Home / Romansa / Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK / ​BAB 5: Tatapan Membunuh

Share

​BAB 5: Tatapan Membunuh

Author: Tinta Senyap
last update Last Updated: 2025-12-08 20:12:38

​Matahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi.

​Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis.

​"Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus."

​Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri.

​Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat bajunya dengan gerakan kasar.

​Gilang tidak menoleh. Dia pura-pura tidak dengar. Atau mungkin, dia setuju dengan bagian 'pinter di ranjang' itu dengan konotasi yang berbeda.

​Soraya mengambil piring plastik warna hijau, piring favorit Gilang. Dia menyendokkan nasi putih hangat yang masih mengepul, menyiramnya dengan kuah sayur asem, menambahkan sepotong ikan asin goreng dan sambal terasi. Kombinasi sederhana yang dulu selalu bisa membuat Gilang tersenyum lebar.

​Dengan langkah ragu, Soraya berjalan mendekati Gilang. Setiap langkah terasa berat, seolah dia sedang berjalan menuju tiang gantungan.

​Di ruang tengah, Bagas dan Siska sedang berebut charger hp. Suasana cukup riuh, tapi mendadak hening radius dua meter di sekitar Gilang. Pria itu membangun tembok tak kasat mata yang dingin.

​"Lang..." panggil Soraya pelan.

​Gilang tidak menjawab. Dia memasukkan kaosnya ke dalam tas.

​"Lang, makan dulu," bujuk Soraya, menyodorkan piring itu. "Ini masakan terakhir sebelum kita balik Jakarta. Aku masakin ikan asin kesukaan kamu."

​Gilang akhirnya berhenti bergerak. Dia menatap piring di tangan Soraya, lalu tatapannya naik perlahan ke wajah Soraya. Tatapan itu kosong, seperti melihat orang asing yang nyasar.

​"Gue nggak laper," jawab Gilang datar. Dia kembali sibuk dengan ritsleting tasnya.

​"Tapi kamu belum makan dari pagi, Lang," Soraya bersikeras, nadanya sedikit memohon. "Nanti kamu masuk angin di bus. Perjalanan lima jam lho."

​"Gue bilang nggak laper. Kuping lo budek?" Gilang menjawab tanpa menaikan volume suara, tapi intonasinya tajam seperti silet.

​Siska yang duduk di sofa menyeletuk, "Yaelah, Lang. Makan aja napa sih? Kasian tuh Soraya udah masak keringetan. Lo berdua berantemnya awet bener kayak formalin."

​"Tau nih, hargain dikit kek," timpal Bagas. "Kalau lo nggak mau, buat gue aja sini."

​Bagas hendak mengambil piring itu, tapi Soraya menjauhkannya.

​"Jangan, Gas. Ini buat Gilang," kata Soraya. Dia kembali menatap Gilang, matanya mulai berkaca-kaca. "Lang, please. Cuma makan. Aku nggak minta kamu maafin aku sekarang. Aku cuma minta kamu isi perut."

​Gilang menghela napas panjang, seolah dia sangat lelah menghadapi rengekan anak kecil. Dia berdiri, menjulang tinggi di hadapan Soraya. Dia mengambil piring itu dari tangan Soraya.

​Wajah Soraya sedikit cerah. Dia pikir Gilang luluh.

​Tapi Gilang tidak memakannya. Dia hanya memegang piring itu, menatap isi makanannya dengan ekspresi jijik, seolah ada kecoa mati di sana.

​"Ikan asin," gumam Gilang pelan, tapi cukup keras untuk didengar Soraya. "Murah. Asin. Bau."

​Jantung Soraya terkejut.

​"Kamu... kamu kan suka ikan asin," cicit Soraya.

​"Itu dulu," potong Gilang cepat. Dia mendekatkan wajahnya ke Soraya. "Selera gue udah berubah, Ya. Gue sadar sekarang, gue nggak suka makanan yang... terlalu banyak dijamah orang."

​Soraya ternganga. Napasnya tercekat.

​"Maksud lo apa sih, Lang?" tanya Siska bingung. "Itu ikan baru digoreng, siapa yang jamah?"

​Gilang tersenyum miring pada Siska, tapi matanya tetap mengunci Soraya. "Bukan ikannya, Sis. Tapi kokinya. Gue agak jijik sama kebersihan tangannya."

​Soraya refleks menyembunyikan tangannya di belakang punggung. Dia merasa kotor. Sangat kotor.

​"Tangan aku bersih, Lang..." bisik Soraya, air mata sudah menggenang di pelupuk. "Aku udah cuci tangan pakai sabun berkali-kali..."

​Aku udah mandi berkali-kali. Aku udah gosok badanku sampai lecet. Tapi kenapa kamu masih liat aku kotor? batin Soraya menjerit.

​"Sabun nggak bisa nyuci semuanya, Soraya," bisik Gilang sadis.

​Dia meletakkan kembali piring itu ke atas meja di sampingnya dengan bunyi trak yang keras.

​"Gue mau beli Pop Mie di warung depan aja," umum Gilang pada semua orang. "Lebih terjamin. Bungkusnya masih segel. Belum dibuka sama orang lain."

​Kalimat itu menghantam Soraya telak di ulu hati. Bungkusnya masih segel.

​"Lang, lo keterlaluan tau nggak," Siska akhirnya berdiri, membela Soraya. "Soraya masak capek-capek, lo malah ngomongin segel-segelan. Lo kenapa sih? Lo nuduh Soraya jorok?"

​Gilang menoleh ke Siska, lalu tertawa kecil. Tawa yang hampa.

​"Tanya aja sama dia, Sis. Seberapa jorok dia semalam," kata Gilang santai sambil menyambar bungkus rokoknya.

​Soraya memucat. Dia menggeleng panik ke arah Gilang. Jangan. Tolong jangan cerita.

​"Lang..." Soraya meraih lengan Gilang, putus asa. "Cukup. Kalau kamu nggak mau makan, ya udah. Jangan ngomong yang aneh-aneh."

​Gilang menepis tangan Soraya kasar.

​"Jangan sentuh gue!" bentak Gilang. Kali ini suaranya meninggi.

​Satu ruangan hening. Rio yang lagi main gitar langsung berhenti. Bagas yang lagi makan langsung keselek.

​Gilang menatap bekas tangannya yang disentuh Soraya, lalu mengusap-usapnya ke celana jeans-nya seolah baru saja terkena lendir menjijikkan.

​"Gue udah bilang tadi pagi, kan?" desis Gilang. "Kita asing. Gue nggak kenal lo. Jadi jangan sok akrab masakin gue, jangan sok perhatian, dan jangan berani-berani sentuh gue pakai tangan lo yang..."

​Gilang menggantung kalimatnya. Matanya turun ke bibir Soraya yang masih sedikit bengkak, lalu turun ke lehernya yang tertutup jaket, lalu ke bawah lagi. Tatapan itu seolah menelanjangi Soraya di depan teman-temannya.

​"...Tangan lo yang sibuk semalam," lanjut Gilang dengan suara rendah yang penuh racun.

​Soraya mundur selangkah. Kakinya lemas. Dia menabrak meja di belakangnya.

​"Gue benci lo, Lang," bisik Soraya. Itu satu-satunya pertahanan diri yang dia punya.

​"Bagus," balas Gilang cepat. "Kebencian itu mutual. Tapi bedanya, gue benci lo karena kenyataan. Lo benci gue karena gue tau rahasia busuk lo."

​"Woy, udahlah!" Bagas berdiri, memisahkan mereka. Dia mendorong dada Gilang pelan. "Lo kalau ada masalah pribadi, selesaiin nanti. Jangan ngerusak suasana perpisahan kita. Nggak enak dilihat warga."

​Gilang menepis tangan Bagas. "Gue cabut. Gue tunggu di pos ronda aja. Di sini pengap. Bau bangkai."

​Gilang menyambar tas ranselnya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh lagi.

​Soraya berdiri mematung di tengah ruangan. Piring berisi nasi dan ikan asin itu masih tergeletak di meja, dingin dan tak tersentuh. Seperti hatinya.

​"Ya, lo nggak apa-apa?" tanya Siska khawatir, merangkul bahu Soraya. "Gilang kesambet apaan sih? Kok omongannya nyakit banget?"

​Soraya menggeleng lemah. "Nggak apa-apa, Sis. Mungkin dia lagi stres skripsi."

​"Stres skripsi nggak bikin orang jadi bajingan kayak gitu, Ya," Siska mendengus kesal. "Mending lo putusin aja deh. Cowok toxic."

​Soraya tertawa miris dalam hati. Putus? Kata itu bahkan terdengar seperti kemewahan sekarang. Hubungan mereka sudah hancur lebur sebelum kata putus terucap.

​"Gue... gue ke kamar mandi bentar ya," pamit Soraya.

​Dia lari ke kamar mandi, mengunci pintu. Dia melihat pantulan wajahnya di cermin retak. Cantik, tapi kosong.

​"Bau bangkai..." bisik Soraya mengulangi kata-kata Gilang.

​Dia mengangkat tangannya, menciumnya sendiri. Wangi sabun lemon. Tapi bagi Gilang, tangan ini bau dosa. Tangan yang semalam memegang sprei hotel. Tangan yang semalam memegang tubuh gemuk Subagyo. Tangan yang menerima uang lima juta rupiah.

​Soraya menyalakan keran air, lalu menggosok tangannya kuat-kuat. Lagi. Dan lagi. Sampai kulitnya memerah.

​"Bersih... harus bersih..." racau Soraya. Air matanya jatuh ke wastafel.

​Di luar, suara klakson bus terdengar nyaring. Tiiin! Tiiin!

​Jemputan sudah datang. Waktunya pulang ke Jakarta. Pulang ke realita yang lebih kejam.

​Soraya mematikan keran air. Dia menghela napas panjang, mencoba menata kembali topeng wajahnya.

​Saat dia keluar dari kamar mandi, dia melihat piring makan tadi sudah dikerubungi semut. Nasi itu basi. Ikan asin itu dingin.

​Bagas sedang membereskan sisa makanan itu ke tempat sampah.

​"Sorry ya, Ya. Mubazir," kata Bagas tak enak hati.

​"Nggak apa-apa, Gas," jawab Soraya datar. "Emang tempatnya di situ kok."

​Sama kayak gue, batin Soraya. Tempat gue sekarang di tempat sampah.

​Soraya mengambil tasnya. Dia berjalan keluar posko menuju bus pariwisata yang sudah parkir. Di sana, di kursi paling belakang dekat jendela, dia melihat Gilang sudah duduk. Pria itu menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam, menutup akses dari dunia luar. Terutama dari Soraya.

​Soraya melangkah naik ke dalam bus. Kakinya berat. Dia tahu, perjalanan lima jam ke depan akan menjadi perjalanan paling sunyi dan menyiksa dalam hidupnya. Karena takdir atau panitia KKN yang iseng telah mengatur satu hal yang fatal:

​Kursi kosong di sebelah Gilang adalah satu-satunya kursi yang tersisa untuknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 6: Kursi Bus Bersebelahan

    ​Mesin bus pariwisata itu menderum kasar, menggetarkan kaca jendela yang berembun. AC menyembur terlalu dingin, menusuk tulang. Di kursi paling belakang, di pojok kanan, Soraya duduk dengan tubuh kaku. Di sebelahnya, terpisah hanya oleh sandaran tangan yang tipis, duduk Gilang. ​Hanya berjarak lima sentimeter. ​Jarak itu harusnya terasa hangat. Dulu, setiap kali mereka naik bus atau angkot, lima sentimeter itu akan hilang. Gilang akan merangkul bahunya, atau Soraya akan menyandarkan kepalanya di bahu Gilang yang kokoh. Tapi hari ini, jarak lima sentimeter itu terasa seperti jurang tanpa dasar yang dipenuhi duri. ​Gilang menyumpal telinganya dengan earphone, matanya terpejam rapat, kepalanya disandarkan ke kaca jendela, menjauh sejauh mungkin dari Soraya. Dia meletakkan tas ranselnya di pangkuan, memeluknya erat seolah tas itu adalah benteng pertahanan dari virus mematikan di sebelahnya. ​Bus berguncang saat melewati jalan berlubang keluar dari desa. Bahu Soraya tidak sengaja m

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 5: Tatapan Membunuh

    ​Matahari sudah condong ke barat. Suara lakban yang ditarik panjang, sreeet! terdengar mendominasi ruang tengah posko. Kardus-kardus mie instan bekas kini sudah terisi penuh dengan baju-baju kotor dan oleh-oleh kerupuk desa. Masa KKN mereka resmi berakhir sore ini. Bus jemputan akan datang satu jam lagi. ​Soraya berdiri di dapur yang berantakan. Tangannya sibuk mengaduk sayur asem di panci besar, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ini adalah masakan terakhirnya untuk teman-teman, dan khusus untuk Gilang. Dia tahu Gilang suka sayur asem buatannya yang pedas manis. ​"Baunya enak banget, Ya," komentar Rio yang lewat sambil memanggul ransel gunungnya. "Lo emang calon istri idaman. Pinter masak, cantik, pinter di ranjang... eh maksud gue, pinter di kampus." ​Rio tertawa garing atas keseleo lidahnya sendiri. ​Tangan Soraya terhenti sejenak. Sendok sayur di tangannya gemetar. Kata 'ranjang' itu membuat perutnya mual. Dia melirik ke arah ruang tengah, tempat Gilang sedang melipat

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 4: Kopi Pahit di Posko

    ​Aroma kopi bubuk murah dan nasi uduk yang baru matang menguar di udara, bercampur dengan bau obat nyamuk bakar sisa semalam. Di teras rumah Pak Lurah yang dijadikan posko KKN, kehidupan berjalan normal. Terlalu normal, sampai rasanya memuakkan bagi Soraya. ​Dia berdiri di ambang pintu dapur, memegang gelas plastik kosong dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Di sana, di meja kayu panjang itu, teman-temannya sedang sarapan. Suara tawa mereka terdengar seperti kaset rusak di telinga Soraya. ​"Eh, Tuan Putri udah bangun," celetuk Bagas, ketua kelompok mereka, sambil mengunyah kerupuk. Mulutnya penuh nasi uduk. "Gila lo, Ya. Semalam gue cariin buat rekap absen, lo ngilang kayak ditelan bumi. Tidur di mana lo?" ​Soraya memaksakan senyum. Senyum yang terasa kaku, seolah kulit wajahnya terbuat dari plastik murahan. ​"Gue... gue di posko kesehatan desa, Gas," jawab Soraya pelan. Dia berjalan mendekat, menarik kursi plastik dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi gesekan. Selang

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 3: Matahari Pagi yang Menusuk

    ​Hujan sudah benar-benar berhenti, menyisakan kabut tipis yang menggantung di udara Desa Kalisari. Namun bagi Soraya, udara pagi yang harusnya segar itu terasa seperti racun yang menusuk paru-paru. ​Dia berjalan tertatih keluar dari pintu belakang hotel, langkahnya lebar-lebar untuk menahan perih di pangkal pahanya. Jeans ketat yang dipakainya terasa seperti amplas yang menggesek kulit sensitifnya yang bengkak. ​Di balik tembok pagar hotel yang berlumut, sebuah mobil sedan hitam sudah menunggu. Mesinnya menyala halus. Kaca jendela depan turun setengah, memperlihatkan wajah Pak Yanto, sopir pribadi Subagyo yang setia dan tahu segalanya. ​Soraya membuka pintu belakang dan menghempaskan tubuhnya ke jok kulit yang dingin. ​"Sudah beres, Neng?" tanya Pak Yanto tanpa menoleh, matanya fokus ke spion tengah, menatap Soraya yang berantakan. ​Soraya tidak langsung menjawab. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela. "Jalan, Pak. Tolong cepat." ​"Bapak kayaknya puas banget ya malam ini," celet

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   BAB 2: Hujan yang Tak Kunjung Reda

    ​​Suara teriakan Gilang menghilang, digantikan oleh bunyi hujan yang menghantam atap seng hotel. Di dalam kamar nomor lima, hanya tersisa suara napas berat Dr. Subagyo dan isak tangis Soraya yang tertahan. ​Soraya menarik selimut tipis itu sampai ke dagu. Tubuhnya gemetar di pojok kasur. ​Subagyo menggeser kursi kayu untuk mengganjal pintu yang kuncinya sudah rusak. Dia berbalik, matanya tidak menyiratkan rasa bersalah sedikitpun. Justru, ada kilatan gairah yang makin menyala melihat Soraya ketakutan seperti itu. ​"Sudah nangisnya?" tanya Subagyo dingin. Dia berjalan mendekat ke ranjang. ​"Bapak... Tuan..." suara Soraya pecah. "Tolong... biarkan saya pulang. Gilang sudah tahu... saya takut..." ​Subagyo tertawa pendek. "Pulang? Kamu pikir ini taman kanak-kanak? Kamu pikir setelah pacar miskinmu itu bikin keributan, kamu bisa kabur begitu saja?" ​Subagyo naik ke atas kasur. Ranjang tua itu berdecit nyaring. Dia menarik selimut yang menutupi tubuh Soraya dengan sekali sentakan kasa

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 1: Desah Tertahan di Kamar Nomor Lima

    ​Sisa hujan sore tadi membuat udara jadi lembap, bercampur dengan bau tanah basah. Di posko KKN desa Kalisari, teman-teman Soraya masih asyik tertawa-tawa sambil membakar jagung dan main gitar. Tapi Soraya tidak bisa ikut tertawa. Dia merasa terasing di tengah keramaian.​Ponsel di saku celana jeansnya bergetar panjang. Jantung Soraya langsung tersentak. Dia hafal getaran itu. Itu bukan notifikasi grup chat atau pesan dari Gilang. Itu panggilan "tugas".​Soraya mengecek layar HPnya dengan tangan dingin. Pesan dari nomor tanpa nama. Isinya singkat, tapi cukup membuat lututnya lemas.​"Di ujung gang gelap dekat balai desa. Sekarang. Jangan pakai lama, aku tunggu kehadiranmu sayang."​Soraya menelan ludah yang terasa pahit. Dia memasukkan hp kembali ke saku, lalu menoleh ke arah Siska yang sedang sibuk mengoles bumbu jagung.​"Sis, gue ke warung depan bentar ya. Mau beli obat sakit kepala, pusing banget nih," bohong Soraya. Suaranya terdengar serak.​"Jangan lama-lama, Ya! Nanti jagungny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status