LOGINWildan menghentikan SUV hitam mengilap itu dengan mulus di halaman berkerikil. Suara gemerisik ban adalah satu-satunya yang memecah keheningan Puncak.
Di depan mereka, berdiri sebuah vila bergaya rumah singgah Belanda kolonial, didominasi warna putih gading dengan atap genteng cokelat tua. Di sekelilingnya, hamparan rumput hijau yang terawat rapi seolah menyambut kedatangan mereka.
Meysa menarik napas panjang. Udara di sini jauh lebih bersih, dingin, dan beraroma pinus. Kontras sekali dengan polusi dan ketegangan yang ia rasakan sepanjang perjalanan dari Jakarta.
“Kita sampai,” ujar Wildan singkat, mematikan mesin.
Meysa tidak langsung turun. Pandangannya terpaku pada pemandangan di belakang vila.
Terlihat punggung bukit yang diselimuti kabut tipis dan hutan pinus yang menjulang, mengingatkannya pada papan visualisasi di P*******t tentang ‘tempat kerja impian.’ Ada kursi-kursi kayu estetik yang diletakkan di teras, menghadap langsung ke panorama yang menenangkan itu.
Rasa takutnya akan Dimas sejenak terdesak. ‘Sebulan di sini? Benar kata Wildan, ini benar-benar hadiah yang mahal.’
Meysa membayangkan dirinya duduk di teras itu, menyesap teh hangat, dan jemarinya menari lincah di atas keyboard, menciptakan tulisan yang lebih indah dan cerita yang semakin bagus.
“Hei, jangan ngelamun aja!” tegur Wildan, suaranya yang bernada memerintah langsung merobek ilusi damai Meysa. “Hobi kamu bengong aja ya? Ini cepat bawa kopermu. Aku juga bawa koperku, kan.”
Meysa tersentak, cepat-cepat melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Kenapa, sih, pria ini selalu tahu cara merusak momen? Ia menghembuskan napas kesal, lalu berjalan ke bagasi.
“Dasar editor arogan. Mana ada penulis yang nggak suka merenung?” gumamnya, meskipun suaranya cukup pelan sehingga Wildan tidak mungkin mendengarnya.
Saat Wildan mengeluarkan koper Meysa yang berwarna rose gold dari bagasi, ponselnya berdering. Wildan menatap sekilas ke layar, raut wajahnya langsung berubah kaku.
“Ya,” jawabnya, suaranya terdengar berat dan profesional, tetapi dengan nada frustrasi yang tersembunyi. Ia meletakkan koper Meysa di tanah dan mengangkat kopernya sendiri, yang berwarna hitam legam dan terlihat sangat mahal.
Meysa, yang baru saja hendak mengambil kopernya, terdiam. Ia tidak berniat menguping, tetapi Wildan berdiri terlalu dekat, dan suasana di sekitarnya terlalu sepi.
“... Bulan depan? Kenapa harus bulan depan, katamu?” Wildan terdengar mendesah. “Aku bilang bulan ini aku sibuk. Ada proyek besar. Aku nggak bisa diganggu dalam sebulan ini.”
Lalu, Wildan melanjutkan, nadanya kini agak meninggi, seolah ia sedang menahan emosi yang meluap. “Dengar, aku enggak menahan kamu kalau kamu memang mau pisah. Aku memang sibuk kerjaan! Oke, aku juga mau pisah. Sisakan jadwal kosongmu di bulan depan!”
Meysa tersentak. Pisah? Jadwal kosong? Bulan depan?
Wildan, editor tampan yang dingin dan menyebalkan ini, sedang menghadapi perceraian?
Otak Meysa langsung bekerja. Rasa teror yang tadi dibawa oleh pesan Dimas sejenak tergantikan oleh rasa penasaran yang tak terbendung. Pantas saja Wildan selalu tegang dan sinis. Ternyata dia menyimpan ‘drama besar’ yang jauh lebih rumit daripada drama remeh-temeh yang dituduhkan padanya.
Wildan tiba-tiba mengakhiri percakapan itu dengan ucapan, “Terserah. Aku hubungi pengacara lagi nanti,” dan menekan tombol merah. Ia menoleh, dan tatapan matanya yang tajam langsung menangkap Meysa yang berdiri membeku, dengan mata bulat sempurna, jelas-jelas menguping.
Sebuah gurat malu dan marah terlihat di wajah Wildan. Ia seperti tertangkap basah, meskipun ia tidak melakukan kesalahan apa pun.
“Koper kamu, Meysa. Atau kamu mau aku yang seret?” Wildan berkata dengan dingin, mengubah ekspresinya kembali menjadi editor arogan yang biasa.
Meysa, yang merasa ketahuan, langsung gelagapan. “Aku … aku bisa bawa sendiri. Ya! Aku masuk duluan!”
Meysa buru-buru menarik kopernya dan setengah berlari menuju pintu utama villa. Ia mendorong pintu kayu besar itu dan melangkah masuk, meninggalkan Wildan yang masih berdiri diam, menatap punggungnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Saat Meysa memasuki villa, ia langsung disambut dengan interior yang cozy dan didominasi kayu. Ruang tamunya luas, ada perapian batu besar, dan jendela-jendela tinggi yang menghadap ke kebun.
Namun, perhatian Meysa langsung tertuju pada lorong di sebelah perapian yang menuju ke kamar tidur. Ia berjalan ke sana. Dan di sana, ia hanya menemukan satu pintu.
Meysa membuka pintu itu, dan keterkejutannya membuatnya berteriak kecil.
“Loh, kok … cuma ada satu kamar?” tanyanya, suaranya penuh kebingungan.
Wildan, yang baru saja masuk dan meletakkan kopernya di ruang tamu, ikut berjalan ke arah Meysa. Ia melihat ke dalam kamar dan wajahnya ikut menegang.
“Apa maksudmu ‘satu kamar’?” tanya Wildan, suaranya mulai terdengar tidak senang. Ia mendorong Meysa sedikit ke samping untuk melihat lebih jelas.
Di dalam kamar itu, memang hanya ada satu ruangan tidur, tetapi dengan dua ranjang single berukuran besar yang ditata terpisah.
Satu di sebelah kiri, satu di sebelah kanan. Dipisahkan oleh sebuah nakas kecil di tengahnya. Ada dua lemari pakaian, dua meja kerja kecil, tetapi semuanya terpusat di satu ruang.
Meysa menoleh ke Wildan, matanya menyala-nyala karena kesal. “Kata Pak Adam, Villa ini ada dua kamar kan ya?”
Wildan merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya lagi, dan mendesah frustrasi. “Aku juga ingat dia bilang begitu. Aku sudah menyetujui perjanjian itu, bahwa kita akan tinggal di properti yang memiliki fasilitas lengkap untuk dua orang profesional. Ini jelas salah!”
Ia melihat ke sekeliling ruangan, mencoba mencari pintu lain, lemari yang bisa jadi jalan rahasia, atau bahkan celah di dinding. Nihil.
Wildan menelepon Pak Adam, hingga tiga kali. Tapi sayangnya semua panggilannya tidak terjawab.
“Gimana kata Pak Adam?” tanya Meysa dengan suara yang mulai panik.
“Tidak tersambung.” Wildan menjawab masih sembari menatap layar ponselnya.
Meysa menggeleng panik karena harus berbagi kamar dengan Wildan. Pria yang baru saja ia ketahui sedang proses cerai.
“Aku nggak mau!” seru Meysa, mundur selangkah. “Aku nggak mau tidur sekamar denganmu, Wildan! Kamu bisa tidur di sofa di ruang tamu! Atau—atau kamu tidur di mobil saja!”
Wildan menatapnya dengan pandangan dingin dan tajam. “Tidur di mobil? Ini Puncak. Suhu malam bisa mencapai 15 derajat. Enak aja! Kenapa nggak kamu aja yang tidur di sofa atau di mobil?!”
Ia menyapu pandangan ke ranjang kembar itu. “Dengar, aku juga nggak suka ide ini. Sama sekali. Tapi ini yang kita punya. Jarak ranjangnya cukup jauh, dan kita berdua adalah profesional. Kita di sini bukan untuk .…” Wildan terdiam, mencari kata yang tepat, “... bersenang-senang dengan tulisan dan ide-ide kita. Kita di sini untuk kerja.”
Wildan mendekat, mengambil koper Meysa dan meletakkannya di samping ranjang kiri. “Ambil ranjang itu. Aku ambil yang kanan. Kita akan buat jadwal kamar mandi. Kita sama-sama dewasa. Kita profesional, jadi nggak usah mempermasalahkan satu ranjang berdua!”
Wildan kemudian mengambil tas toiletries dari kopernya dan bergegas masuk ke kamar mandi. Pintu tertutup dengan bunyi klik.
Beberapa menit berlalu. Meysa mulai mengeluarkan pakaian dari koper, berusaha keras fokus pada lipatan-lipatan baju alih-alih pada suara gemericik air di balik pintu. Tiba-tiba, ia mendengar suara gemericik air berhenti, diikuti suara gesekan kain. Wildan pasti sedang mengeringkan diri.
Pintu kamar mandi kemudian terbuka.
Meysa refleks menoleh.
Wildan berdiri di ambang pintu, hanya melilitkan handuk putih di pinggangnya. Rambutnya basah dan jatuh menutupi dahi, dan uap air masih mengepul tipis dari bahunya. Pemandangan itu, ditambah aroma sabun maskulin yang menusuk indra penciuman, langsung menyambar Meysa.
Meysa segera memalingkan wajah, tetapi sensasi terkejut itu sudah menjalar di sekujur tubuhnya. Ditambah lagi dengan rasa lelah dan stres karena ancaman Dimas, hal itu jadi memunculkan reaksi fisik.
Tiba-tiba, pandangan Meysa menggelap. Kepalanya terasa dipukul, dan sensasi dingin Puncak yang menyelinap dari jendela membuat tubuhnya mendadak lemas. Ia berusaha meraih nakas di sampingnya, tapi tidak sampai.
“Wildan ….” Meysa memanggil dengan suara tercekat, suaranya nyaris hilang. Ia terhuyung di tepi ranjang.
Wildan, yang baru saja hendak melangkah ke lemari pakaian, terkejut melihat Meysa.
“Ada apa, Meys?” tanya Wildan, melangkah cepat menghampiri. Ia menyadari Meysa tidak sedang marah atau menguping, tetapi benar-benar dalam masalah.
Namun, Meysa sudah kehilangan kesadaran. Matanya terpejam. Tubuhnya ambruk ke depan.
Wildan dengan sigap menyambut tubuh Meysa. Namun, karena lantai di sekitar pintu kamar mandi sedikit basah oleh tetesan air dari tubuhnya sendiri, dan kecepatan Meysa ambruk, Wildan jadi kehilangan pijakan.
Keduanya pun jatuh menimpa ranjang yang baru saja Meysa tinggalkan.
Meysa terbaring lemas di atas kasur, tidak sadarkan diri. Wildan berada tepat di atasnya, menahan berat badannya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain mencoba menahan kepala Meysa.
Jantung Wildan berdebar kencang, kali ini bukan karena marah, melainkan panik dan terkejut. Ia hanya mengenakan handuk, yang kini sudah tertarik sedikit longgar karena benturan.
Meysa terbaring tak berdaya di bawahnya. Wajah Meysa yang pucat dan bibirnya yang sedikit terbuka berada sangat dekat dengannya. Wildan menatap mata Meysa yang terpejam, dan napasnya mendadak tercekat. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Meysa di balik pakaian tipisnya.
Wildan buru-buru menyingkirkan rambut Meysa dari wajahnya. Wajahnya pucat pasi, dan keringat dingin bercampur dengan air sisa mandi. Wildan benar-benar lupa dengan handuknya yang kini berada di perbatasan bahaya.
“Meysa! Meysa, sadar!” Wildan menepuk pipi Meysa perlahan. Ia berusaha berdiri, tetapi tubuh Meysa yang lemas di bawahnya dan handuknya yang longgar membuat setiap gerakannya menjadi canggung. Karena jika ia tiba-tiba berdiri, handuknya akan melorot sepenuhnya!
Wildan menatap sekeliling. Telepon! Ia harus menelepon seseorang. Tapi di mana ponselnya? Di nakas!
Ia berusaha meraih nakas di sebelahnya. Untuk meraih nakas itu, Wildan harus bergerak lebih dekat ke Meysa. Kepalanya kini berada tepat di atas kepala Meysa. Hidungnya mencium aroma sampo Meysa yang lembut, berlawanan dengan aroma pinus yang mendominasi ruangan.
Wildan berhasil menyambar ponselnya. Sebelum ia sempat menekan nomor Pak Adam, Meysa tiba-tiba membuka matanya.
Mata Meysa yang baru terbuka itu bertemu langsung dengan mata Wildan yang berada sangat dekat. Pandangan mereka terkunci. Meysa belum sepenuhnya sadar, tetapi ia merasakan beban Wildan di atasnya, kulitnya yang dingin bersentuhan dengan kulit Wildan yang hangat.
Bibir Wildan yang baru saja disentuh air panas, berjarak hanya beberapa sentimeter dari bibir Meysa.
“Wildan …,” bisik Meysa, otaknya masih kosong.
Mereka saling menatap dalam beberapa detik.
Wildan terpaku. Ia melihat ketakutan di mata Meysa, tetapi ada pula kejutan dan sesuatu yang lain, yang memancing naluri terdalamnya. Ia bisa saja segera menjauh, tetapi tatapan Meysa yang polos dan sedikit bingung itu menahannya.
Saat Wildan menahan napas, berusaha memutus kontak mata. Ia buru-buru berdiri, membuat handuk di pinggangnya terlepas sepenuhnya!
Meysa terkesiap. Netranya menangkap pemandangan paling privasi di akhir tahun ini!
Bersambung
Wildan mematung dengan nafas yang mulai memberat. Beban hangat di pangkuannya benar-benar menguji kewarasannya sebagai pria dewasa. Meysa, yang masih ketakutan karena mengira ada hantu, justru semakin bergerak gelisah, mencoba mencari posisi ternyaman untuk bersembunyi di ceruk leher Wildan.Gesekan itu ... benar-benar membuat "aset" Wildan bereaksi di luar kendali.“Meysa, turun!” suara Wildan meninggi, serak oleh gairah yang berusaha ia tekan sekuat tenaga.“Nggak mau! Kamu denger sendiri kan? Ada suara trek-trek itu! Itu si nenek lagi menenun kain kafan buat kita, Wildan!” rengek Meysa, tangannya melingkar semakin erat di leher Wildan, membuat dada mereka berhimpitan tanpa celah.Wildan memejamkan mata, giginya bergeletuk menahan stimulasi fisik yang semakin liar di bawah sana. Ia bisa merasakan lekuk tubuh Meysa yang pas di pangkuannya. Sebagai editor profesional yang terbiasa mengendalikan segalanya, kali ini ia merasa benar-benar kehilangan kendali.“Turun sekarang atau aku lem
Pukul dua belas tepat, Bi Aam menyelesaikan pekerjaannya. Ia sudah menyiapkan makanan untuk makan siang dan menu makan malam di dalam wadah yang tinggal dihangatkan.“Saya pamit dulu ya, Neng, Aa. Makanan di meja jangan lupa dimakan. Nanti kalau ada apa-apa, Pak Somad dan Pak Asep, juga beberapa temannya yang lain ada di pos depan,” pamit Bi Aam sebelum menghilang di balik pintu.Kini, kesunyian kembali menyelimuti villa. Meysa dan Wildan makan siang dalam diam. Setelah itu, mereka kembali ke rutinitas, bekerja. Meysa melanjutkan Bab 10 yang sempat tertunda, sementara Wildan sibuk mengedit bagian-bagian awal yang dikirim Meysa.Waktu berlalu cepat. Sore berganti malam. Kabut di luar villa mulai menebal, menelan pemandangan pepohonan pinus dan menyisakan kegelapan yang pekat. Suara angin yang bersiul melewati celah-celah lubang angin villa terdengar lebih nyaring malam ini.Meysa duduk di ruang tengah dengan laptop di pangkuannya. Namun, ia tidak bisa fokus. Cerita Bi Aam tadi siang t
Wildan berdiri tegak, tangannya yang tidak terluka mengepal kuat di samping tubuh. Ia memposisikan dirinya tepat di depan pintu, siap menghadapi kemungkinan terburuk jika itu adalah Dimas yang kembali untuk membalas dendam. Meysa mencengkeram ujung kaus Wildan dari belakang, napasnya tertahan.Begitu pintu ditarik terbuka, bukan wajah beringas Dimas yang muncul, melainkan seorang wanita paruh baya berusia sekitar empat puluh lima tahunan. Wanita itu memakai kerudung instan dan membawa tas belanjaan kain yang tampak berat.Wildan mengernyit, otot-otot di wajahnya yang kaku tidak langsung mengendur. Ia tidak mengenali wanita ini.“Ibu siapa ya?” tanya Meysa, yang dengan cepat mengintip dari balik punggung lebar Wildan.Wanita itu tersenyum ramah, matanya yang ramah menyipit membentuk garis-garis halus. “Eh, punten. Nama saya Amiyati, tapi panggil saja Bi Aam. Saya istrinya Pak Somad, petugas keamanan di depan.”Wildan menurunkan tangannya, sedikit rileks namun tetap waspada. “Ada perlu
Wildan menarik napas panjang, mencoba menstabilkan wajah "kulkas"-nya sebelum menoleh. “Ya? Aku cuma … mengecek jendela. Takut ada serangga masuk, atau mungkin aja Dimas akan balik lagi masuk lewat jendela,” dustanya dengan suara sedingin mungkin, meski tangannya di balik saku celana mengepal gugup.Meysa masih setengah terlelap, tetapi matanya sudah fokus pada Wildan. Ia melihat perban di lengan Wildan dan teringat kejadian semalam. Teringat bagaimana Wildan melindunginya, dan teringat bagaimana Wildan menyebut nama "Fiona" di sela igauannya.“Wildan, tanganmu masih sakit?” tanya Meysa lirih. Ia tidak bangun dari posisi tidurnya, hanya menatap punggung Wildan yang tegap namun tampak lelah.Wildan menoleh sedikit, hanya separuh wajahnya yang terlihat. “Hanya goresan kecil. Kamu pikir aku selemah itu? Tidur lagi sana. Masih pagi. Jangan mulai rese sepagi ini kalau nggak mau drafmu aku coret semua.”Meskipun kata-katanya pedas, Meysa tidak merasa tersinggung. Ia justru merasakan ada ses
Suara kicauan burung di balik rimbunnya pohon pinus dan hawa dingin Puncak yang menusuk tulang perlahan menarik Wildan dari alam bawah sadarnya. Ia mengerjapkan mata, menatap langit-langit kamar yang masih remang. Tubuhnya terasa kaku, terutama lengan kirinya yang berdenyut nyeri setiap kali ia bernapas sedikit lebih dalam. Efek jahitan itu benar-benar mengganggu tidurnya.Wildan melirik jam di atas nakas. Baru pukul lima pagi. Karena semalam ia jatuh pingsan karena kelelahan dan juga karena efek obat pereda nyeri. Ia terbangun jauh lebih awal dari biasanya.Namun, hanya butuh satu detik bagi kesadaran Wildan untuk sepenuhnya pulih. Begitu ia teringat kejadian kemarin sore, teror Dimas, pecahnya kaca jendela, dan Meysa yang pingsan, jantungnya mendadak berdegup kencang. Ada perasaan spontan panik yang menyelinap, menggelayuti hatinya seperti kabut tebal di luar villa.Meysa!Wildan beranjak dari ranjang dengan gerakan sedikit ceroboh, membuat lengan kirinya kembali memprotes dengan r
Wildan sudah duduk di ranjangnya dan tepat berada di depan cermin, tangan kanannya memegang ujung bawah kausnya, berusaha mengangkatnya tetapi wajahnya meringis menahan sakit saat perban di lengan kirinya ikut tergeser.“Keluar, Meysa,” perintah Wildan, meski suaranya tidak setajam biasanya.“Nggak usah gengsi! Kamu mau lukanya robek lagi? Nanti Pak Adam marah kalau editornya mati kehabisan darah cuma gara-gara mau ganti baju,” balas Meysa sambil mendekat. "Udah, sini aku yang bantuin. Jangan ngeyel-ngeyel amat kalau jadi orang!"Meysa berdiri di depan Wildan. Jarak mereka sangat dekat, hingga Meysa bisa mencium aroma sisa antiseptik bercampur wangi maskulin yang kuat dari tubuh Wildan. Dengan tangan sedikit gemetar, Meysa memegang ujung kaus hitam Wildan.“Angkat sedikit tangan kananmu,” bisik Meysa.Wildan menurut dalam diam. Matanya menatap ke arah lain, menghindari kontak mata dengan Meysa yang kini sangat serius membantunya. Saat kaus itu terangkat melewati kepala, Meysa harus be







