Leah berjalan pelan menyusuri koridor panjang yang dipenuhi cahaya matahari yang cukup terik, pantulan kaca jendela besar di sisi kiri rumah menyilaukan matanya sesekali. Langkahnya lambat, tidak karena lelah, tapi karena ia tak tahu harus melangkah ke mana. Rumah itu terlalu besar. Terlalu sunyi. Dan semuanya... terlalu sempurna.
Dinding marmernya berkilau tanpa cela. Karpetnya tertata presisi tanpa satu helai pun tergeser. Vas-vas kristal di sudut-sudut ruangan memamerkan bunga yang seragam dan segar, seperti diganti setiap beberapa jam. Bahkan aroma di udara pun teratur. Wangi lavender lembut bercampur sandalwood, tidak pernah terlalu kuat tapi tidak pernah benar-benar menghilang.
Leah berhenti di depan sebuah rak buku yang tertata simetris. Ia menyentuh salah satu buku tua berjudul asing dalam bahasa Prancis, tapi tak menarik perhatiannya lebih dari dua detik. Semuanya terasa steril. Tak ada jejak manusia disini. Hanya kebiasaan dan kendali.
Ia mulai melangk
Leah berjalan pelan menyusuri koridor panjang yang dipenuhi cahaya matahari yang cukup terik, pantulan kaca jendela besar di sisi kiri rumah menyilaukan matanya sesekali. Langkahnya lambat, tidak karena lelah, tapi karena ia tak tahu harus melangkah ke mana. Rumah itu terlalu besar. Terlalu sunyi. Dan semuanya... terlalu sempurna.Dinding marmernya berkilau tanpa cela. Karpetnya tertata presisi tanpa satu helai pun tergeser. Vas-vas kristal di sudut-sudut ruangan memamerkan bunga yang seragam dan segar, seperti diganti setiap beberapa jam. Bahkan aroma di udara pun teratur. Wangi lavender lembut bercampur sandalwood, tidak pernah terlalu kuat tapi tidak pernah benar-benar menghilang.Leah berhenti di depan sebuah rak buku yang tertata simetris. Ia menyentuh salah satu buku tua berjudul asing dalam bahasa Prancis, tapi tak menarik perhatiannya lebih dari dua detik. Semuanya terasa steril. Tak ada jejak manusia disini. Hanya kebiasaan dan kendali.Ia mulai melangk
Leah masih duduk di meja makan yang kini sepi. Sisa percakapan pagi itu masih menggantung seperti awan mendung yang enggan pergi. Tapi pikirannya tak berhenti pada kemarahan.Ia mulai menarik benang kenangan, pada alasan mengapa dirinya bisa berdiri di titik ini. Kenapa Valesco, seorang pria dengan kuasa dan dunia sebesar itu, justru memilih membeli dirinya dari ibu kandungnya sendiri.Bukan karena ia cantik. Bukan karena ia tenang. Tapi karena ia mengerti.Leah mengenali pola. Ia tahu tanda-tanda trauma masa kecil, tahu bagaimana seseorang bisa membangun dinding pertahanan begitu tinggi hingga tak ada satu pun emosi yang bisa masuk, atau keluar.Ia pernah mendampingi anak-anak yang memaki dan menggigit karena merasa dunia mengkhianati mereka. Ia pernah menenangkan anak-anak yang menangis tanpa suara karena tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa sakit mereka.Dan saat ia melihat Valesco—ia tahu. Valesco sedang hidup dengan salah satu dari mereka. Tapi bedanya, pria ini dewasa. D
Leah terbangun. Tubuhnya terasa berat, seperti ditarik oleh beban yang tak terlihat. Matanya perlahan terbuka mencari penyebab beban berat ditubuhnya dan ternyata itu adalah Valesco, yang memeluknya erat dari belakang.Napas hangat Valesco menyentuh tengkuknya dengan ritmenya tenang... terlalu tenang untuk pria yang biasanya selalu diliputi badai. Lengan kokohnya melingkar di pinggang Leah, bukan dalam pose menggoda, tapi seperti seseorang yang sedang berpegangan pada sesuatu agar tidak tenggelam.Perlahan, ia memiringkan tubuhnya, berusaha melihat sedikit ekspresi pria itu dari sudut matanya.Senyum kecil terpatri dibibirnya begitu menatap wajah Valesco. Alis suaminya itu sedikit berkerut, seolah dalam tidurnya, pria itu tak benar-benar bebas dari bayangan yang menghantui.“tenang Valesco” Gumam Leah menenangkan meskipun dalam pikirannya terisi tanya: apa yang sebenarnya terjadi semalam?Ia mengingat perbincangan terakhir mere
Hari pertama sebagai istri Valesco berlalu dengan cepat, tapi tak meninggalkan jejak manis seperti pengantin baru lainnya. Tak ada pelukan hangat, tak ada percakapan lembut sebelum tidur. Hanya ruang makan besar yang sunyi, beberapa tatapan tak sengaja, dan waktu yang berjalan seperti debu yang mengendap di perabotan tua—diam, namun terasa berat.Malam itu, Leah berdiri di depan sebuah pintu gelap di ujung lorong lantai dua. Ruang pribadi Valesco. Ia sempat ragu. Ruangan itu tak pernah dikunci, tapi juga tak pernah terbuka sepenuhnya untuk siapa pun. Pelayan pun tampaknya menghindari masuk kecuali disuruh. Ada semacam aura tak terlihat yang menjaga ruangan itu—bukan kekuasaan, melainkan luka.Leah mengetuk pelan.Satu kali.Dua kali.Tak ada jawaban.Ia menempelkan telinganya ke pintu, mencoba menangkap suara—tapi yang terdengar hanya gemerisik hujan dari luar dan detak jantungnya sendiri.Khawatir terjadi sesuatu, L
Valesco ArdenLeah mempertanyakan kenapa pria itu dikenal sebagai pria yang cukup…. gila.Ada beberapa rumor yang beredar—berbisik dari satu ruang pesta ke ruang rapat, dari bisik-bisik sosialita hingga meja redaksi majalah bisnis dan semuanya menggambarkan sosok Valesco dengan aura gelap yang sama: tidak bisa diprediksi.Sebagian mengatakan pria itu menderita gangguan kecemasan akut. Bahwa ia pernah kabur dari sebuah acara konferensi internasional hanya karena air minumnya disajikan di gelas yang bentuknya tidak simetris. Orang-orang menyebutnya “aneh”, padahal mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang terjadi di balik sorot mata tajam pria itu.Yang lain bersikeras Valesco mengidap OCD parah, obsesif terhadap kebersihan dan kontrol. Bahwa ia pernah memecat seluruh staf rumah tangganya hanya karena salah satu dari mereka mengubah posisi lampu aroma terapi di kamar tidurnya. Semua harus sempurna. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Bahkan napas pun, di dekatnya, harus terasa teratur.D
Malam turun sepenuhnya di luar jendela besar rumah Arden. Hujan rintik mulai mengguyur kaca, menorehkan suara halus yang mengisi kesunyian rumah megah itu. Jam sudah menunjukkan pukul 00.37. Rumah sepi. Pelayan sudah kembali ke paviliun kecil di sisi timur bangunan. Hanya lampu-lampu lantai dua yang masih menyala—termasuk di kamar kerja Valesco Arden.Pria itu duduk di kursinya, tubuh membungkuk dengan tangan menggenggam erat sisi meja. Matanya sembab, tapi tak ada air mata yang mengalir. Di depannya, sebotol kecil obat antipsikotik dan segelas air putih. Tangannya sedikit gemetar ketika membuka tutup botol, lalu menjatuhkan dua tablet ke telapak tangannya yang pucat yang terbalut oleh perban.“Dokter bilang cukup satu” gumamnya. “Tapi kadang... satu saja tidak cukup untuk menghentikan suara-suara ini.”Tanpa pikir panjang, ia menelan keduanya.Obat itu memang dirancang untuk menekan impuls, menurunkan aktivitas berlebih di saraf-saraf tertentu. Tapi dosis yang salah... bisa memicu ef