تسجيل الدخول“Malam ini aku milik Papa.” Suara Rose terdengar sama di sela-sela kesadarannya.
Arthur mulai menelusuri tubuh Rose, mulai dari telinga lanjut ke mata lanjut ke bibir ranum yang membuat candu untuk Arthur.
Cukup lama Arthur dan Rose berciuman.
Arthur melepaskan ciumannya pada Rose, lidah Arthur mulai terjulur pada belahan dada Rose yang sudah terlepas dari kain penutupnya.
Kedua telapak tangan Arthur menangkup sepasang bukit milik Rose dan menciumnya secara bergantian.
“Papaaaa....” Rose menarik kepala Arthur agar leluasa menempel pada dadanya.
Arthur memilin salah satu puncak bukit Rose kemudian menggunakan ibu jarinya membelai, sementara lidahnya menjilati bagian lainnya dengan gerakan memutar dan menyesap kuat.
Arthur seperti bayi besar yang sedang menikmati sumber kehidupan.
“Papaaa....” Rose semakin bergerak gelisah dibawah kungkungan Arthur.
“Sebut namuku, Rose,” erang Arthur.
“Arthur, aaaaahhhhh” desahan Rose semakin menggila karena ulah Arthur.
Arthur membuka kedua kaki Rose lebar-lebar.
Bibirnya bergerak menjilati jari-jari kaki Rose dan merayap ke atas pahanya, memberikan kecupan-kecupan kecil disertai sesapan yang membuat tubuh Rose mengejang gelisah.
Walaupun dalam kondisi setengah sadar, Rose bisa merasakan sentuhan yang diberikan oleh Arthur itu nyata.
Ia merasakan miliknya di bawah sana telah basah.
Lidah Arthur menerobos masuk ke dalam lembah basah milik Rose, menjilat, menyesap dan mengigit lembut.
Bukan hanya memberikan kenikmatan kepada Rose tetapi apa yang dilakukannya juga menghadirkan denyut nikmat yang menjalar ke seluruh aliran darahnya.
Suara desahan dari bibir mungil Rose menjadikan Arthur seperti di serang oleh dorongan hasrat yang menggila.
Hati kecilnya berkata apa yang ia lakukan saat ini salah tapi hasrat yang sudah terlanjur membakarnya sehingga mematikan logikanya.
Benda purbakalanya telah menegang sempurna dan tidak mungkin lagi bisa dicegah untuk segera bertemu dengan lembahh kenikmatan Rose.
Arthur menegakkan tubuhnya, pria itu kembali mengusap kepala benda purbakalanya yang sudah siap tempur, memegangnya dan menggesekkan pada pintu gerbang lembah Rose yang sudah siap dengan ucapan selamat datang.
“Rose, aku mulai ya,” bisik Arthur.
“Iya, Papa... Ahhhh aku sudah tidak tahan Pa,” desah Rose.
Arthur menggesekkan kepala purbakalanya pada pintu lembah basah milik Rose yang membuat Rose semakin bergerak gelisah.
Arthur semakin membuka kedua kaki Rose lebar-lebar dan mendorong pinggulnya pelan, sangat pelan hingga kemudian menyentak dengan sedikit keras.
“Arthur...”
“Milikmu sangat sempit, Rose. Enaak...” erang Arthur.
Untuk pertama kalinya Arthur melampiaskan hasrat yang sudah bertahun-tahun tidak dilampiaskan setelah sang istri meninggal.
“Cepat, Arthur.” Suara rengekan manja itu semakin membakar gairah Arthur.
Gerakan pinggul Arthur yang awalnya pelan sedikit demi sedikit berubah menjadi cepat.
Arthur terus menghentakkan pinggulnya dengan cepat.
Tubuh Rose bergerak seirama dengan hentakan pinggul Arthur.
Gerakan Arthur semakin cepat, ketika ibu jari Rose memainkan puting payudara Arthur yang kecil dan keras, tubuh Arthur yang ada di atas tubuh Rose kelimpungan.
Salah satu titik sensitif yang membangkitkan libidonya dengan cepat berhasil dikuasai Rose.
“Oh... Rose... nikmat sekali,” racau Arthur sambil terus memompa tubuh Rose.
Peluh keringat membanjiri tubuh Arthur hingga terlihat seksi di mata Rose.
Rose menjerit saat tiba-tiba Arthur membalik tubuhnya dan melesakkan benda purbakalanya dari belakang.
Kedua telapak tangan Arthur menepuk bokong sintal Rose sehingga membuat Rose semakin menggila.
Lalu tangannya merayap ke depan menangkap sepasang aset Rose yang menggantung.
Suara desahan dan erangan seperti alunan musik yang memenuhi kamar Arthur.
Tubuh Rose dan Arthur menyatu dalam irama yang tak pernah Rose bayangkan selama ini.
Arthur sangat pandai membuat ia hilang kendali.
Rose tidak berhenti mendesah karena ulah Arthur.
Rose dan Arthur kembali ke gaya semula.
Arthur menghentak dan menghujam lebih dalam.
Tubuh Rose mengerjang beberapa kali.
Beberapa kali Arthur sempat memutar pinggulnya, mengeluarkan miliknya yang besar dan berurat itu, melesakkan kembali ke dalam dengan dorongan kuat hingga ledakan gairah itu menerjang dirinya.
Tiga kali hentakan kuat ia lakukan dan ditutup dengan sebuah hujaman terdalam pada titik terdalam hingga menyentuh rahim Rose disertai cairan hangat yang keluar di dalam.
Rose dan Arthur tidak hanya melakukan satu kali tapi lebih dari itu hingga mereka kelelahan dan tidur sambil berpelukan.
Sinar matahari menembus tirai kamar.
Rose membuka matanya. Tubuhnya terasa lemas.
Rose menoleh ke samping, ia melihat Arthur tidur di sisi ranjang, wajahnya tenang meski penuh dengan garis lelah.
Rose mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamar.
Rose tahu dimana dia berada saat ini.
Ini bukan kamarnya.
Rose membuka selimut dan betapa dia terkejut saat melihat tubuhnya tidak tertutup oleh benang sehelai pun.
Saat kesadaran Rose kembali seutuhnya, seperti ditampar keras. Semua yang terjadi semalam.
Tuhan... Apa benar aku melakukannya dengan Arthur, Papa mertuaku?
Rose mendadak bangkit dari tidurnya, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Rasa marah, malu dan bingung bercampur menjadi satu.
“Papa!” teriakan Rose membuat Arthur terbangun.
Ia menoleh ke arah Rose, Arthur tahu Rose sudah mengingat apa yang mereka lakukan semalam.
“Rose, aku bisa jelaskan....”
“Jelaskan apa?” Rose menatap Arthur dengan air mata yang sudah mengalir. “Mengapa Papa lakukan itu padaku? Papa......” Rose tidak bisa meneruskan ucapannya.
Ken dan AlanaBasement gedung kantor terasa lebih dingin daripada biasanya.Suara hujan dari atas semakin terdengar keras, seperti menabrak seluruh struktur bangunan.Ken berjalan sedikit di depan, sesekali menoleh memastikan Alana masih mengikutinya.Alana memeluk tasnya erat-erat, langkahnya pelan karena takut terpeleset di lantai parkiran yang sedikit lembap.“Pelan-pelan aja, Al. Lantainya licin,” ujar Ken tanpa menoleh.Alana mengangguk meski Ken tidak melihatnya. “Iya… aku tahu.”Tapi beberapa detik kemudian seperti sudah bisa ditebak Alana terpeleset kecil karena menginjak genangan tipis. Tubuhnya oleng ke samping.Refleks, Ken meraih lengannya. “Hei! Hati-hati.”Alana hampir melekat di dada Ken saking dekatnya jarak mereka.Wajah Alana langsungmemerah. “Maaf…”Ken mendengus pelan namunnya masih memegang lengan Alana “Aku suruh hati-hati juga nggak didengerin.”Nada Ken terdengar ketus. Tapi dari matanya tampak benar-benar khawatir.“…Kamu marah?” tanya Alana pelan.Ken melepas
Sore hari kantor perlahan mulai lengang.Lampu-lampu di lorong sudah menyala otomatis karena langit Jakarta menggelap lebih cepat akibat hujan deras yang turun sejak setengah jam lalu.Rose menutup laptopnya dan merapikan dokumen di mejanya.Dari sudut lain ruangan, Arthur melakukan hal yang sama—merapikan jasnya lalu mematikan layar komputer.“Sudah siap pulang?” tanya Arthur sambil melirik Rose yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas.Rose mengangguk. “Siap, Tuan.”Mereka berdua berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, Ken sudah berdiri rapi dengan tas di tangannya. Seperti biasa jika tidak lembur, Ken akan pulang bersama-sama dengan atasannya tentu saja dengan mobil yang berbeda.“Sudah siap, Tuan Arthur,” ucap Ken sambil menundukkan kepala sedikit.Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju lift. Arthur sempat memberi instruksi, “Ken, nanti kirimkan email tentang dokumen yang harus aku periksa malam ini. Kamu mengirim emailnya nanti saja juga nggak papa, Ken.”“Baik, Tua
Alana menelan ludahnya pelan. “Kami itu hanya… teman kantor,” ulangnya dengan suara lebih lirih.Rose menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam namun tetap lembut, khas sahabat yang ingin mencari kebenaran tapi tidak ingin menekan.“Yakin?” ulang Rose, kali ini dengan nada pelan tapi menusuk. “Soalnya ekspresi kamu tadi pagi… jelas bukan ekspresi ‘teman kantor’ saja, Al.”Alana menunduk semakin dalam, jemarinya gelisah memainkan sendok. Ia tampak gugup sekali di depan Rose."Rose… bukan seperti yang kamu pikir," ucapnya pelan.Rose memajukan tubuh, mencondongkan badannya mendekat ke meja. “Kalau bukan seperti yang aku pikirkan… ya sudah kamu jelasin. Kenapa kamu keluar dari ruangan Ken dengan panik? Kenapa kamu sampai salah tingkah hanya karena aku tanya kamu?”Alana mengerutkan alis, menggigit bibir bawahnya. Rose bisa melihat jelas kegugupan yang tidak bisa disembunyikan lagi.“Mungkin kamu salah lihat,” jawab Alana setengah berbisik.“Alana.” Rose m
Rose masuk ruangan kerjanya dengan ekspresi yang penuh tanya, penuh rasa penasaran. Tentu saja ekspresinya sangat berbeda dari saat ia berangkat bersama Arthur tadi.Lalu ia duduk di kursinya, hanya menyimpan tasnya. Ia ambil buku kecil yang yang berisi schedule Arthur.Tangannya membuka buku itu tapi pikirannya tidak di sana, ia masih terpikir dengan Alana dan Ken.Bahkan saat pintu ruangan terbuka, Arthur masuk ke dalam ruangan saja Rose tidak menyadarinya.Bunyi pintu tertutup saja tidak ia indahkan, Rose masih sibuk dengan pikirannya.Arthur menyimpan tas kerjanya lalu melepas jas kerjanya sambil memperhatikan Rose yang terlihat melamun. Alis Arthur naik sebelah karena bingung dengan Rose, tentu saja ada rasa khawatir takut terjadi sesuatu dengan Rose.“Rose,” panggilnya sambil berjalan menghampiri Rose.Gadis itu refleks tersentak kecil. “Eh—i-iya? Pa-eh Tuan memanggil saya?”Selama di kantor, Rose memang menggunakan panggilan formal dengan Arthur, bagaimana pun Arthur adalah ata
Sinar pagi merayap masuk perlahan ke kamar Arthur.Rose membuka mata dengan napas pelan, merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Tidur di pelukan sang Papa mertua entah kenapa membuat tidurnya sangat nyenyak, namun lelah dari perjalanan jauh dan aktivitas malam terakhir saat di Viila masih terasa di tubuhnya.Pagi ini, perasaan di dadanya campur aduk, rasa bahagia… lega… tapi juga gelisah.Bahagia karena ia semakin dekat dengan Arthur dan hari ini kembali ke rutinitas biasanya ke kantor sebagai sekretaris pribadi sang Papa mertua. Namun rasa gelisah karena masalahnya dengan Zumi masih belum usai.Saat ia hendak bangun dari ranjang, suara berat dan serak itu terdengar di sebelahnya.“Sayang…”Arthur membuka mata setengah, wajahnya selalu saja tampan meski baru bangun tidur bahkan bagi Rose di saat begini ketampanan Arthur naik berkali-kali lipat.“Morning kiss dulu,” ucap Arthur dengan suara serak khas orang bangun tidur.Rose memutar badan dengan wajah memerah. “Pa… pagi-pag
Arthur keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan.Suasana rumah siang itu terasa hangat bukan karena suhunya, melainkan karena kehadiran Rose yang kembali membawa kehidupan ke setiap sudut ruangan.Ia menemukan Rose duduk di sofa bersama Bi Arum, tertawa kecil saat bercerita tentang pengalaman selama staycation.“Bi, sumpah… udara di sana dingin banget. Aku sampai menggigil,” ujar Rose sambil memeluk bantal sofa.Bi Arum tersenyum penuh arti. “Pantas wajah Nona merona terus. Udara dingin atau… ada faktor lain?” tanya Bi Arum sambil ekspresi menggoda Rose.Rose langsung melempar bantal ke arah Bi Arum sambil tertawa malu. “Bi! Jangan gitu dong…”Arthur berdiri di dekat tangga, menyaksikan mereka sebentar.Ada pemandangan yang tidak pernah gagal membuat dadanya hangat, Rose tertawa tulus.“Sayang,” panggil Arthur pelan lalu menghampiri Rose dan Bi Arum."Pa, ada Bi Arum..." protes Rose karena Papa mertuanya memanggilnya "sayang" secara terang-terangan di depan Bi Arum.Wajah Rose







