เข้าสู่ระบบRara duduk dengan tegang di sebelah Jefri. Ia menelan ludah gugup lalu melirik pria paruh baya di sebelahnya.
Wajah pria itu masih mengeras sedari awal. Tatapan matanya yang biasanya lembut kini terlihat tajam, membuat Rara ketakutan.
Ugh, dia jadi teringat dengan kejadian semalam. Bisa-bisanya dia berkata hal memalukan seperti itu ke ayah sahabatnya sendiri!
“Om, yang semalem maaf ya–”
“Itu pacar kamu?”
Rara tersentak mendengar pertanyaan Jefri. Ia membuang pandangan, menundukkan kepala, dan mengangguk pelan. Jefri yang melihat gerak-gerik Rara menghela napas kencang. Pegangannya di kemudi semakin kencang.
“Anak zaman sekarang bener-bener ya,” gumam Jefri kesal, “Apa dia selalu begitu tiap sama kamu?”
“Awalnya enggak, tapi sejak tahun kedua jadi begitu,”
Jefri ber-hm singkat mendengar jawaban itu. Rara menggigit bibir pelan lalu lanjut berkata lirih, “Saya sebenarnya bingung kenapa dia tiba-tiba berubah begitu,”
Mata Rara berkaca-kaca, “Apa saya banyak kekurangannya makanya dia jadi begitu? Atau saya buat kesalahan fatal makanya dia begitu–”
“Dia cuma orang brengsek, Ra,” decak Jefri, “Jangan mikir aneh-aneh,”
“Tapi, tetep aja, om,”
Jefri menghela napas kecil ketika mendengar isak tangis tertahan Rara. Ia menarik rem ketika lampu lalu lintas berubah warna menjadi merah. Jefri mendiamkan Rara yang semakin terisak-isak. Pria itu cukup paham kalau sahabat anaknya itu sedang dalam kondisi yang tidak baik.
Setelah beberapa saat, Rara menghapus air matanya dan bertanya lirih, “Om Jefri kenapa ada di kampus tadi?”
“Dosen fakultas kamu mau sewa aula di hotel Amaris buat acara seminar,”
Rara mengangguk paham. Gadis itu menarik napas panjang, “Makasih ya, om, buat yang tadi,”
Rara menoleh ke Jefri dengan senyum kecil di wajahnya, “Kalau nggak ada om, aku pasti udah babak belur,”
Jefri tak menanggapi. Ia hanya melirik Rara yang kini sibuk mengusap-usap wajahnya yang basah.
“Ra,”
“Iya, om?”
“Tentang permintaan kamu kemarin–”
“Oh, om lupain aja!” seru Rara. Wajahnya memerah malu, “Aku ngelantur karena alkohol, maaf ya om–”
“Beneran mau coba, gak?”
Rara tersentak ketika melihat tatapan serius Jefri. Ia menelan ludah, kebingungan untuk menjawab. Ditatapnya lamat-lamat wajah Jefri untuk menelisik apakah dia hanya bercanda atau sungguhan.
Tapi, seperti yang sudah lama Rara tahu, sangat susah untuk menebak maksud Jefri dari raut wajahnya saja! Pria itu terkenal sangat tenang karena mampu mengendalikan emosinya agar tidak muncul sedikit pun. Mungkin karena titlenya sebagai businessman yang membuat pria itu sangat terlatih.
“Om bercanda, ya?” ucap Rara dengan senyum kaku, berusaha mencairkan suasana tegang di antara mereka.
Jefri lagi-lagi tak menanggapi. Pandangan lelaki itu sudah kembali ke jalan karena lampu merah sudah berganti hijau. Tangannya mengarahkan kemudi untuk berbelok, menjauhi arah pulang ke rumah Rara.
***
Hal pertama yang Rara lihat ketika mereka berhenti adalah rumah seluas 305 m2 di daerah pedesaan. Daerah ini cukup jauh dari pusat kota dan terlihat sangat sepi. Meski begitu, suasananya cukup tenang, sangat cocok untuk menjadi tempat berlibur jika lelah dari keramaian kota.
Tapi, rumah siapa ini? Batin Rara was-was. Dan kenapa juga mereka kesini?
Rara tersentak ketika mendengar suara ketukan di jendela pintu mobilnya. Ia menoleh dan melihat Jefri sudah turun lebih dulu. Pria itu memberikan isyarat agar Rara turun yang membuat gadis itu buru-buru membuka pintu mobilnya.
“Rumah siapa ini, om?” tanya Rara lirih. Ia mengekori langkah Jefri yang tanpa ragu menuju rumah.
“Rumah saya pas pensiun nanti,” balas Jefri sambil melirik ke belakang, “Saya rencana tinggal di sini waktu pensiun,”
Rara mengerjapkan mata. Pria ini sudah berpikiran sampai sejauh itu? Dia benar-benar pria yang sangat visioner!
Rara menoleh kesana kemari ketika masuk ke dalam. Rumah itu memang tidak sebesar rumah Jefri dan Hani sekarang, tapi terlihat cukup minimalis. Tidak banyak perabotan di dalamnya, mungkin baru Jefri isi katika ia sudah benar-benar tinggal di rumah tersebut.
Ada dua kamar di rumah itu. Jefri berdiri di salah satunya dan membukanya. Pria itu menoleh kepada Rara yang masih berdiri kaku dengan jarak agak jauh darinya.
“Masuk,” titah Jefri sebelum masuk ke dalam kamar.
Rara menelan ludah. Masuk? Masuk ke dalam kamar itu bersama Jefri maksudnya?
Dengan langkah ragu-ragu, Rara memasuki kamar tersebut. Pintu segera ditutup oleh Jefri membuat Rara tersentak kaget. Ia kembali menelan ludah ketika Jefri mengunci pintu kamar itu.
“Om?”
Tubuh Rara menegang ketika Jefri membuka jasnya dan menyampirkannya di lemari. Gadis itu memundurkan langkahnya pelan-pelan ketika Jefri berjalan mendekatinya.
Pria itu melepas dasinya dan melemparkannya ke lantai. Setelah itu, ia membuka kancing lengan dan melepas dua kancing atas kemejanya.
Rara yang terus berjalan mundur tanpa memerhatikan sekitar, terantuk pinggir ranjang dan terjatuh di atas kasur. Ia buru-buru bergerak mundur ketika Jefri semakin mendekat bahkan sudah siap mengurung Rara.
“Bukannya kamu minta diajarin, Ra?” Jefri menyeringai kecil, “Ayo om ajarin sekarang,”
Mata Rara melotot ketika merasakan sapuan bibir Jefri di bibirnya. Ia bingung untuk bereaksi sehingga hanya mengatupkan bibirnya rapat.Biasanya, dalam keadaan seperti ini, Satrio akan menggigit bibirnya kencang hingga ia terpaksa membukanya dan Satrio bisa melakukan ciuman lebih dalam yang terasa kasar baginya. Jantung Rara berdebar kencang, merasakan kekhawatiran kuat kalau Jefri akan melakukan hal yang sama. Mata Rara semakin membulat ketika merasakan lidah Jefri menyapu bibirnya. Sapuan yang terasa begitu lembut dan tidak terburu-buru, meski Jefri semakin menekan bibirnya sekarang. Gawat, ini membuat tubuhnya melemah! Rara menutup matanya dengan alis bertaut kencang ketika sapuan lidah Jefri semakin intens. Seolah dia tengah merayu Rara untuk membuka mulutnya. Tangan gemetar Rara mencengkram bahu Jefri dan perlahan membuka mulutnya ..KRUYUK!Lidah Jefri seketika berhenti. Pria itu memundurkan kepalanya dan melihat wajah merah padam Rara. Ia seketika mendengus geli dengan serin
“Satrio! Dasar gila!”Hani segera bangkit dan mendorong tubuh Satrio hingga jambakannya di rambut Rara terlepas. Pria itu mundur beberapa langkah dengan napas menggebu, membuat beberapa pasang mata menatap mereka. “Wanita ular itu kan yang nyuruh kamu begini?! Nolak aku terus-terusan! Ngehindar terus!”“Masih belum sadar juga?!” Hani menggeram dan hendak bergerak mendekati Satrio. Tapi, Rara buru-buru menahan pundak Hani. “Lepasin, Ra! Dia harus dipukul minimal sekali!”Rara menggeleng-geleng panik. Semua pengunjung sudah melihat mereka, tentu saja ia tidak bisa membiarkan Hani sang putri dari keluarga terhormat, melakukan tindakan yang mencoreng nama baiknya itu. Meskipun Hani melakukan hal yang benar sekarang, tapi para pengunjung yang tidak mengerti konteksnya bisa salah paham dengan keadaan sekarang!“Biar aku yang ngomong,” ucap Rara menenangkan, “Nggak papa. Kan kamu juga ngawasin aku,”Hani ingin membentah, tapi melihat tekad di mata Rara meski gadis itu gemetar meluruhkan a
Rara memejamkan mata ketika wajah Jefri mendekat. Tubuhnya gemetar. Sungguh, melihat Jefri sekarang sangat membuatnya takut! Tidak hanya karena merasa semua ini salah, ia juga teringat dengan Satrio ketika mereka akan berhubungan intim Rara sudah hendak menangis dan pasrah pada keadaannya ketika tiba-tiba ..CTAK! “Aw!”… Jefri menyentil dahinya. Rara seketika membuka mata. Ia melihat Jefri mendengus geli kepadanya dan beranjak berdiri. “Padahal kamu yang ajak, tapi kamu juga yang gemetaran,” ejek Jefri. Rara seketika manyun, “Padahal sebelumnya aku udah klarifikasi terus–!”“Kamu takut kan, Ra?”Rara terdiam. Ia memerhatikan Jefri yang duduk di sebrangnya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. “Kamu keinget Satrio tadi, kan?”Rara menundukkan kepala. Ia tak bisa membantah ucapan Jefri karena nyatanya memang begitu. Berhubungan intim menjadi hal yang menakutkan bagi Rara karena perlakuan kejam Satrio padanya. “Kalau kamu emang beneran mau dibantu, kamu harus putusin dia dulu,
Rara duduk dengan tegang di sebelah Jefri. Ia menelan ludah gugup lalu melirik pria paruh baya di sebelahnya. Wajah pria itu masih mengeras sedari awal. Tatapan matanya yang biasanya lembut kini terlihat tajam, membuat Rara ketakutan. Ugh, dia jadi teringat dengan kejadian semalam. Bisa-bisanya dia berkata hal memalukan seperti itu ke ayah sahabatnya sendiri!“Om, yang semalem maaf ya–”“Itu pacar kamu?”Rara tersentak mendengar pertanyaan Jefri. Ia membuang pandangan, menundukkan kepala, dan mengangguk pelan. Jefri yang melihat gerak-gerik Rara menghela napas kencang. Pegangannya di kemudi semakin kencang. “Anak zaman sekarang bener-bener ya,” gumam Jefri kesal, “Apa dia selalu begitu tiap sama kamu?”“Awalnya enggak, tapi sejak tahun kedua jadi begitu,”Jefri ber-hm singkat mendengar jawaban itu. Rara menggigit bibir pelan lalu lanjut berkata lirih, “Saya sebenarnya bingung kenapa dia tiba-tiba berubah begitu,”Mata Rara berkaca-kaca, “Apa saya banyak kekurangannya makanya dia ja
“Apa?”“Iya! Om ajarin aku gimana berhubungan intim yang baik itu! Jadi, aku bisa bilang ke Satrio biar dia bisa baik-baik juga!”“Tunggu-tunggu,” Jefri menggelengkan kepala, “Daripada kamu berusaha nyadarin dia, mending kamu putusin dia aja,”“Nggak bisa, om!” Rara berteriak frustasi, “Aku udah coba selama dua tahun ini, tapi tiap kali minta, Satrio pasti bakal lebih gila lagi! Aku udah nggak sanggup hadapinnya lagi!”Rara meremas pergelangan tangan Jefri erat-erat, “Jadi om bantuin aku, ya? Jelasin ke aku semuanya langsung biar aku bisa ajarin Satrio juga!”“Kamu mabuk, Ra,” Jefri mengibaskan tangannya yang digenggam Rara kemudian beranjak berdiri sambil mengeluarkan ponselnya. “Saya telepon Hani,”“Om! Please, om!”Rara ikut berdiri dan mengekori langkah Jefri yang terburu-buru, “Aku cuma minta ini doang, om. Setelah itu, aku bakal menghilang dari hidup om beneran, deh! Aku sembunyiin semuanya jadi nama om tetep baik terus kalau ketahuan aku siap tanggung–”DUK! Kepala Rara terant
“Ra, bibir kamu luka kenapa itu?”Rara tersentak kaget mendengar pertanyaan Hani, sahabatnya sejak masih kecil. Ia buru-buru menutupi luka di bibirnya dengan tangan dan berkata canggung, “Nggak kenapa-kenapa, kok! Ini tadi ada kulit terkelupas aja.”Hani menatapnya curiga. Ia memandang sekelilingnya yang ramai kemudian berbisik di telinga Rara, “Karena Satrio, ya?”Rara seketika menegang. Ia buru-buru menggeleng. “Mana ada. Aku kan nggak ketemu dia hari ini. Sibuk nyari hadiah ulang tahun buat sahabat aku ini!” ucap Rara kemudian tertawa-tawa sumbang. Jawaban Rara tidak mengendurkan tatapan curiga Hani. Malah, wajah gadis itu semakin mengeras. Tapi, ia akhirnya menghela napas pasrah. Toh, tidak ada yang bisa mengalahkan kekeraskepalaan Rara dalam menyimpan masalahnya sendiri. “Yaudah, nikmatin pestanya, ya. Kalau pengin sesuatu, kabarin aja,” ucap Hani akhirnya sambil menepuk-nepuk bahu Rara. Rara tersenyum lebar. Ia mengangguk-anggukkan kepala. “Selamat ulang tahun ya, Han. Hadiah







