Share

Menuju Villa

Author: Risya Petrova
last update Huling Na-update: 2025-11-28 21:54:14

Meysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata.

"Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya.

Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab.

Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?"

Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini."

Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat."

"Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urusanmu sudah selesai, aku harus segera pulang."

Wildan mendengus. "Selesai? Tentu saja belum." Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding gedung. "Aku memang tidak mau ikut campur urusan remeh-temeh pribadimu. Tapi sebagai editor dan rekan kerjamu, aku perlu tahu kalau ada sesuatu yang bisa mengganggu fokusmu terhadap Rudal. Apalagi setelah rencana Pak Adam ini."

Meysa membuang napas kasar. "Aku sudah bilang, aku tidak terganggu. Dan soal rencana CEO Adam untuk ke vila di Puncak, sebetulnya aku nggak setuju dengan ide itu! Aku bisa bekerja dari rumah. Aku nggak butuh retreat intensif!"

"Kamu butuh," potong Wildan dingin. "Pak Adam memintaku mendampingimu untuk memastikan kamu tidak kembali ke jalur ‘kopi yang menguap’," Wildan menyeringai. "Dan ini bukan kemauan pribadiku, Meysa. Ini perintah langsung dari CEO. Kita berdua adalah tim inti sekarang. Konsepnya adalah retreat intensif selama seminggu penuh. Kamu tahu aturannya."

Meysa menggeleng. "Tidak bisa! Aku tidak mau! Aku nggak bisa pergi selama itu ..."

"Tidak ada yang bisa menolak. Ingat kamu sudah menandatangani kerja sama ketika kamu mengupload ceritamu di PenaKata, ya!" tegas Wildan. "Lagi pula semua biaya akomodasi ditanggung kantor. Dan yang terpenting, kamu akan mendapatkan bonus percepatan yang jumlahnya fantastis. Anggap saja ini reward sekaligus pengorbanan kecil demi uang yang kamu impikan, Meysa."

Wildan berhasil melumpuhkan Meysa dengan janji uang.

“Satu bulan? Terisolasi di sana berdua saja?” Meysa mengulang, rasa ngeri bercampur dengan ambisi.

“Ya, hanya kita berdua. Ini untuk memaksimalkan fokus. Itu sudah final. Anggap saja ini liburan yang dibayar mahal, Meysa. Dan aku harap, di sana, kita bisa benar-benar fokus. Tidak ada lagi drama pribadi atau pria mencurigakan yang mencengkeram lenganmu,” sindirnya, menekan kata-kata terakhirnya. "Aku sudah minta sopir PenaKata mengantarmu pulang sekarang agar kamu aman. Siapkan saja pakaian yang cukup. Besok pagi jam delapan, aku jemput kamu di depan rusunmu."

Wildan tak memberikan Meysa kesempatan untuk membalas. Ia melangkah kembali ke lobi.

Meysa mengepalkan tangannya. Satu bulan terisolasi dengan Wildan. "Sial! Ini neraka yang berbalut uang ratusan juta!" gumamnya frustrasi, sambil berjalan menuju mobil kantor yang sudah menunggunya.

***

Keesokan paginya, Meysa sudah menunggu di depan rusunnya tepat pukul 07.45, berusaha terlihat profesional meski ia merasa seperti tawanan yang hendak diasingkan selama sebulan penuh. Pukul 08.00 tepat, SUV hitam mengilap itu berhenti di depannya. Wildan keluar, mengenakan hoodie abu-abu mahal dan jeans gelap.

Meysa sejenak terhenyak dan termangu melihat betapa tampannya Wildan.

“Tepat waktu,” komentar Wildan datar, mengambil koper Meysa dan memasukkannya ke bagasi.

“Aku selalu profesional, tidak sepertimu yang suka merusak integritas karya orang,” balas Meysa tajam, serangan verbal pagi hari yang sudah mulai menjadi rutinitas mereka.

Wildan hanya menggeleng. “Baiklah, Penulis Rudal. Cepat masuk. Perjalanan ke Puncak cukup jauh. Kita punya empat minggu untuk merampungkan naskah ini. Jangan buang waktu.”

Meysa mendengus dan masuk ke kursi penumpang depan. Saat Wildan menyalakan mesin dan mobil mulai bergerak membelah padatnya jalanan, ponsel Meysa berdering.

Ia melihat nama kontak yang tertera di layar dan wajahnya langsung memucat lagi. Itu adalah panggilan dari nomor yang sama dengan pria yang mencengkram lengannya kemarin. Dimas!

Meysa dengan cepat menekan tombol tolak panggilan, lalu mematikan daya ponselnya.

“Siapa?” Wildan bertanya tanpa menoleh, matanya fokus pada jalanan.

Meysa menahan napas. Ia tidak mau membagi ketakutannya.

“Hanya … Nomor asing yang salah sambung,” jawab Meysa singkat, suaranya terdengar terlalu tegang.

Wildan tidak bertanya lebih jauh, tetapi Meysa bisa merasakan tatapan Wildan melirik sekilas ke arahnya melalui kaca spion dalam, tatapan yang menuntut kejujuran.

Saat mereka memasuki gerbang tol Jagorawi, ponsel Meysa yang mati tiba-tiba bergetar di dalam tasnya, lalu berbunyi sekali. Ia buru-buru mengambilnya. Layarnya kini menampilkan pesan teks singkat, entah bagaimana menembus blokir atau jaringan yang mati.

Dari: [Nomor tak dikenal]

"Kamu mau ke mana? Mobil yang kamu tumpangi membawa kamu ke arah Bogor. Apa pikir kamu bisa lari? Kamu mau ke Puncak? Hati-hati jangan sampai masuk angin di sana, Sayang."

Mata Meysa melebar ketakutan. Jantungnya mencelos. Ia meremas ponselnya hingga buku-buku jarinya memutih. Bagaimana mungkin pria itu tahu dia menuju Puncak? Apakah ia membuntutinya? Apakah sebulan terisolasi dengan Wildan justru akan menempatkannya dalam bahaya yang lebih besar?

Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram Meysa. Perjalanan ke Puncak yang seharusnya menjadi retreat mewah, kini terasa seperti pelarian yang menegangkan. Meysa menoleh, menatap Wildan yang fokus mengemudi, dan menyadari bahwa pria arogan ini, adalah satu-satunya pengaman yang ia miliki saat ini.

“Wildan,” panggil Meysa, suaranya nyaris berbisik.

“Apa?”

“Bisa tolong … tambah kecepatan sedikit?”

Wildan menoleh, bingung melihat ekspresi panik Meysa yang tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang pucat dan matanya yang berkaca-kaca jelas menunjukkan dia tidak sedang bercanda. Wildan mengerutkan kening. Ia bisa mencium aroma bahaya.

Ia tidak bertanya lebih jauh. Tanpa kata, Wildan menginjak pedal gas lebih dalam. SUV hitam itu melesat cepat, meninggalkan kepulan asap tipis di belakangnya.

‘Semoga aku segera sampai di villanya Pak Adam.’ Meysa berdoa di dalam hatinya. Tanpa disadarinya bahaya yang lainnya justru berada di villa itu.

Bahaya untuk tidak jatuh hati pada pria terlarang ini. Wildan!

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sentuhan Panas Editorku   Menuju Villa

    Meysa tidak langsung menjawab pertanyaan Wildan. Jantungnya masih berdebar kencang. Mereka kini berdiri di tepi jalan raya, tepat di depan gedung PenaKata. "Mey, siapa dia?" Suara Wildan terdengar kembali bertanya untuk kedua kalinya. Namun Meysa masih merapatkan mulutnya tidak mau menjawab. Wildan kembali mendesak, "Meysa, aku tanya sekali lagi. Ada apa ini? Siapa pria barusan? Kenapa dia mencengkeram lenganmu?" Meysa menatap Wildan dengan sorot mata yang dipenuhi kekesalan. "Bukan urusanmu, Wildan! Aku tidak perlu menceritakan masalah pribadi ku padamu. Cukup berlebihan kalau kamu langsung berasumsi ada drama besar di sini." Kata-kata ketus itu membuat Wildan kesal. "Hei, Meysa! Seharusnya kamu berterima kasih karena aku sudah menolongmu. Malah marah-marah begini. Tadi kamu yang memohon untuk cepat selesai rapat, sekarang kamu malah lambat." "Aku tidak memintamu menolongku ya. Aku bisa urus diriku sendiri," balas Meysa, meskipun ia tahu ia hanya membual. "Sekarang, kalau urus

  • Sentuhan Panas Editorku   Ancaman sang Mantan

    Meysa ternganga. Jantungnya langsung berdebar kencang. 'Hah? Tinggal berdua dengan Wildan?! Pria yang sudah punya istri dan anak? Pria yang sudah jadi pria terlarang bagiku?!' serunya panik dalam hati."Aku ... aku tidak bisa, Pak," Meysa memprotes segera. "Aku punya urusan di Jakarta. Aku harus mengurus ....""Urusan apa, Meysa?" Wildan akhirnya angkat bicara, menoleh padanya. "Urusan pindah dari rusun bobrokmu? Kamu akan segera punya banyak uang. Tinggal satu bulan di Puncak untuk mengubah hidupmu, itu namanya investasi masa depan. Kita butuh fokus 100%," ucap Wildan, nada suaranya seolah sedang menjelaskan pada anak kecil yang keras kepala."Tapi, Pak Adam," Meysa mengabaikan Wildan dan kembali menatap CEO. "Aku dan Wildan ... kami tidak cocok. Kami sering berdebat soal integritas dan idealisme. Kami tidak akan bisa bekerja sama dalam satu atap."Pak Adam tertawa kecil. "Itulah yang saya harapkan. Creative friction! Energi dari perdebatan kalian justru yang menciptakan hook terlara

  • Sentuhan Panas Editorku   Rencana absurt Pak CEO

    Pagi berikutnya, Meysa tiba di kantor PenaKata lebih awal, didorong oleh kombinasi gugup dan keinginan membuktikan diri. Ia naik ke lantai lima, menuju ruang kerja Wildan. Koridor terasa sunyi. Seorang staf wanita muda menyambut Meysa di lorong dengan senyum ramah. "Pagi, Kak Meysa. Pak Wildan belum datang. Silakan masuk saja," kata staf tersebut, menyerahkan kunci duplikat. "Kami sudah siapkan aksesnya, supaya Kak Meysa tidak perlu menunggu di luar. Kalian kan sudah kolaborasi intens." Meysa mengangguk kaku, menerima kunci perak itu. Ia merasakan tatapan menyelidik dari beberapa meja yang ia lewati, seolah ia adalah bintang yang baru naik daun. Ia memutar kunci, membuka pintu, dan menyalakan lampu. Ruangan itu rapi, seefisien dan sebersih Wildan sendiri, steril dan dingin. Dindingnya hanya dihiasi papan tulis putih besar penuh dengan flowchart dan target angka penjualan yang mengerikan. Meysa duduk di salah satu kursi, mencoba fokus, tetapi matanya tanpa sadar menyapu sudut mej

  • Sentuhan Panas Editorku   Pria terlarang

    [Senang melihatmu sukses dan akhirnya kaya, Sayang. Tapi aku tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan pria lain.]Meysa terpaku menatap layar ponselnya. Itu pesan dari Dimas. Mantan kekasihnya yang toxic, posesif, dan pengkhianat.Kedua tangan Meysa sedikit gemetar. Perasaan takut dan risih langsung hinggap, hingga bulu kuduknya meremang. Wildan menyadari Meysa tidak mengikutinya. Ia pun menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke belakang. “Hei, penulis Rudal, ayo cepat! Ngapain kamu bengong di sana? Kita harus bicara bisnis ini secepatnya. Aku tidak punya waktu banyak, karena bukan cuman kamus aja penulis yang aku urusin,” katanya dengan nada ketus.“Maaf!” seru Meysa. Ia segera memasukan kembali ponselnya ke dalam tas kulit selempangnya. Ia berjalan cepat dari lobi mewah kantor PenaKata menuju area lift bersama Wildan. Di dalam lift, atmosfer tegang menyelimuti mereka. Kemeja putih Meysa yang licin dan rok hitam formalnya terasa terlalu kaku di samping Wildan yang tampak santai na

  • Sentuhan Panas Editorku   Editor yang menyebalkan

    “Halo. Wildan?” “Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Berat, dalam, dan terdengar seperti suara yang tidak pernah tersenyum.“Halo, ini Meysa. Meysa Haryani. Penulis Secangkir Kopi dan Rindu yang Menguap … atau yang sekarang jadi Kehangatan Rudal Paman Mantanku!” seru Meysa, nadanya langsung melengking tinggi, kontras tajam dengan ketenangan yang menyelimuti suara Wildan.Terdengar jeda singkat di seberang, diikuti helaan napas berat. “Oh, Kak Meysa. Aku sudah menduga panggilan ini datang. Ya, aku yang mengubahnya. Kamu pasti ingin tahu kenapa novel idealis kamu yang gak laku itu mendadak jadi hot commodity dan populer, pencarian nomer satu di PenaKata.”“Kenapa?! Editor macam apa yang mengubah novel idealis tentang deskripsi hujan dan melankolia menjadi novel dewasa, Wildan?! Dan judulnya?! Kehangatan Rudal Paman Mantanku?! Astaga! Kamu tahu nggak itu melanggar integritas moralku sebagai penulis?” Meysa memekik. Ia melangkah mondar-mandir di antara sofa lusuh.“Integritas moral k

  • Sentuhan Panas Editorku   Kehangatan Rudal Paman Mantanku

    “Aah!”“Terus Sayang ...!”“Aw … Please ….”“Yes! Baby … Yeees!”Suara racauan dan desahan yang memecah kesunyian malam itu terdengar begitu vulgar, seolah dinding tipis kamar kos tak mampu lagi meredamnya. Bunyi ranjang yang berderit, menyatu dengan nafas memburu dan lenguhan asing, menusuk langsung ke ulu hati Meysa.‘Tidak! Tidak mungkin!’Langkah Meysa berhenti tepat di depan pintu kamar kos nomor empat, di lantai enam ini. Kamar kos yang bebas tanpa pengawasan ibu atau bapak kosan.Meysa mengepalkan tangan, urat lehernya menegang. Jantungnya berdentum-dentum di dada, memompa amarah yang siap meledak. Dengan sisa tenaga yang ia punya, Meysa menerjang pintu itu.Sayangnya, pintu itu terbuat dari kayu tebal, bukan karton. Serangan mendadaknya hanya menyisakan rasa nyeri hebat di bahu kanannya. Pintu itu tetap tertutup, mengejeknya dengan suara-suara laknat dari dalam.Rasa sakit fisik itu tidak sebanding dengan sakit yang menghunjam dadanya. Meysa mencari cara. Netranya melirik ke a

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status