Rose merasa tubuhnya terbakar. Napasnya mulai tercekat, dadanya naik turun tak karuan. Rasa panas yang tidak hanya menyiksa Rose tapi juga memunculkan rasa gairah di tubuh Rose.
“Rose” suara Arthur terdengar di telinga Rose.
Lengan kokohnya mengendong Rose dan membawa ke kamar mandi. Rose merintih dipelukan Arthur. Rose berusaha untuk tetap sadar. Wangi tubuh Arthur menyusup ke hidung Rose yang bisa membuat Rose semakin menggila.
Pintu kamar mandi terbuka keras. Arthur menurunkan Rose ke dalam bathub lalu memutar keran. Air dingin memercik deras dan membanjiri tubuh Rose.
“Aaaaahhhh...” Rose berdesah. Tubuhnya semakin bergetar hebat.
Air sedingin es itu yang menguyur tubuh Rose tidak menghilangkan rasa panas, tapi justru membuat rasa panas itu semakin liar.
Arthur menekuk lututnya, kedua tangannya menahan bahu Rose agar tetap dibawah guyuran air.
“Bertahanlah, Rose. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Air dingin ini akan membantu kamu,” ucap Arthur.
"Masih panas, Papa. Aaaaahhh. Aku gak kuat." Tanpa Rose sadari, desahan Rose tiba-tiba keluar.
Rose menggigil, giginya bergemeletuk. Namun di sela gemetar itu gejolak lain menguasai tubuhnya. Rasa panas dibadannya membakar seluruh tubuhnya dan menaikkan api gairah.
Rose memandang wajah Arthur, garis rahangnya yang tegas serta sorot matanya yang penuh rasa khawatir justru memperparah keinginannya ingin di sentuh.
“Papa, tolong aku.” Tangan Rose meraih wajah Arthur. Tatapan Rose semakin sayu.
Arthur tahu apa yang diinginkan Rose saat ini. “Rose, jangan.” Arthur menggeleng sambil memegang pergelangan tangan Rose dan menurunkan dari pipinya. “Kamu tidak tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Rose. Jangan sampai kamu menyesal. Biarkan air dingin ini yang membantu kamu menghilangkan rasa panas itu.”
Rose menatap Arthur dengan pandangan yang nyaris putus asa. Air dingin mengalir dari rambut ke pipi bercampur dengan air mata yang tak ia ketahui kapan mulai jatuh. “Aku.... Aku tidak kuat, Papa. Panas ini menyiksaku. Papa, tolong aku. Aaaahhh.”
Arthur menarik napas panjang, matanya menatap Rose dengan iba. “Aku Papa mertua kamu, Rose. Aku bukan laki-laki yang bisa kamu gunakan untuk....”
Rose tidak membiarkan Arthur menyelesaikan ucapannya. Tangannya menyentuh dada Arthur yang keras di balik kemeja putih. Suhu tubuhnya hangat sangat kontras dengan dinginnya air yang mengguyur Rose. Sensasi itu membuat Rose semakin gemetar.
“Hanya Papa yang bisa membantu aku.” Bibir Rose bergetar saat mengucapkan kata-kata itu. “Aku butuh Papa.”
Arthur tersentak dan langsung menepis tangan Rose. “Sadar Rose. Jangan lakukan itu. Aku Papa mertuamu, Rose. Papa tidak mungkin melewati batas itu, Rose”
Rose tertawa getir, suaranya parau bercampur rintihan. “Papa mertua? Itu hanya status, Papa. Tidak ada batas diantara kita. Aku tahu siapa Papa dan Zumi.”
Arthur menggeleng keras. “Jangan, Rose. Kamu tidak sadar apa yang kamu katakan saat ini.”
Rose mendekatkan wajahnya pada Arthur. Bibir Rose hampir menyentuh rahang Arthur yang tegang. “Aku tahu apa yang aku mau sekarang, Papa.”
Arthur buru-buru mendorong Rose dengan pelan, seolah-olah takut menyakiti Rose.
“Rose, hentikan! Aku laki-laki normal. Justru aku laki-laki normal harus bisa menolak. Kamu istri Zumi, Rose.”
Rose tersenyum getir, air matanya mengalir di pipinya. “Aku memiliki suami tapi seperti tidak memiliki suami, Papa. Papa, tidak tahu seberapa tersiksanya aku selama ini. Hikssss..... Aku kesepian. Aku rindu suamiku. Aku rindu sentuhan itu. Tapi sekarang dia entah dimana. Aku tersiksa, Papa.” Tangis Rose pecah, semua yang dia pendam selama ini terbongkar di depan Arthur, Papa mertuanya.
Arthur memejamkan matanya, rahangnya semakin mengeras. “Rose....” suaranya hampir seperti erangan.
Rose menempelkan tubuhnya pada Arthur. Tangannya memeluk Arthur. Rose menempelkan bibirnya pada bibir Arthur. Tidak ada yang bisa Rose pikirkan selain menghilangkan rasa panas dan gairah pada tubuhnya.
Arthur membuka matanya, pandangannya bergetar dan nafsu yang ditahan mati-matian.
Ya, sejak tadi Arthur terus memperkuat pertahanan dirinya. Dia tidak mungkin melakukan hal keji itu walaupun Arthur akui jika ia jatuh cinta dengan Rose. Dia laki-laki normal, melihat wanita yang ia sayang seperti itu tentu membangunkan api gairah yang selama ini terpendam. Arthur tidak ingin menghancurkan Rose.
Rose berbisik di telinga Arthur.
“Papa hanya Papa tiri Zumi. Malam ini hanya ada aku dan Papa.” Suara lembut Rose membuat pertahanan Arthur runtuh.
Arthur meraup bibir ranum Rose dengan penuh gairah. Rose juga membalas ciuman Arthur dengan penuh gairah.
Bahkan terdengar bunyi decapan antara pertarungan dua bibir yang sama-sama saling mengesap. Lidah mereka saling bertautan. Tangan Arthur tidak diam begitu saja. Sejak ciuman terjadi, tangannya bergerilya di tubuh Rose. Ciuman yang membangunkan api gairah di tubuh mereka.“Aaahhhh....” Desahan Rose terdengar di sela ciuman mereka.
Arthur mengangkat Rose keluar dari bathub. Tubuh Rose basah, air menetes dari rambut dan kulitnya tapi hal itu tidak menghentikan mereka.
Arthur membawa Rose ke ranjang dan meletakkan Rose dengan hati-hati sebelum nafsu mengambil alih sepenuhnya.
“Papa...” Suara Rose bergetar saat Arthur melihatnya dengan tatapan sayu.
“Sekali ini saja.” Gumam Arthur seperti bicara pada dirinya sendiri.
Lalu Arthur menunduk dan mencumbu leher Rose, membuat Rose mendesah tak terkendali. Tangan Arthur sudah mendarat di dua gunung kembar milik Rose.
Arthur membantu Rose membuka gaun yang masih menempel di tubuh Rose. Saat gaun itu terlepas dari tubuh Rose, Arthur langsung terpana melihat tubuh indah Rose. Dada sintal yang sangat menggoda Arthur. Semua yang ada di tubuh Rose sangat indah bagi Arthur. Jakun Arthur sudah turun naik sejak tadi. Benda purbakalanya semakin mengeras saat melihat tubuh indah Rose.
Arthur berdiri untuk melepas kain yang masih menempel di tubuhnya. Kemeja dan celana kain yang Arthur gunakan sudah terjatuh di lantai. Hanya tersisi celana boxer yang membungkus benda purbakalanya.
Di tengah kesadarannya, Rose terpesona melihat tubuh Arthur. Dada bidang dengan otot perut yang padat bahkan tidak ada tumpukan lemak di sana. Arthur membuka celana boxernya sehingga tampaklah benda purbakala yang sudah mengeras sejak tadi.
Rose menelan ludah dengan susah payah, matanya tertuju pada benda purbakala milik Arthur yang besar dan berurat.
Arthur langsung naik kembali ke atas ranjang dan mengungkung Rose. “Setelah aku memulainya, aku tidak akan berhenti Rose” bisik Arthur di telinga Rose.
“Malam ini aku milik Papa” suara Rose terdengar sama di sela-sela kesadarannya.
Arthur mulai menelusuri tubuh Rose, mulai dari telinga lanjut ke mata lanjut ke bibir ranum yang membuat candu untuk Arthur. Cukup lama Arthur dan Rose berciuman. Arthur melepaskan ciumannya pada Rose, lidah Arthur mulai terjulur pada belahan dada Rose yang sudah terlepas dari kain penutupnya. Kedua telapak tangan Arthur menangkup sepasang bukit milik Rose dan menciumnya secara bergantian.
“Papaaaa....” Rose menarik kepala Arthur agar leluasa menempel pada dadanya.
Arthur memilin salah satu puncak bukit Rose kemudian menggunakan ibu jarinya membelai, sementara lidahnya menjilati bagian lainnya dengan gerakan memutar dan menyesap kuat. Arthur seperti bayi besar yang sedang menikmati sumber kehidupan.
“Papaaa....” Rose semakin bergerak gelisah dibawah kungkungan Arthur.
“Sebut namuku, Rose” erang Arthur.
“Arthur, aaaaahhhhh” desahan Rose semakin menggila karena ulah Arthur.
Arthur membuka kedua kaki Rose lebar-lebar. Bibirnya bergerak menjilati jari-jari kaki Rose dan merayap ke atas pahanya, memberikan kecupan-kecupan kecil disertai sesapan yang membuat tubuh Rose mengejang gelisah.
Walaupun dalam kondisi setengah sadar, Rose bisa merasakan sentuhan yang diberikan oleh Arthur itu nyata. Ia merasakan miliknya di bawah sana telah basah.
Lidah Arthur menerobos masuk ke dalam lembah basah milik Rose, menjilat, menyesap dan mengigit lembut. Bukan hanya memberikan kenikmatan kepada Rose tetapi apa yang dilakukannya juga menghadirkan denyut nikmat yang menjalar ke seluruh aliran darahnya.
Suara desahan dari bibir mungil Rose menjadikan Arthur seperti di serang oleh dorongan hasrat yang menggila. Hati kecilnya berkata apa yang ia lakukan saat ini salah tapi hasrat yang sudah terlanjur membakarnya sehingga mematikan logikanya.
Benda purbakalanya telah menegang sempurna dan tidak mungkin lagi bisa dicegah untuk segera bertemu dengan lembahh kenikmatan Rose.
Arthur menegakkan tubuhnya, pria itu kembali mengusap kepala benda purbakalanya yang sudah siap tempur, memegangnya dan menggesekkan pada pintu gerbang lembah Rose yang sudah siap dengan ucapan selamat datang.
“Rose, aku mulai ya” bisik Arthur.
“Iya, Papa... Ahhhh aku sudah tidak tahan Pa” desah Rose.
Arthur menggesekkan kepala purbakalanya pada pintu lembah basah milik Rose yang membuat Rose semakin bergerak gelisah. Arthur semakin membuka kedua kaki Rose lebar-lebar dan mendorong pinggulnya pelan, sangat pelan hingga kemudian menyentak dengan sedikit keras.
“Arthurr...”
“Milikmu sangat sempit, Rose. Enaak...” erang Arthur. Untuk pertama kalinya Arthur melampiaskan hasrat yang sudah bertahun-tahun tidak dilampiaskan setelah sang istri meninggal.
“Cepat, Arthur.” Suara rengekan manja itu semakin membakar gairah Arthur.
Gerakan pinggul Arthur yang awalnya pelan sedikit demi sedikit berubah menjadi cepat. Arthur terus menghentakkan pinggulnya dengan cepat.
Tubuh Rose bergerak seirama dengan hentakan pinggul Arthur. Gerakan Arthur semakin cepat, ketika ibu jari Rose memainkan puting payudara Arthur yang kecil dan keras, tubuh Arthur yang ada di atas tubuh Rose kelimpungan. Salah satu titik sensitif yang membangkitkan libidonya dengan cepat berhasil dikuasai Rose.
“Oh... Rose... nikmat sekali,” racau Arthur sambil terus memompa tubuh Rose. Peluh keringat membanjiri tubuh Arthur hingga terlihat seksi di mata Rose.
Rose menjerit saat tiba-tiba Arthur membalik tubuhnya dan melesakkan benda purbakalanya dari belakang. Kedua telapak tangan Arthur menepuk bokong sintal Rose sehingga membuat Rose semakin menggila. Lalu tangannya merayap ke depan menangkap sepasang aset Rose yang menggantung.
Suara desahan dan erangan seperti alunan musik yang memenuhi kamar Arthur. Tubuh Rose dan Arthur menyatu dalam irama yang tak pernah Rose bayangkan selama ini.
Rose dan Arthur kembali ke gaya semula. Arthur menghentak dan menghujam lebih dalam. Tubuh Rose mengerjang beberapa kali. Beberapa kali Arthur sempat memutar pinggulnya, mengeluarkan benda purbakala yang besar dan berurat itu dan melesakkan kembali ke dalam dengan dorongan kuat hingga ledakan gairah itu menerjang dirinya. Tiga kali hentakan kuat ia lakukan dan ditutup dengan sebuah hujaman terdalam pada titik terdalam hingga menyentuh rahim Rose disertai cairan hangat yang keluar di dalam.
Rose dan Arthur tidak hanya melakukan satu kali tapi lebih dari itu hingga mereka kelelahan dan tidur sambil berpelukan.
Sinar matahari menembus tirai kamar. Rose membuka matanya. Tubuhnya terasa lemas. Rose menoleh ke samping, ia melihat Arthur tidur di sisi ranjang, wajahnya tenang meski penuh dengan garis lelah.
Rose mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamar. Rose tahu dimana dia berada saat ini. Ini bukan kamarnya. Rose membuka selimut dan betapa dia terkejut saat melihat tubuhnya tidak tertutup oleh benang sehelai pun.
Saat kesadaran Rose kembali seutuhnya, seperti ditampar keras. Semua yang terjadi semalam. Tuhan... Apa benar aku melakukannya dengan Arthur, Papa mertuaku?
Rose mendadak bangkit dari tidurnya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Rasa marah, malu dan bingung bercampur menjadi satu.
“Papa!” teriakan Rose membuat Arthur terbangun. Ia menoleh ke arah Rose, Arthur tahu Rose sudah mengingat apa yang mereka lakukan semalam.
“Rose, aku bisa jelaskan....”
“Jelaskan apa?” Rose menatap Arthur dengan air mata yang sudah mengalir. “Mengapa Papa lakukan itu padaku? Papa.....” Rose tidak bisa meneruskan ucapannya.
“Papa…” Rose langsung memeluk Arthur. Tangisnya semakin pecah saat dipelukan Papa mertuanya.Rose sangat bingung saat ini. Dia tidak tahu alasan Zumi ingin menceraikannya. Rose sangat merindukan Zumi, ia begitu senang saat melihat notifikasi pesan dari sang suami.Bagai di sambar petir, Rose sangat terkejut membaca pesan dari Zumi yang ingin menceraikannya.Arthur mengusap punggung Rose untuk menenangkan Rose. Bucket bunga mawar yang ia bawa tadi sudah tergeletak di lantai. Hatinya bagai di remas saat melihat menangis dipelukannya.“Papa, aku harus bagaimana? Hiksss… Zumi ingin menceraikanku.”“Apa yang ada di pikiran Zumi,” ucap Arthur dingin. Rasa marah pada Zumi langsung menyeruak. Dia tidak tega melihat Rose hancur seperti ini.“Aku gak tahu alasannya Zumi ingin menceraikan aku, Pa. Aku harus bagaimana?” tanya Rose sambil melepaskan pelukannya dengan Arthur.Wajah Rose memerah karena menangis sejak tadi. Matanya sembab.Arthur mengusap air mata di pipi Rose. “Aku akan membantu kam
Rose dan Arthur sedang duduk berhadapan di ruang makan. Setelah Rose sedikit tenang tadi, Rose dan Arthur pergi ke ruang makan karena sudah waktunya sarapan.Roti panggang mereka masih utuh, belum tersentuh sama sekali. Mata Rose masih sembab karena menangis. Akhir-akhir ini Rose lebih sering menangis.“Aku telah jahat sama Papa karena...” ucapan Rose terpotong saat Arthur memegang tangan Rose di atas meja.“Rose, Aku justru yang sangat bersalah sama kamu. Keadaan yang membuat kita melakukan hal itu.” Tangan Arthur masih memegang tangan Rose.“Papa, bagaimana jika kita lupakan malam itu?” usul Rose. Matanya menoleh ke arah tangannya yang di genggam oleh Arthur sehingga membuat Arthur langsung melepaskan tangan Rose.“Baik, kita lupakan malam itu,” ucap Arthur sambil menganggukkan kepala. Rose dan Arthur sepakat ingin melupakan malam panas mereka, tapi entah kenapa hati mereka menginginkan hal lain.Sejak malam itu, Rose sudah berusaha keras untuk menatap Arthur hanya sebagai ayah mert
“Rose, Papa…” Arthur menghentikan ucapannya tapi tatapannya hanya tertuju pada Rose.Rose menunggu apa yang ingin di sampaikan oleh Arthur. Suasana mendadak hening, Arthur kembali diam begitu juga dengan Rose.Rose dan Arthur duduk berhadapan, piring mereka sudah kosong. Aroma masakan yang masih samar menguar di udara bercampur dengan keheningan yang membalut mereka berdua.“Kamu, baik-baik saja kan,Rose? Maksudku setelah malam itu?” Akhirnya kata itu yang keluar dari mulut Arthur memecah keheningan diantara mereka.Rose tersenyum tipis. Dalam benaknya ia ingin menjawab dengan lantang bahwa ia tidak baik-baik saja. Sangat tidak baik-baik saja. Tapi bukan kalimat itu yang ia ucapkan. “Aku baik-baik saja, Papa.”Arthur menatap mata Rose. Arthur ingin melihat kejujuran dari ucapan Rose. Dari mata Rose, Arthur yakin saat ini Rose tidak baik-baik saja.Selanjutnya, obrolan mereka berlanjut seadanya. Arthur dan Rose membahas tentang makanan dan hal-hal ringan yang biasanya tidak mereka angg
Arthur bangkit dan menatap Rose dengan rasa bersalahnya “Aku sudah berusaha menahan diri, Rose. Tapi kamu.... Kamu sendiri yang memaksaku. Aku laki-laki normal, Rose. Pertahananku runtuh. Tapi percayalah, aku tidak pernah berniat menyakitimu, Rose.”Rose terdiam, napasnya terengah-engah. Rose tahu Arthur tidak mungkin berbohong tapi rasa amarah Rose terlalu besar sehingga dia tidak bisa berpikir jernih.“Apa Papa pikir aku bisa terima alasan itu?” bentak Rose dengan suara bergetar. Air matanya mengalir di pipinya. “Kalau Papa benar-benar laki-laki terhormat, Papa seharusnya bisa menahan diri! Aku ini menantu Papa!”“Rose!” Suara Arthur meninggi. Dia tidak terima jika hanya dia yang disalahkan. “Jangan bicara seakan-akan aku satu-satunya yang salah. Kamu juga…. kamu juga yang membuat pertahananku runtuh!”Wajah Rose memerah karena marah sekaligus malu. “Jadi sekarang salahku? Papa tega menyalahkan aku setelah semua yang terjadi semalam? Papa pikir aku sengaja menyerahkan diriku?!”Ar
Rose merasa tubuhnya terbakar. Napasnya mulai tercekat, dadanya naik turun tak karuan. Rasa panas yang tidak hanya menyiksa Rose tapi juga memunculkan rasa gairah di tubuh Rose.“Rose” suara Arthur terdengar di telinga Rose.Lengan kokohnya mengendong Rose dan membawa ke kamar mandi. Rose merintih dipelukan Arthur. Rose berusaha untuk tetap sadar. Wangi tubuh Arthur menyusup ke hidung Rose yang bisa membuat Rose semakin menggila.Pintu kamar mandi terbuka keras. Arthur menurunkan Rose ke dalam bathub lalu memutar keran. Air dingin memercik deras dan membanjiri tubuh Rose.“Aaaaahhhh...” Rose berdesah. Tubuhnya semakin bergetar hebat.Air sedingin es itu yang menguyur tubuh Rose tidak menghilangkan rasa panas, tapi justru membuat rasa panas itu semakin liar.Arthur menekuk lututnya, kedua tangannya menahan bahu Rose agar tetap dibawah guyuran air.“Bertahanlah, Rose. Kamu harus bisa melawan rasa itu. Air dingin ini akan membantu kamu,” ucap Arthur."Masih panas, Papa. Aaaaahhh. Aku gak
Bisik-bisik dan lirikan penuh rasa ingin tahu bertebaran di dalam ballroom yang dipenuhi Cahaya lampu kristal. Setiap langkah Arthur dan Rose terasa menjadi pusat perhatian. Rose menundukkan pandangannya, jemarinya meremas gaun halus yang ia kenakan. Jantungnya berdebar terlalu cepat, seolah ikut bersaing dengan denting gelas para tamu.“Jangan menunduk, Rose,” bisik Arthur, suaranya berat dan penuh wibawa tepat di telinga Rose. Hangat napasnya menyentuh kulit tipis dilehernya. “Percayalah pada dirimu sendiri. Kamu cantik, lebih dari cukup untuk berdiri di sisiku.”Rose menelan ludah. Tatapan mata Arthur yang singkat saja membuat dadanya sesak. Ia mengangkat wajahnya, mencoba menegakkan diri.Arthur lalu memeluk sahabatnya, Dave, sambil menyodorkan paper bag berisi hadiah. “Selamat ulang tahun, bro.”Dave tertawa lalu menepuk bahu Arthur. “Hadiah lagi? Arthur, kamu ini terlalu repot. Kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup.”Di sisi Dave, Julia memandangi Rose dengan tatapan penasaran