เข้าสู่ระบบRara memejamkan mata ketika wajah Jefri mendekat. Tubuhnya gemetar. Sungguh, melihat Jefri sekarang sangat membuatnya takut! Tidak hanya karena merasa semua ini salah, ia juga teringat dengan Satrio ketika mereka akan berhubungan intim
Rara sudah hendak menangis dan pasrah pada keadaannya ketika tiba-tiba ..
CTAK!
“Aw!”
… Jefri menyentil dahinya.
Rara seketika membuka mata. Ia melihat Jefri mendengus geli kepadanya dan beranjak berdiri.
“Padahal kamu yang ajak, tapi kamu juga yang gemetaran,” ejek Jefri. Rara seketika manyun, “Padahal sebelumnya aku udah klarifikasi terus–!”
“Kamu takut kan, Ra?”
Rara terdiam. Ia memerhatikan Jefri yang duduk di sebrangnya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap.
“Kamu keinget Satrio tadi, kan?”
Rara menundukkan kepala. Ia tak bisa membantah ucapan Jefri karena nyatanya memang begitu. Berhubungan intim menjadi hal yang menakutkan bagi Rara karena perlakuan kejam Satrio padanya.
“Kalau kamu emang beneran mau dibantu, kamu harus putusin dia dulu, Ra,” celetuk Jefri mengalihkan perhatian Rara.
Rara mengerutkan alis. “Om nih bercanda atau nggak sih tiap kali ngomong begitu?” ucap Rara kesal.
Jefri mengangkat kedua bahunya, “Menurut kamu aja,”
Rara mendengus. Ia lupa ayah sahabatnya ini memang suka jahil. Rara mengusak-usak rambutnya kasar kemudian duduk di atas kasur sambil menatap Jefri lurus.
“Aku mau putusin dia weekend ini,” ucap Rara. Wajah gadis itu berubah serius.
“Om bisa nunggu selama itu, kan?”
“Kenapa kamu ngebuat seolah om yang kepingin banget?” sungut Jefri tapi pria itu tersenyum kecil. Ia bangkit dari kursinya dan berdiri di hadapan Rara. Tangannya menuju kepala Rara kemudian mengusak-usaknya lembut.
“Janji, ya,”
Rara terpaku melihat senyum lembut di wajah Jefri. Hal itu membuat hatinya terenyuh.
Sudah lama sekali tidak ada pria yang memberikan senyum selembut itu padanya.
Jefri kembali menuju meja di seberang ranjang, meninggalkan rasa kosong di kepala Rara yang buru-buru ia tepis. Ia memerhatikan Jefri yang membuka laci meja dan mengambil kunci dari dalam. Pria itu kemudian melemparkannya ke Rara yang ditangkap sigap oleh sang gadis.
“Kalau udah selesai, langsung kesini,” instruksi Jefri, “Itu kunci masuknya,”
Setelah itu, Jefri meninggalkan Rara di kamar yang masih mencerna situasi. Gadis berusia dua puluhan itu mengerjap-ngerjapkan mata sebelum wajahnya memerah.
Jadi … nanti beneran?
***
Beberapa hari kemudian, weekend datang. Rara duduk gelisah kursi kafe tempat pertemuannya dengan Satrio. Di sebelahnya, Hani menyeruput milkshake dengan tenang.
Sebelumnya, Satrio sudah sempat meneror Rara dengan berbagai pesan ajakannya. Saking semangatnya, pria itu bahkan sudah sampai membooking hotel. Sangat gila!
Tentu saja Rara tidak langsung mengacuhkan pesan-pesan ajakan Satrio. Dia sudah bertekad untuk putus sekarang, jadi sudah tidak ada lagi ruang untuk mundur. Ia menelepon Satrio, meminta pria itu bertemu di kafe tempatnya sekarang, dan tanpa menunggu jawaban Satrio, Rara langsung mematikannya.
Satrio pasti akan datang dalam keadaan naik darah nanti.
“Nggak usah terlalu tegang, Ra,” celetuk Hani mengalihkan pikiran Rara, “Di sini ramai. Dia pasti nggak bakal macam-macam,”
Rara meringis, mengaminkan ucapan Hani dalm hatinya. Masalahnya, sahabatnya itu tak tahu seberapa gila Satrio kalau sedang marah. Memang, sih, selama ini ia cuma merasakannya dalam ruang tertutup. Jadi, ia masih bisa berharap kalau Satrio memang tidak akan semenggebu itu saat di luar.
BRAK!
Rara tersentak kaget. Ia menoleh ke Satrio, pelaku yang menggebrak meja, dan menemukan wajah pria itu memerah penuh emosi. Mata pria itu melotot, saking besarnya sampai hampir keluar. Bahkan, ada urat-urat yang muncul di pelipisnya.
Tubuh Rara seketika gemetar. Rasa takut menghujam tubuhnya kuat-kuat. Ia bahkan tanpa sadar menggamit ujung baju Hani.
Hani yang menyadari ketakutan sahabatnya menarik napas pelan lalu berkata datar pada Satrio, “Silakan duduk dulu. Jangan kayak orang gak tau etika gini,”
“Apa-apaan ini, Ra?!” seru Satrio. Ia menunjuk Hani, “Kenapa ada wanita gila ini di sini?!”
“Loh, bukannya udah jelas?” Hani menyeringai, “Apa kamu terlalu bodoh sampai gak bisa nebak alasannya, Satrio Ricardo?”
“Sialan!”
“Satrio, bentar!”
Rara menggenggam tangan Satrio yang sudah melayang dengan cepat. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia tidak bisa membiarkan Hani terluka!
“Duduk dulu. Aku mau ngomongin hal penting,”
“Ngomong aja sekarang!”
Tatapan sangar Satrio menciutkan nyali Rara. Rasa takut itu semakin memenuhi dirinya.
Tapi, ia sudah berjanji dengan Jefri …
Rara menggigit bibit dan menatap Satrio dengan nyalang.
“Aku mau putus,”
Tubuh Rara semakin gemetar ketika dalam keheningan usai omongannya, wajah Satrio perlahan semakin memerah dan mengeras, bak gunung berapi yang akan meletus. Lalu dengan gerakan cepat yang tak bisa dilihat Rara, ia menjambak rambut sang gadis dengan sangat kencang hingga membuat Hani yang biasanya tenang, tercekat seketika.
“Kamu kira kamu siapa, hah?!” murka Satrio, “Kamu itu cuma peliharaan aku! Dan peliharaan harusnya selalu nurut sama majikannya!”
Mata Rara melotot ketika merasakan sapuan bibir Jefri di bibirnya. Ia bingung untuk bereaksi sehingga hanya mengatupkan bibirnya rapat.Biasanya, dalam keadaan seperti ini, Satrio akan menggigit bibirnya kencang hingga ia terpaksa membukanya dan Satrio bisa melakukan ciuman lebih dalam yang terasa kasar baginya. Jantung Rara berdebar kencang, merasakan kekhawatiran kuat kalau Jefri akan melakukan hal yang sama. Mata Rara semakin membulat ketika merasakan lidah Jefri menyapu bibirnya. Sapuan yang terasa begitu lembut dan tidak terburu-buru, meski Jefri semakin menekan bibirnya sekarang. Gawat, ini membuat tubuhnya melemah! Rara menutup matanya dengan alis bertaut kencang ketika sapuan lidah Jefri semakin intens. Seolah dia tengah merayu Rara untuk membuka mulutnya. Tangan gemetar Rara mencengkram bahu Jefri dan perlahan membuka mulutnya ..KRUYUK!Lidah Jefri seketika berhenti. Pria itu memundurkan kepalanya dan melihat wajah merah padam Rara. Ia seketika mendengus geli dengan serin
“Satrio! Dasar gila!”Hani segera bangkit dan mendorong tubuh Satrio hingga jambakannya di rambut Rara terlepas. Pria itu mundur beberapa langkah dengan napas menggebu, membuat beberapa pasang mata menatap mereka. “Wanita ular itu kan yang nyuruh kamu begini?! Nolak aku terus-terusan! Ngehindar terus!”“Masih belum sadar juga?!” Hani menggeram dan hendak bergerak mendekati Satrio. Tapi, Rara buru-buru menahan pundak Hani. “Lepasin, Ra! Dia harus dipukul minimal sekali!”Rara menggeleng-geleng panik. Semua pengunjung sudah melihat mereka, tentu saja ia tidak bisa membiarkan Hani sang putri dari keluarga terhormat, melakukan tindakan yang mencoreng nama baiknya itu. Meskipun Hani melakukan hal yang benar sekarang, tapi para pengunjung yang tidak mengerti konteksnya bisa salah paham dengan keadaan sekarang!“Biar aku yang ngomong,” ucap Rara menenangkan, “Nggak papa. Kan kamu juga ngawasin aku,”Hani ingin membentah, tapi melihat tekad di mata Rara meski gadis itu gemetar meluruhkan a
Rara memejamkan mata ketika wajah Jefri mendekat. Tubuhnya gemetar. Sungguh, melihat Jefri sekarang sangat membuatnya takut! Tidak hanya karena merasa semua ini salah, ia juga teringat dengan Satrio ketika mereka akan berhubungan intim Rara sudah hendak menangis dan pasrah pada keadaannya ketika tiba-tiba ..CTAK! “Aw!”… Jefri menyentil dahinya. Rara seketika membuka mata. Ia melihat Jefri mendengus geli kepadanya dan beranjak berdiri. “Padahal kamu yang ajak, tapi kamu juga yang gemetaran,” ejek Jefri. Rara seketika manyun, “Padahal sebelumnya aku udah klarifikasi terus–!”“Kamu takut kan, Ra?”Rara terdiam. Ia memerhatikan Jefri yang duduk di sebrangnya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. “Kamu keinget Satrio tadi, kan?”Rara menundukkan kepala. Ia tak bisa membantah ucapan Jefri karena nyatanya memang begitu. Berhubungan intim menjadi hal yang menakutkan bagi Rara karena perlakuan kejam Satrio padanya. “Kalau kamu emang beneran mau dibantu, kamu harus putusin dia dulu,
Rara duduk dengan tegang di sebelah Jefri. Ia menelan ludah gugup lalu melirik pria paruh baya di sebelahnya. Wajah pria itu masih mengeras sedari awal. Tatapan matanya yang biasanya lembut kini terlihat tajam, membuat Rara ketakutan. Ugh, dia jadi teringat dengan kejadian semalam. Bisa-bisanya dia berkata hal memalukan seperti itu ke ayah sahabatnya sendiri!“Om, yang semalem maaf ya–”“Itu pacar kamu?”Rara tersentak mendengar pertanyaan Jefri. Ia membuang pandangan, menundukkan kepala, dan mengangguk pelan. Jefri yang melihat gerak-gerik Rara menghela napas kencang. Pegangannya di kemudi semakin kencang. “Anak zaman sekarang bener-bener ya,” gumam Jefri kesal, “Apa dia selalu begitu tiap sama kamu?”“Awalnya enggak, tapi sejak tahun kedua jadi begitu,”Jefri ber-hm singkat mendengar jawaban itu. Rara menggigit bibir pelan lalu lanjut berkata lirih, “Saya sebenarnya bingung kenapa dia tiba-tiba berubah begitu,”Mata Rara berkaca-kaca, “Apa saya banyak kekurangannya makanya dia ja
“Apa?”“Iya! Om ajarin aku gimana berhubungan intim yang baik itu! Jadi, aku bisa bilang ke Satrio biar dia bisa baik-baik juga!”“Tunggu-tunggu,” Jefri menggelengkan kepala, “Daripada kamu berusaha nyadarin dia, mending kamu putusin dia aja,”“Nggak bisa, om!” Rara berteriak frustasi, “Aku udah coba selama dua tahun ini, tapi tiap kali minta, Satrio pasti bakal lebih gila lagi! Aku udah nggak sanggup hadapinnya lagi!”Rara meremas pergelangan tangan Jefri erat-erat, “Jadi om bantuin aku, ya? Jelasin ke aku semuanya langsung biar aku bisa ajarin Satrio juga!”“Kamu mabuk, Ra,” Jefri mengibaskan tangannya yang digenggam Rara kemudian beranjak berdiri sambil mengeluarkan ponselnya. “Saya telepon Hani,”“Om! Please, om!”Rara ikut berdiri dan mengekori langkah Jefri yang terburu-buru, “Aku cuma minta ini doang, om. Setelah itu, aku bakal menghilang dari hidup om beneran, deh! Aku sembunyiin semuanya jadi nama om tetep baik terus kalau ketahuan aku siap tanggung–”DUK! Kepala Rara terant
“Ra, bibir kamu luka kenapa itu?”Rara tersentak kaget mendengar pertanyaan Hani, sahabatnya sejak masih kecil. Ia buru-buru menutupi luka di bibirnya dengan tangan dan berkata canggung, “Nggak kenapa-kenapa, kok! Ini tadi ada kulit terkelupas aja.”Hani menatapnya curiga. Ia memandang sekelilingnya yang ramai kemudian berbisik di telinga Rara, “Karena Satrio, ya?”Rara seketika menegang. Ia buru-buru menggeleng. “Mana ada. Aku kan nggak ketemu dia hari ini. Sibuk nyari hadiah ulang tahun buat sahabat aku ini!” ucap Rara kemudian tertawa-tawa sumbang. Jawaban Rara tidak mengendurkan tatapan curiga Hani. Malah, wajah gadis itu semakin mengeras. Tapi, ia akhirnya menghela napas pasrah. Toh, tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Rara dalam menyimpan masalahnya sendiri. “Yaudah, nikmatin pestanya, ya. Kalau pengin sesuatu, kabarin aja,” ucap Hani akhirnya sambil menepuk-nepuk bahu Rara. Rara tersenyum lebar. Ia mengangguk-anggukkan kepala. “Selamat ulang tahun ya, Han. Hadiah







