Mulut Isela terkatup rapat melihat Nicolas berdiri di hadapannya. Tekadnya yang semula tinggi, kini menciut … mungkin menghilang. Tatapan sepasang mata birunya tajam, begitu mengintimidasi. Tangannya yang menggenggam ponsel gemetaran. Pupus sudah harapannya untuk kabur dari pria itu. “Halo … halo … kamu siapa? Di mana Nicolas?” Suara dari telepon masih terdebgar jelas. Tanpa banyak bicara, Nicolas mengulurkan tangannya. Isela menggeleng lemah, entah keberanian dari mana yang membuatnya berani di saat terdesak seperti ini. Namun, dengan cepat pria itu merampas paksa sampai kuku tajamnya menggores jemari Isela. “Akh!” pekiknya tertahan. Nicolas menekan layar, memgabgkiri panggilan suara. Perlahan ia melangkah naik ke atas ranjang. Mengukung Isela yang makin mundur. “Kamu menguji kesabaranku, huh?” Nicolas mengelus lembut sepanjang rambut Isela. Membuat wanita itu bergidik ngeri, bukan merasakan cinta melainkan amarah dalam setiap sentuhannya yang membahayakan ini. “Aku hanya berju
Sofia memandang wajah tampan suaminya yang masih tertidur lelap. Semalaman pria itu memunggunginya, tetapi pagi ini tidak. Tangannya melingkar di pinggulnya. Perasaan hangat menjalar, perlahan menutupi kesedihannya pasca pertengkaran kemarin. Dan ia berharap Isela diperlakukan yang sama oleh Nicolas. Ia hanya teringat masa lalunya dulu bersama Galtero. Meskipun suaminya ini jauh lebih baik dibanding Nicolas Rindu pada pelukan dan panas dada pria itu, Sofia menggeser tubuhnya. Menghirup rakus aroma tubuh Galtero yang amat ia sukai. Bibirnya pun mengecup halus dada bidang itu.Galtero melenguh, matanya mengerjap. “Mi Amor.” Naluri lelakinya bangkit seketika. Namun, ia menjaga diri. Kandungan Sofia makin besar, khawatir istrinya kelelahan.“Aku mau, Gal,” pinta wanita itu bernada manja. Suaranya benar-benar menggoda keteguhan Galtero yang mati-matian memadamkan bara hasrat.“Kamu tidak ingat pesan dokter sebelumnya?” Galtero tersenyum melihat wajah Sofia yang memerah karena bergairah. B
Sementara itu di Torres Memorial Hospital, petugas pemadam kebakaran dan teknisi tidak menemukan sumber kebakaran atau aliran listrik korslet, semua aman-aman saja. Anehnya tidak ada bukti apa pun yang memicu alarm. Hanya terdapat seorang pria bertubuh besar dengan wajah tertutup menyulut api sesaat. Mereka tidak tahu apa tujuan orang itu.Tubuh Mathilda lemas di pinggir jalan. Ia merasa gagal menjalankan tugas dari atasannya. Wanita itu sesenggukan, beruntunglah orang baik membawanya kembali ke titik kumpul rumah sakit.**Mengetahui keriuhan rumah sakit milik keluarga besarnya, Galtero memeriksa lokasi. Bahkan Sofia yang merasa cemas pun ikut. Mereka terkejut melihat Mathilda duduk di kursi roda.“Mathilda?!” Sofia terpekik. Buru-buru mendekat, sedangkan Galtero masih berbincang serius bersama direktur rumah sakit.“Apa ada yang terluka? Mana yang sakit?” Sofia memeriksa tangan, wajah dan kaki pengasuh itu.“Isela … Nyonya … dia … Tuan Marquez membawanya pergi.” Isak Mathilda. “Saya
Pergelangan Isela ditarik paksa oleh Nicolas. Pria itu menuntutnya untuk tunduk. Ia membawanya ke salah satu penthouse yang disewanya.Meskipun enggan, Isela tak bisa menolak. Sekuat apa pun ia meronta dan tegas berkata tidak, Nicolas tak peduli. Bahkan jika kelak janinnya terluka, pria itu tetap tak peduli. Demi keselamatan bayinya, terpaksa ia mengikuti langkah Nicolas.Pintu terbuka usai Nicolas menempelkan kartu. Isela mengamati di mana kartu itu ditaruh. Ia harus ingat letaknya, bahkan celana bahan termasuk warna yang digunakan Nicolas.“Masuk. Dan bersihkan tubuhmu!” tegas pria itu. Ponselnya berdering, lantas ia meninggalkan Isela begitu saja. Nicolas masuk ke salah satu ruangan.Isela bergeming. Matanya mengedar menatap sekeliling ruangan luas ini. Dahulu ia sering mengikuti Nicolas memasuki mansion, hanya untuk menemui para wanitanya. Bahkan tak jarang ia juga yang membelikan lingerie dan pakaian dalam untuk para wanita itu. Memang kejam, setiap kali ia ingat Nicolas membuat
“Mau ke mana? Kabur lagi?” Suara lantang itu terdengar familiar. Meskipun ditutup matanya, Isela akan tetap mengenalinya. Tatapan Isela penuh luka pada pria yang makin mendekat. Andai saja bisa, ia ingin meluapkan amarahnya. Namun, wanita itu tidak bisa melakukan apa pun, mengingat status mereka yang bagaikan bumi dan langit. Ia menunduk hormat. Mathilda mengeratkan genggaman tangannya. Pengasuh itu mengingat garangnya wajah pria yang tadi ia tabrak. “Tidak apa, Nyonya,” bisik Isela kali ini menenangkan, meskipun hatinya juga gelisah tak karuan. “Sebaiknya kita hubungi Nyonya Sofia atau Tuan Torres,” bisik Mathilda lagi. Kepalanya sudah pening memikirkan apa yang akan dilakukan Nicolas. Isela menggeleng pelan. “Tidak perlu. Ini masalahku. Jangan merepotkan Tuan dan Nyonya Torres.” Nicolas sudah berdiri tegak dengan satu tangan masuk dalam saku. Dagu berjanggutnya terangkat dan mata birunya memindai tubuh sang asisten yang agak berisi pada dada dan bokong. “Kamu tidak pandai semb
Sementara itu di ruang rawat, Mathilda tak hentinya mengintip ke luar melalui celah pintu. Napas pengasuh itu berembus kasar dan keringat dingin mengucur, padahal setiap sudut rumah sakit terpasang pendingin.“Nyonya … ada apa? Kenapa wajah Anda pucat?” tegur Isela dari atas ranjang.Kondisi Isela jauh lebih baik setelah dokter memberinya obat. Ia juga dirujuk ke psikiater untuk memperbaiki mentalnya.Mathilda meletakkan jari di depan bibir. Ia mendekati Isela dengan langkah mengendap bagai pencuri, lalu menutup tirai yang mengelilingi ranjang.“Pelankan suaramu, Nona,” bisik Mathilda.Isela mengangguk. Jujur saja, situasi menegang. Wanita itu meraba tengkuknya yang terasa dingin, berbeda dengan pakaian Mathilda yang sudah lembap.“Di luar sana ada Tuan Marquez. Dia pasti mencariku, mau menculikku, karena aku tidak membuka pintu untuk anak buahnya. Astaga, Nona … dia itu penjahat,” adu Mathilda.Mata Isela membola. Jantungnya berdegup sangat cepat, napasnya bahkan tertahan sejenak.“M