Home / Romansa / Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK / ​BAB 3: Matahari Pagi yang Menusuk

Share

​BAB 3: Matahari Pagi yang Menusuk

Author: Tinta Senyap
last update Huling Na-update: 2025-12-06 22:45:07

​Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru.

​Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak.

​Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya.

​Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin.

​"Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan.

​Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat."

​"Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celetuk Pak Yanto santai, sambil memutar setir keluar dari area hotel. "Tadi pas keluar, wajah beliau sumringah. Neng Soraya memang beda servisnya."

​Soraya memejamkan mata, menelan rasa mual yang naik ke tenggorokan. "Saya cuma ngerjain tugas saya, Pak."

​"Tugas..." Pak Yanto terkekeh pelan. "Ya, sebut saja begitu. Tapi Neng beruntung lho. Pak Subagyo itu orangnya royal. Asal Neng nurut, hidup Neng bakal terjamin. Nggak kayak mahasiswi lain yang cuma dapat janji manis."

​"Bisa tolong AC-nya digedein, Pak? Saya gerah," potong Soraya. Dia tidak sanggup mendengar pujian atas kehinaannya.

​Pak Yanto menurut, memutar tombol AC. "Neng mau diantar sampai mana? Depan posko langsung?"

​"Jangan!" seru Soraya panik. "Jangan, Pak. Turunin saya di perbatasan desa aja. Dekat jembatan. Nanti orang curiga kalau lihat mobil ini."

​"Tenang, Neng. Nggak usah panik gitu. Orang desa sini mah nggak bakal curiga. Paling dikira Neng saudara Bapak."

​"Saya bilang di jembatan, Pak!" suara Soraya meninggi, lalu melemah. "Tolong... saya mau jalan kaki aja sisanya."

​Hening sejenak di dalam mobil. Hanya suara ban yang menggilas aspal basah. Soraya meremas tasnya yang berisi uang tunai lima juta rupiah. Uang itu terasa panas, seolah membakar kulit tangannya.

​"Neng Soraya..." panggil Pak Yanto lagi, kali ini nadanya lebih serius.

​"Ya?"

​"Tadi... cowok yang teriak-teriak itu... pacarnya Neng?"

​Jantung Soraya berhenti berdetak sesaat. "Bukan urusan Bapak."

​"Saya cuma mau ngingetin," kata Pak Yanto, matanya menatap tajam lewat spion tengah. "Bapak itu nggak suka miliknya diganggu. Kalau cowok itu bikin masalah lagi, bukan cuma Neng yang kena. Bapak punya banyak kenalan. Neng sayang sama cowok itu, kan?"

​"Dia nggak tahu apa-apa, Pak. Dia cuma salah paham," jawab Soraya lirih.

​"Salah paham kok sampai dobrak pintu," sindir Pak Yanto. "Saran saya, Neng putusin aja. Orang miskin cuma bikin ribet. Neng sekarang udah beda kelas. Neng itu... aset mahal."

​Kata 'aset' membuat Soraya ingin muntah. Dia bukan manusia lagi di mata mereka. Dia cuma properti.

​"Stop di sini, Pak," pinta Soraya saat melihat jembatan tua di depan.

​Mobil berhenti. Soraya buru-buru membuka pintu, ingin segera lari dari bau parfum mobil yang mengingatkannya pada Subagyo.

​"Eh, Neng, tunggu," Pak Yanto menyodorkan sekotak tisu basah. "Itu... di leher Neng. Ada merah-merah. Tutupin dulu, nanti jadi gosip."

​Tangan Soraya refleks meraba lehernya. Perih. Dia mengambil tisu itu dengan kasar. "Makasih."

​Begitu mobil hitam itu melesat pergi, Soraya berdiri sendirian di pinggir jalan desa yang sepi. Matahari mulai muncul dari balik bukit, sinarnya terang benderang, menelanjangi dosa-dosa yang dilakukan Soraya semalam.

​Soraya mengeluarkan ponselnya. Dia butuh alasan untuk tetap hidup. Dia butuh alasan kenapa dia rela selangkangannya sakit luar biasa pagi ini.

​Jemarinya mendial nomor rumah.

​"Halo? Assalamualaikum?" suara lemah dan serak terdengar dari seberang. Suara Ibu.

​Pertahanan Soraya nyaris runtuh. Dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat sampai terasa anyir darah agar suaranya tidak bergetar.

​"Waalaikumsalam, Bu. Ibu... gimana pagi ini? Masih sesak napasnya?" tanya Soraya, berusaha terdengar ceria.

​"Agak mendingan, Nduk. Cuma ya itu... obat Ibu habis. Tadi Pak RT nagih uang iuran sampah juga, Ibu bingung..."

​"Ibu tenang aja," potong Soraya cepat. "Soraya udah dapat uangnya. Nanti siang Soraya transfer ke rekening tetangga buat Ibu ambil ya. Lima juta cukup kan buat obat sama bayar utang di warung?"

​Hening sejenak di seberang telepon. "Lima juta? Ya Allah, Nduk... banyak banget. Kamu dapat dari mana? KKN kan nggak digaji?"

​Soraya memejamkan mata. Bayangan tubuh gemuk Subagyo yang menindihnya kembali berputar di kepala. "Desah yang kencang, Soraya!"

​"Soraya... Soraya menang lomba esai, Bu. Hadiahnya baru cair semalam," bohongnya lancar. Kebohongan yang terasa manis sekaligus pahit.

​"Alhamdulillah... Anak Ibu memang pinter. Ibu bangga sama kamu, Nduk. Kamu anak sholehah, rezekinya lancar. Maafin Ibu ya selalu nyusahin kamu..."

​Kata 'sholehah' itu seperti pisau yang menguliti jantung Soraya.

​"Nggak, Bu... Ibu nggak nyusahin. Ini kewajiban Soraya. Ibu sehat-sehat ya. Soraya tutup dulu, mau... mau salat subuh."

​"Iya, Nduk. Hati-hati di sana. Jaga diri, jaga kehormatan ya."

​Klik. Sambungan terputus.

​Soraya merosot jongkok di pinggir jembatan. Dia muntah. Tidak ada isi perut yang keluar, hanya cairan bening yang pahit.

​"Jaga kehormatan..." bisiknya pada diri sendiri sambil tertawa miris. Tawa yang terdengar seperti isakan. "Udah nggak ada yang bisa dijaga, Bu."

​Dia mengambil tisu basah pemberian Pak Yanto, menggosok lehernya kuat-kuat, berharap bekas merah keunguan itu bisa hilang. Tapi percuma. Tanda kepemilikan Subagyo itu tercetak jelas.

​Soraya berdiri, merapikan rambutnya yang kusut, menarik kerah jaketnya tinggi-tinggi. Dia harus kembali ke posko. Dia harus menghadapi dunia nyata. Dan yang paling menakutkan... dia harus menghadapi tatapan Gilang.

​Langkahnya gontai menuju desa. Setiap langkah menimbulkan gesekan perih di area kewanitaannya yang lecet, mengingatkannya pada setiap detik kejadian di kamar nomor lima tadi.

​Di kejauhan, posko KKN sudah terlihat. Asap dapur mengepul. Kehidupan normal berjalan seolah tidak terjadi apa-apa.

​Soraya menarik napas panjang, memasang topeng terbaiknya. Topeng wanita kuat, topeng mahasiswi teladan. Padahal di balik jaket itu, tubuhnya hancur lebur.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 6: Kursi Bus Bersebelahan

    ​Mesin bus pariwisata itu menderum kasar, menggetarkan kaca jendela yang berembun. AC menyembur terlalu dingin, menusuk tulang. Di kursi paling belakang, di pojok kanan, Soraya duduk dengan tubuh kaku. Di sebelahnya, terpisah hanya oleh sandaran tangan yang tipis, duduk Gilang. ​Hanya berjarak lima sentimeter. ​Jarak itu harusnya terasa hangat. Dulu, setiap kali mereka naik bus atau angkot, lima sentimeter itu akan hilang. Gilang akan merangkul bahunya, atau Soraya akan menyandarkan kepalanya di bahu Gilang yang kokoh. Tapi hari ini, jarak lima sentimeter itu terasa seperti jurang tanpa dasar yang dipenuhi duri. ​Gilang menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam rapat, kepalanya disandarkan ke kaca jendela, menjauh sejauh mungkin dari Soraya. Dia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, memeluknya erat seolah tas itu adalah benteng pertahanan dari virus mematikan di sebelahnya. ​Bus berguncang saat melewati jalan berlubang keluar dari desa. Bahu Soraya tidak sengaja m

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 5: Tatapan Membunuh

    ​Matahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi. ​Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis. ​"Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus." ​Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri. ​Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 4: Kopi Pahit di Posko

    ​Aroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya. ​Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. ​"Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" ​Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. ​"Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selang

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 3: Matahari Pagi yang Menusuk

    ​Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru. ​Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak. ​Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya. ​Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. ​"Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan. ​Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat." ​"Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celet

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   BAB 2: Hujan yang Tak Kunjung Reda

    ​​Suara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan. ​Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. ​Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. ​"Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. ​"Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." ​Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" ​Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasa

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 1: Desah Tertahan di Kamar Nomor Lima

    ​Sisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.​Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".​Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas.​"Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."​Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung.​"Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak.​"Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungny

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status