru napas tak teratur dan wajah yang pucat pasi. Ketika ia melewati Leah di ambang pintu, tubuhnya sedikit bergetar, entah karena takut atau malu, air matanya mulai mengalir tanpa suara.Leah tak menoleh. Matanya masih tertuju pada Valesco, yang kini bersandar manja padanya, seperti anak kecil yang menuntut perhatian penuh.Sudah lima menit sejak kepergian Nola dari kamar mereka. Hening menggantung di antara Leah dan Valesco. Pelukan pria itu belum juga mengendur; lengannya masih melingkari tubuh Leah dari belakang, hangat dan berat, seolah tak berniat melepasnya.Leah tidak membalas pelukan itu. Pandangannya tetap terpaku pada satu titik—laci nakas di sisi ranjang. Laci tempat Valesco t
Di dapur yang hangat dan harum aroma mentega serta bumbu masakan, Winny menaruh segelas jus semangka, beberapa potong roti panggang, dan dua kapsul vitamin ke dalam nampan berlapis kain putih bersih. Wajahnya serius, menunjukkan dedikasi dan fokus sebagai pelayan setia keluarga Arden.“Nadine” panggil Winny, menyodorkan nampan itu pada pelayan yang baru bekerja kurang dari seminggu itu. “Bisa minta tolong antarkan jus ini ke kamar Nyonya Leah? Aku harus cek roti panggang dulu sebelum gosong.”Nadine mengangguk cepat. “Oke Winny.”Ia mengulurkan tangan hendak mengambil nampan dari meja, tapi belum sempat jari-jarinya menyentuh pinggirnya, suara langkah cepat disertai nada terlalu ceria menyela dari arah pintu dapur.“Aku saja yang antar!” seru Nola, dengan senyum lebar yang tampak dipaksakan.Winny dan Nadine sama-sama menoleh, sedikit terkejut melihat kemunculan mendadak Nola. Perempuan muda itu melan
"Anak pintar, buburnya sudah habis. Sekarang minum obatmu."Leah mengangkat gelas berisi air dan mengambil dua keping obat dan sebutir kapsul dari box yang baru diambilnya dari atas nakas. Dengan gerakan tenang, ia menyodorkannya pada Valesco, persis seperti merawat seorang anak kecil"Aku tidak suka obat." Valesco menatapnya, malas.“Tapi kau minum penenang tiap malamnya” serang Leah cepat dan tepat sasaranValesco memejamkan mata sebentar, menghela napas panjang seperti seseorang yang baru saja terkena tembakan peluru tajam di harga dirinya. "Obat penenang berbeda" gumamnya, mencoba bertahan."Bedanya hanya alasan" jawab Leah kalem, tapi suaranya mengandung ketegasan. "Penenang membuatmu tidur dan obat ini membuat tubuhmu sembuh. Keduanya kau butuhkan, dan kau tak bisa pilih hanya satu."Leah menyodorkan gelas dan obat itu lebih dekat. Valesco melirik ke arahnya, lalu memalingkan wajah.“Valesco Arden” Leah m