Matahari telah naik, tapi belum terlalu terik. Valesco masuk ke sebuah toko roti yang baru buka. Tak ada asisten atau pengawal. Ia berdiri sendiri di depan etalase, memperhatikan satu per satu pilihan.
“Croissant, brioche, dan... scone hangat” katanya pada pramusaji. “Juga satu teh herbal dan kopi hitam, tidak terlalu manis.”
Ia memikirkan Leah saat memilih makanan itu. Lidah Leah yang lembut pasti lebih cocok dengan sesuatu yang ringan dan wangi, bukan makanan berat. Ia juga mengambil satu botol kecil madu dan yogurt, lalu membayangkan wajah Leah jika melihatnya bersikap begini, membeli sarapan untuk seseorang.
Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Bukan karena tak bisa, tapi karena tak pernah merasa perlu. Namun pagi ini, ia ingin melihat Leah tersenyum. Meskipun tubuh istrinya masih nyeri, Valesco ingin memastikan hati Leah tidak ikut terluka.
Ia kembali ke kamar sekitar dua puluh menit kemudian. Kamar masih sepi, hanya terde
Matahari telah naik, tapi belum terlalu terik. Valesco masuk ke sebuah toko roti yang baru buka. Tak ada asisten atau pengawal. Ia berdiri sendiri di depan etalase, memperhatikan satu per satu pilihan.“Croissant, brioche, dan... scone hangat” katanya pada pramusaji. “Juga satu teh herbal dan kopi hitam, tidak terlalu manis.”Ia memikirkan Leah saat memilih makanan itu. Lidah Leah yang lembut pasti lebih cocok dengan sesuatu yang ringan dan wangi, bukan makanan berat. Ia juga mengambil satu botol kecil madu dan yogurt, lalu membayangkan wajah Leah jika melihatnya bersikap begini, membeli sarapan untuk seseorang.Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Bukan karena tak bisa, tapi karena tak pernah merasa perlu. Namun pagi ini, ia ingin melihat Leah tersenyum. Meskipun tubuh istrinya masih nyeri, Valesco ingin memastikan hati Leah tidak ikut terluka.Ia kembali ke kamar sekitar dua puluh menit kemudian. Kamar masih sepi, hanya terde
Aroma bunga magnolia di suite room hotel itu tercampur oleh aroma tubuh, keringat dan sisa gairah yang masih terus dilepaskan.Cahaya remang dari lampu tidur menyapu kulit mereka yang lembap, meninggalkan kilau samar di atas bekas-bekas persetubuhan yang belum sepenuhnya mengering. Seprai berantakan, bantal-bantal tergeser hingga ke lantai, dan waktu seolah tak berjalan sejak malam menelan mereka berdua.Leah terbaring dalam diam, tubuhnya masih terasa berdenyut oleh sentuhan yang belum lama mereda. Di sampingnya, Valesco menatap langit-langit dengan napas berat namun damai.Ada begitu banyak hal yang bisa dikatakan namun keduanya seperti sepakat untuk tetap tetap diamAtau mungkin...Mereka berdua memang ingin menjaga intensitas dan menyesapi momen kenikmatan barusan.Valesco perlahan menoleh, memperhatikan sosok Leah yang terbaring telanjang dengan dada yang membengkak akibat ulahnya. Dada itu terangkat-angkat saat Leah bernapas.Ra
Malam pertama mereka memang terlambat. Terlalu terlambat. Setelah luka-luka terbuka, setelah air mata tumpah begitu banyaknya, dan setelah kepercayaan dibangun dengan susah payah di atas trauma dan rasa takut yang tak pernah mau sepenuhnya pergi.Leah tidak mengharapkan malam pertama yang manis, tidak dengan Valesco Arden, pria yang jiwanya telah hancur berkeping-keping sejak bertahun-tahun lalu.Namun, dia juga tak pernah berpikir bahwa malam itu akan menjadi begitu… liar.Kenyataan jika pria yang baru saja menangis di pelukannya, yang baru saja ia cium setiap lukanya dengan kasih tanpa syarat, akan berubah begitu drastis.Bahwa Valesco, suaminya yang rapuh dan penuh luka, bisa menjadi begitu rakus. Begitu haus akan sentuhan dan kasih sayang, seolah tubuh Leah adalah satu-satunya air di tengah gurun panjang penderitaannya.Begitu Leah mengucapkan kalimat terakhirnya tentang tubuhnya yang bisa dipakai sebagai tempat perlindungan, Valesco lan
“Peremuan itu bilang.... Dia bilang... aku anak spesial.” Valesco masih menatap jendela, matanya tak fokus. “Jadi dia boleh mengajariku banyak hal, katanya. Hal-hal yang... tidak bisa diajarkan di buku.”Tangannya mengepal di atas lutut. Napasnya berat, tapi tetap stabil. Seolah semua ini adalah rutinitas cerita yang sudah pernah dia ulang ratusan kali—hanya tak pernah kepada siapa pun.Leah tak bisa berkata apa pun. Tenggorokannya tercekat. Dinding dadanya seperti remuk dari dalam. Matanya perlahan memanas dan air mata mulai menggenang, gemetar di garis bulu mata sebelum akhirnya jatuh begitu saja tanpa bisa ditahan.“Aku pikir aku anak yang buruk karena merasa jijik. Aku pikir aku yang salah karena merasa takut... karena dia bilang aku akan membuatnya sedih kalau tidak menurut.”Valesco akhirnya menoleh. Tatapan matanya kosong, tetapi saat melihat air mata di pipi Leah, dinding yang sudah ia bangun seumur hidup
Los Angeles, California, USA.22 tahun yang laluAnak lelaki itu baru berusia enam tahun ketika pertama kali duduk di ruang belajar keluarga Arden. Ruangan dengan langit-langit tinggi dan rak-rak buku menjulang itu terasa bagai dunia baru baginya. Dindingnya dipenuhi lukisan klasik dan rak yang penuh dengan buku berkulit tebal yang beraroma kayu tua dan tinta.Ia duduk tegak di kursi belajarnya, sepatu kecilnya menggantung karena belum cukup tinggi untuk menyentuh lantai. Seragam kecil dengan lambang keluarga di dada kirinya tampak terlalu besar untuk tubuh kurusnya. Tapi matanya, mata yang akan tumbuh menjadi mata tajam milik seorang pria yang dingin di masa depan bersinar penuh semangat.Hari itu, ia menunggu guru pribadinya dengan penuh harapan. Joy tidak pernah mengajarinya langsung karena sibuk dengan kakaknya yang sakit. Sedangkan Kenneth terlalu sibuk mengurusi bisnis dan ambisinya. Tapi kali ini, ia punya pengajar pribadi. Seorang wanita berusia t
“Aku minta maaf” Ucap LeahValesco tertarik, matanya menyipit, menatap Leah seolah kata-kata itu terlalu murah untuk diucapkan sekarang.“Maaf?” gumamnya pelan, nyaris seperti ejekan. Ia mendongak sedikit, mengamati wajah Leah yang berdiri tenang “Untuk apa kau minta maaf Leah?”“Karena tidak peka dengan keinginanmu” Jawab LeahValesco menyeringai jahat. Daripada melakukan apa yang ia pikirkan, lebih baik Valesco mengalihkannya dengan meminum alkohol.Mungkin, hanya mungkin...Setelah semua ini, Valesco takkan terluka dengan penolakan Leah atau bahkan sikap tenang Leah“Tidurlah duluan, aku akan menyusul” ucap ValescoLeah tak langsung bergerak. Ia tetap berdiri di tempatnya, menatap punggung Valesco yang kini tampak sangat jauh. Kata-kata pria itu terdengar tenang, terlalu tenang. Tapi Leah tahu, itu bukan ketenangan yang sebenarnya. Itu adalah diam yang berisi badai.