Share

4. Diam Memantau

Author: MAMAZAN
last update Huling Na-update: 2025-06-12 17:05:00

Sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela, menyinari kamar Eliza yang masih setengah gelap. Eliza mencoba membuka matanya, yang terasa berat karena semalaman ia marathon nonton drama Korea kesukaannya. Adegan memilukan di mana tokoh utama harus mati di depan kekasihnya membuatnya terisak hingga tertidur.

"Astaga! Udah jam 8.30!" pekik Eliza kaget saat melihat jam.

Bayangan dosen killer yang dikenal galak melintas dalam pikirannya. Tanpa membuang waktu, Eliza langsung berlari ke kamar mandi, bersiap secepat kilat. Ia hanya mengusap tipis cushion di wajahnya, menyapukan lip gloss ke bibir, dan merapikan rambut sekadarnya.

"Mau ke mana, Beb?" tanya Dina, melihat Eliza tergesa-gesa mengambil roti bakar dari tangannya.

"Ke kampus, beb!" jawab Eliza cepat sambil menggigit roti itu.

"Udah, sarapan yang bener dulu!" sahut Dina cemas.

"Nanti aja, udah telat banget. Byeee!" Eliza melambai, mencium pipi Dina, lalu bergegas keluar apartemen.

Di basement, Kevin yang baru keluar dari lift melihat Eliza berlari menuju mobilnya, kemudian mobil itu melesat cepat hingga tak tampak lagi. Ia hanya menghela napas melihat tingkah gadis itu.

“Dasar anak itu, gak bisa apa gak buru-buru!” gerutu Kevin sambil tersenyum kecil.

Kevin yang tampak berwibawa dalam balutan setelan jas mewah hari ini akan menghadiri hari pertamanya di Kantor Pusat Wijaya Corporation, perusahaan keluarga yang berpengaruh di Indonesia. Setelah sekian lama memimpin cabang perusahaan di Singapura, kini Kevin akan menggantikan posisi ayahnya sebagai CEO di kantor pusat yang terletak di jantung kota Jakarta.

---

Di ballroom sebuah hotel besar, suasana formal namun elegan terasa saat para eksekutif dan staf senior Wijaya Corporation berkumpul. Sang pemilik perusahaan, Putra Wijaya, berdiri di depan mereka, membuka acara pagi itu.

"Selamat pagi," sapa Putra Wijaya, suaranya tegas namun penuh wibawa. “Hari ini saya ingin memperkenalkan Kevin Wijaya, anak saya yang akan menggantikan posisi saya sebagai CEO.”

Putra Wijaya melangkah mundur, mempersilakan Kevin untuk mengambil alih.

Kevin maju ke depan dengan tenang. “Selamat pagi, semuanya. Saya Kevin Wijaya. Mungkin sebagian besar dari Anda sudah mengenal saya sebagai pimpinan cabang di Singapura. Mulai sekarang, saya akan memimpin kantor pusat ini. Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik. Terima kasih.”

Suara tepuk tangan memenuhi ruangan. Kevin tersenyum kecil, tampak tenang namun percaya diri. Kiprahnya di dunia bisnis memang sudah lama dikenal, dan para staf tampak antusias dengan kehadiran sosok baru di pucuk pimpinan.

---

Sementara itu, di kampus, suasana tak kalah sibuk. Mahasiswa lalu-lalang di koridor, termasuk Eliza yang tampak berlari-lari mencari seseorang.

"Mariaaaa!" panggil Eliza dengan suara nyaring, suaranya sampai mengundang perhatian mahasiswa di sekitarnya. Melihat Maria, temannya, Eliza langsung menghampiri dengan napas terengah-engah.

"Ada apa sih, teriak-teriak gitu!" Maria mengerutkan kening, melihat Eliza dengan heran.

"Lu udah setor desain ke Bu Retno belum?" tanya Eliza panik.

Maria mendengus kecil, “Belum, nih baru mau ke ruangan Bu Retno sekarang. Ternyata beliau gak masuk, jadi aku yang disuruh ngumpulin tugasnya hari ini.”

Eliza langsung menarik napas lega dan mengusap dadanya. "Syukurlah!" ucapnya lega.

"Lu dari tadi dihubungi gak nyambung-nyambung, tahu!" ujar Maria kesal.

Eliza melongo, baru sadar kalau ponselnya mati kehabisan baterai semalam. Ia pun menunjukkan ponselnya ke Maria dengan wajah konyol. “Ya ampun, baterainya abis!”

Maria hanya bisa menggeleng melihat tingkah Eliza yang selalu ceroboh. "Yaudah, sini tugas kamu. Sekalian biar aku yang kumpulin.”

“Nih, Beb!” Eliza menyerahkan portofolio desainnya pada Maria, “Yuk, sekalian ke kantin, gue laperrr…” ujar Eliza sambil melangkah santai menuju kantin bersama Maria, menyiapkan tenaga untuk menghadapi hari yang panjang di kampus.

Setelah menyelesaikan segala aktivitas di hari pertamanya sebagai CEO, Kevin merebahkan diri di kursi besar di ruangannya. Kegagahan ruangan itu, lengkap dengan pemandangan kota Jakarta, seakan memperkuat kewibawaannya. Belum sempat beristirahat lama, suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya.

Tok tok tok.

“Selamat siang, Pak,” sapa seorang pria yang baru saja masuk.

“Andre! Ini kejutan!” seru Kevin, senang melihat sahabat lamanya dari Singapura yang ternyata sekarang bekerja sebagai sekretaris pribadinya.

“Senang bertemu kembali, Pak,” jawab Andre sambil tersenyum profesional, membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda hormat.

Walaupun sahabat dekat, Kevin dan Andre selalu menjaga formalitas di kantor. Kevin merasa tenang memiliki Andre di dekatnya sebagai orang kepercayaannya. Setelah berbincang ringan, Andre pun pamit kembali ke ruangannya.

Saat Kevin kembali tenggelam dalam dokumen-dokumen, pikirannya tanpa sadar teralihkan pada sosok Eliza. Sejak pertemuan mereka yang singkat dan kejadian di lift malam itu, bayangan gadis itu sering muncul dalam benaknya. Namun, gengsi dan harga diri membuat Kevin enggan mengakui bahwa ia penasaran pada gadis itu.

Dengan cepat, Kevin memutuskan makan siang untuk menyegarkan pikirannya. Ia turun ke lantai dua mal, memasuki restoran steak favorit Angel. Ia segera menelpon adiknya, berharap bisa menjadikannya alasan untuk mengatur pertemuan dengan Eliza.

“Dek, lagi di mana?” tanya Kevin saat Angel mengangkat telepon.

“Di mobil, Kak. Aku lagi di jalan mau makan siang sama Eliza.”

“Oh, padahal mau traktir makan siang nih,” ujar Kevin, dengan nada menggoda, berharap Angel akan terpancing.

“Di mana, Kak?” jawab Angel antusias.

“Di restoran steak kesukaan kamu,” jawab Kevin.

“Wah, boleh dong! Boleh aku bawa Eliza, Kak? Soalnya kita lagi barengan di mobil.”

Eliza yang mendengar percakapan itu langsung terperanjat, lalu cepat-cepat berbisik pada Angel, “Eh, gak usah, Njel! Aku bisa makan sendiri kok.”

Namun, Angel hanya tersenyum kecil sambil mengabaikan protes Eliza.

“Boleh, Kak?” tanya Angel lagi, nada suaranya terdengar bersemangat.

Kevin berusaha menahan senyumnya yang hampir tidak bisa ia sembunyikan. “Boleh,” jawabnya, berusaha terdengar datar walaupun hatinya mulai merasa antusias.

“Ok, see you there, Kak!” Angel mematikan telepon lalu langsung berbelok menuju restoran steak tempat kakaknya menunggu.

Eliza menghela napas berat, lalu memandang Angel dengan sedikit jengkel. "Kenapa aku diajak segala, sih, Njel?” keluh Eliza, merasa enggan untuk bertemu Kevin.

"Kenapa enggak? Tenang aja, Kakak aku itu baik, gak makan orang kok,” sahut Angel santai.

Eliza hanya mendengus pelan sambil menggumam dalam hati, *“Iya sih, gak makan orang, tapi nyosor pipi orang aja tanpa izin!”* Eliza berandai-andai jika tadi ia mengikuti Maria ke galeri, pasti sekarang tak perlu berurusan dengan Kevin lagi.

Setibanya di parkiran basement lantai dua, Eliza dan Angel langsung berjalan menuju restoran Beef and Steak, yang kebetulan berada di lantai yang sama. Dari balik kaca restoran, Kevin melihat kedatangan Angel dan Eliza. Ia segera bangkit dari kursinya dan menunggu di depan pintu masuk restoran.

"Lama banget, Dek?" sapa Kevin ketika keduanya mendekat.

"Macet, Kak!" jawab Angel santai sambil menghela napas.

Sementara itu, Eliza hanya tersenyum kikuk. "H-hai juga, Kak Kevin," balasnya canggung. Di benaknya, bayangan insiden kecupan di pipi malam itu terlintas lagi, membuatnya merasa gugup.

Kevin yang menyadari kecanggungan Eliza hanya tersenyum. Tanpa diduga, ia mencium pipi Angel dan beralih memberikan kecupan di pipi Eliza juga, dengan sikap yang seolah-olah hal itu biasa saja.

"Ihh, Kakak nyosor aja nih!" protes Angel sambil mendorong pelan Kevin. Tapi di dalam hati, Angel agak bingung kenapa kakaknya tiba-tiba juga mencium pipi Eliza. “Hmmm…” gumamnya pelan.

"Kan sama adik sendiri, emang gak boleh?" balas Kevin dengan nada cuek, lalu masuk ke dalam restoran.

Angel hanya mengangkat bahu sambil menarik Eliza yang tampak bengong sejak menerima kecupan itu. “Udah, cuekin aja Eli, Kakak aku emang gitu, rada manja!” ujar Angel santai, sementara Eliza masih terlihat sedikit canggung.

“Eliza, duduk yuk!” Angel menarik Eliza ke kursi yang berseberangan dengan Kevin.

Kevin hanya mengamati Eliza diam-diam, menahan senyum melihat raut wajahnya yang malu-malu. Ketika pelayan datang menghampiri mereka, mereka bertiga segera memesan makanan.

Setelah mencermati menu, Angel memesan, “Saya mau Aussie Yuu Beef, minumnya Lemon Tea.”

"Saya pesan prime rib-eye steak, minumnya mineral water," sambung Kevin.

Eliza, yang tampak bingung dengan berbagai pilihan menu, akhirnya memutuskan, "Prime special sirloin, minumnya orange juice aja."

“Baik, mohon ditunggu ya,” ucap pelayan dengan senyum ramah.

Selama menunggu pesanan, suasana makan siang itu berjalan santai, dengan Angel yang selalu bisa membuat suasana jadi ceria. Namun, diam-diam Angel memperhatikan kakaknya yang tampak memandangi Eliza dengan sorot penuh minat, seolah ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang duduk di depannya itu.

Untuk menguji perasaan Kevin, Angel sengaja memancing pembicaraan. “Eh, Eli, gimana hubungan kamu sama Kak Aldie?” tanyanya sambil melirik Kevin, ingin melihat reaksinya.

“Hm?” Eliza tersenyum kecil. “Oh, cuma teman aja kok.”

“Oh gitu ya… Kenapa gak jadian aja?” goda Angel.

“Apa sih, Njel…” jawab Eliza, tersipu. Selama ini, Aldi memang selalu bersikap perhatian padanya, tapi ia belum pernah menganggapnya lebih dari teman.

Mendengar itu, Kevin tampak terdiam, matanya sedikit menyipit mendengar nama Aldi disebut-sebut. Ia berusaha menahan perasaan tak nyaman yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya.

Angel yang menyadari perubahan sikap Kevin semakin gencar menggoda Eliza. “Asik asik… Jangan lupa bayar pajak jadian, ya!” candanya sambil tertawa.

“Hahaha apa sih!” jawab Eliza, mencoba mengalihkan rasa malu.

Sementara itu, Kevin tak lagi banyak bicara, hanya diam dan mendengarkan percakapan keduanya sambil menahan rasa kesal yang perlahan-lahan muncul. Perasaan cemburu yang tiba-tiba ini membuat nafsu makannya menurun.

Setelah selesai makan siang, mereka bertiga berpisah di depan restoran. Kevin kembali ke kantor, Angel menuju rumah karena mendapat telepon dari mamanya, sementara Eliza pergi ke butik untuk mengecek stok. Meskipun mereka telah berpisah, di dalam hati Kevin tak bisa berhenti memikirkan Eliza, seorang gadis yang begitu sederhana namun berhasil menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama mereka.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Cie² kak Kevin cemburu niye,padahal belum lama kenal sama Eliza.
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   186. Part Tian Nita #29

    Part 186Edward menurunkan ponselnya, matanya melotot tajam menatap Tian. Rasa takut yang nyata kini menggantikan kesombongannya. Suaranya terdengar berat, penuh kepanikan yang tertahan."Apa yang kau lakukan pada Ayahku?!" teriak Edward, tubuhnya maju satu langkah, tapi nyalinya langsung menciut saat melihat tatapan membunuh dari mata Tian.Tian tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya memiringkan kepala, menyeringai angkuh. "Bukankah kau tadi bilang aku tidak punya hak untuk ikut campur, Edward?" Tian melangkah perlahan, mendekat ke Edward. "Sekarang, kurasa aku sudah memiliki semua hak itu. Ayahmu... ada di tangan orang-orangku."Nita memegang lengan Tian, terkejut dengan pengakuan itu. Tian memang CEO, tapi ia tidak menyangka Tian memiliki jaringan sejauh ini."Kau... kau tidak mungkin!" Edward menggeleng tak percaya, napasnya tersengal-sengal. Ia baru sadar, pria yang ia anggap remeh ini jauh lebih berbahaya dari semua musuh ayahnya."Aku bisa melakukan apa saja, Edward," bisik Ti

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   185. Part Tian Nita #28

    Part 185Sontak semua yang ada di ruangan terpusat pada Tian. Wajah Winston tampak tegang, sementara Edward membeku di tempatnya.Nita pun tidak paham apa maksud dari pembicaraan sang kekasih. Ia melihat ponsel Tian, merasa ada yang aneh. "Tian?" gumamnya, penuh tanya.Edward yang tadinya memasang wajah arogan, sempat tersentak dan membeku beberapa detik, hingga kembali ke kesadarannya. Ia menatap Tian dengan mata penuh kebencian dan kebingungan.Tian tersenyum lembut pada Nita, ia mengusap punggung Nita. "Kamu tidak perlu khawatir. Mulai sekarang biar aku yang bereskan cecunguk ini!" katanya, suaranya meyakinkan.Kemudian, Tian melihat ke arah Winston, berjalan mendekat sambil membawa serta Nita yang mengikutinya dari belakang."Ayah," panggil Tian dengan nada hormat. "Kamu tidak perlu khawatir. Sesuai janjiku, biar aku yang mengurusnya." Tian berhenti tepat di depan Winston, menatap ayah kekasihnya itu dengan mata penuh keyakinanWinston tersenyum hangat, sepertinya ia tidak salah m

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   184. Part Tian Nita #27

    Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gedung yang terbilang mewah, perusahaan milik Winston—ayah Nita. Dari luar saja, ketegangan sudah terasa. Dan benar saja, begitu mereka berada di lobi perusahaan, suasananya terasa begitu mencekam. Para staf hanya bisa berdiri di sudut-sudut ruangan, ketakutan, melihat beberapa petugas dari kantor pajak dan entah dari mana lagi berlalu-lalang, menggeledah setiap meja dan lemari arsip.Nita mengepalkan tangannya. "Sialan Edward!" umpatnya dalam hati."Sebaiknya kita langsung ke ruangan Ayah," usul Tian, matanya mengawasi keadaan sekitar dengan tenang. Ia tidak ingin Nita panik.Nita mengangguk, hatinya terasa sesak. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk."Tunjukkan ruangannya, sayang," sambung Tian, tangannya semakin erat menggenggam tangan Nita.Nita membalas genggaman Tian, seolah mencari kekuatan. Mereka berjalan cepat, melewati para staf yang menatap mereka dengan tatapan iba. Nita tahu, ayahnya sedang mengalami kesulitan, dan ini semua karena u

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   183. Part Tian Nita #26

    Part 183"Maaf, Tian..." Nita merasa bersalah akan pemikirannya yang picik. Ia yang terbiasa menyelesaikan segala urusannya sendiri pun tidak memikirkan perasaan Tian. Ia selalu berpikir, ia bisa mengatasi semuanya sendirian. Tapi, ia lupa, ia punya Tian sekarang.Tian tersenyum tipis, kelembutannya kembali terpancar di wajahnya. "Bukan masalah, sayang. Sekarang, apa pun yang ada di kehidupan kamu, libatkan aku. Jangan pernah merasa sendiri.""Terima kasih," Nita melingkarkan kedua tangannya di pinggang Tian, masuk ke dalam dekapan pria itu. Menyandarkan kepalanya di dada bidang yang menenangkan. Ia bisa mendengar detak jantung Tian, yang terasa begitu damai.Tian bernapas lega, ia mengusap punggung Nita. "Aku akan selalu ada untukmu, Nita. Kita akan lalui ini bersama. Aku janji.""Hmm, aku percaya Tian," bisik Nita, suaranya mantap. Ia benar-benar yakin dengan pria di depannya ini.Tian mengurai pelukannya, menatap wajah Nita lekat. "Jadi, apa yang dilakukan pria berengsek itu?" tany

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   182. Part Tian Nita #25 (21+)

    Part 182Ia memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut yang kini bergerak memainkan klitorisnya. "Ahh, sayang!" desahnya, suaranya parau karena gairah.Tubuhnya bereaksi terlalu kuat terhadap setiap sentuhan Ken. Rubi mendesah tak kuasa, "Sayang...""Iya, sayang?" sahut Ken, suaranya serak, sembari menjilati leher halus Rubi. Ia tahu, istrinya sudah berada di ambang batas.Rubi menahan tangan suaminya yang terus saja memainkan inti tubuhnya. "Tahan, sayang," ucap Rubi mendesis, suaranya penuh permohonan. Tiba-tiba tangannya merambat ke area sensitif suaminya, mengelus kejantanan Ken yang sudah menegang."Ugh, sayang!" Ken menggeram, sorot matanya penuh gairah saat jemari dan tangan lembut Rubi perlahan mengurut kejantanannya.Ken memejamkan mata, membiarkan Rubi mengambil kendali. Rubi, dengan senyum menggoda, membenamkan wajahnya. Membuka mulut dan menjulurkan lidahnya. "Uhm...""Dang! Sayang... Argghhh!" Ken menggeliat, ia menggeram menahan napas. Urat-urat di bagian bawahnya terasa

  • Sentuhan Panas Berujung Menikah   181. Part Tian Nita #24 (21+)

    Part 181Di Paris, pasangan pengantin baru yang seharusnya menikmati bulan madu mereka malah sedang asyik menelpon dengan Margareth. Keduanya, yang tanpa henti saling bercumbu tadi, tertawa keras mendengar cerita yang keluar dari ponsel."Seriously, Mam?" tanya Rubi tidak percaya. Ia memeluk erat Ken, suaminya."Ya, sayang. Mami juga terkejut," balas Margareth dari seberang telepon. "Mereka tidak bisa diam, saling ejek seperti dulu, tapi sekarang ada kata 'sayang' dan 'kamu' di tengah-tengahnya.""Jadi, di mana mereka berdua sekarang?" tanya Ken, yang ikut bergabung dalam percakapan itu. Ia duduk di samping Rubi dan memeluk istrinya."Lagi main rumah-rumahan dengan Celina," jawab Margareth, menahan tawa gelinya.Ken dan Rubi saling melempar pandangan tidak paham. "Maksud Mam?" tanya Ken.Margareth menghela napas, "Yah... mereka sedang gladi menjadi seorang Papa dan Mama."Seketika tawa Ken meledak. "Oh, dang! Seorang Tian? Tian?" Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. "Pria sedin

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status