MasukAroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya.
Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. "Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. "Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selangkangannya masih terasa nyeri setiap kali dia bergerak. "Kepala gue sakit banget semalam. Bu Bidan nyuruh gue istirahat di sana." "Sakit kepala apa sakit hati?" Siska menyahut sambil memoles selai kacang ke rotinya. Dia melirik Soraya dari ujung rambut sampai kaki dengan tatapan meneliti. "Muka lo pucat banget, Ya. Kayak mayat hidup. Terus itu... mata lo bengkak. Lo abis nangis semalaman?" Soraya refleks menyentuh bawah matanya. Foundation tebal yang dia pakai ternyata belum cukup menutupi jejak kehancurannya. "Nggak kok," elak Soraya cepat. "Gue cuma kurang tidur. Nyamuk di sana ganas-ganas." "Nyamuk apa nyamuk?" goda Bagas sambil menyenggol lengan Rio di sebelahnya. "Siapa tau Soraya 'digigit' yang lain, kan? Desa ini kalau malam gelap banget, asik buat mojok." Tawa meledak di meja makan. Candaan tongkrongan khas mahasiswa. Bagi mereka itu lucu. Bagi Soraya, itu seperti siraman air keras. "Apaan sih lo, Gas. Garing," Soraya mencoba tertawa, tapi yang keluar hanya suara serak. "Lagian lo aneh," sambung Rio. "Biasanya lo nempel mulu sama Gilang. Tumben semalam Gilang juga ngilang. Kalian janjian 'main petak umpet' ya?" Jantung Soraya berhenti berdetak saat nama itu disebut. "Gue nggak tau Gilang ke mana," jawab Soraya lirih, matanya menatap butiran nasi di piring yang belum dia sentuh. "Nah, panjang umur!" seru Bagas tiba-tiba, matanya menatap ke arah gerbang halaman. "Tuh bocah muncul juga." Soraya membeku. Punggungnya kaku. Dia merasakan hawa dingin merambat dari tengkuknya. Langkah kaki berat terdengar mendekat. Suara sepatu kets yang menyeret kerikil. Gilang. Soraya tidak berani menoleh. Dia hanya menunduk, menatap pantulan wajahnya yang menyedihkan di sendok stainless. "Woy, Lang! Sini sarapan! Muka lo kusut amat kayak baju belum disetrika," sapa Rio. Gilang tidak menjawab. Dia berjalan masuk ke area teras, melewati meja makan tanpa menoleh sedikitpun. Auranya gelap, seolah dia membawa awan mendung bersamanya. Dia berjalan lurus menuju meja dispenser di pojok, tempat Soraya sedang berdiri memegang gelas. Jarak mereka semakin dekat. Satu meter. Setengah meter. Soraya bisa mencium aromanya. Bukan aroma parfum fresh yang biasa Gilang pakai. Tapi aroma keringat apek, rokok kretek yang tajam, dan bau hujan. Aroma keputusasaan. Gilang berhenti tepat di samping Soraya untuk mengambil kopi sachet. Napas Soraya tercekat. Dia ingin lari, tapi kakinya dipaku ke lantai. Dia ingin memeluk Gilang, tapi dia sadar tubuhnya penuh jejak pria lain. "G-Gilang..." sapa Soraya. Suaranya bergetar hebat, nyaris tak terdengar di antara suara tawa teman-temannya. Gilang diam. Tangannya merobek bungkus kopi dengan gerakan kasar. Sret! Bunyi plastik robek itu terdengar nyaring di telinga Soraya. "Minggir," ucap Gilang. Datar. Dingin. Tanpa menoleh. Satu kata itu cukup untuk meremukkan sisa hati Soraya. "Lang, aku..." Soraya mencoba meraih ujung kaos Gilang yang kucel. Gilang menyentakkan badannya menjauh, seolah tangan Soraya adalah bara api. Gerakan itu cukup keras hingga membuat sendok di tangan Gilang berdenting kena gelas. Siska yang peka langsung berhenti mengunyah. Suasana meja makan mendadak hening. Bagas dan Rio saling pandang. "Kenapa lo?" tanya Gilang, akhirnya menoleh. Dia menatap Soraya tepat di mata. Soraya terkesiap. Mata itu merah, berair, dikelilingi lingkaran hitam yang dalam. Tapi yang paling mengerikan adalah tatapannya. Tidak ada cinta. Tidak ada kehangatan. Hanya ada rasa jijik yang telanjang. "Aku... aku mau buatin kamu kopi," cicit Soraya, berusaha mencairkan suasana. "Biar aku aja yang seduh." "Nggak usah," tolak Gilang tajam. "Tangan lo kotor." Kalimat itu memiliki makna ganda yang hanya dipahami mereka berdua. Soraya merasa ditampar. "Tangan gue bersih kok, Lang. Baru cuci tangan," Soraya masih mencoba berakting, sadar teman-temannya sedang menonton drama ini. Gilang tersenyum miring. Senyum yang mengerikan. Dia mendekatkan wajahnya sedikit ke telinga Soraya, lalu berbisik dengan suara yang hanya bisa didengar Soraya, namun penuh penekanan. "Bersih? Yakin?" bisik Gilang, napasnya yang bau rokok menerpa pipi Soraya. "Gue liat tangan lo megang apa semalam, Soraya. Gue liat tangan lo meluk punggung berlemak itu. Gue liat tangan lo ngeremas sprei." Wajah Soraya pucat pasi. Darah seolah surut dari kepalanya. "Gilang... please..." mohon Soraya dengan mata berkaca-kaca. Gilang menarik wajahnya kembali. Dia menuangkan air panas ke gelasnya sampai penuh, nyaris tumpah. Uap panas mengepul di antara mereka. "Wah, lagi berantem nih ceritanya?" sela Bagas dengan tawa canggung. "Udah lah, Lang. Cewek emang gitu, suka ngambek. Baikan gih. Bentar lagi kita mau packing pulang ke Jakarta lho. Masa di bus musuhan?" Gilang mengaduk kopinya pelan. Tring. Tring. Tring. Bunyi sendok beradu dengan gelas kaca terdengar konstan dan mengintimidasi. "Gue nggak musuhan," kata Gilang tanpa melihat Bagas, matanya tetap terpaku pada leher Soraya yang tertutup kerah jaket tinggi. "Gue cuma lagi sadar diri." "Sadar diri kenapa?" tanya Siska kepo. "Sadar kalau gue miskin," jawab Gilang santai, tapi matanya menusuk Soraya. "Iya kan, Ya? Gue kan nggak punya mobil sedan hitam. Gue nggak punya duit tebal buat... jajan." Soraya memejamkan mata. Kakinya lemas. Dia berpegangan pada pinggiran meja agar tidak ambruk. Sindiran itu terlalu telak. "Lo ngomong apa sih, Lang? Ngelantur lo, kurang tidur ya?" tanya Rio bingung. Gilang menyeruput kopinya yang masih panas. Dia tidak meringis sedikitpun meski lidahnya pasti melepuh. "Kopi ini pait," gumam Gilang. "Tapi masih kalah pait sama kenyataan." "Drama banget sih lo pagi-pagi," komentar Siska. "Eh, Ya. Lo beneran sakit? Leher lo kenapa ditutupin jaket terus? Gerah tau, ini udah siang." Tangan Soraya refleks memegang kerah jaketnya semakin erat. Di balik kain itu, ada jejak merah keunguan bekas hisapan Subagyo yang belum hilang. "Gue... gue masuk angin, Sis. Dingin," jawab Soraya gagap. Gilang tertawa pendek. "Masuk angin," ulangnya dengan nada mengejek. "Masuk angin atau 'masuk' yang lain?" Soraya menatap Gilang dengan tatapan memohon. Cukup, Gilang. Tolong cukup. "Lang, lo kenapa sih?" akhirnya Soraya bersuara, nadanya sedikit meninggi karena panik dan malu. "Kalau lo marah, ngomong langsung. Jangan nyindir kayak banci." Gilang membanting gelas kopinya ke meja. BRAK! Cairan hitam muncrat sedikit ke taplak meja plastik. Semua orang terlonjak kaget. Bagas sampai tersedak kerupuk. Hening total. Ayam yang berkokok di kejauhan pun seolah ikut diam. Gilang maju selangkah, mengikis jarak dengan Soraya. Tubuhnya yang tinggi menjulang di atas Soraya yang mungil. Soraya bisa melihat urat-urat di leher Gilang menegang. "Gue banci?" desis Gilang. Matanya berkilat marah. "Iya. Gue emang banci. Gue banci karena gue nggak dobrak pintu itu lebih awal. Gue banci karena gue cuma bisa nonton cewek gue mendesah-desah keenakan sama orang tua bangka." Kata-kata itu diucapkan dengan volume rendah, tapi intonasinya penuh racun. Teman-temannya tidak mendengar jelas bagian 'mendesah', tapi mereka merasakan ketegangan yang mematikan. "Lang... malu dilihat anak-anak," bisik Soraya, air matanya sudah menggenang di pelupuk. "Malu?" Gilang menaikkan alisnya. "Lo masih punya malu? Gue kira rasa malu lo udah ketinggalan di kamar nomor lima bareng baju-baju lo yang berserakan." Soraya menunduk dalam. Dia kalah. Dia tidak bisa membantah kebenaran itu. "Udah, woy! Udah!" Bagas akhirnya berdiri, melerai. Dia merasakan situasi sudah tidak kondusif. "Gilang, lo tenang dulu. Soraya juga, kalau ada masalah selesaiin baik-baik. Jangan di sini." Gilang mundur perlahan. Dia mengambil gelas kopinya lagi. Dia menatap Soraya dari ujung rambut sampai ujung kaki, tatapan yang membuat Soraya merasa telanjang kembali di tengah keramaian. "Tenang aja, Gas. Gue udah selesai kok," kata Gilang pada Bagas, tapi matanya tidak lepas dari Soraya. "Gue udah selesai sama semuanya." "Lang, rokok lo abis tuh. Minta punya gue nggak?" tawar Rio mencoba mengalihkan isu. "Nggak usah," tolak Gilang. Dia merogoh sakunya, mengeluarkan bungkus rokok yang sudah penyok. Dia menyalakannya dengan tangan gemetar. Asap putih mengepul, menghalangi wajahnya dari pandangan Soraya. Soraya masih berdiri mematung. Dia ingin mengatakan sesuatu. Dia ingin bilang kalau dia melakukan itu demi ibunya. Demi nyawa. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan. "Soraya," panggil Gilang tiba-tiba di sela hisapan rokoknya. Soraya mendongak penuh harap. "Kopinya enak," kata Gilang datar, sambil mengangkat gelas plastik itu. "Rasanya murah. Pas banget." Soraya tahu Gilang tidak sedang membicarakan kopi. Gilang sedang membicarakan dirinya. Murah. "Permisi. Gue mau packing," Gilang mematikan rokoknya yang baru dihisap setengah ke dalam asbak dengan tekanan kuat, menghancurkan baranya sampai mati total. Seperti dia mematikan perasaannya. Dia berjalan pergi meninggalkan dapur, meninggalkan Soraya yang gemetar, dan teman-temannya yang saling pandang kebingungan. "Kalian kenapa sih? Sumpah horor banget," bisik Siska sambil menyenggol Soraya. "Lo selingkuh ya, Ya?" Pertanyaan polos Siska itu menusuk tepat di jantung. Soraya tidak menjawab. Dia mengambil gelas air putih di meja, meminumnya dengan rakus untuk meredakan rasa tercekik di lehernya. Air itu terasa hambar. Segalanya terasa hambar sekarang. "Gue... gue mau mandi dulu," kata Soraya beralasan, padahal dia sudah mandi. Dia hanya butuh kabur. Dia butuh menangis di tempat yang tidak ada orang. Saat dia berbalik hendak pergi, matanya menangkap gelas kopi milik Gilang yang ditinggalkan di meja. Masih ada sisa sedikit ampas hitam di dasarnya. Hitam, pekat, dan pahit. Persis seperti masa depannya. Soraya berjalan cepat ke kamar mandi, mengunci pintu, menyalakan keran air sekencang-kencangnya agar suara tangisannya yang pecah tidak terdengar oleh siapa pun. Dia merosot di balik pintu, memeluk lututnya yang gemetar. Di luar sana, suara tawa teman-temannya mulai terdengar lagi, membahas rencana pulang ke Jakarta. Mereka akan pulang ke rumah. Sementara Soraya... dia sadar dia sudah tidak punya 'rumah' lagi untuk pulang. Hatinya sudah tertinggal di kamar hotel reyot itu, dan harga dirinya sudah hancur di depan gelas kopi pahit barusan.Mesin bus pariwisata itu menderum kasar, menggetarkan kaca jendela yang berembun. AC menyembur terlalu dingin, menusuk tulang. Di kursi paling belakang, di pojok kanan, Soraya duduk dengan tubuh kaku. Di sebelahnya, terpisah hanya oleh sandaran tangan yang tipis, duduk Gilang. Hanya berjarak lima sentimeter. Jarak itu harusnya terasa hangat. Dulu, setiap kali mereka naik bus atau angkot, lima sentimeter itu akan hilang. Gilang akan merangkul bahunya, atau Soraya akan menyandarkan kepalanya di bahu Gilang yang kokoh. Tapi hari ini, jarak lima sentimeter itu terasa seperti jurang tanpa dasar yang dipenuhi duri. Gilang menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam rapat, kepalanya disandarkan ke kaca jendela, menjauh sejauh mungkin dari Soraya. Dia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, memeluknya erat seolah tas itu adalah benteng pertahanan dari virus mematikan di sebelahnya. Bus berguncang saat melewati jalan berlubang keluar dari desa. Bahu Soraya tidak sengaja m
Matahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi. Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis. "Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus." Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri. Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat
Aroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya. Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. "Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. "Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selang
Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru. Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak. Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya. Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. "Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan. Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat." "Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celet
Suara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan. Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. "Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. "Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasa
Sisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas."Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung."Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak."Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungny







