Share

Bab 3

Author: Nabila Ara
last update Last Updated: 2025-09-15 19:34:56

Bisik-bisik dan lirikan penuh rasa ingin tahu bertebaran di dalam ballroom yang dipenuhi Cahaya lampu kristal.

Setiap langkah Arthur dan Rose terasa menjadi pusat perhatian.

Rose menundukkan pandangannya, jemarinya meremas gaun halus yang ia kenakan.

Jantungnya berdebar terlalu cepat, seolah ikut bersaing dengan denting gelas para tamu.

“Jangan menunduk, Rose,” bisik Arthur, suaranya berat dan penuh wibawa tepat di telinga Rose. Hangat napasnya menyentuh kulit tipis dilehernya. “Percayalah pada dirimu sendiri. Kamu cantik, lebih dari cukup untuk berdiri di sisiku.”

Rose menelan ludah.

Tatapan mata Arthur yang singkat saja membuat dadanya sesak.

Ia mengangkat wajahnya, mencoba menegakkan diri.

Arthur lalu memeluk sahabatnya, Dave, sambil menyodorkan paper bag berisi hadiah. “Selamat ulang tahun, bro.”

Dave tertawa lalu menepuk bahu Arthur. “Hadiah lagi? Arthur, kamu ini terlalu repot. Kehadiranmu saja sudah lebih dari cukup.”

Di sisi Dave, Julia memandangi Rose dengan tatapan penasaran. “Arthur, siapa gadis cantik ini?”

Dave menyelutuk dengan nada menggoda, ia menaik-turunkan alisnya. “Duda tampan akhirnya mengandeng seorang wanita juga. Wah, ini kabar baik.”

Arthur hanya tertawa, lalu ia merangkul pinggang Rose dengan erat.  “Kalian lupa? Ini Rose, menantuku. Istrinya Zumi.”

Rose tersenyum kaku, lalu bersalaman dengan sopan. “Selamat ulang tahun, Om Dave.”

Dave mendekat dan berbisik di telingan Arthur, “Jujur saja, kalian tampak seperti pasangan sungguhan.”

Arthur hanya tersenyum tipis tapi dalam hati ia mengakui malam ini Rose terlihat menawan.

Arthur dan Rose menuju stand makanan, ketika suara seorang wanita memanggil dan lantang menusuk telinga.

“Arthur....”

Keduanya menoleh.

Dari arah kerumunan, seorang wanita melangkah anggun.

Gaunnya berkilau dan tatapannya penuh percaya diri.

Jessica, masa lalu yang selalu ingin dilupakan oleh Arthur.

Wajah Arthur langsung mengeras.

Dalam sekejap, kenangan kelam menyeruak.

Malam di hotel ketika Jessica menjebaknya dengan obat perangsang, hampir membuatnya hancur karena skandal.

Jessica menyiapkan fotografer bayaran untuk masuk kamar.

Kalau Ken tidak datang tepat waktu, mungkin foto Arthur yang setengah sadar bersama Jessica sudah tersebar di media.

Hari-hari ketika mendiang istrinya masih hidup, Jessica nekat mengirimkan pesan-pesan cabul.

Bahkan pernah menelepon istrinya Arthur secara langsung dan menyebut dirinya sebagai “wanita yang lebih tahu kebutuhan Arthur.” Malam itu, Arthur masih ingat jelas suara istrinya yang menangis diam-diam di dapur. Luka itu meninggalkan bekas tak terhapuskan.

Dan yang paling memuakkan, Jessica pernah memalsukan kontrak bisnis, membuat Arthur nyaris kehilangan investor besar.

Sejak saat itu, Arthur tidak hanya membencinya sebagai wanita, tetapi juga memandangnya sebagai pengkianat.

Setiap melihat Jessica, yang Arthur rasakan hanyalah jijik, marah dan rasa bersalah pada mendiang istrinya.

“Sudah lama kita tidak bertemu,” ucap Jessica dengan senyum manis tapi matanya menyalakan api sinis saat menatap Rose.

“Sudah lama, Jess,” jawab Arthur dingin, suaranya sedingin baja.

Jessica mendengus kecil. “Kamu tetap dingin padaku, Arthur. Ternyata sekarang kamu lebih suka daun muda, ya?” Tatapan melirik Rose dari kepala sampai kaki seola Rose tidak layak berada di samping Arthur.

Arthur mengeraskan rahang. “Selera hidupku bukan urusanmu.”

Rose hanya menahan napas, menunduk sekilas.

Jessica mendekat sedikit, seolah ingin mencium aroma parfume Rose lalu berbisik cukup keras untuk di dengar. “Wangi murah.”

Arthur mengepalkan tangan dan rahangnya mengeras.

Jessica menautkan lengannya ke lengan Arthur dengan seenaknya, lalu tertawa sinis. “Arthur, kamu ingat dulu... Kalau saja aku mau buka mulut, mungkin sekaranf reputasimu sudah hancur. Tapi lihat, aku masih menyimpan rahasia itu untukmu. Harusnya kamu berterima kasih.”

Arthur segara menepis tangannya dan meraih Rose lebih dekat. “Jangan pernah sentuh aku lagi, Jess. Seharusnya kamu cukup tahu diri dan jangan lupa bercermin. Kamu bersyukur aku tidak membuatmu hancur,” ucap Arthur dengan tegas.

Tatapan Jessica beralih ke Rose. “Kamu beruntung bisa ada di sisinya. Tapi percayalah, Arthur lebih cocok dengan wanita yang berpengalaman....sepertiku.”

Rose menahan napas, merasakan darahnya mendidih tapi Arthur segera menariknya menjauh dari Jessica.

Jessica mengepalkan tangan, bibirnya bergetar menahan amarah. “Arthur, malam ini kamu akan jadi milikku,” gumamnya dengan senyum licik.

Pesta berlanjut, musik dan tawa bercampur dalam keramaian.

Namun di balik meja-meja penuh gelas kristal, Jessica bersekongkol dengan seorang pelayan.

Sebuah plastik putih kecil berpindah tangan. “Masukkan ke cocktail itu,” bisiknya. “Bawa ke meja Arthur.”

Pelayan itu ragu sejenak tapi tatapan tajam Jessica membuatnya tak berani membantah.

Tak Lama kemudian, gelas cocktail berisi obat itu mendarat di meja Arthur.

Dari kejauhan, Jessica menyeringai puas.

Arthur pamit sebentar ke toilet.

Rose duduk sendiri, merasa haus. Ia mencari pelayan, tapi tak ada.

Lalu matanya menangkap gelas di depan kursi Arthur.

Tanpa pikir panjang, ia meraihnya dan meneguk habis.

Beberapa menit kemudian, Arthur kembali.

Ia menatap kaget ketik melihat Rose memegangi kepalanya dan wajahnya pucat.

“Rose? Kamu kenapa?”

“Papa, kepalaku pusing. Badanku  panas sekali,” lirih Rose.

Arthur meraih gelas kosong di meja. B

egitu mencium sisa aromanya, wajahnya langsung berubah tegang. “Damn! Ini.....” Tangannya gemetar, rahangnya menegang penuh amarah.

Arthur segera menyambar tas Rose, lalu mengangkat tubuhnya yang mulai lemas. “Kita pulang sekarang.”

Mobil melaju kencang menembus jalanan malam.

Di dalam mobil, Rose menggeliat gelisah, tubuhnya basah oleh keringat. “Papa, AC mobil rusak? Kenapa panas sekali?” Tangannya mengibas wajah dan napasnya memburu.

“AC sudah maksimal, Rose. Kamu tahan sedikit lagi. Kita hampir sampai di rumah.” Arthur menggenggam setir dengan kuat, urat-urat tangannya menegang.

Sesekali Arthur melirik Rose yang tubuhnya bergetar. Dadanya sesak, ketakutan bercampur amarah memenuhi benaknya.

"Damn!! Siapa yang melakukan ini.”

Begitu mobil memasuki halaman rumah, Arthur langsung turun dan mengendong Rose yang tubuhnya terasa panas bagai bara.

Arthur membawa Rose ke kamarnya sendiri.

Entahlah apa yang dibenak Arthur padahal kamar Rose berada di lantai yang sama dengannya.

Arthur membaringkan Rose di atas ranjang.

Rose terus menggeliat, matanya berair dan bibirnya bergetar.

“Panah...” lirihnya.

Arthur mengepalkan tangan, wajahnya penuh amarah.” Damn! Seberapa besar dosis yang mereka masukkan?” Arthur tahu apa yang di minum oleh Rose.

Ada orang yang ingin menjebaknya dengan obat laknat itu.

Dan sialnya Rose salah minum sehingga Rose yang mengalami efek dari obat laknat itu.

Rose meraih lengan Arthur, matanya berkaca-kaca.

“Papa, tolong aku.”

Arthur tertegun.

Pandangannya kabur oleh dilema yang menghantam dengan keras.

Hatinya berperang antara rasa ingin melindungi Rose, tapi di sisi lain, tubuh Rose yang berada di bawah pengaruh obat itu membuat pikirannya goyah.

Apa dia harus memanfaatkan keadaan ini atau menahan diri?

Pelipisnya berdenyut, jemarinya menggenggam seprai hingga berkerut. “Aku harus bagaimana?” bisiknya pada diri sendiri.

Di antara rasa bersalah, malah dan dorongan yang tidak bisa ia kendalikan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 72

    Ken dan AlanaBasement gedung kantor terasa lebih dingin daripada biasanya.Suara hujan dari atas semakin terdengar keras, seperti menabrak seluruh struktur bangunan.Ken berjalan sedikit di depan, sesekali menoleh memastikan Alana masih mengikutinya.Alana memeluk tasnya erat-erat, langkahnya pelan karena takut terpeleset di lantai parkiran yang sedikit lembap.“Pelan-pelan aja, Al. Lantainya licin,” ujar Ken tanpa menoleh.Alana mengangguk meski Ken tidak melihatnya. “Iya… aku tahu.”Tapi beberapa detik kemudian seperti sudah bisa ditebak Alana terpeleset kecil karena menginjak genangan tipis. Tubuhnya oleng ke samping.Refleks, Ken meraih lengannya. “Hei! Hati-hati.”Alana hampir melekat di dada Ken saking dekatnya jarak mereka.Wajah Alana langsungmemerah. “Maaf…”Ken mendengus pelan namunnya masih memegang lengan Alana “Aku suruh hati-hati juga nggak didengerin.”Nada Ken terdengar ketus. Tapi dari matanya tampak benar-benar khawatir.“…Kamu marah?” tanya Alana pelan.Ken melepas

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 71

    Sore hari kantor perlahan mulai lengang.Lampu-lampu di lorong sudah menyala otomatis karena langit Jakarta menggelap lebih cepat akibat hujan deras yang turun sejak setengah jam lalu.Rose menutup laptopnya dan merapikan dokumen di mejanya.Dari sudut lain ruangan, Arthur melakukan hal yang sama—merapikan jasnya lalu mematikan layar komputer.“Sudah siap pulang?” tanya Arthur sambil melirik Rose yang sedang memasukkan ponsel ke dalam tas.Rose mengangguk. “Siap, Tuan.”Mereka berdua berjalan keluar ruangan. Tepat di depan pintu, Ken sudah berdiri rapi dengan tas di tangannya. Seperti biasa jika tidak lembur, Ken akan pulang bersama-sama dengan atasannya tentu saja dengan mobil yang berbeda.“Sudah siap, Tuan Arthur,” ucap Ken sambil menundukkan kepala sedikit.Mereka bertiga berjalan berdampingan menuju lift. Arthur sempat memberi instruksi, “Ken, nanti kirimkan email tentang dokumen yang harus aku periksa malam ini. Kamu mengirim emailnya nanti saja juga nggak papa, Ken.”“Baik, Tua

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 70

    Alana menelan ludahnya pelan. “Kami itu hanya… teman kantor,” ulangnya dengan suara lebih lirih.Rose menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam namun tetap lembut, khas sahabat yang ingin mencari kebenaran tapi tidak ingin menekan.“Yakin?” ulang Rose, kali ini dengan nada pelan tapi menusuk. “Soalnya ekspresi kamu tadi pagi… jelas bukan ekspresi ‘teman kantor’ saja, Al.”Alana menunduk semakin dalam, jemarinya gelisah memainkan sendok. Ia tampak gugup sekali di depan Rose."Rose… bukan seperti yang kamu pikir," ucapnya pelan.Rose memajukan tubuh, mencondongkan badannya mendekat ke meja. “Kalau bukan seperti yang aku pikirkan… ya sudah kamu jelasin. Kenapa kamu keluar dari ruangan Ken dengan panik? Kenapa kamu sampai salah tingkah hanya karena aku tanya kamu?”Alana mengerutkan alis, menggigit bibir bawahnya. Rose bisa melihat jelas kegugupan yang tidak bisa disembunyikan lagi.“Mungkin kamu salah lihat,” jawab Alana setengah berbisik.“Alana.” Rose m

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 69

    Rose masuk ruangan kerjanya dengan ekspresi yang penuh tanya, penuh rasa penasaran. Tentu saja ekspresinya sangat berbeda dari saat ia berangkat bersama Arthur tadi.Lalu ia duduk di kursinya, hanya menyimpan tasnya. Ia ambil buku kecil yang yang berisi schedule Arthur.Tangannya membuka buku itu tapi pikirannya tidak di sana, ia masih terpikir dengan Alana dan Ken.Bahkan saat pintu ruangan terbuka, Arthur masuk ke dalam ruangan saja Rose tidak menyadarinya.Bunyi pintu tertutup saja tidak ia indahkan, Rose masih sibuk dengan pikirannya.Arthur menyimpan tas kerjanya lalu melepas jas kerjanya sambil memperhatikan Rose yang terlihat melamun. Alis Arthur naik sebelah karena bingung dengan Rose, tentu saja ada rasa khawatir takut terjadi sesuatu dengan Rose.“Rose,” panggilnya sambil berjalan menghampiri Rose.Gadis itu refleks tersentak kecil. “Eh—i-iya? Pa-eh Tuan memanggil saya?”Selama di kantor, Rose memang menggunakan panggilan formal dengan Arthur, bagaimana pun Arthur adalah ata

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 68

    Sinar pagi merayap masuk perlahan ke kamar Arthur.Rose membuka mata dengan napas pelan, merasakan kehangatan yang berbeda dari biasanya. Tidur di pelukan sang Papa mertua entah kenapa membuat tidurnya sangat nyenyak, namun lelah dari perjalanan jauh dan aktivitas malam terakhir saat di Viila masih terasa di tubuhnya.Pagi ini, perasaan di dadanya campur aduk, rasa bahagia… lega… tapi juga gelisah.Bahagia karena ia semakin dekat dengan Arthur dan hari ini kembali ke rutinitas biasanya ke kantor sebagai sekretaris pribadi sang Papa mertua. Namun rasa gelisah karena masalahnya dengan Zumi masih belum usai.Saat ia hendak bangun dari ranjang, suara berat dan serak itu terdengar di sebelahnya.“Sayang…”Arthur membuka mata setengah, wajahnya selalu saja tampan meski baru bangun tidur bahkan bagi Rose di saat begini ketampanan Arthur naik berkali-kali lipat.“Morning kiss dulu,” ucap Arthur dengan suara serak khas orang bangun tidur.Rose memutar badan dengan wajah memerah. “Pa… pagi-pag

  • Sentuhan Panas Papa Mertua   Bab 67

    Arthur keluar dari ruang kerjanya dengan langkah pelan.Suasana rumah siang itu terasa hangat bukan karena suhunya, melainkan karena kehadiran Rose yang kembali membawa kehidupan ke setiap sudut ruangan.Ia menemukan Rose duduk di sofa bersama Bi Arum, tertawa kecil saat bercerita tentang pengalaman selama staycation.“Bi, sumpah… udara di sana dingin banget. Aku sampai menggigil,” ujar Rose sambil memeluk bantal sofa.Bi Arum tersenyum penuh arti. “Pantas wajah Nona merona terus. Udara dingin atau… ada faktor lain?” tanya Bi Arum sambil ekspresi menggoda Rose.Rose langsung melempar bantal ke arah Bi Arum sambil tertawa malu. “Bi! Jangan gitu dong…”Arthur berdiri di dekat tangga, menyaksikan mereka sebentar.Ada pemandangan yang tidak pernah gagal membuat dadanya hangat, Rose tertawa tulus.“Sayang,” panggil Arthur pelan lalu menghampiri Rose dan Bi Arum."Pa, ada Bi Arum..." protes Rose karena Papa mertuanya memanggilnya "sayang" secara terang-terangan di depan Bi Arum.Wajah Rose

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status