เข้าสู่ระบบMendengar bisikan Rey, Aina menatap Rey sejenak. Tanpa sadar ia justru menganggukkan kepalanya.
Rey yang mendapatkan lampu hijau dari Aina itu langsung tersenyum dan mulai memposisikan dirinya.
“Ah… sakit Rey," teriak Aina saat merasakan sesuatu yang asing menerobos tubuhnya.
Dengan mencium lembut kening Aina, Rey berkata, “Maaf, tapi setelah ini aku pastiin kamu hanya akan mengalami kenikmatan yang ga pernah kamu rasakan.”
Dan benar saja, setelah ucapannya itu. Rey mulai bergerak pelan. Aina yang awalnya merasakan sakit yang tiada tandingannya. Kelama-lamaan rasa sakitnya itu berubah menjadi suatu kenikmatan yang dahsyat yang memang tidak pernah dirinya rasakan sebelumnya.
Di tengah pergulatan yang semakin panas itu, Aina hanya bisa menggigit bibirnya, menahan desahan yang ingin kembali keluar dari mulutnya.
Setelah satu jam pergulatan panas itu berlangsung, Aina yang merasakan akan mengalami pelepasan untuk ketiga kalinya. Tidak bisa lagi menahan desahannya. “Nghhh—Rey…Ahhhh.”
Namun, saat sudah lemas seperti itu. Rey yang menggaulinya tidak kunjung juga memperlihatkan tanda-tanda ingin mengalami pelepasannya. Bahkan saat satu jam kembali berlalu, Rey masih tetap bergerak di atas tubuhnya.
’Mungkin karena masih muda, jadi staminanya masih sangat kuat,’ pikir Aina. Tapi, saat setengah jam lagi berlalu dan Rey belum juga mengalami pelepasannya.
Aina yang sudah tidak tahan lagi, Akhirnya berkata, “Rey, a—aku cape.”
Rey yang sebenarnya belum ingin mengalami pelepasan. Namun, saat melihat wajah Aina yang sudah sangat letih. Akhirnya mengalah juga.
“Ahh…Aina,” desah Rey yang menjadi akhirnya kegiatan panas mereka.
***
Paginya, Aina yang bangun lebih awal. Langsung menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai dan memakainya kembali.
Setelah selesai berpakaian, dengan menatap dalam wajah Rey yang masih tertidur pulas. Aina mulai mengeluarkan uang yang lumayan besar di dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja samping tempat tidur.
Dengan mencium kening Rey yang masih tertidur. Aina bergumam. “Selamat tinggal Rey.”
Dengan langkah pasti, Aina mulai meninggalkan kamar hotel yang menjadi saksi bisu percintaan panas dirinya dan pria muda yang disewanya semalam. Tak ada rasa penyesalan di hatinya, yang ada malah rasa puas. Karena dirinya berpikir, mungkin ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhirnya dalam berhubungan badan bersama seorang pria.
“Dari mana saja kamu Aina?” tanya Hans, saat melihat Aina melangkah masuk ke dalam rumah besar mereka.
Aina mendengus, namun tak lama senyum tipis terpasang di wajahnya. “Dari mana lagi? tentu saja aku habis menuruti suruhan kamu.”
Hans hanya bisa mengernyitkan dahi dengan raut wajah herannya. “Maksudnya?”
“Menyewa seorang pria dan bersenang-senang semalaman,” ucap Aina dengan suaranya yang sangat datar, namun penuh tekanan.
Hans tampak mengerutkan dahinya. “Apa kamu benar-benar melakukannya?
Aina tersenyum kecil lalu menyibak sedikit rambutnya. “Tentu saja. Kamu nggak lihat beberapa tanda merah di leherku?”
Tanda-tanda itu jelas terlihat begitu rambutnya tersingkap. Hans melihatnya sekilas, tatapannya tetap kosong, tak ada sedikit pun perubahan ekspresi.
“Ya sudah,” ucapnya ringan, seperti baru diberi tahu hal sepele. “Kalau itu bikin kamu berhenti nuntut aku buat nyentuh kamu, bagus.”
Aina terdiam. Ada sedikit jeda menunggu, berharap mungkin ada secuil reaksi, sedikit rasa tidak suka, atau sekadar tanda bahwa suaminya peduli.
Tapi Hans hanya menarik napas pendek, mengambil tas kerjanya, dan mengatur jam tangannya. “Aku berangkat dulu.”
“Itu aja reaksimu? Kamu nggak marah?” tanya Aina pelan, meski ia tahu jawabannya mungkin menyakitkan.
Hans hanya menoleh sebentar. “Kenapa harus marah? Kamu lakukan apa yang kamu mau. Itu urusanmu.”
Hans sudah melangkah menuju pintu kamar, tangannya hampir menyentuh gagang ketika suara Aina yang pelan namun penuh sindiran terdengar jelas di belakangnya.
“Kayaknya … emang beneran kamu gay,” cibir Aina lirih,
Langkah Hans langsung berhenti. Ia menoleh perlahan, ekspresinya tetap datar namun matanya jelas menegang.
“Apa katamu?” suaranya rendah, tidak sekaku tadi.
Aina menyilangkan tangan, pura-pura santai. “Ya… apa lagi alasannya kamu gak pernah mau sentuh istrimu sendiri? Bahkan waktu aku bilang sewa pria, kamu setuju duluan. Normalnya, laki-laki mana yang kayak gitu?”
Hans mengecap bibir, menahan diri. “Itu tidak ada hubungannya dengan orientasi seksualku.”
Aina mendengus, tersenyum pahit. “Masa? Karena normalnya, laki-laki mana yang nolak istrinya sendiri? Bahkan waktu aku bilang aku sewa pria, kamu bukan marah… malah keliatan lega.”
Wajah Hans mengeras. Ia menurunkan sedikit tas kerjanya, seperti tidak nyaman dengan arah pembicaraan ini. “Aku tidak marah bukan berarti aku gay, Aina. Jangan asal ngomong.”
Setelah itu, Hans kembali melangkah dan meninggalkan Aina yang masih kesal.
***
Seminggu berlalu sejak malam panas itu. Aina perlahan bisa bernapas normal lagi meski bayangan tubuh Rey tetap sesekali muncul tanpa permisi. Hari ini pun ia berusaha fokus pada rutinitas seperti biasa.
Aina telah mengambil tasnya, hari ini ia akan menghadiri pesta ulang tahun temannya. Namun, sejak tadi ia tak melihat Pak Samsul, sopir pribadinya.
Ketika Aina ingin pergi ke ruang belakang untuk mencari Pak Samsul, Hans muncul dari arah ruang kerja dengan wajah datarnya.
“Aina,” panggil Hans. “Ada yang mau aku omongin.”
Aina berhenti, menoleh. “Tumben. Ada apa?”
Hans menghela napas pendek, menatap Aina seolah ingin memastikan reaksinya. “Soal Pak Samsul.”
Aina langsung menegang sedikit. “Kenapa? Oh iya, dia kemana ya? Aku mau pergi ke ulang tahun temanku sekarang.”
Hans memasukkan satu tangan ke saku celananya. “Dia berhenti.”
Aina mengerjap, tidak percaya. “Berhenti? Kok nggak bilang apa-apa ke aku?”
“Dia tadi pagi telepon aku,” jawab Hans santai. “Istrinya di kampung kena stroke. Nggak ada yang jaga. Dan dia bilang usianya juga sudah tua. Kayaknya dia udah nggak kuat lagi kalau harus nyetir jauh-jauh setiap hari.”
Aina terdiam. Ia tahu Pak Samsul memang sudah lama bekerja pada keluarga Hans, bahkan sebelum ia menikah. Usianya pun sudah mendekati enam puluh.
“…Ya Tuhan,” gumam Aina pelan. “Pantesan dari kemarin nggak masuk.”
Aina ingat, sejak kemarin sopirnya memang tidak ada di rumah itu. Kata Mbok Sum, ART di rumah mereka, Pak Samsul tidak enak badan, tapi ternyata istrinya juga sakit parah.
Aina menarik napas dalam. Ada rasa kehilangan. Pak Samsul selalu ramah, sopan, dan baik.
“Tapi aku kan ada janji sama Amel sore ini,” ucap Aina sambil memijat pelipisnya. “Kamu tahu sendiri aku nggak bisa nyetir, Hans. Masa aku naik taksi online?”
Hans menatapnya singkat. “Udah aku gantiin.”
Aina mengerjap. “Maksudnya?”
“Ada sopir baru. Rekomendasi dari Pak Samsul. Katanya bisa mulai hari ini. Dia ponakan Pak Samsul juga, jadi pasti aman.”
Aina sedikit lega. “Oh… syukurlah kalau gitu—”
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi.
“Kayaknya itu sopir penggantinya.” Hans langsung bergerak tanpa banyak bicara, ia berjalan ke pintu dan langsung membukanya tanpa menunggu.
Begitu pintu terbuka, pria di luar langsung memberi salam sopan. “Pagi, Pak. Saya keponakan Pak Samsul yang akan jadi sopir pengganti.”
Aina, yang baru sampai di belakang Hans, terangkat wajahnya secara refleks.
Dan saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu—
Dadanya langsung berhenti bergerak.
Rey.
Pria yang membuatnya dibanjiri kenikmatan di ranjang seminggu lalu… kini akan jadi sopir pribadinya?!
“Tapi Hans—”“Udahlah Aina, aku ini suami kamu. Jadi kamu harus nurut apa kata aku.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Aina yang belum selesai dan setelah mengatakannya, ia dengan segera mulai berlalu pergi untuk ketiga kalinya meninggalkan Aina sendirian.Melihat suaminya lagi-lagi akan berlalu pergi, Aina dengan cepat berteriak. “Hans… Hans!” namun, kali ini. Seberapa keras pun usahanya dalam berteriak. Tampak suaminya, Hans. Tetap fokus pada jalannya dan tak lagi menggubris teriakan dirinya.Dengan menghela napasnya. Aina yang melihat tubuh Hans semakin menjauh. Mulai mengusap wajahnya dengan kasar. “Apa yang harus aku lakukan, agar Hans menarik lagi keputusannya itu?” lirihnya sambil menggigit bibir bawahnya dengan kasar.***Esoknya, Aina yang lagi-lagi bangun telat seperti kemarin. Hanya bisa menghela napasnya dengan kasar. Lalu setelahnya, ia yang tiba-tiba merasa pusing, mulai memijit keningnya dengan pelan.Namun, di saat ia memijit keningnya dengan pelan. Terdengar suar
Aina tentu terkejut dengan pertanyaan Hans barusan. Namun, dibanding memperdulikan. rasa terkejutnya, ia lebih memilih mengalihkan tatapan matanya dan berkata. “Tentu aja engga.”“Yakin?” tanya Hans dengan raut wajahnya yang serius.Entah kenapa Aina sekarang malah merasakan dadanya berdetak dengan cepat. Tubuhnya sedikit gemetar. Namun, ia tetap memilih berkata. “Tentu aja!” ucapnya dengan tetap tak melihat wajah sang suami.Hans kembali tersenyum sinis. “Kalo kamu emang yakin, kenapa ga tatap aku saat ngejawabnya? Kenapa kamu malah terus mengalihkan tatapan seperti orang yang gugup dan menyembunyikan suatu kebenaran?”Aina merasa semakin gugup mendengar ucapan Hans barusan. Karena rasa gugupnya itu, kedua tangannya tampak mulai mengeluarkan keringat dingin dan lidahnya terasa kelu untuk membalas ucapan Hans.Melihat sang istri hanya terdiam. Hans hanya bisa semakin memperlebar senyum sinisnya. Lalu setelahnya, ia berkata. “Udahlah, aku besok harus kerja. Jadi aku mau ke atas sekara
“Hans jawab?” ucap Aina lagi dengan suara yang lebih keras, di saat Hans malah terdiam dan tak menjawab pertanyaannya.Dengan menghela napas, Hans tak segera menjawab pertanyaan Aina. Tampak pria itu sekarang malah terlebih dahulu mengalihkan tatapannya pada Mbok Sum yang ternyata masih ada di sekitar mereka. “Mbok bisa pergi ke belakang sekarang!” Mbok Sum yang sebenarnya merasa penasaran dengan kebenaran ucapan sang Nyonya rumah tentang Rey yang dipecat. Namun tak bisa membantah perintah sang Tuan rumah, akhirnya hanya bisa menurut saja. “Ah… baik Tuan.” Ucapnya dan dengan segera sekaligus sedikit terpaksa, wanita paruh baya itu mulai berjalan pergi meninggalkan Hans dan Aina.Lalu saat Mbok Sum sudah berlalu pergi dan tak lagi tampak di pandangan mereka. Tampak Hans dengan menghela napas, kembali mengalihkan tatapannya pada sang istri yang berada di sampingnya.Aina yang lagi-lagi melihat suaminya hanya terdiam sambil menatapnya. Akhirnya hanya bisa kembali memanggil namanya. “Han
“Ga bisa gitu dong Pak!” ucap Rey dengan bola mata yang masih membulat sempurna.Dengan memperlihatkan lagi senyum sinis di wajahnya. Hans menjawab. “Kenapa ga bisa?”“Karena saya di sini dipekerjakan oleh Bu Aina. Jadi Bapak ga bi—”“Kamu lupa, saya di sini Tuan rumahnya. Jadi terserah saya, mau saya menghentikan para pekerja ataupun tidak.” Ucap Hans dengan cepat memotong ucapan Rey yang belum selesai.Rey yang merasa semakin marah, tapi tak bisa membantah fakta yang dilontarkan Hans. Tentu saja sekarang membuat dirinya, hanya bisa terdiam dan mengepalkan kedua tangannya dengan erat.Hans yang melihat Rey terdiam, akhirnya mengangkat jari telunjuknya pada pintu keluar rumah. “Jadi sekarang, saya persilahkan kamu untuk keluar!” ucapnya yang berusaha mengusir Rey dengan halus.Dengan semakin mempererat kepalan tangannya, Rey juga mulai menatap tajam wajah Hans. “Saya ga bakal keluar, kecuali Bu Aina selaku majikan saya yang memintanya.”Mendengar penuturan Rey yang masih keras kepala
Rey tentu saja merasa kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Hans padanya barusan. “Kenapa Pak Hans bertanya seperti itu?” Dengan semakin mempertajam tatapannya, Hans menjawab. “Saya kan udah bilang, saya cuma ingin memastikan! Jadi bisa kan, kamu jawab sekarang?” Mendengar itu, Rey yang entah kenapa merasa gugup, hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Melihat pria yang berdiri di depannya itu hanya terdiam. Apalagi ditambah sekarang malah menundukkan kepalanya. Hans dengan mempertahankan tatapan tajamnya, mulai menghela napas. “Sepertinya karena hal itu memang benar. Tentu membuat kamu sulit untuk menjawab.” Ucapnya dengan suara yang sangat sinis. Merasa terkejut, Rey kembali mengangkat kepalanya untuk lagi-lagi memandang Hans yang ada di depannya. “Bukan seperti itu Pak!” sanggahnya dengan cepat dan dengan raut wajahnya yang panik. Dengan memperlihatkan senyum sinisnya, Hans menjawab. “Sudahlah tidak perlu menyangkalnya. Karena sekarang saya sudah bisa menebak, bahwa k
Terlihat Hans, Aina dan Rey sedang duduk di sofa ruang tamu, hanya terdiam dengan suasana mencekam mengelilingi sekeliling mereka. Hans yang merasa sudah muak dengan keterdiaman mereka selepas lima menit kedua orang yang duduk di depannya turun. Akhirnya mulai berdehem untuk memecahkan keheningan. “Hemm.”Mendengar deheman suaminya, Aina yang memang dari tadi hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, mulai mendongak seketika.Sedangkan Rey yang memang dari tadi sudah memandang Hans, sekarang hanya bisa menatapnya dengan mengernyitkan dahinya.Mendapati Kedua orang itu sedang melihatnya. Hans dengan raut wajahnya yang datar, kembali berkata. “Kamu ga mau ngejelasin apa-apa Aina?”Mendapati pertanyaan Hans, Aina yang tadi merasa sedikit malu, karena kepergok basah. Sekarang mulai memperlihatkan raut wajah herannya. “Jelasin? Maksud kamu, aku harus jelasin apa?”Hans menghela napas, lalu menatap Aina dengan tatapan yang lebih dalam. “Kejadian tadi di atas!”Tanpa diduga, Aina yang baru k







