Home / Romansa / Sentuhan Berondong Sewaanku / Kalau Aku Gak Mau Pakai Pengaman?

Share

Kalau Aku Gak Mau Pakai Pengaman?

Author: Sal.Sal
last update Last Updated: 2025-11-07 11:29:03

Senyum Aina memudar sesaat, sebelum ia menarik napas pelan. “Muda juga, ternyata,” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.

Aina menatapnya beberapa detik tanpa suara. Masih sulit membayangkan kalau malam ini

dia akan bercinta dengan pria semuda itu, bukan suaminya, bukan siapa-siapa, hanya

orang asing dari aplikasi.

Ia menelan ludah, lalu memalingkan pandangan sebentar, mencoba menenangkan diri. Apa aku benar-benar akan melakukan ini? Dengan pria yang bahkan bisa kupanggil adik?

Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Aina dan membuatnya sedikit ragu. Tapi di tengah itu, tiba-tiba bayangan wajah Hans yang dingin dan kata-katanya semalam kembali terngiang. Rasa marah dan kecewa akibat mengingat hal itu menekan rasa ragu yang tersisa.

Aina menghela napas, lalu menatap Rey lagi.

“Masuk aja. Duduk dulu,” katanya datar tapi tegas.

Pria muda yang bernama Rey itu menatapnya sejenak, senyum tipisnya tak hilang. Mulai berjalan mendekat dengan langkah tenang, lalu duduk di sofa seberang tempat Aina berdiri.

“Jadi,” ucapnya pelan, matanya menatap langsung ke arah Aina, “kita mulai dari mana?”

Aina tidak langsung menjawab. Ia duduk di ujung ranjang, sementara Rey masih bersandar

santai di sofa, kedua tangannya terlipat. Tatapannya tenang, sama sekali tidak canggung seperti dirinya.

Aina berdeham pelan, mencoba memecah keheningan. “Jujur aja… aku gak nyangka yang

datang bakal kayak kamu.”

Rey mengangkat alis sedikit. “Kayak aku? Maksudnya?”

Aina tersenyum tipis. “Kupikir yang datang bakal… ya, lebih tua. Lebih berpengalaman. Bukan… anak muda.”

Rey hanya menatapnya tanpa ekspresi, lalu menjawab datar tapi berwibawa, “Kalau umur

yang kamu lihat duluan, mungkin kamu salah aplikasi. Tapi kalau kamu memang gak

nyaman, aku bisa pergi dan kamu bisa cari yang sesuai sama keinginan kamu.”

Aina buru-buru menggeleng. “Enggak. Maksudku bukan gitu. Aku cuma… kaget aja.”

Rey menatapnya sejenak, saat menjawab suaranya terdengar tenang tapi dalam. “Biasanya, orang yang datang ke sini udah tahu apa yang dia mau. Tapi, kamu kelihatan masih mikir.”

Aina menatap balik, sedikit tersentak oleh ketenangan pria itu. Namun, ia masih berusaha

tenang, tidak ingin menunjukkan ketegangannya.

“Jadi kamu emang… biasa ngelakuin hal kayak gini?” tanya Aina akhirnya, suaranya pelan

tapi penasaran, berusaha mengalihkan topik.

Rey menautkan jemarinya, menjawab tanpa ragu, “Iya. Tapi cuma kalau kliennya yakin

sama keputusannya.”

Aina tersenyum kaku. “Kedengarannya profesional banget ya.”

“Harus,” jawab Rey datar. “Karena sebagian besar orang yang pake aplikasi kayak gitu, sebenernya gak benar-benar tahu apa yang mereka cari.”

Aina terdiam. Ia menatap pria itu, mencoba membaca sosok muda yang kelihatan begitu

tenang dan terkendali.

“Kamu kelihatan… dewasa banget buat umur segitu,” katanya akhirnya.

Rey hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.

Dalam sekejap, Aina seperti lupa tujuan awalnya datang ke sana. Semua rasa gugup dan

canggung di awal perlahan memudar, tergantikan oleh rasa ingin tahu tentang pria muda di depannya.

“Nggak juga, kok,” jawab Rey seadanya.

Rey menatap Aina sekilas sebelum akhirnya berkata pelan, “Orang biasanya kelihatan

dewasa karena udah sering lihat sisi gelap orang lain.”

Aina mengerjap, sedikit terdiam. “Kedengarannya… berat juga ya.”

“Kadang enggak,” jawab Rey santai, menautkan jemarinya. “Cuma butuh belajar buat gak

terlalu ikut kebawa.”

Aina mengangguk pelan, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kamu udah lama

ngelakuin ini?”

Rey menatapnya sejenak. “Cukup lama buat tahu kalau gak semua orang datang ke sini

buat… tidur.”

“Oh?” alis Aina terangkat. “Terus buat apa?”

“Macam-macam,” jawab Rey tenang. “Ada yang cuma pengen didengerin. Ada yang cuma

pengen ngerasa dihargain.”

Aina terdiam. Kata-kata itu menohok lebih dari yang dia duga. Lima tahun menikah, tapi

baru kali ini ada yang bilang hal sesederhana itu padanya. Rey bahkan belum menyentuhnya, tapi entah kenapa terasa lebih dekat dari siapa pun.

“Lucu ya,” gumamnya lirih. “Aku datang ke sini karena merasa… kosong. Tapi malah ngobrol

begini.”

Rey tersenyum tipis. “Kadang orang butuh ngobrol dulu sebelum berani jujur soal apa yang

mereka mau.”

Aina menatapnya lama. “Terus, kalau mereka udah jujur?”

“Baru aku tanya satu hal penting,” ujar Rey dengan wajah serius. “Yakin mau lanjut?”

Suara Aina pelan, tapi mantap, “Sekarang kalau aku bilang iya?”

“Berarti aku pastiin satu hal lagi,” jawab Rey datar. “Semua harus aman. Aku selalu pakai

pengaman, karena ini bukan cuma soal pekerjaan, tapi kesenangan untuk kedua belah pihak tanpa ada yang dirugikan.”

Aina terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada nyaris berbisik, “Kalau… gak pakai?”

Rey menatapnya lurus, tenang tapi tegas. “Itu pilihan yang gak pernah aku saranin. Terlalu

berisiko.”

Aina menatap wajah muda itu dalam-dalam. Dalam pikirannya, suara Hans yang dingin

kembali terngiang.

Aina menatap Rey, pria muda di depannya yang tampak tenang namun penuh

kewaspadaan. Wajahnya yang tegas dan sorot matanya yang jujur membuat Aina merasa

sedikit bersalah, tapi tekadnya sudah bulat.

Aina harus melakukannya. Bukan hanya untuk Hans, tapi untuk dirinya sendiri, untuk

merenggut sedikit kendali atas hidupnya yang terasa semakin asing.

Aina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan getaran di suaranya. “Rey,”

katanya pelan, hampir ragu, tapi ada nada yang mulai mantap. “Kalau… aku bilang aku mau

gak pakai pengaman dan… keluar di dalam?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Berondong Sewaanku   Sentuhan

    Rey sempat terdiam beberapa detik, jelas kaget dengan ucapan Aina. Tatapannya berpindah sedikit, lalu kembali menatap wanita itu dengan ekspresi datar. “Kamu yakin?” tanyanya singkat, nadanya datar tapi tidak menekan.Aina menelan ludah, berusaha tetap terlihat mantap. “Iya. Aku sangat yakin.” Rey hanya mengangguk kecil, seolah keputusan sebesar itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan. “Oke. Terserah kamu,” ucap Rey tenang. “Tapi aku kasih tahu aja dari awal, kalau sampai kamu hamil, aku nggak akan tanggung jawab. Aku nggak mau terlibat sejauh itu.” Kata-katanya meluncur ringan, tapi cukup untuk membuat dada Aina menegang. Ia menatap Rey, mencari sedikit tanda keraguan atau rasa bersalah di wajah pria itu, tapi tidak ada. Tatapannya tetap tenang, dingin dan profesional. Aina memalingkan pandangannya sejenak. Tiba-tiba, rasa yakin yang tadi begitu kuat mulai retak perlahan. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini memang keputusan yang benar… atau hanya bentuk putus asa yang akan me

  • Sentuhan Berondong Sewaanku   Kalau Aku Gak Mau Pakai Pengaman?

    Senyum Aina memudar sesaat, sebelum ia menarik napas pelan. “Muda juga, ternyata,” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.Aina menatapnya beberapa detik tanpa suara. Masih sulit membayangkan kalau malam inidia akan bercinta dengan pria semuda itu, bukan suaminya, bukan siapa-siapa, hanyaorang asing dari aplikasi.Ia menelan ludah, lalu memalingkan pandangan sebentar, mencoba menenangkan diri.Apa aku benar-benar akan melakukan ini? Dengan pria yang bahkan bisa kupanggil adik?Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Aina dan membuatnya sedikit ragu. Tapi di tengah itu, tiba-tiba bayangan wajah Hans yang dingin dan kata-katanya semalam kembali terngiang. Rasamarah dan kecewa akibat mengingat hal itu menekan rasa ragu yang tersisa.Aina menghela napas, lalu menatap Rey lagi.“Masuk aja. Duduk dulu,” katanya datar tapi tegas.Pria muda yang bernama Rey itu menatapnya sejenak, senyum tipisnya tak hilang. Mulai berjalan mendekat dengan langkahtenang, lalu duduk di sofa sebera

  • Sentuhan Berondong Sewaanku   Pertemuan Pertama

    Hans menatapnya dengan pandangan tak percaya, seolah baru saja ditampar. “Kamu gila, ya?” “Aku itu cuma minta kamu nyentuh aku yang notabenenya adalah istri kamu sendiri!” suara Aina meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.“Itu hal paling normal dalam pernikahan, Hans! Tapi kamu selalu nolak! Selalu kasih alasan ga jelas! Jadi aku harus mikir apa, hah? Sekarang aku tanya sama kamu, alasan kamu ga pernah nyentuh aku apa karena jijik atau kamu emang sukanya sama laki-laki?” Mendengar istrinya berkata seperti itu, Hans mulai membentak, suaranya terdengar meledak. “Berhenti omong kosong, Aina! Aku laki-laki normal!”“Kenapa kamu marah?! Kalau kamu bukan gay, tinggal buktiin!” Aina mendekat, suaranya bergetar tapi nekat. “Sentuh aku, Hans! Cuma itu yang aku minta!” Hans mundur setengah langkah, wajahnya tegang. “Aina, cukup! Aku gak akan ngelakuin hal itu cuma buat buktiin omongan gila kamu tentang aku itu ga bener!” “Tapi kalo kamu terus-terusan nolak nyentuh aku kaya gini. Itu malah b

  • Sentuhan Berondong Sewaanku   Sentuh aku, Hans

    Aina langsung menatap Amel tajam, wajahnya berubah tegang. “Lo gila, Mel. Hans itu bukan gay. Dia cuma… capek aja. Tekanan kerja dia gede, tanggung jawabnya banyak. Karena dia seorang CEO, lo juga tau kan.” Amel mengangkat alisnya sinis. “Capek kerja, capek mikir, capek semua, tapi masa gak capek dinginin istri sendiri selama lima tahun? Itu cuman alesan Na, dia bukan capek, tapi dia emang gak mau nyentuh lo aja.” “Dia gak mungkin kayak gitu!” potong Aina cepat, suaranya meninggi. “Dia mungkin cuma butuh waktu.” “Waktu? Apa lima tahun juga masih gak cukup?” Amel mendengus. “Na, kalau dia masih cowok normal. Lo pasti gak bakal diperlakuin sekedar kayak furnitur di rumahnya sendiri. Dia bahkan ga nyentuh lo, gak peduli lo disalahin sama ibunya dan yang lebih parah lagi dia malah nyuruh lo sewa gigolo. Lo pikir itu suami normal?” Aina menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menahan air mata. “Gue tetep… gak bisa percaya, Mel. Kalo dia—” “Lo gak mau percaya,” potong Amel tajam. “Karena

  • Sentuhan Berondong Sewaanku   Sewa Aja Gigolo!

    “Hans, malam ini bisa gak kita lakuin itu?” suara Aina pelan tapi tegas. Ia duduk di ujung ranjang, hanya mengenakan lingerie tipis, rambutnya tergerai menutupi sebagian bahu. “Udah hampir 5 tahun loh kita nikah, tapi kita ga pernah sama sekali berhubungan.” Hans yang baru masuk kamar hanya melirik sekilas sebelum melepas jasnya. “Aku capek, Aina. Lain kali.” “Lain kali?” Aina berdiri, menahan nada kesal. “Udah lima tahun menikah, ‘lain kali’-mu itu gak pernah datang. Kita ga pernah sekalipun berhubungan loh Hans, terus gimana bisa punya anak? ingin ibu kamu juga udah berapa puluh kali nanyain kapan kita kasih dia cucu.” Hans mendengus. “Bilang aja belum rezekinya. Apa susahnya?” Aina membulatkan mata, nadanya meninggi. “Susah karena semua orang nyalahin aku! ibu kamu terus ngomel, bilang aku mandul, padahal kan kamu yang gak pernah mau nyentuh aku!” Hans berhenti, tapi tak menoleh. Aina melangkah mendekat, suaranya bergetar antara marah dan sedih. “Aku tahu pernikahan ini kare

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status