Share

Sentuhan Panas Sahabat Pacarku
Sentuhan Panas Sahabat Pacarku
Penulis: Mommy_Ar

Bab 1

Penulis: Mommy_Ar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-09 09:01:05

“Ah… Kak Rafi, lebih cepat...!”

Suara desahan dan erangan yang saling bersahutan dari dalam kamar hotel itu membuat tubuh Ara mematung di depan pintu.

Jantungnya berdegup cepat. Dadanya terasa sesak dan tubuhnya langsung bergetar hebat.

“Oh… kamu cantik sekali, Sayang. Kamu sangat seksi!”

Tangan Ara terkepal kuat mendengar suara familiar itu. Suara yang selama ini memanggil namanya penuh cinta, kini terdengar begitu menjijikkan.

Brak!

Begitu Ara menyentak pintu hingga terbuka, pemandangan itu menghantamnya seperti petir di siang bolong.

Rafi, kekasih yang sudah dijodohkan dengannya sejak kecil, sedang bersenggama mesra di atas ranjang dengan Ana—adik angkat Ara sendiri.

Mata Rafi membelalak kaget, sementara Ana hanya menunduk dengan senyum tipis yang justru membuat darah Ara mendidih.

“Ini yang kamu bilang nggak enak badan?” tanya Ara dengan suara getir.

“A-Ara, ini nggak seperti yang kamu pikir—” Rafi tergagap, segera bangkit dan memungut pakaiannya yang tercecer di lantai.

“Stop!” sela Ara sambil mundur satu langkah. Ia menggeleng sambil menahan air mata. “Aku nggak mau dengar apapun.”

“Tunggu dulu, Sayang, dengerin penjelasan aku!” teriak Raffi segera mengenakan pakaiannya dan mengejar Ara.

Tapi Ara tidak peduli. Ia pergi meninggalkan mereka tanpa menoleh lagi. Langkahnya cepat, hampir berlari menembus koridor hotel.

Ia langsung mencegat taksi yang berhenti di lobi.

“StarClub!” ucap Ara lirih namun tegas pada sopir taksi, suaranya bergetar seperti menahan sesuatu yang nyaris pecah.

Di dalam taksi, Ara menatap kosong ke luar jendela. Bulir-bulir air mata jatuh tanpa ia bisa hentikan. Tangannya gemetar di pangkuan, dan napasnya berat, terputus-putus.

Tadinya ia, Rafi, dan Ana menghadiri acara reuni SMA yang diadakan di hotel tersebut. Namun, di tengah acara, Rafi mengeluh tidak enak badan sehingga Ara menyarankannya untuk beristirahat di kamar.

Tapi ternyata Rafi malah sibuk bermain api di belakangnya, dengan adik angkatnya sendiri!

Tak butuh waktu lama, taksi itu pun tiba di sebuah club. Musik dentuman bass dari dalam terdengar hingga ke jalan, membuat dada bergetar.

Ara segera turun setelah membayar, dan melangkah cepat menuju pintu masuk. Aroma parfum bercampur alkohol langsung menyergap hidungnya. Lampu-lampu stroboskop menari di udara, menyorot wajah-wajah orang yang sedang larut dalam musik dan tawa.

“Vodka, yang paling kuat,” katanya singkat pada bartender.

Gelas pertama ia tenggak habis dalam sekali teguk. Panas alkohol mengalir di tenggorokannya, memberi rasa perih yang entah mengapa terasa cocok dengan hatinya saat ini.

“Brengsek! Bajingan! Kalian berdua jahat!” maki Ara di sela isak tangisnya.

Ia memesan minuman lagi. Tangannya sedikit gemetar saat menuang. Sesekali ia mengumpat, sesekali ia hanya diam sambil menatap kosong ke arah botol-botol berderet di rak.

“Ara?”

“Apa?!” jawabnya ketus, suaranya serak. Ia menoleh dan mendapati seorang pria berdiri di sampingnya. “Kamu! Kamu temennya si brengsek itu, ‘kan!?” tudingnya dengan pandangan tidak fokus. “Kamu mau ngetawain aku, iya, hah?!”

Namun, pria itu tampak tenang. “Lagi ada masalah sama Rafi?” tanyanya. Suara musik keras di belakang membuatnya sedikit harus membungkuk agar terdengar.

“Puas kamu, hah?! Kamu puas?!” racau Ara sambil berteriak. Air mata kembali mengalir, membuat riasan di pipinya semakin berantakan.

Aga—pria itu—menggelengkan kepala tidak mengerti. Ia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel. “Aku telepon Rafi sekarang.”

“Enggak! Jangan!” Ara segera mencengkeram lengan kekar Aga dengan kuat. “Jangan telepon dia… jangan kasih tahu dia aku di sini…”

Suaranya pecah di akhir kalimat, seperti tali yang sudah terlalu sering ditarik hingga nyaris putus.

“Kamu mabuk, Ra!” suara Aga meninggi, bukan karena marah, tapi karena frustrasi melihat kondisi gadis di hadapannya.

“Aku nggak mabuk!” seru Ara, menatapnya tajam walau matanya sudah berat. “Dan aku sadar… aku nggak mau sama bajingan kayak dia!”

Aga menghela napas berat. Dia memandang Ara cukup lama, seolah mencoba membaca isi kepalanya yang kusut. Musik, tawa, dan denting gelas di sekitar seperti tak berarti dibanding tatapan dua pasang mata itu.

“Aga…” suara Ara lebih pelan kali ini, tapi masih mengandung getir. Ia mengedipkan mata perlahan, mencoba fokus. “Kamu temannya Rafi… apa kamu juga bajingan kayak dia?”

Aga mengusap wajahnya kasar, mencoba mengumpulkan kesabaran yang sudah nyaris habis.

“Ikut aku sekarang!”

Aga langsung menarik lengan Ara. Gadis itu menolak di awal, menggumamkan kata-kata yang tak jelas, tapi akhirnya membiarkan Aga menuntunnya keluar dari klub.

“Aku nggak mau pulang! Aku udah nggak punya rumah!”

Aga tidak menjawab dan terus menuntun Ara menuju parkiran.

“Oh, kamu mau bawa aku check in ya? Sama kayak mereka?” goda Ara sambil terkekeh.

“Terserah!” cetus Aga sekadarnya. Ia membawa Ara masuk ke dalam mobil dan memasangkan seat belt.

Mobil melaju menembus jalanan kota yang mulai lengang. Sepanjang perjalanan, Ara tak berhenti bicara. Kadang ia mengumpat nama Rafi, kadang ia memuji wajah Aga, kadang ia tertawa sendiri.

Tapi yang paling membuat Aga tidak tenang adalah ketika Ara mulai memiringkan tubuhnya, mendekat ke kursi pengemudi.

“Aga…” bisiknya, jarak wajah mereka hanya beberapa senti. “Kalau dilihat-lihat, kamu itu ternyata lebih ganteng dari Rafi…”

Aga menelan ludah, matanya tetap fokus ke jalan. “Ara, duduk yang benar.”

Namun, Ara justru menyentuh lengannya, jemarinya menyusuri perlahan otot di bawah kaus yang tipis.

“Wah… keras banget Ga…” katanya sambil tertawa kecil. Suaranya terdengar berat… dan menggoda.

“Hentikan, Ra!’’ Aga merapatkan rahangnya. Konsentrasinya buyar. Ia mencoba memusatkan perhatian ke jalan, tapi ketika tangan Ara berpindah menyentuh pahanya, ia spontan menginjak rem.

“Arabella!”

Ara terkekeh senang melihat Aga tampak panik. Gadis itu semakin memajukan tubuhnya hingga jarak mereka hanya tersisa beberapa senti.

“Aga, kiss me, please?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
puspa Andriati
Mampir untuk ara ya mom.........️ Uh.. ara lagi mabuk berat malah menggoda aga...🫣🫣
goodnovel comment avatar
Mommy_Ar
Iya, anak baru dia, salam kenal .........
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Knapa laki2 setiap kepergok selingkuh selalu bilang ini seperti yg tidak kamu lihat ?? Nyatanya udah kepergok loh lagi inu ini masih ga ngaku
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 108

    “Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 107

    Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 106

    “Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 105

    “Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 104

    ‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 103

    Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status