Tangan Galtero terkepal di samping tubuhnya. Sambil melangkah mendekati Sofia, dia menatap lekat-lekat wanita itu.Pandangan keduanya saling terkunci, seakan ada kata yang disampaikan melalui mata mereka.Dalam hati, Sofia bicara, ‘Kenapa dia keras kepala?’Akan tetapi, tanpa sadar Sofia juga sama kerasnya, bersikukuh untuk tidak berkata apa pun.Alih-alih marah karena mendapat kabar tentang Sofia yang mencari firma hukum perceraian, Galtero justru mencoba tersenyum meskipun kaku. Dia mengesampingkan ego yang biasanya tak ingin terkalahkan. Sofia yang sudah mendiaminya itu akan makin menjaga jarak, andai dia mengonfrontasi penolakan pemberiannya.Sofia diam saja, sama sekali tidak bertanya. Wanita itu sibuk dengan sarapannya.Saat Galtero hendak bicara, pintu ruangan terbuka. Pria itu menoleh. Begitu pun dengan Sofia.“Bunganya mau diletakkan di mana, Nyonya?” tanya seorang perawat.Sofia menunjuk meja nakas di sampingnya. “Di sini saja.”Sementara Galtero tercengang. Untuk kesekian
Matahari musim gugur datang lebih lambat dari beberapa bulan lalu. Sofia mengerjapkan matanya, terbangun sendirian di ruang rawat yang cukup luas ini. Hatinya merasa hampa, apalagi teringat ucapannya kemarin. Hanya saja telapak tangannya masih terasa hangat. Dia memandanginya … mungkin itu karena selimut, pikirnya. Namun, batinnya berbisik, ‘Galtero.’ Samar-samar hidungnya menghirup aroma susu dan gula karamel tak jauh darinya. Saat menoleh, dia terdiam sejenak. Bukan tanpa alasan, melainkan karena melihat sebuket bunga mawar putih yang dilengkapi baby’s breath. Di belakangnya ada kotak makanan stainless, dan dari aromanya saja Sofia tahu itu. “Crema catalana,” gumamnya. Tidak ada nama pengirimnya, tetapi Sofia tahu siapa orang yang meletakkannya di atas meja. Entah dari mana Galtero mendapat makanan kesukaannya. Yang jelas, crema catalanan domdalam kotak itu bukan dari toko kue langganannya. Perasaannya sempat menghangat. Matanya memandangi kotak itu lama sekali, sebelum tangan
Saraf-saraf pada wajah Galtero membeku. Mata birunya membelalak sesaat, sebelum kelopaknya menyempit. Pria itu ingin memastikan bahwa tidak salah dengar.Tangan Galtero turun perlahan dari sisi tubuhnya, seolah kehilangan kendali. Dia mencengkeram keras celana bagian paha, hingga nadi di pelipisnya tampak menonjol.Mulutnya terbuka sedikit, lalu beberapa detik berlalu, dia berbisik, “Apa kamu benar-benar ingin lepas dariku, Sofia? Setelah semua ini?”Tatapan Sofia tetap datar, seakan tanpa benci atau cinta. Justru itu membunuh Galtero pelan-pelan. “Ya. Tentu saja,” sahut Sofia begitu ringan, juga menyayat.Detik berikutnya, Galtero mundur setengah langkah. Dia masih menatap wanita itu, dengan sorot mata lelaki yang tidak siap mendengar ucapan terlalu dingin dari wanitanya.Sofia yang duduk setengah bersandar, diganjal tumpukan bantal, menyilangkan kedua tangan di atas perut. Ia tetap menatap Galtero secara langsung. “Aku minta kita batalkan kontrak pernikahan ini,” pinta Sofia, tena
“Nyonya Sofia, memang keluar dari kamar rawatnya, Tuan.” Antonio memegang tabletnya dengan kuat, khawatir tuannya itu melempar karena emosi.Darah Galtero makin mendidih, karena Sofia meninggalkannya. Tanpa kata, tanpa memberi pengampunan atau bahkan kesempatan terakhir. Otot-otot di leher pria itu menegang dan napasnya memburu.“Ke mana dia?” geramnya. Dia terus melangkah hingga berhenti tepat di depan lift.Antonio tergagap mencari rekaman CCTV pada tabletnya. Namun, gerakannya tidak cukup cepat.“Lamban!” hardik Galtero, lalu merebut tablet dari tangan asistennya. Antonio membeku.Jemari Galtero begitu cekatan menggulir layar. Pupilnya menyapu tiap cuplikan rekaman, detil demi detil.Hanya saja, sebelum dia sempat mengetuk salah satu data rekaman, langkahnya terhenti.Galtero merasa napasnya menyesakkan. Apa Sofia sungguh pergi darinya—lagi?Lalu terdengar suara lembut memanggilnya.“Apa yang kamu lakukan di sini?”Galtero menoleh. Rahangnya yang semula menegang berangsur mengendu
Sudah lebih satu jam Sofia terbaring di ruang perawatan. Bahkan saat ini Galtero hanya bisa mengintip melalui celah pada pintu. Namun, Sofia tidak menunjukkan diri.Wanita itu menutupi tirai yang mengelilingi ranjang. Tadi, wanita itu juga mengusirnya.“Bagaimana kondisinya, Gal?” tanya Abuela yang baru saja sampai, sebab harus mengakhiri acara pesta sebelum dimulai.“Dia menolakmu, huh?” sahut Alessandro, kakak kandung Galtero yang menatap sinis.Sedangkan Galtero mengepalkan tangannya yang bergetar. Dia ingin mengisolasi bangsal ini agar tidak ada orang selain dirinya dan Sofia. Dia merasa dihakimi jika terus begini.“Puas merusak semuanya? Tingkahmu ini tidak bisa dibenarkan, Gal!” sembur pria itu lagi.“Sudah. Sudah. Seharusnya kalian bukan bertengkar.” Abuela menatap kedua cucunya yang sama-sama keras seperti batu. Lalu dia melanjutkan, “Gal memang salah, tapi Sofia sekarang butuh ketenangan. Tolong tahan emosi.”“Anak ini memang bisanya buat masalah,” sarkas Alessandro sambil me
Ditanya seperti itu, Sofia bingung harus menjawab apa. Di satu sisi dia ingin mengatakan bahwa dia telah mengenal suaminya, tetapi bagian kecil dari hatinya menyangkal itu semua. Sofia pun terdiam. Napasnya terdengar berat dan tatapannya tak putus dari sosok sang suami yang entah mengapa bukannya menghampiri, justru terdiam bagai patung di ujung ruangan. “Sebenarnya ada apa ini?” cicit Sofia, dengan suara yang bergetar. Tuan Torres berdecak keras. Mengusap wajahnya dengan kasar, lalu bertolak pinggang. “Bilang padanya siapa dirimu yang sebenarnya, Galtero Torres!” Suara Tuan Torres meninggi dan menggema di ruang keluarga. Seketika, Sofia terkesiap. Dadanya makin sesak. Tangannya yang gemetar menggosok telinga, memastikan bahwa pendengarannya tidak sedang mempermainkannya. ‘A–apa aku tidak salah dengar? Galtero...?’ Bahkan batinnya saja tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Ingatan tentang pertemuan awal mereka, tentang kontrak, tentang betapa mudahnya Galtero mengetahui semu