LOGINAlan langsung menoleh. Wajahnya seketika berubah gelagapan, seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu. Ia buru-buru memutus panggilan itu, memasukkan ponselnya kembali ke saku, lalu melangkah cepat menghampiri Raisa seolah tak ada yang terjadi.“Nggak ada apa-apa,” ujarnya sambil memasang senyum tipis yang terlalu dipaksakan.Raisa mengerutkan dahinya. Tatapannya penuh curiga. Ia jelas tak percaya begitu saja. Tadi ia mendengar dengan jelas namanya disebut. Pasti ada masalah, dan besar kemungkinan masalah itu ada hubungannya dengan dirinya. Tapi dengan ingatan yang belum pulih sepenuhnya, Raisa memilih menahan diri. Bertanya terlalu jauh justru bisa memperkeruh keadaan.Ia akhirnya hanya mengangguk pelan. “Oh… gitu. Umm… kamu masih mau di sini? Atau mau pulang?”Alan melihat jam di pergelangan tangannya. “Kayaknya aku pulang aja deh. Lagian toko kamu juga sebentar lagi tutup, kan?”Raisa ikut mengangguk. “Iya, bentar lagi tutup.”“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu.”
Saat kesadarannya mulai kembali, Raisa refleks mendorong tubuh Alan agar tidak terlalu dekat. “Menjauh… jangan terlalu dekat,” ujarnya sambil menggeser duduknya menjauh.Wajah Alan seketika tampak kecewa. “Maaf…” ucapnya lirih, disertai senyum miris. “Kalau begitu… mau aku lanjutkan ceritanya atau tidak?” tanyanya, sama sekali tidak memaksa bila Raisa tidak ingin mendengarnya lagi.Mungkin lain kali ia akan mencoba lagi. jika Raisa tak mau mendengarnya lagi. apalagi kondisi Raisa sekarang sepertinya sedang kurang sehat..Raisa hanya terdiam. Tatapannya terarah pada Alan dengan intens, menyimpan rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun ada ketakutan lain yang membayangi—kepalanya sering berdenyut setiap kali ia memaksa diri untuk mengingat sesuatu.Dokter bilang lupa ingatannya tidak permanen. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun kenangan yang kembali. Ia sudah mengonsumsi obat sesuai anjuran, berharap ingatannya pulih lebih cepat, tapi anehnya, semakin ia berusaha meng
Alan tiba di depan Toko Raisa. Tanpa ragu, ia melangkah masuk. Hal pertama yang menyambutnya adalah Raisa, berdiri di balik meja kasir, melayani pelanggan dengan senyum yang hangat dan menawan.Senyum itu... sudah lama sekali Alan tidak melihatnya. Tanpa sadar, sebuah senyum tipis ikut merekah di bibirnya. Senyum Raisa begitu indah dan murni hingga sekali lagi, Alan merasakan debaran hangat yang tak asing di dadanya.Melihat Raisa tersenyum bahagia sungguh melegakan. Itu adalah bukti bahwa selama masa menghilangnya, wanita itu baik-baik saja. Sebuah rasa syukur yang mendalam menyelimuti hati Alan.Setelah pembeli terakhir keluar, Alan melangkah pelan mendekati Raisa."Hai..." sapa Alan pelan, disertai senyum manis yang tulus.Raisa tersentak kaget. Ekspresi terkejut jelas terpancar di wajahnya melihat Alan kini berdiri tepat di hadapannya."Ke-kenapa kau di sini? Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanya Raisa bertubi-tubi, nada suaranya sedikit meninggi. "Jangan-jangan... kau mengun
Sesuai jadwalnya, hari ini Alan sudah ada janji meeting penting dengan para investor. Pagi itu, ia tampak sudah sangat rapi. Kemeja warna biru muda berpadu sempurna dengan jas hitam yang melekat di badan tegapnya, menonjolkan aura kesuksesan. Tak lupa, jam tangan bermerek yang melingkar apik di pergelangan tangannya menambah kesan elegan.Kring. Kring.Tepat sebelum keluar dari kamarnya, tiba-tiba Alan mendengar panggilan masuk di ponselnya. Ia cepat-cepat meraihnya, melihat nama Rain di layar.“Halo, gimana lo udah selesai penyidikan, dapat bukti nggak?” tanya Alan to the point, jantungnya sudah berdebar tak sabar.“Iya, ternyata besok hari setelah kecelakaan itu, ada sepasang suami istri yang datang ke rumah sakit di daerah di mana kecelakaan itu terjadi,” jawab Rain dari ujung telepon. “Mereka membawa seorang wanita yang terlibat kecelakaan. Menurut keterangan dokter yang menanganinya, wanita itu mengalami hilang ingatan karena benturan keras di kepalanya.”Deg!Jantung Alan berdet
“Pak!”Sisil mengejar Alan dari belakang. Ia berhenti di samping Alan, membungkuk dengan tangan bertumpu pada lutut, dan napasnya memburu.“Bapak kenapa lari?” tanyanya, masih berusaha mengatur napas. “Katanya mau makan?”Alan tidak menjawab. Pandangannya terpaku lurus ke depan. Ia mematung di tengah jalan, tak peduli dengan suara klakson mobil yang berbunyi keras dan suara orang yang menyuruhnya minggir. Alan masih berharap Raisa akan kembali.“Awas, Pak!” teriak Sisil.Sisil dengan cepat menarik tangan Alan ke pinggir jalan. Mereka nyaris saja ditabrak oleh pengendara motor yang melaju kencang dan langsung mengumpat ke arah mereka.Sisil menarik napas lega. Ia menatap Alan dengan campuran kekhawatiran dan kejengkelan.“Bapak sadar tidak, kita hampir celaka?!” Sisil menegakkan tubuh. “Kenapa Bapak di tengah jalan begini?”“Dia meninggalkan saya lagi…” Alan tersungkur, berjongkok di pinggir jalan sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan mulai terisakWajah Sisil tampak sangat
Raisa mengerutkan dahinya, tatapannya lekat pada pria yang kini berdiri di hadapannya dengan senyum yang kelewat lebar, terkesan bodoh atau mungkin gila.“Maaf, Mas, siapa, ya?” tanya Raisa, suaranya mengandung nada curiga sekaligus kebingungan. Ia sama sekali tidak mengenali pria itu, dan kenapa ia memanggil dirinya dengan nama Raisa.Tunggu dulu.Pikirannya langsung tertuju pada pesan aneh yang ia terima beberapa jam lalu. Jangan-jangan, pria ini yang mengirimnya?“Mas—”Belum sempat Raisa melanjutkan ucapannya, semuanya terjadi begitu cepat. Pria itu tanpa peringatan langsung menerjang dan memeluknya erat, menumpahkan semua beban tubuhnya. Raisa tercekat, rasa syok seketika membekukan dirinya di tempat.“Kamu ke mana aja, Sa?” bisik pria itu di dekat telinganya, suaranya serak dan bergetar hebat. Ia menangis sesenggukan, menumpukan dagunya di atas bahu Raisa. “Kenapa enggak ngabarin saya? Saya udah cari kamu ke mana-mana.”Raisa membeku. Ia ingin sekali mendorong tubuh asing yang m







