MasukSuara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan.
Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. "Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. "Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasar. Kain itu terlempar ke lantai, membiarkan tubuh polos Soraya kembali terekspos udara dingin dan tatapan lapar. "J-jangan..." Soraya menyilangkan tangan di depan dada. "Singkirkan tanganmu," perintah Subagyo tegas. Soraya menggeleng. "Tuan, tolong... saya nggak mood... saya nggak bisa..." Tangan besar Subagyo langsung mencengkeram pergelangan tangan Soraya, memaksanya terbuka lebar, menindihnya ke samping kepala gadis itu. Posisi Soraya kini terbuka sepenuhnya. "Saya bayar kamu bukan buat minta pendapat soal mood kamu, Soraya," bisik Subagyo tepat di depan wajah gadis itu. "Saya bayar kamu buat melayani saya. Sampai saya puas. Paham?" "Tapi Gilang..." "Lupakan Gilang!" bentak Subagyo. "Pikirkan ibumu. Biaya cuci darahnya lima juta per minggu. Kamu mau ibumu mati cuma gara-gara kamu sok suci malam ini?" Ancaman itu membuat tubuh Soraya lemas seketika. "Nah, gitu dong. Jadilah anak manis," Subagyo tersenyum miring. Dia menunduk, menjilat leher Soraya yang basah oleh keringat dingin. "Sekarang, tanggung jawab kamu adalah bikin 'adik' saya bangun lagi. Gara-gara pacarmu tadi, dia jadi lemas. Kamu harus bangunin dia." "S-saya harus apa...?" tanya Soraya lirih. "Turun ke bawah," perintah Subagyo sambil menunjuk selangkangannya sendiri. "Pakai mulutmu. Bersihkan sisa-sisa tadi. Bikin dia keras lagi." Soraya menelan ludah. Rasa jijik memenuhi kerongkongannya. Tapi tatapan Subagyo tidak menerima penolakan. Dengan gemetar, Soraya bangun dari posisi tidurnya, berlutut di antara kedua kaki Subagyo yang duduk di tepi ranjang. "Buka mulutmu," perintah Subagyo sambil menekan kepala Soraya mendekat. Soraya memejamkan mata, membiarkan mulutnya bekerja. "Ahhh... iya, di situ..." desah Subagyo sambil menjambak pelan rambut Soraya, mengatur irama gerakan kepala gadis itu. "Pintar. Lidahmu memang aset berharga, Soraya. Pantesan nilai kamu selalu A." "Mmmhh..." Soraya hanya bisa melenguh tertahan. Beberapa menit kemudian, Subagyo sudah tidak tahan. Dia menarik Soraya naik kembali ke atas kasur, mendorongnya terlentang. "Sekarang buka kakimu. Lebar-lebar," perintahnya. Soraya membuka pahanya. Subagyo langsung memposisikan dirinya di atas. "Lihat saya, Soraya," kata Subagyo saat Soraya mencoba memalingkan wajah. "Jangan merem. Lihat siapa yang masuk ke dalam kamu." "Iya... Tuan..." bisik Soraya. Dengan satu dorongan kuat, Subagyo membenamkan miliknya kembali ke dalam liang hangat Soraya. "Aaahh!" Soraya memekik. Terasa perih karena pelumas alaminya sudah kering akibat ketakutan tadi. "Sempit banget... Sialan, kamu memang paling enak," geram Subagyo. Dia mulai bergerak. Mundur, maju. Pelan, lalu makin cepat. "Gimana rasanya? Hah? Lebih enak mana sama si Gilang itu?" Soraya menggigit bibir, air matanya menetes ke samping. "E-enak Tuan... Tuan paling enak..." "Bohong," Subagyo menampar pelan pipi Soraya. Bukan tamparan sakit, tapi tamparan merendahkan. "Kamu bohong. Tapi saya suka. Desah lagi. Yang kencang! Biar si Gilang denger kalau dia masih di luar sana!" "Ahhh... Tuan... sakit... ahhh!" "Jangan bilang sakit! Bilang enak! Bilang kamu suka punya saya!" paksa Subagyo sambil memacu pinggulnya makin brutal. Plak! Plak! Plak! Suara kulit beradu terdengar nyaring. "Enak... ahhh! Soraya suka... Soraya suka punya Tuan..." racau Soraya. Pikirannya kosong. Dia hanya ingin ini cepat selesai. "Angkat kakimu ke bahu saya," perintah Subagyo. Soraya menurut, mengalungkan kakinya yang jenjang ke bahu kekar Subagyo. Posisi itu membuat penetrasi Subagyo masuk sangat dalam, menyentuh titik terdalam kewanitaan Soraya. "Ohhh... Tuhan... dalam banget..." desah Soraya, kali ini bukan akting. Sensasi penuh itu membuatnya melengkungkan punggung. "Iya kan? Terasa kan?" Subagyo menyeringai puas, keringat menetes dari dahinya ke dada Soraya. "Saya rajanya malam ini. Kamu cuma tempat saya buang hajat. Kamu ngerti posisi kamu?" "Ngerti... ahhh... Soraya ngerti..." "Apa posisi kamu? Bilang!" "Soraya... ahhh! Soraya cuma pelacur Tuan... ahhh!" Jawaban itu membuat gairah Subagyo meledak. Dia bergerak gila-gilaan, ranjang besi itu berhantam dengan tembok, menimbulkan suara gaduh. "Bagus! Pelacur pintar! Terus! Goyang pinggulmu, sambut punya saya!" "Tuan... mau keluar... ahhh! Tuan!" "Tahan! Jangan keluar duluan! Tunggu saya!" bentak Subagyo. Dia meremas payudara Soraya dengan kasar, meninggalkan bekas merah jari-jarinya di sana. "Tampung semuanya, Soraya! Jangan ada yang tumpah!" Subagyo menggeram panjang, tubuhnya menegang kaku. "Ahhh....!!!" lalu dia ambruk di atas tubuh Soraya.a Keduanya terengah-engah. Napas memburu memenuhi ruangan sempit itu. Subagyo masih menindih Soraya, berat badannya membuat Soraya sesak napas. "Bagus sekali," bisik Subagyo di telinga Soraya, suaranya parau dan basah. "Malam ini kamu 'servis' saya luar biasa. Saya kasih bonus nanti." Soraya tidak menjawab. Dia hanya menatap langit-langit kamar yang penuh jamur dengan tatapan kosong. Subagyo menarik dirinya keluar. Dia bangun, mengambil tisu kusam dari meja nakas, membersihkan dirinya seadanya, lalu melempar tisu bekas itu ke perut Soraya. "Bersihin itu," tunjuk Subagyo ke cairan yang meleleh di paha Soraya. "Jijik saya lihatnya kalau berantakan." Soraya duduk perlahan, mengambil tisu itu dengan tangan gemetar. "Pakai bajumu," kata Subagyo sambil mengancingkan kemejanya. Dia kembali terlihat rapi, seolah tidak melakukan hal bejat. "Sopir saya nunggu di belakang. Dia bakal antar kamu sampai jarak aman dari posko." Subagyo mengambil dompet, mengeluarkan segepok uang merah, dan melemparkannya ke kasur. "Itu lima juta. Buat cuci darah ibumu besok. Kurang baik apa saya sama kamu?" Soraya menatap uang itu. "Bilang apa?" tanya Subagyo dingin. "Makasih... Tuan..." suara Soraya serak, hampir habis. "Sama-sama, Sayang," Subagyo tersenyum, menepuk pipi Soraya pelan, lalu berbalik badan. Dia membuka ganjalan kursi di pintu. Sebelum keluar, Subagyo menoleh lagi. "Oh iya, Soraya. Besok di kampus, jangan lupa senyum. Saya nggak suka lihat mahasiswi bimbingan saya cemberut. Kita harus profesional, kan?" Pintu tertutup. Klik. Soraya sendirian lagi. Dia menatap tumpukan uang di atas sprei yang kusut itu. Tangannya terulur, meraba uang kertas yang dingin itu, lalu meremasnya kuat-kuat di dada. Dia tidak menangis lagi. Air matanya sudah habis. Yang tersisa hanya rasa dingin yang menusuk tulang.Mesin bus pariwisata itu menderum kasar, menggetarkan kaca jendela yang berembun. AC menyembur terlalu dingin, menusuk tulang. Di kursi paling belakang, di pojok kanan, Soraya duduk dengan tubuh kaku. Di sebelahnya, terpisah hanya oleh sandaran tangan yang tipis, duduk Gilang. Hanya berjarak lima sentimeter. Jarak itu harusnya terasa hangat. Dulu, setiap kali mereka naik bus atau angkot, lima sentimeter itu akan hilang. Gilang akan merangkul bahunya, atau Soraya akan menyandarkan kepalanya di bahu Gilang yang kokoh. Tapi hari ini, jarak lima sentimeter itu terasa seperti jurang tanpa dasar yang dipenuhi duri. Gilang menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam rapat, kepalanya disandarkan ke kaca jendela, menjauh sejauh mungkin dari Soraya. Dia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, memeluknya erat seolah tas itu adalah benteng pertahanan dari virus mematikan di sebelahnya. Bus berguncang saat melewati jalan berlubang keluar dari desa. Bahu Soraya tidak sengaja m
Matahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi. Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis. "Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus." Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri. Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat
Aroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya. Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. "Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. "Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selang
Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru. Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak. Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya. Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. "Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan. Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat." "Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celet
Suara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan. Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. "Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. "Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasa
Sisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas."Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung."Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak."Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungny







