LOGINHans menatapnya dengan pandangan tak percaya, seolah baru saja ditampar. “Kamu gila, ya?”
“Aku itu cuma minta kamu nyentuh aku yang notabenenya adalah istri kamu sendiri!” suara Aina meninggi, matanya mulai berkaca-kaca. “Itu hal paling normal dalam pernikahan, Hans! Tapi kamu selalu nolak! Selalu kasih alasan ga jelas! Jadi aku harus mikir apa, hah? Sekarang aku tanya sama kamu, alasan kamu ga pernah nyentuh aku apa karena jijik atau kamu emang sukanya sama laki-laki?” Mendengar istrinya berkata seperti itu, Hans mulai membentak, suaranya terdengar meledak. “Berhenti omong kosong, Aina! Aku laki-laki normal!” “Kenapa kamu marah?! Kalau kamu bukan gay, tinggal buktiin!” Aina mendekat, suaranya bergetar tapi nekat. “Sentuh aku, Hans! Cuma itu yang aku minta!” Hans mundur setengah langkah, wajahnya tegang. “Aina, cukup! Aku gak akan ngelakuin hal itu cuma buat buktiin omongan gila kamu tentang aku itu ga bener!” “Tapi kalo kamu terus-terusan nolak nyentuh aku kaya gini. Itu malah bikin aku semakin yakin, kalo kamu itu gay, Hans?!” seru Aina, tampak matanya semakin berkaca-kaca. Tampak Hans yang sudah tidak bisa menahan lagi emosinya, langsung menggebrak meja di dekat tempat tidur. “Diam, Aina!” teriaknya dengan suara berat dan penuh kemarahan. “Kamu pikir aku mau hidup kayak gini? Tiap hari ditanyain, dituduh, disalahin?! Aku udah bilang alasan aku ga mau nyentuh kamu karena aku capek, itu aja titik! Kalau kamu bersikeras ingin disentuh! cari aja laki-laki lain!” Aina tertegun, tubuhnya mulai gemetar. “Coba kamu pikir,” lanjut Hans dengan nada sinis, “kalau aku beneran gay, kamu pikir aku bakal nikah sama kamu?!” Aina membalas lirih, air matanya jatuh. “Tapi kamu nikahin aku karena paksaan ibu kamu Hans! Jadi walaupun kamu bersedia nikah sama aku, masih besar kemungkinan kalo kamu itu seorang gay.” “Aku bukan gay Aina! aku ga mau nyentuh kamu, karena aku cape bukan karena aku gay.” Tekan Hans kembali, dengan suara kerasnya. Setelahnya Aina mulai menatap Hans lama, pandangannya sudah bukan lagi marah. Air mata masih menetes, tapi wajahnya tampak datar, seolah semua tenaga dan emosi telah habis diperas. “Ya udah, Hans…” suaranya pelan tapi tegas, parau karena tangis yang tertahan. “Kalau emang itu jalan satu-satunya, kalau kamu beneran gak mau nyentuh aku… aku bakal lakuin apa yang kamu suruh.” Hans menoleh setengah, menatapnya tanpa ekspresi. “Maksud kamu?” Aina menarik napas panjang, senyumnya getir. “Kamu sendiri yang nyuruh, kan? Sewa laki-laki lain. Cari yang bisa ngasih aku kepuasan dan juga anak.” Ia menatap suaminya dengan mata merah. “Kalau aku beneran hamil nanti, jangan berani kamu menyesal. Jangan berani kamu pura-pura kaget.” Hans menatapnya beberapa detik tanpa bicara. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu di balik matanya, entah marah, malu, atau takut. Namun, suaranya tetap datar. “Aku gak akan menyesal.” Aina tertawa kecil, getir. “Jangan sampai.” Hans menghela napas berat, lalu memalingkan wajah. “Lakuin aja apa yang kamu mau, Aina. Aku udah bilang, aku gak akan ganggu.” Hans mengambil kunci mobil di meja, lalu keluar tanpa bicara. Pintu kamar dibanting keras, meninggalkan Aina sendirian di kamar yang hening. Aina berdiri beberapa detik, lalu menarik napas panjang. Wajahnya datar, tapi matanya kosong. Tanpa pikir panjang, Aina mengambil ponselnya di meja rias, membuka chat dengan Amel. Pesan dengan tautan aplikasi itu masih ada di sana. Aina menatapnya sebentar, lalu mengetuk tautan itu. Layar langsung menampilkan halaman pendaftaran. Nama, usia, dan preferensi. Tangannya sempat ragu beberapa detik, tapi akhirnya Aina menghela napas pendek, lalu mulai mengetik. Ia mengisi satu per satu kolomnya, sampai akhirnya menekan tombol daftar tanpa berpikir lagi. *** Sore itu, Aina sudah duduk di tepi ranjang hotel mewah yang ia pesan sendiri. Gaun tipis berwarna hitam membungkus tubuhnya, belahan tinggi di sisi kaki membuatnya terlihat berani, jauh dari sosok Aina yang biasanya lembut dan ragu. Ia menatap pantulan dirinya di cermin besar kamar itu. Wajahnya tenang, tanpa sisa tangis, tanpa rasa bersalah. Di meja, segelas wine merah sudah setengah habis. Ponselnya bergetar. [Aku udah di lobi.] Aina mengetik balasan cepat. [Naik. Kamar 1807.] Ia menaruh ponselnya, menyilangkan kaki, lalu menatap ke arah pintu dengan ekspresi tenang tapi tegas. Tak ada lagi rasa takut, tak ada lagi air mata. Begitu terdengar ketukan pintu, Aina tersenyum samar. “Masuk aja,” katanya pelan, tapi terasa mantap. Begitu pintu terbuka, Aina spontan menegakkan tubuhnya. Tapi senyum di bibirnya langsung memudar. Pria yang masuk bukan seperti bayangan di kepalanya, bukan lelaki paruh baya berpenampilan matang seperti yang ia kira. Yang berdiri di depan pintu justru seorang pria muda, tinggi, berwajah tenang, dengan senyum tipis yang entah kenapa justru membuat jantung Aina berdetak lebih cepat. Umurnya… mungkin dua puluh dua atau dua puluh tiga. Tujuh tahun lebih muda darinya. Masih terlalu muda. Tapi tatapannya tajam dan penuh percaya diri. Aina terdiam, tangannya refleks meremas sisi gaunnya. “Kamu… yang dari aplikasi itu?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik. Pria itu melangkah masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. “Kenapa? Gak sesuai ekspektasi?” suaranya rendah, tenang, tapi ada nada menggoda di ujungnya.Rey sempat terdiam beberapa detik, jelas kaget dengan ucapan Aina. Tatapannya berpindah sedikit, lalu kembali menatap wanita itu dengan ekspresi datar. “Kamu yakin?” tanyanya singkat, nadanya datar tapi tidak menekan.Aina menelan ludah, berusaha tetap terlihat mantap. “Iya. Aku sangat yakin.” Rey hanya mengangguk kecil, seolah keputusan sebesar itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan. “Oke. Terserah kamu,” ucap Rey tenang. “Tapi aku kasih tahu aja dari awal, kalau sampai kamu hamil, aku nggak akan tanggung jawab. Aku nggak mau terlibat sejauh itu.” Kata-katanya meluncur ringan, tapi cukup untuk membuat dada Aina menegang. Ia menatap Rey, mencari sedikit tanda keraguan atau rasa bersalah di wajah pria itu, tapi tidak ada. Tatapannya tetap tenang, dingin dan profesional. Aina memalingkan pandangannya sejenak. Tiba-tiba, rasa yakin yang tadi begitu kuat mulai retak perlahan. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ini memang keputusan yang benar… atau hanya bentuk putus asa yang akan me
Senyum Aina memudar sesaat, sebelum ia menarik napas pelan. “Muda juga, ternyata,” gumamnya, lebih kepada diri sendiri.Aina menatapnya beberapa detik tanpa suara. Masih sulit membayangkan kalau malam inidia akan bercinta dengan pria semuda itu, bukan suaminya, bukan siapa-siapa, hanyaorang asing dari aplikasi.Ia menelan ludah, lalu memalingkan pandangan sebentar, mencoba menenangkan diri.Apa aku benar-benar akan melakukan ini? Dengan pria yang bahkan bisa kupanggil adik?Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi isi kepala Aina dan membuatnya sedikit ragu. Tapi di tengah itu, tiba-tiba bayangan wajah Hans yang dingin dan kata-katanya semalam kembali terngiang. Rasamarah dan kecewa akibat mengingat hal itu menekan rasa ragu yang tersisa.Aina menghela napas, lalu menatap Rey lagi.“Masuk aja. Duduk dulu,” katanya datar tapi tegas.Pria muda yang bernama Rey itu menatapnya sejenak, senyum tipisnya tak hilang. Mulai berjalan mendekat dengan langkahtenang, lalu duduk di sofa sebera
Hans menatapnya dengan pandangan tak percaya, seolah baru saja ditampar. “Kamu gila, ya?” “Aku itu cuma minta kamu nyentuh aku yang notabenenya adalah istri kamu sendiri!” suara Aina meninggi, matanya mulai berkaca-kaca.“Itu hal paling normal dalam pernikahan, Hans! Tapi kamu selalu nolak! Selalu kasih alasan ga jelas! Jadi aku harus mikir apa, hah? Sekarang aku tanya sama kamu, alasan kamu ga pernah nyentuh aku apa karena jijik atau kamu emang sukanya sama laki-laki?” Mendengar istrinya berkata seperti itu, Hans mulai membentak, suaranya terdengar meledak. “Berhenti omong kosong, Aina! Aku laki-laki normal!”“Kenapa kamu marah?! Kalau kamu bukan gay, tinggal buktiin!” Aina mendekat, suaranya bergetar tapi nekat. “Sentuh aku, Hans! Cuma itu yang aku minta!” Hans mundur setengah langkah, wajahnya tegang. “Aina, cukup! Aku gak akan ngelakuin hal itu cuma buat buktiin omongan gila kamu tentang aku itu ga bener!” “Tapi kalo kamu terus-terusan nolak nyentuh aku kaya gini. Itu malah b
Aina langsung menatap Amel tajam, wajahnya berubah tegang. “Lo gila, Mel. Hans itu bukan gay. Dia cuma… capek aja. Tekanan kerja dia gede, tanggung jawabnya banyak. Karena dia seorang CEO, lo juga tau kan.” Amel mengangkat alisnya sinis. “Capek kerja, capek mikir, capek semua, tapi masa gak capek dinginin istri sendiri selama lima tahun? Itu cuman alesan Na, dia bukan capek, tapi dia emang gak mau nyentuh lo aja.” “Dia gak mungkin kayak gitu!” potong Aina cepat, suaranya meninggi. “Dia mungkin cuma butuh waktu.” “Waktu? Apa lima tahun juga masih gak cukup?” Amel mendengus. “Na, kalau dia masih cowok normal. Lo pasti gak bakal diperlakuin sekedar kayak furnitur di rumahnya sendiri. Dia bahkan ga nyentuh lo, gak peduli lo disalahin sama ibunya dan yang lebih parah lagi dia malah nyuruh lo sewa gigolo. Lo pikir itu suami normal?” Aina menatapnya dengan mata berkaca-kaca, menahan air mata. “Gue tetep… gak bisa percaya, Mel. Kalo dia—” “Lo gak mau percaya,” potong Amel tajam. “Karena
“Hans, malam ini bisa gak kita lakuin itu?” suara Aina pelan tapi tegas. Ia duduk di ujung ranjang, hanya mengenakan lingerie tipis, rambutnya tergerai menutupi sebagian bahu. “Udah hampir 5 tahun loh kita nikah, tapi kita ga pernah sama sekali berhubungan.” Hans yang baru masuk kamar hanya melirik sekilas sebelum melepas jasnya. “Aku capek, Aina. Lain kali.” “Lain kali?” Aina berdiri, menahan nada kesal. “Udah lima tahun menikah, ‘lain kali’-mu itu gak pernah datang. Kita ga pernah sekalipun berhubungan loh Hans, terus gimana bisa punya anak? ingin ibu kamu juga udah berapa puluh kali nanyain kapan kita kasih dia cucu.” Hans mendengus. “Bilang aja belum rezekinya. Apa susahnya?” Aina membulatkan mata, nadanya meninggi. “Susah karena semua orang nyalahin aku! ibu kamu terus ngomel, bilang aku mandul, padahal kan kamu yang gak pernah mau nyentuh aku!” Hans berhenti, tapi tak menoleh. Aina melangkah mendekat, suaranya bergetar antara marah dan sedih. “Aku tahu pernikahan ini kare







