LOGINSetelah mengetahui Aldi membawa Eliza pergi, Kevin yang merasa gelisah memutuskan untuk pergi ke lorong VVIP. Ia tidak bisa tenang dan terus menimbang apakah sebaiknya ia menghampiri ke sana atau tidak.
Begitu melihat Eliza keluar dari ruangan dengan rambut berantakan dan berlari dengan tertatih-tatih, Kevin langsung berlari menghampirinya dan menangkap tubuh Eliza yang hampir saja terjerembab ke lantai.
"Eliza? Eliza!" panggil Kevin melihat Eliza sudah tak sadarkan diri.
Kevin membuka blazer yang dia pakai lalu membungkus tubuh Eliza yang terekspos, lalu mengangkatnya ala bridal.
Aldi yang baru tiba dan melihat Kevin mengangkat Eliza langsung menyerangnya.
"Lo mau bawa Eliza ke mana?!" teriak Aldi.
Namun, Kevin tidak mengindahkan dan berjalan ke arah sofa.
"Kevin!!!" teriak Aldi murka karena Kevin ikut campur dengan urusannya.
Kini mereka menjadi tontonan di dalam club.
Leon dan Rikki yang baru tiba belum paham dengan situasi yang ada.
Kevin tetap berjalan dan menaruh tubuh Eliza di atas sofa. Lalu menutup kembali tubuhnya dengan blazer.
"Leon tolong jaga Eliza!" seru Kevin penuh amarah ke arah Leon.
"Kev—" Leon menahan bahu Kevin.
"Minggir!" sentak Kevin, membuat Leon segera melepas tangannya.
Kevin maju ke arah Aldi dengan aura membunuh.
Bugh!
Kevin memberikan pukulan ke wajah Aldi hingga membuat pria itu terjengkang. Namun, pukulannya tidak berhenti. Ia terus melayangkan bogem sambil memaki sahabatnya dengan membabi buta.
"Brengsek!"
Aldi tidak tinggal diam. Ia membalas pukulan Kevin. Baku hantam antara sahabat itu pun tak terhindarkan.
Keadaan menjadi kacau. Leon dan Rikki segera maju untuk melerai mereka.
Wajah Aldi sudah memar parah dan tidak berdaya.
"Udah, Kev, cukup! Lo mau bunuh dia?!" teriak Leon, berusaha menghentikan Kevin.
"Minggir! Manusia biadab ini harus gue kasih pelajaran!" kata Kevin tidak mengindahkan. Ia menyentak tangan Leon, hendak menerjang Aldi yang sudah babak belur.
"Ingat kondisi Eliza, Kev!" Leon tidak menyerah.
Nama itu seolah menarik kesadaran Kevin dalam sekejap. "Di mana Eliza?"
"Eliza di sana. Pulanglah. Di sini biar gue dan Rikki yang mengurusnya," ucap Leon menenangkan Kevin.
Napas Kevin tersengal. Buku-buku jarinya terasa kebas setelah menghantam Aldi. Kevin pun langsung menurunkan tangannya dan mendorong tubuh Aldi, lalu segera melangkah ke tempat Eliza.
Kevin dengan hati-hati mengangkat tubuh Eliza ala bridal, membawanya ke parkiran mobil.
Setelah memastikan Eliza duduk nyaman di kursi penumpang, Kevin melajukan mobil ke arah apartemennya. Sedangkan keadaan Eliza yang masih belum sadarkan diri menambah kekhawatiran Kevin.
"Sial!" maki Kevin dan memukul stir mobil. Dia sungguh menyesal karena membiarkan hal ini terjadi. Kalau saja ia lebih cepat, Eliza pasti akan baik-baik saja.
Tak lama, mereka tiba di apartemen milik Kevin.
Pria itu meletakkan Eliza di atas ranjang.
"Eli... Eli..." panggil Kevin sambil mengusap wajah Eliza yang pucat.
“Hmm...” gumam Eliza serak.
"Kamu baik-baik aja?"
"Panas banget, Kak..." keluh Eliza dengan napas terengah.
"Tunggu, aku ambil remot AC." Kevin lalu menaikkan suhu dingin AC sampai maksimal.
"Pa-panas, Kak Kev... Haus..."
Kevin segera mengambil gelas yang ada di nakas lalu memberikannya ke Eliza.
"Minumlah." Kevin membantu Eliza duduk dan minum. Namun tanpa diduga, seketika darah mereka berdesir saat kulit mereka saling bersentuhan.
Kevin berusaha mengontrol gairahnya. Sebenarnya dari tadi Kevin merasa sangat gerah. Tapi ia berusaha menekannya.
Kevin mengembalikan Eliza ke posisi nyaman. "Istirahatlah di sini. Aku akan menelpon Angel, agar dia bisa memberikan kabar ke Papa dan Mama kamu, bagaimana?” tanya Kevin, dan Eliza hanya mengangguk lemah.
Kevin mengambil ponselnya dan menelpon Angel.
Setelah selesai, Kevin menuju kamar mandi luar untuk membersihkan diri dan mendinginkan tubuhnya.
Dia tahu ada yang tidak beres pada tubuhnya. Tadi ia pikir tubuhnya panas karena amarahnya pada Aldi. Tapi saat ia bersentuhan dengan Eliza, akhirnya ia paham apa yang menyebabkan hal itu terjadi.
Setelah selesai membersihkan diri, Kevin kembali ke kamar.
Betapa terkejutnya dia menemukan pakaian dan dalaman Eliza berserakan di lantai.
"Eliza?" Kevin mencari sosok Eliza yang tidak ada di dalam kamar. "Eliza kamu di mana?"
Namun tak ada suara.
Tiba-tiba Kevin mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
"Eliza kamu di dalam?" tanya Kevin setelah mengetuk pintu. “Kamu baik-baik aja?”
"I-iya, Kak… Eli sangat kegerahan, biarkan Eli berendam sebentar, Kak..." jawab Eliza dengan suara yang terdengar lemah.
"Oke. Aku akan menyiapkan pakaian ganti untukmu."
Kevin kemudian berjalan ke arah walk in closet. Tapi sebelumnya dia memungut pakaian dan dalaman milik Eliza, dan meletakkannya di atas nakas.
Pria tampan itu mengambil baju kaos putih polos dan celana training untuk dipakai Eliza.
Setelah semua siap, Kevin memilih duduk di sofa di sudut ruangan kamar menunggu Eliza dengan gelisah.
10 menit…
15 menit…
30 menit berlalu, tapi Eliza tidak juga keluar.
"Ini sudah terlalu lama!" gumam Kevin dan bangun dari duduknya.
"Eliza?" panggil Kevin. Tak ada suara. Dia mengetuk pintu berkali-kali.
"Eliza?!" Kevin menaikkan suaranya. "Keluarlah, kamu sudah terlalu lama Eli, nanti kamu sakit," serunya dari balik pintu.
"Kak... Kevinnn..." Suara Eliza bergetar ketika memanggilnya.
"Eliza, kamu baik-baik aja?" Kevin mulai panik, namun ragu untuk masuk.
"Kak...!"
Mendengar teriakan itu, Kevin dengan terpaksa membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.
"Astaga, Eli!" teriak Kevin melihat Eliza sedang menggigil kedinginan. Bibirnya sudah begitu pucat.
Kevin sudah tak dapat berpikir apa-apa lagi. Dengan cepat dia mengangkat tubuh Eliza dari bathtub lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
Kevin membawanya ke tempat tidur, membaringkan tubuh Eliza dan menutup kembali tubuhnya yang polos dengan selimut.
"Kak…," panggil Eliza dengan gemetar.
"Iya, Eli?" Kevin masih memegang tangan Eliza dan mengusap lembut rambutnya.
"Kak.. Tolong Eli..." mohon Eliza dengan raut wajah sangat kesakitan.
Kevin hanya diam dan meneguk kasar salivanya.
"Apa yang harus aku lakukan, Eli? Aku tidak mau merusakmu," bisik Kevin.
Kevin berpikir keras apa yang harus dia lakukan. Namun, gadis di depannya sungguh menderita menahan sakit di sekujur tubuhnya.
Kevin memiliki prinsip. Dia harus melakukannya dengan seorang wanita yang dia cintai dan sudah terikat dengan status resmi. Dia selalu bermain aman.
Akhirnya, Kevin mengambil keputusan yang begitu penting untuk kehidupan mereka berdua kedepannya.
"Eliza, dengar," Kevin mencoba berbicara dengan Eliza dari hati ke hati.
"Ya... Kak?" balas Eliza. Tatapannya sendu dan tidak fokus.
“Apapun yang terjadi setelah ini, kamu harus tahu, aku melakukannya hanya untuk menolongmu,” bisik Kevin, suaranya rendah dan dalam.
Eliza mengangguk lemah. “Kak Kevin…”
"Saat ini, aku belum yakin dengan perasaanku sendiri. Tapi yang aku tahu, melihat wajahmu membuatku tenang,” kata Kevin. Ia menatap wajah Eliza yang pias, lalu mengusapnya dengan lembut. “Aku suka melihatmu tersenyum dan tertawa. Pikiranku penuh dengan bayanganmu saat kamu jauh. Dan melihatmu disakiti begini, aku tidak suka," lanjutnya.
Tanpa sadar air mata Eliza mengalir begitu saja. Dia tak pernah sangka kalau Kevin bisa mengucapkan kata-kata manis yang menyentuh hati kecilnya.
"Eliza... will you marry me?"
Malam semakin larut, dan para tamu mulai berpamitan. Nita yang berdiri di samping Tian, merasakan kelelahan yang menyenangkan.Tian menunduk, bibirnya berbisik parau ke wanita yang kini resmi menjadi istrinya. "My wife?"Nita menoleh, senyum manis terukir di bibirnya. Matanya memancarkan gairah yang sama. "Yes, my husband?"Tian tersenyum penuh kemenangan. Tian dan Nita meninggalkan para tamu dan keluarga yang masih berada di ballroom. Mereka hanya melambaikan tangan singkat, tidak peduli dengan tradisi pelemparan bunga. Raja dan Ratu malam itu menghilang di antara kerumunan pengiring dan bodyguard yang sigap mengawal mereka menuju private elevator.Beberapa detik kemudian, lift membawa mereka langsung ke puncak hotel.Ceklek! Suara pintu kamar Presidential Suite terbuka, menyambut mereka.Nita memekik tertahan. “Oh my…”Kamar itu sangat luas, dengan langit-langit tinggi dan jendela kaca penuh dari lantai ke langit-langit yang menawarkan pemandangan gemerlap kota London. Ruangan itu m
Dua minggu berlalu dalam sekejap mata. Dua minggu penuh dengan persiapan gila-gilaan, ciuman curian di ruang rapat, dan Tian yang selalu berhasil membuat Nita melupakan segala hal kecuali kehadirannya.Dengan segala persiapan dalam waktu singkat, hari yang dinantikan pun tiba. Hari di mana Nita Clarissa Winston akan resmi menjadi Nyonya Christian Alexander, Ratu dari The Golden Star.Semua tamu VIP London, mulai dari kalangan bisnis, politik—tentu saja yang bersih—hingga sahabat dekat, berkumpul di ballroom hotel termewah yang disewa penuh oleh Tian.Seluruh ruangan disulap menjadi taman surgawi yang dominan warna putih bersih dan emas. Alih-alih dekorasi yang ramai, Tian memilih sentuhan elegan yang sangat berkelas.Ribuan kuntum mawar putih yang melambangkan kemurnian cinta, lily putih yang elegan, dan bunga-bunga daisy kecil yang memberikan sentuhan kesederhanaan Nita, bertebaran di setiap sudut, di meja-meja bundar, hingga menara bunga di atas altar. Aroma wangi bunga segar memenu
Yah, Tian memilih menuju kantor karena jarak kantor lebih dekat dari pada mereka harus menghabiskan waktu 45 menit untuk tiba di rumah. Ia tidak memiliki kesabaran sepanjang itu. Begitu melihat Nita memakai gaun pengantin, semua kendali Tian hilang."Oh my, Tian." Nita tersenyum, ia menjatuhkan asal tasnya ke lantai dan melingkarkan kedua tangannya di leher Tian. Ia tahu Tian berada di ambang batas.Sialnya, gerakan halus itu membuat Tian semakin panas, membuat pria itu hilang akal. "You make me crazy, love!" geram Tian yang kembali melumat bibir ranum Nita. Ciuman itu kuat dan liar, menuntut pembalasan atas setiap detik yang mereka buang di butik tadi.Nita membalasnya tak kalah liar. Tian terlalu hebat, mengajarnya begitu cepat untuk menjadi seorang yang ahli dalam ciuman.Bibir mereka beradu dengan ciuman yang dalam, lidah, dan saliva saling bertukar, memabukkan. Tian mengangkat tubuh Nita, kaki Nita secara naluriah mengunci pinggangnya, menggendongnya ala koala. Pria itu berjalan
Kata-kata seduktif Tian spontan membuat wajah Nita memanas. Ia masih belum terbiasa dengan sisi Tian yang blak-blakan dan mendominasi seperti ini. Ia memukul pelan bahu Tian."Sayang! Aku hanya ingin membuat kejutan kecil..." jawabnya dengan nada manja."Kejutan kecil sudah cukup membuatku gila," balas Tian, matanya berkobar penuh gairah."Dang!" Tian kembali melumat bibir Nita begitu dalam, menciumnya dengan intensitas yang tinggi, seolah tak peduli mereka berada di butik mewah. Ia merengkuh pinggang Nita erat-erat, membenamkan Nita dalam pelukannya.Tepat saat ciuman mereka semakin memanas, Ms. Evelyn membuka pintu tanpa aba-aba, hendak memberikan daftar pengukuran terakhir. Ia terkesiap, segera menutup matanya."Ma-maaf..." ujarnya tidak enak dan kembali menutup pintu, memberikan waktu untuk calon pengantin. Wajah Ms. Evelyn memerah, ia tidak menyangka fitting baju bisa seintim ini.Blush! Wajah Nita merona merah hingga ke telinga. "Sayang..." Nita memukul dada Tian dengan gemas.T
Tidak lama kemudian, Nita masuk ke dalam ruangan Tian. Ia terlihat cantik dan segar, mengenakan dress kasual yang rapi. Tian yang melihat kekasihnya datang langsung berdiri dan membuka kedua tangannya.Nita tertawa bahagia dan berlari kecil, langsung masuk ke dalam pelukan Tian. Ia menghirup dalam-dalam aroma tubuh Tian yang maskulin."I miss you so bad!" Tian mengeratkan pelukannya, mengecup puncak kepala kekasihnya dan turun menciumi bibir ranum Nita dengan ciuman yang singkat namun penuh hasrat."Kita bertemu setiap hari, Tian!" jawab Nita, usai Tian melepaskan bibirnya. Ia memukul pelan dada Tian karena gombalannya yang berlebihan.Tian hanya menjawab dengan menaikkan bahu acuh. "Aku tahu. Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku merindukanmu setiap detik.""Gombal," Nita tertawa. "By the way, aku melihat Sir Geoffrey di luar, dan dia terlihat... kacau?" tanyanya, keningnya berkerut. Nita sempat melihat Geoffrey di lobi, dan penampilan pria tua itu benar-benar menyedihkan.Tian ter
Tiga hari berlalu. Segala persiapan pernikahan kilat Nita dan Tian sudah berjalan serba cepat dan mulus. Selama tiga hari ini, Tian tidak pernah sedetik pun meninggalkan Nita sendirian.Saat ini, Tian sedang berada di kantornya, The Golden Star. Ia tampak tenang, menyelesaikan beberapa berkas penting yang berhubungan dengan transfer aset Sir Geoffrey—memastikan seluruh jaringan Edward dan ayahnya benar-benar lumpuh.Tiba-tiba, suara pintu ruangannya dibuka dengan kasar, bahkan nyaris terhantam dinding. Sir Geoffrey, Ayah Edward, masuk dengan wajah panik, lusuh, dan putus asa. Pria yang dulunya angkuh dan berkuasa itu kini terlihat seperti pria tua yang rapuh. Ia sudah tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh, kini hanya seorang ayah yang mencari anaknya yang menghilang.Sir Geoffrey mendekat ke meja Tian, nadanya memohon, bergetar. "Tuan Alexander! Edward... Edward menghilang! Dia tidak bisa dihubungi! Kau pasti tahu di mana anakku, bukan?"Tian bersandar di kursi executive-nya, ekspresi







