Share

Bab 4. Mati Lampu

“Gantilah pakaianmu.” Joseph bertitah meminta Isabel mengganti pakaiannya yang sudah basah kuyub, akibat gadis itu tercebur di kolam.

Isabel menarik handuk putih yang diberikan oleh Joseph, agar semakin membalut tubuhnya yang kedinginan. “I-iya, Joseph. Terima kasih.”

“Kau terlalu banyak mengucapkan terima kasih dan juga minta maaf. Masuklah ke kamarmu. Ganti pakaianmu,” balas Joseph dingin tak ingin dibantah.

Isabel mengangguk patuh, lalu melangkah pergi meninggalkan Joseph menuju kamarnya. Namun di kala Joseph hendak ingin menuju kamarnya—langkahnya terhenti melihat Ian—asistennya—datang menghampirinya.

“Tuan, Nona itu—” Ian bingung melihat Isabel masuk ke dalam kamar.

“Aku membiarkannya tinggal di sini,” jawab Joseph dingin.

Ian hendak ingin bertanya lagi, tapi tatapan tajam dari Tuannya membuatnya mengurungkan diri untuk kembali bertanya.

“Ada apa kau ke sini, Ian?” tanya Joseph to the point pada sang asisten.

“Hm, Tuan. Ayah Anda tadi menghubungi saya. Beliau meminta Anda untuk segera kembali ke New York,” jawab Ian sopan.

Joseph berdecak kesal. “Tua bangka itu masih saja memaksaku.”

Ian menggaruk tengkuk lehernya tidak gatal. “Tuan, tapi ayah Anda meminta Anda untuk menangani project besar di New York. Dua kakak Anda tengah sibuk dengan project mereka. Hanya Anda yang bisa diandalkan, Tuan.”

Joseph mengembuskan napas kasar. “Katakan padanya, aku di sini juga sibuk. Ayahku memiliki banyak orang kepercayaan. Minta saja orang kepercayaannya untuk menangani project besarnya.”

“Tuan, tapi—”

“Jangan menggangguku. Pergilah. Aku sedang tidak ingin diganggu.” Joseph memotong ucapan sang asisten. Dia berjalan meninggalkan sang asisten menuju kamar sambil mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk kering.

Ian menggaruk kepalanya tidak gatal menatap Joseph yang mulai lenyap dari pandangannya. “Bagaimana ini? Masalah akan datang lagi.”

***

Makan malam tiba. Isabel menikmati makan malamnya bersama dengan Joseph. Makanan yang terhidang adalah makanan lezat. Joseph memperjakan chef khusus untuk membuatkan makanan. Pria itu tidak sembarangan dalam mengkonsumsi makanan yang dia telan. 

“Joseph, boleh aku bertanya?” tanya Isabel pelan sambil menatap Joseph.

“Ada apa?” Joseph menatap Isabel.

“Bahasa Spanyolmu lancar sekali. Tapi ada beberapa aksen yang kau kental sebagai orang Amerika. Apa kau darah campuran?” tanya Isabel hati-hati.

Joseph mengangguk samar. “Ya, ibuku memiliki darah Spanyol dan ayahku Amerika.” 

“Ah, begitu.” Isabel sekarang paham kenapa Joseph lancar berbicara Spanyol.

“Apa kau bisa bahasa inggris?”

“Bisa, Joseph. Sejak kecil, ibuku selalu menggunakan bahasa inggris setiap kali berbicara denganku.”

“Di mana ibumu sekarang?”

Isabel langsung muram mendengar pertanyaan Joseph. “Sepuluh tahun lalu, ibuku pergi meninggalkanku selamanya.”

“Kau memiliki kakak atau adik?” tanya Joseph lagi ingin tahu lebih dalam tentang kehidupan Isabel.

Air mata Isabel berlinang jatuh, dan buru-buru dia menyeka air matanya. “Aku memiliki satu kakak perempuan, tapi dia meninggal dalam kecelakaan pesawat. Tubuhnya ditemukan dalam keadaan sudah hancur.”

Joseph langsung diam ketika Isabel menceritakan tentang kakaknya. “Habiskan makananmu, dan segera kembali ke kamar.” Dia memutuskan untuk tidak lagi menanyakan kehidupan pribadi Isabel.

Isabel mengangguk dan kembali melanjutkan makan malamnya. Tidak ada percakapan yang terjalin lagi. Hanya wajah muram Isabel yang ditampilkan. Sejak di mana Joseph menanyakan tentang ibu dan kakak gadis itu.

Setelah makan malam selesai, Isabel memutuskan untuk melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Joseph memutuskan untuk menuju ke ruang kerjanya. Pria itu harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya.

Di kamar, Isabel nampak sangat muram. Sepasang iris matanya memancarkan jelas kerapuhan dan perasaan sedih yang tidak bisa tertahankan. Hingga kemudian tiba-tiba lampu mati. Sontak Isabel menjerit ketakutan di kala lampu kamarnya mati.

Suara jeritan Isabel sangatlah keras sampai membuat Joseph berlari menuju ke kamar Isabel. Pria itu menggunakan cahaya di ponselnya agar bisa melihat jalan. Dalam hati, Joseph mengumpat karena mesin diesel tidak langsung aktif.

“Isabel?” seru Joseph masuk ke dalam kamar.

“Joseph…” Isabel terisak di kala mendengar suara Joseph.

Joseph menyorotkan sinar di ponselnya ke arah Isabel—dia melihat gadis itu bersimpuh di lantai sambil menangis. Hatinya tergerak untuk mendekat mensejajarkan tubuhnya pada Isabel.

“Isabel—” Baru saja Joseph mengeluarkan suara, Isabel sudah langsung memeluk Joseph dengan erat dan menangis sesegukan dalam pelukan Joseph.

“Joseph, jangan pergi. Aku takut,” cicit Isabel ketakutan.

“Ini hanya mati lampu. Tunggulah sebentar. Harusnya lampu sudah menyala karena di gedung apartemen mewah seperti ini pasti ada mesin diesel,” jawab Joseph membiarkan Isabel memeluknya.

Tak selang lama, lampu menyala. Isabel masih tetap dalam keadaan dipeluk Joseph. Baik Isabel dan Joseph sama-sama tidak sadar kalau lampu sudah menyala. Malah sekarang Joseph membalas pelukan Isabel yang meringkuk seperti anak kucing yang meminta pertolongan.

“Tuan Joseph—” Pelayan masuk ke dalam kamar Isabel, dan raut wajahnya langsung berubah melihat adegan di mana Isabel dan Joseph berpelukan. “M-maaf, Tuan, Nona.” Buru-buru pelayan itu menundukkan kepalanya.

Isabel yang menyadari lampu sudah menyala langsung melepaskan pelukannya di tubuh Joseph. Tampak wajahnya menjadi semakin salah tingkah. Dia menyeka sisa air matanya sambil berkata, “J-Joseph maafkan aku.”

Joseph tak menggubris ucapan maaf Isabel. Pria itu melayangkan tatapan dingin pada sang pelayan. “Kenapa mesin diesel tidak langsung berfungsi saat listrik mati!”

“M-maaf, Tuan. Tadi saya baru saja mendapatkan informasi kalau mesin diesel sedang mengalami gangguan. Pihak apartemen meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Ke depannya, mereka tidak akan membiarkan kejadian seperti hari ini terulang,” tutur sang pelayan sopan memberikan penjelasan.

Joseph mengembuskan napas kasar. “Pergilah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.”

Sang pelayan segera menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Joseph dan Isabel.

Joseph bangkit berdiri sambil membantu Isabel yang juga bangkit berdiri. Terlihat sejak tadi Isabel menjadi salah tingkah. Bagaimana tidak? Moment memeluk sambil menangis adalah hal yang membuat Isabel malu. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

“Lampu sudah menyala, kau tidurlah.” Joseph berbalik, dan hendak meninggalkan Isabel, namun dengan cepat Isabel menahan lengan Joseph—meminta Joseph untuk tidak langsung pergi.

“Joseph tunggu,” ucap Isabel pelan.

“Ada apa?” Joseph menatap dingin Isabel.

Isabel sedikit salah tingkat, namun entah kenapa ada sesuatu keberanian dalam dirinya. Dia mendekat dan memberikan kecupan di rahang Joseph. “Terima kasih banyak, kau selalu menolongku.”

Joseph terdiam ketika Isabel mencium rahangnya. Yang dia tangkap adalah Isabel sosok gadis pemalu dan penakut. Tapi ternyata rupanya dibalik rasa takut ada sisi keberanian yang harus Joseph acungi jempol.

Joseph melangkah mendekat mengikis jarak di antaranya dan Isabel. Pria itu memeluk pinggang Isabel, merapatkan tubuh gadis itu ke tubuhnya. Sontak, Isabel terkejut akan tindakan Joseph.

“J-Joseph—” Isabel terjerat dalam pelukan Joseph, hingga membuatnya panik.

Joseph menundukkan kepalanya, bersejajar menatap Isabel. “Kau semakin banyak memiliki hutang budi padaku, Isabel. Menurutmu apa yang harus kau lakukan untuk membalas budi?”

Isabel menggigit bibir bawahnya, memberanikan diri menatap Joseph. “Apa pun aku akan turuti, selama aku bisa, Joseph.”

Joseph tersenyum samar mendengar jawaban Isabel. Dia kian mendekatkan bibirnya ke bibir gadis itu. “Artinya, sekalipun keinginanku adalah tidur denganmu, kau tidak akan menolak, kan?” bisiknya serak—dan sontak membuat wajah Isabel memucat.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Harfendi Kartawijaya
hhhhhhjjjhhhhhhh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status