Share

​BAB 7: Kamu Bau Dia

Author: Tinta Senyap
last update Last Updated: 2025-12-09 21:34:48

​Bus pariwisata itu tersentak hebat saat sopir menginjak rem mendadak dan membanting stir, karena ada motor yang menyalip sembarangan di pintu keluar tol Jakarta. Ciiit!

​Guncangan itu melempar tubuh-tubuh yang lelah di dalamnya. Di kursi paling belakang, Soraya yang sedang melamun tidak siap. Tubuhnya terpelanting ke samping, menabrak bahu Gilang dengan keras. Wajahnya terbenam sesaat di ceruk leher Gilang, dan rambut panjangnya yang tergerai menyapu wajah pria itu.

​Untuk sepersekian detik, posisi mereka intim. Seperti sepasang kekasih yang saling mencari sandaran.

​Tapi reaksi Gilang sangat cepat dan menyakitkan.

​Dia mendorong bahu Soraya menjauh seolah baru saja ketumpahan air panas. Napasnya tercekat, lalu dia terbatuk-batuk keras sambil menutup hidung dan mulutnya dengan telapak tangan. Wajahnya memerah, matanya berair, seperti orang yang menahan muntah.

​"Ugh... Minggir!" erang Gilang tertahan.

​Soraya yang kaget langsung memperbaiki posisi duduknya, memegang sandaran kursi depan dengan panik. "Maaf... rem mendadak tadi..."

​Gilang tidak menjawab. Dia masih menutup hidungnya rapat-rapat, dadanya naik turun menahan mual. Dia menatap Soraya dengan pandangan horor, seolah Soraya adalah sumber bau busuk yang paling menyengat di dunia.

​"Kenapa, Lang? Kamu mabuk darat?" tanya Soraya khawatir. Dia refleks ingin memijat tengkuk Gilang, kebiasaan lamanya jika Gilang mual di perjalanan.

​"JANGAN SENTUH!" bentak Gilang. Suaranya pecah dan serak.

​Beberapa teman di kursi depan menoleh sebentar, tapi kembali cuek karena mengira Gilang hanya mabuk perjalanan biasa.

​Gilang menurunkan tangannya perlahan, tapi wajahnya masih menyiratkan rasa jijik yang mendalam. Dia menatap rambut Soraya, lalu menatap mata gadis itu tajam.

​"Lo..." Gilang menelan ludah susah payah. "Lo belum keramas?"

​Soraya tertegun. Pertanyaan itu terdengar aneh di situasi seperti ini. Dia menyentuh rambutnya sendiri yang terasa lepek.

​"Belum... kan tadi buru-buru diusir dari hotel... eh, maksudku buru-buru balik ke posko," Soraya meralat ucapannya dengan gugup. "Emang kenapa? Rambutku bau apek ya?"

​Gilang tertawa. Tawa yang kering, hampa, dan menyakitkan.

​"Apek?" ulang Gilang sinis. "Kalau cuma apek keringat lo, gue masih bisa tahan, Ya. Gue udah hafal bau keringat lo dari jaman kita lari pagi bareng. Tapi ini..."

​Gilang mendekatkan wajahnya sedikit, mengendus udara di antara mereka dengan ekspresi mengejek.

​"...Ini bukan bau lo."

​Jantung Soraya berhenti berdetak.

​"Maksud kamu?" cicit Soraya.

​"Bau rokok mahal," bisik Gilang, matanya mengunci manik mata Soraya. "Marlboro merah. Impor. Tajam banget. Dan ada bau lain... parfum bapak-bapak. Musk yang berat. Bau orang tua."

​Wajah Soraya pucat pasi. Dia tahu bau itu. Itu bau tubuh Subagyo. Bau yang menempel saat pria tua itu menindihnya, memeluknya, dan mengelus kepalanya saat mereka bergumul di ranjang. Bau itu meresap ke pori-pori kulit dan helai rambutnya.

​Soraya buru-buru mengikat rambutnya, mencoba menyembunyikan aroma itu.

​"Perasaan kamu aja kali, Lang. Di sini kan banyak yang ngerokok," elak Soraya lemah.

​"Nggak ada mahasiswa di sini yang mampu beli rokok semahal itu, Soraya," potong Gilang cepat. "Dan nggak ada yang pakai parfum se-menyengat itu selain..." Gilang menggantung kalimatnya, tapi matanya bicara jelas: Selain selingkuhan tuamu.

​"Gue mau muntah," lanjut Gilang jujur. "Sumpah. Bau lo bikin perut gue mual. Lo bau dosa."

​"Lang, stop..." Soraya memohon, matanya berkaca-kaca. "Jangan ngomong gitu di sini."

​"Kenapa? Takut kedengeran yang lain?" tantang Gilang. "Lo harusnya mikir itu sebelum ngebiarin dia nempelin baunya ke badan lo. Lo nggak mandi habis 'main' sama dia? Atau lo sengaja simpan baunya buat kenang-kenangan?"

​"Aku mandi!" sergah Soraya berbisik tajam. "Aku gosok badan aku sampai perih! Tapi baunya nggak mau hilang! Aku juga benci bau ini, Lang! Aku benci!"

​"Kalau lo benci, kenapa lo lakuin?" skakmat Gilang.

​Soraya terdiam. Mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar.

​"Tuh kan," Gilang menyandarkan punggungnya lagi, menjauh sejauh mungkin ke arah jendela. "Lo nggak punya jawaban. Karena sebenarnya lo menikmati. Lo menikmati fasilitasnya, uangnya, dan... baunya."

​"Demi Tuhan, enggak!"

​"Ssttt!" Gilang menempelkan telunjuk di bibir. "Diem. Tiap lo ngomong, bau napas dia kecium juga dari mulut lo. Lo ciuman sama dia kan? Pakai lidah?"

​Pertanyaan itu vulgar, kotor, dan langsung menusuk ulu hati. Soraya merasa ditelanjangi di tempat umum. Dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan tangan, menahan isak tangis yang mau meledak.

​Bayangan bibir basah Subagyo yang melumat bibirnya kembali muncul. Rasa tembakau di lidah pria tua itu. Soraya mual. Dia benar-benar mual sekarang.

​"Huek..." Soraya membekap mulutnya, perutnya bergejolak.

​"Jangan muntah di sini," kata Gilang dingin, tanpa simpati sedikitpun. "Telen aja. Kayak lo nelen punya dia."

​PLAK!

​Tanpa sadar, tangan Soraya melayang menampar lengan Gilang. Tidak keras, karena tenaganya sudah habis, tapi cukup untuk membuat Gilang menoleh kaget.

​"Kamu jahat, Lang," bisik Soraya, air matanya jatuh satu per satu. "Kamu boleh marah. Kamu boleh benci. Tapi jangan rendahkan aku sampai segininya. Aku lakuin ini buat Ibu. Buat Ibu, Lang!"

​Gilang menatap bekas pukulan di lengannya, lalu menatap Soraya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada luka yang sangat dalam di sana, tertutup oleh lapisan amarah yang tebal.

​"Justru karena gue tau lo lakuin buat Ibu..." suara Gilang merendah, terdengar putus asa. "Itu yang bikin gue makin hancur, Ya. Lo korbanin diri lo buat hal mulia, tapi caranya hina. Lo bikin gue bingung. Gue harus kasihan atau harus jijik? Dan sekarang... tiap gue liat muka lo, gue nggak liat Soraya pacar gue. Gue liat..."

​"Liat apa?" tanya Soraya lirih.

​"Gue liat sisa-sisa dia," jawab Gilang telak. "Di rambut lo, di leher lo, di bibir lo. Semuanya bekas dia. Nggak ada lagi yang punya gue. Nggak ada."

​Bus mulai berbelok masuk ke area parkir kampus. Lampu-lampu gedung fakultas terlihat di kejauhan. Perjalanan neraka ini hampir berakhir.

​"Kita putus kan, Lang?" tanya Soraya tiba-tiba. Pertanyaan yang sebenarnya dia sudah tahu jawabannya, tapi butuh validasi verbal.

​Gilang tidak menjawab langsung. Dia mulai membereskan tasnya.

​"Kita nggak perlu kata putus, Ya," kata Gilang sambil berdiri saat bus berhenti sempurna. Dia menatap Soraya dari ketinggian. "Hubungan kita udah mati barengan sama matinya harga diri lo di kamar itu."

​"Tapi kita masih bisa temenan kan? Setidaknya... jangan anggap aku musuh," Soraya mengemis sedikit belas kasih.

​Gilang tertawa pelan. "Temenan?"

​Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Soraya untuk terakhir kalinya.

​"Gue nggak temenan sama pelacur. Takut ketularan penyakit."

​Setelah mengucapkan kalimat pemungkas itu, Gilang melangkah ke lorong bus, berdesak-desakan dengan mahasiswa lain yang berebut turun.

​Soraya terpaku di kursinya. Tubuhnya kaku. Kata 'penyakit' terngiang-ngiang di kepalanya.

​Di sekitarnya, teman-temannya mulai berdiri. Siska menepuk bahu Soraya.

​"Woy, Ya! Bengong aja. Turun yuk, udah nyampe nih. Pegel banget pantat gue duduk lima jam."

​Soraya menoleh ke Siska dengan tatapan kosong.

​"Duluan aja, Sis. Gue... gue mau rapiin barang bentar," elak Soraya.

​Dia menunggu sampai bus sepi. Dia tidak sanggup berjalan di belakang Gilang. Dia butuh waktu untuk menata kepingan hatinya yang baru saja diinjak-injak sampai jadi debu.

​Soraya mengambil tasnya. Dia berdiri, lalu hidungnya tanpa sengaja mencium aroma rambutnya sendiri yang jatuh ke bahu.

​Benar kata Gilang.

​Bau itu ada. Bau tembakau mahal. Bau parfum maskulin yang berat. Bau musk orang tua. Bau Subagyo.

​Bau itu menempel erat seperti parasit.

​Soraya merasa ingin menguliti kulit kepalanya sendiri saat itu juga. Dia mengambil parfum murah dari dalam tasnya, parfum vanilla manis yang dulu Gilang belikan saat ulang tahun dan menyemprotkannya gila-gilaan ke rambut, leher, dan bajunya.

​Crooot! Crooot! Crooot!

​Dia menyemprot sampai botolnya nyaris habis, sampai dia batuk-batuk karena baunya terlalu menyengat. Dia berusaha menutupi bau dosa itu dengan bau kenangan manis masa lalu.

​Tapi percuma.

​Di bawah aroma vanilla yang manis, bau anyir pengkhianatan itu tetap tercium samar. Seperti bangkai yang ditaburi bunga melati.

​"Aku kotor..." isak Soraya sendirian di dalam bus yang kosong. "Aku kotor banget..."

​"Mbak? Nggak turun?" Sopir bus berteriak dari depan, membuyarkan tangisannya. "Mau dikunci nih pintunya."

​Soraya buru-buru menghapus air matanya. "I-iya, Pak. Maaf."

​Dia berjalan menuruni tangga bus. Udara malam Jakarta menyambutnya. Panas, berdebu, dan bising. Di parkiran, dia melihat Gilang sudah naik ojek online, melesat pergi tanpa menoleh sedikitpun ke belakang.

​Soraya berdiri sendirian di trotoar kampus dengan tas besar di punggungnya. Dompetnya tebal berisi lima juta rupiah, tapi dia merasa seperti orang paling miskin di dunia. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.

​HP-nya bergetar. Pesan masuk.

​Dari: Pak Dekan Subagyo

​"Sudah sampai Jakarta, Sayang? Jangan lupa mandi lagi yang bersih. Besok pagi ke ruangan saya. Ada 'hadiah' kecil buat kamu karena servis memuaskan semalam."

​Soraya menatap layar HP itu dengan tangan gemetar. Dia ingin membantingnya. Tapi dia ingat ibunya. Dia ingat jadwal cuci darah besok.

​Dengan jari gemetar, dia mengetik balasan.

​"Baik, Pak. Terima kasih."

​Soraya memasukkan HP ke saku, lalu menyetop taksi. Dia harus pulang. Dia harus kembali menjalani perannya sebagai anak berbakti, sambil menyembunyikan bangkai jiwanya di dalam lemari yang paling gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 29: Gosip yang Terbeli

    ​Pagi itu, koridor Fakultas Ekonomi terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah kaki Soraya di lantai keramik yang mengkilap diiringi oleh suara bisik-bisik yang mendesis seperti ular.​Soraya mengenakan gaun baru yang dia beli kemarin sore, gaun midi berwarna biru navy yang elegan, dipadukan dengan blazer putih. Dia terlihat seperti wanita karir sukses, atau... seperti istri muda pejabat. Penampilannya sangat kontras dengan mahasiswa lain yang rata-rata memakai kemeja flanel, kaos, atau jaket almamater lusuh.​Dia berjalan tegak, pandangannya lurus ke depan. Di tangannya, dia mendekap buku diktat statistik Brata erat-erat di dada, seolah buku itu adalah perisai yang bisa melindunginya dari tatapan tajam orang-orang.​"Itu tuh orangnya..."​"Gila, beneran beda banget ya sekarang. Dulu kucel naik angkot, sekarang..."​"Katanya kemarin dia bawa mobil sport merah. Masuk parkiran mal kayak artis."​"Duit dari mana coba? Bapaknya kan meninggal ninggalin utang?"​"Ya taulah... 'kerja

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 27: Di Balik Kaca Film Gelap

    ​Mesin mobil sport merah marun itu menderum halus saat Soraya menginjak pedal gasnya perlahan. Berbeda dengan angkot yang biasa dia tumpangi yang berisik dan panas, kabin mobil Dosen Rian ini kedap suara dan sejuk. Aroma kulit jok yang mahal bercampur dengan pewangi citrus khas Rian memenuhi udara, menciptakan ilusi kemewahan yang memabukkan.​Soraya menyetir membelah jalanan Margonda yang macet parah sore itu. Di dashboard, tergeletak sebuah kartu hitam, black card yang Rian berikan tadi.​"Habiskan limitnya kalau perlu. Beli baju bagus. Ke salon. Makan enak. Lupakan kemiskinan kamu sejenak."​Itu perintah Rian.​Soraya melirik kartu itu. Dia bisa saja membelokkan setir ke mal terdekat, membeli tas seharga motor, atau makan steak seharga gajinya sebulan. Tapi anehnya, perutnya tidak lapar dan hatinya tidak menginginkan barang-barang itu. Fasilitas ini... rasanya hampa. Seperti memegang emas di tengah gurun pasir saat yang kamu butuhkan hanyalah seteguk air.​"Apa gunanya mobil bagus

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 26: Sisa Wangi Pinus

    ​Minggu sore itu, Puncak Pass kembali diguyur hujan gerimis. Di dalam mobil Jeep Rubicon milik Dosen Brata yang melaju menuruni bukit, keheningan terasa tebal dan kaku. ​Soraya duduk di kursi penumpang, memandang pepohonan pinus yang bergerak mundur di balik kaca jendela. Dia mengenakan kembali pakaian "sopan" yang dibawanya: kemeja flanel dan celana jeans. Gaun merah dan pakaian minim lainnya sudah terlipat rapi di dalam koper di bagasi, seolah menjadi kostum panggung yang disimpan setelah pertunjukan selesai. ​"Saya turunkan kamu di rest area Cibubur," suara Brata memecah kesunyian. Matanya tetap fokus ke jalanan yang licin. "Dari sana kamu bisa pesan taksi online. Saya tidak mau mobil saya terlihat masuk ke gang rumahmu. Terlalu mencolok." ​"Baik, Pak," jawab Soraya pelan. "Kamu belajar cepat. Bagus. Nilai E di portal akademik sudah saya ubah jadi A-min. Kenapa min? Karena mental kamu masih perlu diperbaiki." ​"Terima kasih, Pak." ​Mobil berhenti di rest area. Soraya turun,

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 25: Hipotesis Yang Terbantahkan

    ​Jam dinding berdentang dua belas kali. Tengah hari.​Di luar, matahari bersinar terik, membakar kabut sisa pagi hingga tak berbekas. Namun di dalam ruang tengah villa yang luas itu, suasana terasa beku.​Soraya duduk bersimpuh di lantai karpet, dikelilingi tumpukan kertas buram yang penuh dengan coretan rumus. Rambutnya yang tadi pagi diikat rapi kini sudah sedikit berantakan, beberapa helai jatuh menutupi wajahnya yang serius. Dia menggigit ujung pulpennya, keningnya berkerut dalam, mencoba memecahkan soal Uji Hipotesis Dua Arah yang diberikan Brata.​Dosen Brata duduk di sofa tepat di belakangnya. Dia sudah mengganti pakaian larinya dengan kemeja kasual yang lengan bajunya digulung rapi. Di tangannya ada sebuah buku tebal berbahasa Inggris, tapi matanya lebih sering melirik ke arah punggung Soraya daripada ke halaman buku.​"Lima menit lagi," suara Brata memecah keheningan. Datar, tapi menekan.​Soraya tersentak. "Sebentar, Pak. Ini nilai hitungannya koma-komaan. Susah."​"Hidup it

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 24: Kerikil Tajam di Jalan Mendaki

    ​Alarm di ponsel Soraya bergetar tepat pukul 04.45 pagi. ​Tidak ada tombol snooze. Soraya langsung melompat turun dari kasur seolah ada pegas yang melontarkannya. Jantungnya berpacu, bukan karena semangat pagi, tapi karena takut. Di rumah ini, keterlambatan satu detik adalah dosa besar. ​Dia membasuh wajahnya dengan air keran yang sedingin es, membuat matanya yang masih lengket langsung terbuka lebar. Dia mengenakan setelan training panjang yang dia bawa, satu-satunya pakaian sporty yang dia miliki lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi. ​Saat dia membuka pintu kamar tamu dan melangkah ke teras depan, kabut masih sangat tebal. Jarak pandang tidak lebih dari lima meter. Udara Puncak yang menusuk tulang langsung menembus jaket tipisnya. ​Dosen Brata sudah ada di sana. ​Dia sedang melakukan peregangan di halaman rumput yang basah oleh embun. Dia mengenakan kaos lari lengan panjang ketat yang memperlihatkan postur tubuhnya yang tegap dan celana lari hitam. Sepatu larinya terlihat

  • Sentuhan Pak Dosen: Harga Sebuah IPK   ​BAB 23: Sup Hangat di Meja Dingin

    ​Air dingin membasuh wajah Soraya, melunturkan sisa-sisa bedak tebal dan lipstik merah yang tadi menjadi topengnya. Di wastafel porselen putih itu, air keruh berwarna kecokelatan mengalir berputar menuju lubang pembuangan, membawa serta citra "wanita penggoda" yang dipaksakan Brata. ​Soraya mengangkat wajahnya, menatap cermin. ​Wajah aslinya terlihat pucat. Ada lingkar hitam di bawah mata yang tidak bisa disembunyikan lagi. Tanpa make-up, dia terlihat jauh lebih muda, lebih rapuh, dan... lebih polos. Seperti anak SMA yang tersesat di dunia orang dewasa. ​Dia sudah mengganti gaun satin merah itu dengan setelan piyama panjang berbahan katun motif kotak-kotak. Baju yang sangat biasa, tidak seksi, bahkan cenderung kedodoran. Tapi anehnya, Soraya merasa lebih telanjang sekarang daripada saat memakai gaun itu. Karena sekarang, tidak ada lagi lapisan kepalsuan yang melindunginya. ​"Udah, Soraya. Jangan nangis lagi. Mata kamu udah bengkak," bisiknya menguatkan diri. ​Dia menghela n

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status