MasukAhh, Mas Zumi, tolong aku..." Rose bermain sendiri di balik pintu, tapi tidak dia sangka, Papa Mertuanya mendengar desahan Rose. Rose di tinggal pergi oleh suaminya, Zumi, tepat setelah mengukir kenangan malam pertama. Zumi pergi ke luar negeri dengan alasan bisnis. Satu-dua bulan, Zumi masih memberi kabar, tapi masuk bulan ketiga, Zumi menghilang. Rose yang gelisah, terus-menerus mengkhawatirkan Zumi. Enam bulan rose menahan gejolak batin, terlebih kenangan termanisnya bersama Zumi adalah malam pertamanya. Saat periksa ke psikolog, Rose mendapati fakta bahwa dia menderita Nymphomania, kelainan seksual yang setiap kali dia gelisah dan paranoid, pelampiasannya ke nafsu dan hasrat yang tidak bisa ditahan lagi. Arthur Bramasta, Papa Mertua Zumi, diam-diam tertarik dengan pesona Rose. Setiap malam Arthur selalu membayangkan Rose berada dalam pelukannya. Sampai suatu malam Rose tidak sengaja minum wine yang sudah di campur dengan obat perangsang membuat hubungan panas antara keduanya terjadi.
Lihat lebih banyak"Sayang, pelan-pelan. Ini pertama kali untukku.” Rose menggeliat saat Zumi mulai menggerakkan tubuhnya lebih cepat. “Sa-sakit sekali.”
Air mata mengalir di pipi Rose dan Zumi langsung mencium bibir Rose supaya dapat mengalihkan rasa sakit yang Rose rasakan, "Tahan, sebentar lagi. Ro-Rose, Sayangku, ti-tidak ... aku su-su-sudah di puncak.”
Terdengar desahan dan erangan dari pasangan penganti baru itu saat mereka sama-sama mencapai puncak.
Zumi menghentakkan senjatanya sehingga cairan hangat memenuhi rahim Rose.
Zumi baring di samping sang istri.
Mereka saling berpelukan.
Namun, momen bahagia itu tidak berlangsung lama ketika Zumi tiba-tiba berbisik di telinga Rose. "Sayang, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
"Apa sayang?” tanya Rose.
"Kamu tahu kan kalau aku sedang membangun bisnisku sendiri. Besok aku harus berangkat ke Sydney karena aku harus bertemu dengan investorku di sana," jawab Zumi.
"Berapa lama?" tanya Rose.
“Mungkin sekitar satu minggu. Maaf ya, aku tidak bisa mengajak kamu untuk ikut. Ini urusan sangat penting. Aku harus bertemu investor,” jawab Zumi, kemudian dia tampak murung sebelum mengatakan kalimat perpisahan terakhirnya. “Juga terapiku. Aku ingin kita segera punya anak.”
Rose terpaku. “Te-terapi?”
“Asthenozoospermia,” lirih Zumi. Nampak sekali urat sedih menyelimuti wajahnya. “Dulu, aku mengalami kecelakaan hebat waktu kecil. Orang tuaku meninggal saat kejadian itu dan aku dibesarkan oleh Papa, seorang diri. Karena kejadian itu, aku divonis mandul dan hanya bisa disembuhkan melalui terapi. Aku baru mengetahuinya sebelum kita menikah.”
“Jangan katakan–”
“Arthur adalah papa angkatku. Sejak umur delapan tahun, aku diasuh Papa. Dia membiayai sekolahku, sampai aku lulus kuliah. Aku ingin balas budi. Aku tidak bisa terus berada di bawah bayang-bayang harta Papa. Aku harus segera membangun bisnisku sendiri.”
“Kenapa harus secepat ini?” Rose menangis sejadi-jadinya.
Bayangkan saja, baru kemarin mereka menikah.
Hari pertama, Rose dan Zumi sibuk menjamu tamu undangan dan tidak sempat bermesraan seperti ini.
Hari kedua yang diimpikan Rose akan menjadi hari terindah sepanjang hidupnya, malah menjadi petaka.
Satu minggu.
Itu waktu yang lama untuk pengantin yang baru dua hari menikah.
Terlebih setelah Rose mengetahui fakta bahwa Zumi adalah anak angkat Arthur.
Air mata menetes dari pipi gadis itu, menyapu wajah bahagianya yang baru saja merasakan puncak kenikmatan.
"Aku tahu kamu pasti sedih karena kita akan berpisah untuk sementara waktu tapi aku janji akan terus menghubungi kamu selama aku di sana. Sebenarnya aku juga tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh tapi ini demi masa depan kita juga sayang," ucap Zumi.
Seminggu pertama, Rose sering mendapat kabar dari Zumi.
Hampir setiap malam mereka video call untuk sekedar memecah kerinduan.
Masuk bulan kedua, Zumi mulai sering menghilang.
Setiap hari, Rose coba menghubungi Zumi, tapi tidak ada jawaban.
Psikologi Rose mulai terguncang. Dia sering melampiaskan emosi dan kekhawatirannya pada hal tidak wajar.
Hasratnya.
Memang, Zumi memberi kabar setiap satu minggu sekali dan itu hanya bertahan sampai bulan ketiga.
Bulan keempat hingga sekarang, Zumi tidak pernah mengangkat panggilan dari Rose.
Bahkan, sekedar meninggalkan pesan saja, tidak pernah.
Semua sosial media Zumi menghilang.
Rose semakin tersiksa.
Dia terus terbayang malam pertama itu, serta pengakuan Zumi yang membuatnya sakit hati.
Sambil mengumpat, Rose terus menghardik Zumi sebagai laki-laki tak tahu diuntung.
Enam bulan ini dia semakin gila.
Hanya satu yang bisa membuatnya tenang, yaitu membayangkan kenangan indah malam pertamanya dengan Zumi.
“Sayang ahh. Tolong sayang, aku sudah tidak kuat.”
Tangan Rose menyentuh puncak gunung kembar dan lembah segitiga bermuda miliknya.
Hanya itu yang bisa dia lakukan di saat hasrat ingin di sentuh itu hadir.
Masih teringat jelas bagaimana dia dan sang suami melewati malam panas di malam pengantin mereka enam bulan yang lalu.
Rose terus melakukan itu.
Dia tersiksa dengan kerinduan sentuhan sang suami.
Ini bukan pertama kali dia memuaskan diri sendiri.
Bahkan diam-diam Rose membeli alat yang bisa memenuhi hasratnya.
Desahan Rose terus memenuhi kamarnya.
Tanpa Rose sadari, seorang laki-laki mendengar desahannya dari balik pintu.
Ya, laki-laki itu adalah Arthur Bramasta, papa mertuanya.
“Sayang, kapan kau pulang? Kau tidak merindukan milikku yang sintal ini? Kemari, Sayang, hisap. Ini bagian yang paling kau suka. Cepat hisap aku, cepat masukkan milikmu. Zumi, Sayang, ahh, cepat keluarkan!”
Suara erangan itu sangat keras hingga terdengar ke ruang makan.
Arthur yang waktu itu hanya ingin mengantar makan malam untuk Rose, terjebak dalam belenggu hasrat milik menantunya sendiri.
Klak!
Siku Arthur tidak sengaja menekan gagang pintu.
“Siapa di sana?” Rose mengambil selimut dan melilitkannya.
Jantung Rose berdegup kencang, pandangannya langsung mengarah ke arah pintu kamar.
Rose langsung turun dari ranjang sambil memegang selimut yang menutupi tubuhnya.
Rose berjalan ke arah pintu kamar.
Ia buka pintu kamarnya dan ternyata di luar tidak ada siapa-siapa.
Hanya terdengar bunyi detik jam dinding yang memecah keheningan lantai dua.
“Apa hanya perasaanku saja?” gumam Rose sambil kembali masuk ke dalam kamar.
Rose kembali naik ke ranjangnya karena dia belum sampai pelepasan saat dia melakukan hal itu sendiri.
Memuaskan dirinya sendiri.
Hatinya masih terasa tidak tenang walaupun saat di luar tadi tidak ada siapa-siapa.
Rose sangat yakin mendengar bunyi pintu terbuka.
Di rumah ini hanya ada dirinya, Arthur dan Bi Arum.
Seingatnya tadi, Bi Arum pamit keluar karena ingin pergi membeli sesuatu di supermarket.
Sementara itu, Arthur keluar dari persembunyiannya.
Ya, ia langsung bersembunyi saat tanpa sengaja menekan ganggang pintu kamar Rose.
Arthur tidak ingin Rose tahu jika ia mendengar desahan Rose.
Masih terngiang di telinganya bagaimana desahan dan erangan Rose tadi.
Suara itu membuat dadanya bergetar, membangkitkan sesuatu yang sudah lama terkubur. “Shit!” Arthur langsung menghela napas saat melihat ke bawah, pada benda purbakalanya.
Arthur sudah menduda sejak tujuh tahun yang lalu karena mendiang istrinya meninggal karena kanker hati.
Sejak itu Arthur masih memilih tidak menikah lagi.
Bahkan selama menduda, Arthur tidak pernah main perempuan atau melampiaskan hasratnya dengan wanita di luar sana.
Ia lebih memilih untuk bermain solo karier di kamar mandi.
***
“Papa mana ya, Bi?” tanya Rose karena belum melihat Arthur turun ke bawah.
“Tuan kalau lama turun ke bawah pasti sedang berada di ruang gym yang ada di lantai tiga, Non.” Bi Arum memberikan sepotong roti selai kacang dan segelas susu kepada Rose. “Tadi Tuan Arthur minta dimasakin roti. Dia bilang, biar menantunya mau makan karena dia sangat suka roti selai kacang.”
“Papa?”
Bi Arum tersenyum lebar. “Selama ini, Tuan Arthur yang menentukan menu yang harus Bibi masak.”
“Jadi, selama ini Papa memperhatikan semuanya.” Rupanya Rose mulai nyaman dengan perhatian kecil yang diberikan Arthur.
Sedih dan emosinya perlahan hilang, berganti dengan rasa penasaran tentang sifat asli Arthur seperti apa.
Hampir setiap pagi Arthur berada di ruang gymnya.
Walaupun usianya sudah mencapai empat puluh enam tahun, badannya masih tegap dan gagah.
Arthur masih terlihat seperti laki-laki berumur awal tiga puluhan.
Begitu tiba di lantai tiga, Rose langsung menuju ruangan gym.
Rose terpana melihat Arthur yang sedang melakukan latihan beban.
Keringat yang membasahi tubuh Arthur membuat tubuh Arthur terlihat seksi.
Rose menelan ludah dengan berat.
Tiba-tiba saja badannya terasa panas saat melihat tubuh Arthur.
“Rose” ucap Arthur.
Rose tetap diam karena dia masih terpesona dengan Arthur.
Arthur berjalan mendekati Rose dan berbisik di telinga Rose.
“Rose.”
Rose langsung tersadar dan wajahnya memerah karena menahan malu ketahuan memuja tubuh papa mertuanya.
“Papa, sarapannya sudah siap,” ucap Rose.
Dia ingin meninggalkan gym itu karena Arthur benar-benar memperlihatkan otot-ototnya yang atletis.
Rose takut, hasratnya membuncah.
“Rose!” Arthur menarik tangan kiri Rose. “Malam ini kamu temani aku, ya…”
Sore hari kantor perlahan mulai lengang.Lampu-lampu di lorong sudah menyala otomatis karena langit Jakarta menggelap lebih cepat akibat hujan deras yang turun sejak setengah jam lalu.Rose menutup laptopnya dan merapikan dokumen di mejanya.Dari sudut lain ruangan, Arthur melakukan hal yang sama—merapikan jasnya lalu mematikan layar komputer.“Sudah siap pulang?” tanya Arthur sambil melirik Rose yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas.Rose mengangguk. “Siap, Tuan.”Mereka berdua berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, Ken sudah berdiri rapi dengan tas di tangannya. Seperti biasa jika tidak lembur, Ken akan pulang bersama-sama dengan atasannya tentu saja dengan mobil yang berbeda.“Sudah siap, Tuan Arthur,” ucap Ken sambil menundukkan kepala sedikit.Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju lift. Arthur sempat memberi instruksi, “Ken, nanti kirimkan email tentang dokumen yang harus aku periksa malam ini. Kamu mengirim emailnya nanti saja juga nggak papa, Ken.”“Baik, Tua
Alana menelan ludahnya pelan. “Kami itu hanya… teman kantor,” ulangnya dengan suara lebih lirih.Rose menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam namun tetap lembut, khas sahabat yang ingin mencari kebenaran tapi tidak ingin menekan.“Yakin?” ulang Rose, kali ini dengan nada pelan tapi menusuk. “Soalnya ekspresi kamu tadi pagi… jelas bukan ekspresi ‘teman kantor’ saja, Al.”Alana menunduk semakin dalam, jemarinya gelisah memainkan sendok. Ia tampak gugup sekali di depan Rose."Rose… bukan seperti yang kamu pikir," ucapnya pelan.Rose memajukan tubuh, mencondongkan badannya mendekat ke meja. “Kalau bukan seperti yang aku pikirkan… ya sudah kamu jelasin. Kenapa kamu keluar dari ruangan Ken dengan panik? Kenapa kamu sampai salah tingkah hanya karena aku tanya kamu?”Alana mengerutkan alis, menggigit bibir bawahnya. Rose bisa melihat jelas kegugupan yang tidak bisa disembunyikan lagi.“Mungkin kamu salah lihat,” jawab Alana setengah berbisik.“Alana.” Rose m
Rose masuk ruangan kerjanya dengan ekspresi yang penuh tanya, penuh rasa penasaran. Tentu saja ekspresinya sangat berbeda dari saat ia berangkat bersama Arthur tadi.Lalu ia duduk di kursinya, hanya menyimpan tasnya. Ia ambil buku kecil yang yang berisi schedule Arthur.Tangannya membuka buku itu tapi pikirannya tidak di sana, ia masih terpikir dengan Alana dan Ken.Bahkan saat pintu ruangan terbuka, Arthur masuk ke dalam ruangan saja Rose tidak menyadarinya.Bunyi pintu tertutup saja tidak ia indahkan, Rose masih sibuk dengan pikirannya.Arthur menyimpan tas kerjanya lalu melepas jas kerjanya sambil memperhatikan Rose yang terlihat melamun. Alis Arthur naik sebelah karena bingung dengan Rose, tentu saja ada rasa khawatir takut terjadi sesuatu dengan Rose.“Rose,” panggilnya sambil berjalan menghampiri Rose.Gadis itu refleks tersentak kecil. “Eh—i-iya? Pa-eh Tuan memanggil saya?”Selama di kantor, Rose memang menggunakan panggilan formal dengan Arthur, bagaimana pun Arthur adalah ata
Sinar pagi merayap masuk perlahan ke kamar Arthur.Rose membuka mata dengan napas pelan, merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Tidur di pelukan sang Papa mertua entah kenapa membuat tidurnya sangat nyenyak, namun lelah dari perjalanan jauh dan aktivitas malam terakhir saat di Viila masih terasa di tubuhnya.Pagi ini, perasaan di dadanya campur aduk, rasa bahagia… lega… tapi juga gelisah.Bahagia karena ia semakin dekat dengan Arthur dan hari ini kembali ke rutinitas biasanya ke kantor sebagai sekretaris pribadi sang Papa mertua. Namun rasa gelisah karena masalahnya dengan Zumi masih belum usai.Saat ia hendak bangun dari ranjang, suara berat dan serak itu terdengar di sebelahnya.“Sayang…”Arthur membuka mata setengah, wajahnya selalu saja tampan meski baru bangun tidur bahkan bagi Rose di saat begini ketampanan Arthur naik berkali-kali lipat.“Morning kiss dulu,” ucap Arthur dengan suara serak khas orang bangun tidur.Rose memutar badan dengan wajah memerah. “Pa… pagi-pag
Arthur keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan.Suasana rumah siang itu terasa hangat bukan karena suhunya, melainkan karena kehadiran Rose yang kembali membawa kehidupan ke setiap sudut ruangan.Ia menemukan Rose duduk di sofa bersama Bi Arum, tertawa kecil saat bercerita tentang pengalaman selama staycation.“Bi, sumpah… udara di sana dingin banget. Aku sampai menggigil,” ujar Rose sambil memeluk bantal sofa.Bi Arum tersenyum penuh arti. “Pantas wajah Nona merona terus. Udara dingin atau… ada faktor lain?” tanya Bi Arum sambil ekspresi menggoda Rose.Rose langsung melempar bantal ke arah Bi Arum sambil tertawa malu. “Bi! Jangan gitu dong…”Arthur berdiri di dekat tangga, menyaksikan mereka sebentar.Ada pemandangan yang tidak pernah gagal membuat dadanya hangat, Rose tertawa tulus.“Sayang,” panggil Arthur pelan lalu menghampiri Rose dan Bi Arum."Pa, ada Bi Arum..." protes Rose karena Papa mertuanya memanggilnya "sayang" secara terang-terangan di depan Bi Arum.Wajah Rose
Perjalanan pulang dari Lembang ke Jakarta berjalan lancar.Setelah sarapan dan beres-beres, Arthur dan Rose meninggalkan The Lodge Maribaya tepat pukul sepuluh pagi.Udara dingin pegunungan masih menempel di kulit mereka saat mobil hitam milik Arthur melaju menuruni perbukitan Lembang.Rose duduk di sampingnya, sesekali melirik ke jendela sambil mengembuskan napas kecil.Ada bagian dirinya yang enggan meninggalkan villa kayu itu, tempat yang menyimpan banyak kenangan baru yang manis sekaligus panas.Arthur, yang menangkap gelagat itu, menggenggam tangan Rose dan mengecup punggungnya lembut.“Nanti kita pergi lagi ke tempat yang lebih indah lagi, Sayang,” ucapnya menenangkan. “Sekarang kita pulang dulu. Kita selesaikan urusan kamu sama Zumi. Aku nggak mau ada bayangan apa pun yang menghalangi kamu untuk hidup tenang.”Rose mengangguk pelan, lalu menempelkan kepalanya di lengan pria itu. “Iya, Pa…”Perjalanan sekitar tiga jam terasa cepat karena sepanjang jalan mereka bercerita, menggod












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen