LOGINAina menelan ludah, gugup. “Aku… aku pikir kita bisa ngobrol dulu aja mungkin biar lebih enak.”
Rey tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Ia menarik napas pelan, lalu duduk di sofa yang ada di dekat ranjang, tanpa mengancingkan kembali kemeja yang telah terbuka separuh. “Oke. Kalau itu yang kamu mau.”
Aina berdeham pelan, mencoba memecah keheningan. Lalu, ia kembali duduk di ujung ranjang. Tatapannya menelusuri wajah Rey yang tampak terlalu muda untuk peran yang sedang ia jalani.
“Kalau boleh tahu, umur kamu berapa?” katanya akhirnya, suaranya pelan, tapi jujur, seolah benar-benar ingin tahu, sekaligus mengubur ketegangannya.
Rey terdiam sejenak, lalu menatap Aina tanpa banyak ekspresi dan menjawab singkat, “Dua puluh tiga.”
Aina membelalakkan matanya terkejut. Usia itu bahkan 7 tahun lebih muda darinya.
“Kenapa kamu mau kerja begini? Bukannya itu terlalu muda buat… kerja beginian, ya?” Aina mengerjap pelan, tidak menyangka jawaban sejujur itu keluar tanpa ragu.
“Ya karena butuh uang.” Rey tersenyum tipis, lalu mengangkat bahunya pelan. Pandangannya tak sengaja menangkap sebuah cincin yang melingkar di jari manis Aina. “Kamu sendiri … kayaknya udah menikah ya?”
Aina terdiam, napasnya seolah tertahan di tenggorokan. Sekilas, ia menunduk, menatap jarinya sendiri dan baru sadar kalau cincin pernikahannya masih melingkar di sana. Refleks, ia menggenggam tangannya, mencoba menutupi cincin itu seolah tak ada apa-apa. Tapi gerakannya justru terlalu cepat, terlalu terlihat.
Rey memperhatikan tanpa komentar sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kamu udah nikah, tapi masih sewa aku.”
Aina terdiam makin lama, pipinya terasa panas, matanya berpaling ke arah lain.
Rey bersandar sedikit di kursinya, masih menatapnya dengan tenang. “Bukannya… kalau gitu, posisi kita jadi sama aja?” ucapnya, suaranya rendah, tapi lembut.
Aina menatap balik, bibirnya terbuka sedikit, tapi tak tahu harus menjawab apa. Di dada, rasa malu, marah, dan getir bercampur jadi satu.
“Ini karena aku punya alasan,” jawab Aina akhirnya, mencoba lebih berani.
Rey tidak langsung menanggapi. Ia hanya diam, pandangannya tetap terarah pada Aina seolah menunggu kelanjutan dari kalimat yang tadi setengah tertahan.
Aina menarik napas panjang, menunduk sebentar sebelum akhirnya bicara lagi.
“Suamiku… dia nggak pernah bisa,” ucapnya pelan. “Nggak bisa bikin aku merasa puas sebagai wanita. Bahkan… dia yang nyuruh aku sewa orang kayak kamu.”
Rey masih tidak bereaksi, hanya satu alisnya yang naik perlahan.
Aina tersenyum getir, matanya mulai berkaca. “Padahal, kami udah menikah selama lima tahun. Tapi selama itu juga dia gak pernah sekalipun nyentuh aku.”
Suasana di kamar itu mendadak hening. Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar samar, sementara Rey masih menatapnya, tapi kali ini dengan sorot mata yang lebih lembut.
Rey akhirnya berdehem pelan dan berkata, “Maaf, aku gak bermaksud.”
Aina menggeleng pelan dan tersenyum tipis. “Gak apa-apa kok. Aku juga udah merasa capek karena tuntutan mertuaku juga untuk segera punya anak.”
Rey menatapnya sekilas, lalu menunduk sedikit, mencoba memberi ruang.
Aina tertawa kecil, tapi suaranya serak. “Padahal mereka gak tahu, selama lima tahun ini aku bahkan gak pernah disentuh suamiku. Tapi aku yang terus disalahin, aku yang terus disuruh periksa.”
Rey diam, hanya mendengarkan. Pandangannya lembut tapi tenang, tanpa berusaha menghibur secara berlebihan.
Aina menatap kosong ke arah depan, suaranya makin pelan.
“Aku tahu ini gila… tapi aku cuma pengin ngerasa jadi wanita normal. Pengen tahu rasanya disentuh oleh pria dan juga hamil pastinya.” Ia berhenti sejenak, lalu melirik Rey. “Bahkan, aku berharap setelah berhubungan sama kamu ini, aku bisa langsung hamil.”
Rey spontan menegakkan tubuhnya, ekspresinya berubah.
“Tunggu …” katanya pelan tapi jelas, nyaris tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. “Tapi, aku gak bisa kalau pakai pengaman.”
Aina terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada nyaris berbisik, “Kenapa?”
Rey menatapnya lurus, tenang tapi tegas. “Selain demi keamanan, kalau sampai kamu hamil, aku nggak bisa tanggung jawab. Aku nggak mau terlibat sejauh itu.”
Aina menarik napas dalam, menunduk sejenak sebelum berkata pelan, “Gak masalah. Aku gak butuh kamu tanggung jawab kok.”
Rey mengerutkan kening, jelas tidak menyangka respons itu. “Maksud kamu?”
Aina tersenyum getir, tapi matanya tampak kosong. “Suamiku sendiri yang bilang. Kalau aku bisa hamil dari laki-laki lain, dia bakal ngakuin anak itu. Asal… aku gak minta dia buat nyentuh aku lagi.”
Kata-kata itu membuat suasana kamar mendadak terasa dingin. Rey diam beberapa saat, menatap wanita di depannya yang tampak terlalu tenang untuk sesuatu yang seaneh itu.
Akhirnya, ia menghela napas panjang dan mengangguk pelan.
“Oke,” ucap Rey datar. “Kalau itu memang keputusan kamu.”
Rey tak berkata apa-apa lagi setelah itu. Ia berdiri perlahan, menatap Aina dengan ekspresi datar namun matanya tajam dan fokus. Kemejanya memang sudah terbuka setengah sejak tadi, dan kini ia melanjutkan membuka sisa kancingnya satu per satu sampai terbuka seluruhnya.
Gerakannya tidak terburu-buru, tapi cukup untuk membuat jantung Aina berdetak cepat.
Aina refleks menegakkan tubuh, menatapnya dengan gugup. Ia tak menyangka Rey akan langsung bertindak secepat itu.
“K-kamu mau… sekarang?” suaranya bergetar.
Rey berhenti sejenak, menatapnya sambil mengangguk pelan. “Katamu ingin hamil juga kan?”
Aina menelan ludah, matanya bergerak ke arah dada Rey yang terbuka. “T–tapi …”
“Kalau mau langsung hamil, setidaknya butuh banyak yang dikeluarkan, kan?” Rey menatap Aina dengan serius, seolah tak ada yang salah di sini. Ia melempar kemejanya pelan ke sofa. “Jadi, jangan menyia-nyiakan waktu.”
Aina kembali menelan ludah, tubuhnya kaku, tangan menggenggam tepi jaket tipis yang menutupi gaunnya.
Rey menatapnya sebentar, pandangannya menyapu dari kepala hingga kaki. Lalu suaranya terdengar rendah dan tenang, “Mau dibuka sendiri … atau aku bukain?”
“Tapi Hans—”“Udahlah Aina, aku ini suami kamu. Jadi kamu harus nurut apa kata aku.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Aina yang belum selesai dan setelah mengatakannya, ia dengan segera mulai berlalu pergi untuk ketiga kalinya meninggalkan Aina sendirian.Melihat suaminya lagi-lagi akan berlalu pergi, Aina dengan cepat berteriak. “Hans… Hans!” namun, kali ini. Seberapa keras pun usahanya dalam berteriak. Tampak suaminya, Hans. Tetap fokus pada jalannya dan tak lagi menggubris teriakan dirinya.Dengan menghela napasnya. Aina yang melihat tubuh Hans semakin menjauh. Mulai mengusap wajahnya dengan kasar. “Apa yang harus aku lakukan, agar Hans menarik lagi keputusannya itu?” lirihnya sambil menggigit bibir bawahnya dengan kasar.***Esoknya, Aina yang lagi-lagi bangun telat seperti kemarin. Hanya bisa menghela napasnya dengan kasar. Lalu setelahnya, ia yang tiba-tiba merasa pusing, mulai memijit keningnya dengan pelan.Namun, di saat ia memijit keningnya dengan pelan. Terdengar suar
Aina tentu terkejut dengan pertanyaan Hans barusan. Namun, dibanding memperdulikan. rasa terkejutnya, ia lebih memilih mengalihkan tatapan matanya dan berkata. “Tentu aja engga.”“Yakin?” tanya Hans dengan raut wajahnya yang serius.Entah kenapa Aina sekarang malah merasakan dadanya berdetak dengan cepat. Tubuhnya sedikit gemetar. Namun, ia tetap memilih berkata. “Tentu aja!” ucapnya dengan tetap tak melihat wajah sang suami.Hans kembali tersenyum sinis. “Kalo kamu emang yakin, kenapa ga tatap aku saat ngejawabnya? Kenapa kamu malah terus mengalihkan tatapan seperti orang yang gugup dan menyembunyikan suatu kebenaran?”Aina merasa semakin gugup mendengar ucapan Hans barusan. Karena rasa gugupnya itu, kedua tangannya tampak mulai mengeluarkan keringat dingin dan lidahnya terasa kelu untuk membalas ucapan Hans.Melihat sang istri hanya terdiam. Hans hanya bisa semakin memperlebar senyum sinisnya. Lalu setelahnya, ia berkata. “Udahlah, aku besok harus kerja. Jadi aku mau ke atas sekara
“Hans jawab?” ucap Aina lagi dengan suara yang lebih keras, di saat Hans malah terdiam dan tak menjawab pertanyaannya.Dengan menghela napas, Hans tak segera menjawab pertanyaan Aina. Tampak pria itu sekarang malah terlebih dahulu mengalihkan tatapannya pada Mbok Sum yang ternyata masih ada di sekitar mereka. “Mbok bisa pergi ke belakang sekarang!” Mbok Sum yang sebenarnya merasa penasaran dengan kebenaran ucapan sang Nyonya rumah tentang Rey yang dipecat. Namun tak bisa membantah perintah sang Tuan rumah, akhirnya hanya bisa menurut saja. “Ah… baik Tuan.” Ucapnya dan dengan segera sekaligus sedikit terpaksa, wanita paruh baya itu mulai berjalan pergi meninggalkan Hans dan Aina.Lalu saat Mbok Sum sudah berlalu pergi dan tak lagi tampak di pandangan mereka. Tampak Hans dengan menghela napas, kembali mengalihkan tatapannya pada sang istri yang berada di sampingnya.Aina yang lagi-lagi melihat suaminya hanya terdiam sambil menatapnya. Akhirnya hanya bisa kembali memanggil namanya. “Han
“Ga bisa gitu dong Pak!” ucap Rey dengan bola mata yang masih membulat sempurna.Dengan memperlihatkan lagi senyum sinis di wajahnya. Hans menjawab. “Kenapa ga bisa?”“Karena saya di sini dipekerjakan oleh Bu Aina. Jadi Bapak ga bi—”“Kamu lupa, saya di sini Tuan rumahnya. Jadi terserah saya, mau saya menghentikan para pekerja ataupun tidak.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Rey yang belum selesai.Rey yang merasa semakin marah, tapi tak bisa membantah fakta yang dilontarkan Hans. Tentu saja sekarang membuat dirinya, hanya bisa terdiam dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat.Hans yang melihat Rey terdiam, akhirnya mengangkat jari telunjuknya pada pintu keluar rumah. “Jadi sekarang, saya persilahkan kamu untuk keluar!” ucapnya yang berusaha mengusir Rey dengan halus.Dengan semakin mempererat kepalan tangannya, Rey juga mulai menatap tajam wajah Hans. “Saya ga bakal keluar, kecuali Bu Aina selaku majikan saya yang memintanya.”Mendengar penuturan Rey yang masih keras kepala
Rey tentu saja merasa kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Hans padanya barusan. “Kenapa Pak Hans bertanya seperti itu?” Dengan semakin mempertajam tatapannya, Hans menjawab. “Saya kan udah bilang, saya cuma ingin memastikan! Jadi bisa kan, kamu jawab sekarang?” Mendengar itu, Rey yang entah kenapa merasa gugup, hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Melihat pria yang berdiri di depannya itu hanya terdiam. Apalagi ditambah sekarang malah menundukkan kepalanya. Hans dengan mempertahankan tatapan tajamnya, mulai menghela napas. “Sepertinya karena hal itu memang benar. Tentu membuat kamu sulit untuk menjawab.” Ucapnya dengan suara yang sangat sinis. Merasa terkejut, Rey kembali mengangkat kepalanya untuk lagi-lagi memandang Hans yang ada di depannya. “Bukan seperti itu Pak!” sanggahnya dengan cepat dan dengan raut wajahnya yang panik. Dengan memperlihatkan senyum sinisnya, Hans menjawab. “Sudahlah tidak perlu menyangkalnya. Karena sekarang saya sudah bisa menebak, bahwa k
Terlihat Hans, Aina dan Rey sedang duduk di sofa ruang tamu, hanya terdiam dengan suasana mencekam mengelilingi sekeliling mereka. Hans yang merasa sudah muak dengan keterdiaman mereka selepas lima menit kedua orang yang duduk di depannya turun. Akhirnya mulai berdehem untuk memecahkan keheningan. “Hemm.”Mendengar deheman suaminya, Aina yang memang dari tadi hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, mulai mendongak seketika.Sedangkan Rey yang memang dari tadi sudah memandang Hans, sekarang hanya bisa menatapnya dengan mengernyitkan dahinya.Mendapati Kedua orang itu sedang melihatnya. Hans dengan raut wajahnya yang datar, kembali berkata. “Kamu ga mau ngejelasin apa-apa Aina?”Mendapati pertanyaan Hans, Aina yang tadi merasa sedikit malu, karena kepergok basah. Sekarang mulai memperlihatkan raut wajah herannya. “Jelasin? Maksud kamu, aku harus jelasin apa?”Hans menghela napas, lalu menatap Aina dengan tatapan yang lebih dalam. “Kejadian tadi di atas!”Tanpa diduga, Aina yang baru k







