‘Kamu akan tahu konsekuensinya kalau mencoba lagi.’
Ucapan Galtero terus terngiang di kepala Sofia. Bahkan saat pagi ini mereka sudah berpisah untuk urusan pekerjaan masing-masing, kata-kata itu masih melekat bagai bayangan gelap yang tidak bisa diusir.
Sofia melamun di dapur Torres Lumière, tempatnya bekerja. Hingga sentakan panas dari cipratan saus mendidih di tangannya membuat wanita itu terbangun dari lamunan.
Dia buru-buru menyiram luka di bawah air mengalir. Tatapannya pun jatuh pada cincin bermata biru yang melingkar di jari manisnya.
Sofia mendesah lirih. Bisa-bisanya pria itu mengancamnya tadi. Dia bergumam lirih, “Memangnya apa yang akan dia lakukan kalau aku benar-benar mencoba melawannya lagi?”
Saat itulah ponsel di sakunya berdenting. Sofia refleks mengambilnya. Ada sebuah pesan masuk dari pengurus panti jompo tempat ibunya dirawat. Mata almondnya melebar dan mulutnya terbuka saat melihat foto yang dikirimkan.
“Ini pasti ulahnya ...,” bisik Sofia. Tangannya menggenggam ponsel sangat erat. Dia tahu benar, ini bukan kebetulan. Galtero memang ahli dalam permainan manipulasi.
Kini ibunya tinggal di kamar terbaik, dilayani dengan fasilitas kelas atas. Semua berkat pria itu. Hidup Sofia jadi penuh kejutan sejak mengenalnya. Namun, dia sadar betul, semua ‘kebaikan’ itu harus dibayar dengan mahal.
Dia tidak mau tertipu. Sofia bersumpah akan bekerja sekeras mungkin, menyisihkan setiap upah, supaya nanti saat dia bisa mengajukan cerai dan hidup mandiri bersama ibunya.
Mungkin pria itu sedang menjebaknya dengan umpan manis yang beracun. Namun, Sofia memilih tidak meladeninya. Biarlah Galtero berbuat sesukanya, asalkan tak menyakiti ibunya.
Pesan susulan kembali masuk.
[Nona Morales, biaya perawatan ibu Anda sudah dibayar satu tahun ke depan oleh suami Anda.]
Sofia mencibir, “Suami, huh? Dia memang pandai memikat hati orang-orang.”
Untuk mengalihkan pikirannya, Sofia menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan. Seharian ini dia hilir mudik di dapur, menyiapkan makan siang untuk para karyawan Torres Lumière.
Sudah dua bulan ini dia bekerja lepas sebagai asisten koki. Upahnya lumayan, cukup untuk memenuhi kebutuhan makannya setiap bulan.
Akan tetapi, kesabaran Sofia diuji saat melihat Marco duduk sambil menatapnya tajam dari kejauhan. Wajah pria itu masih tertempel perban kecil, luka yang jelas saja akibat didorong Galtero ke aspal kemarin.
Selesai mengatur makanan, Sofia bergegas masuk ke dapur. Dia menghindari pria itu. Namun, Marco mengikuti dengan langkah diam-diam hingga mereka sampai ke gudang belakang.
“Kemarin kamu bisa lolos, Sayang. Hari ini tidak semudah itu,” desis Marco sambil melonggarkan dasi dan mata yang berkilat.
Sofia otomatis membalikkan tubuh. Tangannya pun dengan sigap meraih panci stainless dari rak dan mengangkatnya tinggi, siap menyerang balik jika pria itu berbuat tak wajar.
“Jangan macam-macam, Marco. Atau aku tak segan memukulmu!” ancamnya.
Alih-alih takut, Marco terkekeh geli melihat panci di tangan Sofia. Dia melangkah maju secara perlahan sambil melepaskan ikat pinggang.
“Berhenti, Marco!” Sofia berteriak lantang.
“Ssst, jangan teriak, Sayang. Percuma, suamimu juga tidak dengar,” balas Marco sambil menatap lapar tubuh Sofia dalam balutan seragam putih-hitam. “Ini akibatnya karena dia mencurimu dariku.”
Sofia terus melangkah mundur hingga punggungnya membentur dinding. Napasnya makin memburu dengan tubuh menegang dan berkeringat, tetapi pikirannya harus tetap tenang. Sebab panik hanya akan memberi lawan kemenangan.
Saat tangan Marco hampir menyentuh dada Sofia, dia menghantam kepala mantan tunangannya bertubi-tubi dengan panci.
“Kamu berengsek, Marco!” teriaknya dengan amarah yang meledak.
Marco mengerang kesakitan. Tangannya meraih panci itu dari genggaman Sofia dan membentaknya, “Asal kamu tahu, tubuhmu saja tidak bisa melunasi utang!”
“Aku akan membayarnya! Tapi kamu jangan pernah ganggu aku lagi!”
Sofia langsung melarikan diri, keluar dari dapur. Derap langkahnya membuat seluruh karyawan yang sedang makan siang berhenti menyuap. Mereka menatapnya dengan sinis. Namun, Sofia tak peduli. Dia tidak membutuhkan simpati siapa pun.
Dia terus melangkah mantap keluar dari gedung. Napasnya tersengal-sengal karena dadanya begitu sesak. Air mata mulai mengaburkan pandangan. Bahkan tangannya gemetaran saat meraih ponsel dari saku bajunya.
Dia buru-buru mentransfer uang untuk mencicil utang judi sang ayah. Sofia ingat, masih ada sisa uang pemberian Galtero. Tidak lupa wanita itu mengirim pesan pada Marco.
[Lihatlah, aku membayarnya. Jangan berani menggangguku lagi, atau uangmu tidak akan kembali.]
Tak lama balasan dari Marco diterima :
[Sialan, kamu berani mengancamku, hah?!]
Sofia tidak membalas. Dia langsung memasukkan ponsel ke saku, lalu melangkah menjauh dari gedung. Namun, ayunan kakinya terhenti dan tubuhnya membeku.
Sosok yang sangat dikenalnya saat ini sedang duduk di café seberang jalan. Galtero tidak sendirian, melainkan bersama seorang anak laki-laki.
Ketika anak itu menoleh ke arah jalan, Sofia refleks membekap mulut. Matanya membesar dan wajahnya menjadi pucat seakan tak dialiri darah.
“Wajah mereka mirip …,” lirihnya.
Apakah itu anak Galtero? Jangan-jangan selama ini pria itu sudah berkeluarga?
Bisa-bisanya dia mengaku impoten!
Apa itu hanya untuk menjerat wanita muda sepertinya?
Sofia menggeleng dan menertawakan diri karena masuk dalam perangkap Galtero yang bahkan tidak lebih baik dibanding Marco.
Ternyata, semua pria sama saja.
Dia menatap cincin di jarinya. Kilauan biru itu membuatnya mual, dengan cepat Sofia melepas dan melempar ke pinggir jalan.
“Kalau dia sudah punya anak dari wanita lain, untuk apa dia berharap aku hamil?”
Sofia menatap tajam pada tubuh kekar di atasnya. Dia menggeliat mencoba melepaskan diri, tetapi tangannya terkunci di atas kepala. Sungguh dia tidak mau diperlakukan dengan kasar, tidak mau disetubuhi lagi tanpa izin.“Jawab aku, Tuan!” desaknya. Dia mendesis nyeri karena tekanan Galtero makin terasa pada tangannya. “Benar ‘kan dia anakmu?”Bukan menjawab, Galtero justru menatap tajam bibir Sofia dan merunduk seolah hendak mencium wanita itu. Namun, sofia memalingkan wajah hingga pria itu hanya berjarak sesenti dari rahangnya. Sedangkan tubuh mereka sudah sangat rapat.Embusan napas hangat beraroma wine begitu pekat menyapu kulit wajah Sofia. Dia menggigit kuat bibir bawahnya untuk menahan gemetar, karena hawa panas dari tubuh Galtero membuatnya menegang dan ngeri sekaligus.Pria itu berbisik, “Kamu tidak pantas cemburu.”Seketika Sofia terdiam sejenak dan mata almondnya melebar. Terlalu menggelikan dan ambigu mendengar jawaban itu. Dengan gerakan cepat, dia menggerakkan kepalanya hin
Napas Sofia memburu, dadanya turun naik, dan tangannya mengepal kuat di samping tubuh tegapnya. Dia mengayunkan kaki dengan mantap menyebrangi jalan. Tatapan wanita itu terkunci pada satu pria dewasa di dalam kafe. Dia sudah bertekad harus mendapatkan jawabannya langsung dari Galtero.Akan tetapi, makin mendekat, sorot mata Sofia justru bergeser pada anak kecil bermata biru terang. Betapa pun meluap amarahnya pada Galtero, Sofia masih memiliki nurani. Sungguh, tidak sampai hati harus merusak kebahagiaan kecil bocah itu yang sedang mengayunkan kaki sembari memakan churros.Alih-alih menghampiri, Sofia justru berjalan menjauh. Dia menuju halte bus. Anak itu tidak tahu apa-apa. Tidak seharusnya ikut menanggung masalah orang dewasa.“Kamu selamat, Tuan Arogan. Tapi di rumah, aku tidak akan membiarkanmu lolos,” gumamnya.Sofia yang sedang berjejal dengan penumpang lainnya di dalam bus menatap kosong pada jendela kaca. Bayangan Galtero dan anak lelaki tampan itu sangat jelas di depan mata.
‘Kamu akan tahu konsekuensinya kalau mencoba lagi.’Ucapan Galtero terus terngiang di kepala Sofia. Bahkan saat pagi ini mereka sudah berpisah untuk urusan pekerjaan masing-masing, kata-kata itu masih melekat bagai bayangan gelap yang tidak bisa diusir.Sofia melamun di dapur Torres Lumière, tempatnya bekerja. Hingga sentakan panas dari cipratan saus mendidih di tangannya membuat wanita itu terbangun dari lamunan.Dia buru-buru menyiram luka di bawah air mengalir. Tatapannya pun jatuh pada cincin bermata biru yang melingkar di jari manisnya.Sofia mendesah lirih. Bisa-bisanya pria itu mengancamnya tadi. Dia bergumam lirih, “Memangnya apa yang akan dia lakukan kalau aku benar-benar mencoba melawannya lagi?”Saat itulah ponsel di sakunya berdenting. Sofia refleks mengambilnya. Ada sebuah pesan masuk dari pengurus panti jompo tempat ibunya dirawat. Mata almondnya melebar dan mulutnya terbuka saat melihat foto yang dikirimkan.“Ini pasti ulahnya ...,” bisik Sofia. Tangannya menggenggam po
Jantung Sofia berdetak makin kencang, napasnya memburu, pelipisnya mulai basah oleh keringat dingin, dan punggungnya menegang.Dia menelan air liur yang terasa pekat ketika di depannya terlihat pantulan bayangan seseorang bertubuh tinggi.Itu pasti Galtero, dan untuk saat ini dia enggan menoleh. Entah mengapa, wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri dan yakin bahwa pria yang baru saja dinikahinya ini sedang marah.Hening tercipta cukup lama di antara mereka. Baik Sofia maupun bayangan itu tidak ada yang bersuara. Hanya terdengar embusan napas dari keduanya. Hingga Sofia merasa perlu sekadar klarifikasi. Dia enggan dituduh ikut campur urusan pria itu.Sofia berbalik dan melihat Galtero sedang berdiri dengan angkuh. Pria itu menyandarkan punggung pada kusen hitam pekat yang senada dengan kemeja dan celana panjangnya. Tangan kekarnya terlipat di atas perut liatnya, dengan sorot mata tajam tertuju pada Sofia.Ah, sial! Dia justru teringat pada tubuh kekar Galtero."A-aku kebetulan lewa
Seorang pria bermantel hitam pekat bertubuh tinggi dengan sepatu boots senada keluar dari mobil.Pintu di samping Marco tiba-tiba terbuka. Di bawah cahaya terang matahari yang menyilaukan mata, pria tinggi itu menarik tubuh Marco hingga terpental keluar. Setelahnya, dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan Sofia bahkan menggendong wanita itu tanpa permisi.Sofia yang sedang ketakutan tadi, kini merasa ada sesuatu berbeda dalam dirinya.Perasaan aman dan … tentu dia mengenali aroma parfum maskulin ini ….“Tuan Arogan?” Dia mendongak menatap wajah tampan pria itu yang tidak kelihatan jelas.Pria itu tetap berjalan tanpa menjawab pertanyaannya.Sofia dibawa ke dalam mobil hitam mengilap itu, yang kini melaju dengan kecepatan sedang menuju perumahan Monte Sereno.Selama perjalanan, Sofia tidak henti menatap suami dadakannya itu. Dia menelan air liurnya sendiri mengingat kejadian beberapa saat lalu.Bukankah itu artinya, Sofia selalu diawasi? Lalu siapa sebenarnya suami tampan misteriusnya i
Tangan Sofia yang gemetaran menepis tangan pria itu dari dagunya. Tatapannya berubah tajam pada sepasang iris biru terang. Bibir merah agak penuh wanita itu terkunci rapat. Ini merupakan pilihan sulit. Menikahi orang asing atau membiarkan keluarganya, terutama sang ibu menjadi korban? Hidup macam apa seperti itu? Sofia menarik dalam napasnya, lalu meremas kuat telepon genggam seolah meremukkannya. Baik, dia sudah menemukan jawaban untuk pilihan sial ini. “Oke … aku setuju. Tapi kamu harus memberiku uang dan tidak boleh melarang aku berkarier,” tegas Sofia. Dia kira, pria arogan itu akan menentang. Siapa sangka, dia justru mengangguk dengan mudahnya. Kemudian pria itu memberikan paper bag pada Sofia. Gaun putih cantik, bahannya halus dan terlihat mahal. Bahkan lebih elegan dibanding gaun miliknya dengan sang mantan tunangan. Setelah merapikan penampilan, keduanya pergi ke Kantor Catatan Sipil. Pernikahan tak terduga itu resmi terdaftar secara sah. Mereka menandatangani sejumlah