Share

Bab 2

Author: Mommy_Ar
last update Last Updated: 2025-07-09 10:57:03

Aga menghela napas panjang. Malam ini rasanya lebih melelahkan daripada semua deadline kerja yang pernah ia hadapi.

Setelah melewati perdebatan tidak penting, mereka akhirnya tiba di apartemen miliknya.

Ia memapah Ara yang jalannya sudah limbung. Begitu memasuki lift, aroma alkohol yang melekat di tubuh Ara langsung memenuhi ruang sempit itu.

Ara bersandar ke dinding, matanya setengah terpejam, tapi senyum nakal di bibirnya masih bertahan. Ia menatap Aga dengan pandangan yang sulit dibaca campuran antara godaan, kepedihan, dan mabuk yang membuatnya berani.

“Aga, kamu ganteng deh.”

Aga menghela napas panjang, tak menanggapi. Ia sibuk menahan sesuatu yang aneh dalam dirinya.

“Kalau diam makin ganteng,” kata Ara sambil terkekeh pelan, suara tawanya menggema di ruang sempit itu.

Aga merapatkan rahangnya, mencoba fokus pada angka yang berganti perlahan di panel lift. Tangannya terkepal di saku, menahan diri.

“Aga…” suara Ara memecah keheningan lagi, “aku cantik nggak?” Nada suaranya manja, tapi matanya masih menyimpan sisa tangis.

“Hmm…” jawab Aga malas, tak mau terpancing.

Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Ara melangkah maju dan memeluknya. Tangan mungilnya langsung melingkar di leher Aga, membuat pria itu tersentak.

“Arabella!” suaranya meninggi.

“Cium aku,” gumam Ara. Sebelum Aga sempat menolak, bibirnya sudah merapat pada bibir Aga.

Aga terkejut, matanya terbelalak. Ia berusaha mendorong tubuh Ara, tapi gadis itu malah menempel semakin erat, seperti orang kesurupan. Napas Ara hangat dan terburu-buru, dan gerakannya tak terkendali.

Seakan belum cukup, Ara mengangkat salah satu kakinya lalu melingkarkan kedua kaki di pinggang Aga.

Refleks, Aga menahan tubuh Ara agar tidak jatuh, kedua tangannya menyangga di bawah pahanya.

Ting!

Suara lift berdenting, pintu terbuka. Tanpa membuang waktu, Aga segera memutuskan ciuman itu dan melangkah cepat keluar, membawa Ara dengan posisi gendong seperti koala.

Koridor apartemen terasa hening dan panjang, hanya suara langkah Aga yang terdengar. Napasnya berat, mencoba mengabaikan tatapan Ara yang terus menatapnya dari jarak sedekat itu.

Begitu sampai di depan pintu unitnya, ia memasukkan kode dengan cepat dan masuk menutup pintu di belakangnya seolah ingin memutus dunia luar dan kejadian absurd di lift tadi.

Dan begitu pintu apartemen tertutup rapat, bunyi klik kunci terdengar jelas di tengah hening.

Aga belum sempat melepaskan pegangannya ketika Ara kembali menyerang seperti gelombang kedua badai yang datang tanpa jeda.

Tanpa memberi waktu untuk bernapas, Ara memegang wajah Aga dan mencium bibirnya dengan kasar.

Napasnya hangat dan cepat, penuh rasa putus asa yang dibungkus nafsu. Tidak cukup hanya menempelkan bibir, Ara sesekali menggigitnya, membuat Aga mengerang pelan, separuh karena terkejut, separuh karena nyeri.

“Ra… stop…” suara Aga parau, tapi tangannya masih berada di sisi tubuh Ara, menahan agar gadis itu tidak terjatuh. “Kamu mabuk…”

Namun Ara tak peduli. Tangannya bergerak ke belakang leher Aga, menariknya lebih dekat, seolah ingin menenggelamkan mereka berdua dalam ciuman yang tak memberi ruang untuk berpikir. Tubuhnya menempel erat, aroma parfum bercampur alkohol menusuk hidung Aga, membuat pikirannya semakin kabur.

Aga mengumpat dalam hati. Berkali-kali ia mengingatkan diri sendiri bahwa gadis dalam dekapannya ini adalah tunangan sahabatnya sendiri.

Kata-kata itu seperti mantra yang harus ia ulang agar tetap waras. Tapi setiap kali bibir Ara menekan lebih dalam, setiap kali jemari lentik itu mencengkeram lehernya, keyakinan itu terkikis sedikit demi sedikit.

Godaan Ara begitu nyata, begitu berbahaya. Dan di balik matanya yang setengah terpejam, Aga tahu itu bukan sekadar mabuk, ada amarah, ada luka, dan ada rasa ingin membalas dunia.

“Ara… hentikan,” bisik Aga lagi, suaranya penuh pergulatan. “Ini nggak benar.”

Tapi bibirnya tetap berada terlalu dekat, napas mereka bertaut, dan jarak yang seharusnya aman sudah hilang sejak lama.

Detik demi detik, Aga merasa kewarasannya semakin terpojok. Ia tahu satu langkah lagi, dan semua batas yang ia pegang akan runtuh.

“Hmmh…’’

Ciuman itu terus berlangsung kasar, tak teratur, penuh emosi yang bercampur aduk.

Ara seperti tidak memberi ruang bagi Aga untuk bernapas, apalagi berpikir jernih. Jemarinya mencengkeram kuat leher Aga, tubuhnya menempel erat, dan sesekali giginya kembali menggigit bibir Aga hingga membuat rasa perih bercampur panas di sana.

Aga memejamkan mata erat, mencoba menahan setiap dorongan untuk membalas.

Namun tiba-tiba, di tengah ciuman yang membakar itu, Ara menghentikan gerakannya. Bibirnya masih menempel, tapi tubuhnya mulai bergetar. Aga merasakan ada sesuatu yang hangat menyentuh pipinya air mata.

“Ara…” suara Aga pelan, ragu. Gadis itu menjauh sedikit, cukup untuk Aga melihat wajahnya yang kini penuh air mata.

“Kenapa… kenapa dia harus lakuin itu sama aku, Ga?” suaranya serak, nyaris patah.

Aga terdiam. Hatinya seperti diremas melihat Ara yang barusan begitu agresif, kini terlihat seperti anak kecil yang kehilangan pegangan.

Aga mengusap kepala Ara dengan lembut, hingga tak lama mata itu terpejam. Barulah Aga menghela napasnya lega, berharap esok hari saat Ara sadar, gadis itu sudah lebih waras dari saat ini dan tidak menyesal dengan apa yang baru saja mereka lakukan.

**

“Ughh!”

Pagi harinya, Ara membuka mata perlahan. Kepalanya terasa pusing dan perutnya tidak nyaman.

Ia menggeliat, merasakan beban berat di perutnya. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat lengan kekar memeluknya dari belakang.

Ara segera menjauh dan menutup tubuhnya dengan selimut. Sepasang matanya menatap ngeri pada pria yang tidur di sampingnya itu.

“Kamu udah bangun?” tanya Aga membuka mata. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur.

Ara ternganga. “A—Aga?! K—kenapa kita bisa di sini?” tanyanya panik. Tapi saat menyadari satu hal, kepanikannya berubah menjadi amarah. “Kamu perkosa aku?!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
puspa Andriati
wkakakakaka......... lucu juga nih ara ya.... wong ara yang memggoda aga... eeee malahan nuduh aga memperkaos ara............
goodnovel comment avatar
Enisensi Klara
Loh kamu yg duluan serang Aga. .kok malahan nuduh balik
goodnovel comment avatar
Dinar kasih 1205
Dia yang mulai dia pula yang nuduh .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 108

    “Denger ya, aku ikut ke sini cuma buat ngawasin kamu, biar kamu nggak bikin onar. Jangan mikir aku dukung ide gila kamu!”Marsha terkekeh sinis, tapi suaranya tetap ditekan. “Yaelah, bilang aja Raf, kamu tuh sebenernya juga masih ada rasa sama Ara kan? Kalau nggak, buat apa repot-repot jagain aku?”Tatapan Rafi semakin dingin, tapi ia memilih melangkah lagi, pura-pura tak peduli. Di dalam dadanya, hatinya memang bergejolak antara marah, muak, dan, iya, ada rasa yang tak bisa ia ingkari setiap kali melihat senyum Ara.Mereka berempat akhirnya masuk ke dalam pesawat. Pramugari menyambut dengan senyum ramah. Ara dan Aga duduk di kursi bagian depan, posisi yang lebih lega. Ara tampak menata tas kecilnya di pangkuan, lalu menyender di bahu Aga, benar-benar seperti pasangan bahagia yang hendak memulai babak baru kehidupan.Sementara itu, Rafi dan Marsha duduk beberapa baris di belakang. Marsha langsung menyikut lengan Rafi pelan. “Liat tuh! Geli banget nggak

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 107

    Keramaian bandara pagi itu membuat suasana semakin panas. Suara langkah orang, roda koper yang beradu dengan lantai, dan pengumuman keberangkatan bersahut-sahutan. Namun semua itu seakan meredup ketika keempat orang itu kini berdiri saling berhadapan. Aga melipat tangan di depan dada, tatapannya tajam menelisik. Ara di sampingnya menatap Marsha dengan penuh curiga, bibirnya sedikit manyun karena tak suka melihat mantan suaminya berdiri terlalu dekat dengan perempuan yang pernah jadi saingannya.Marsha, seperti biasa, dengan wajah penuh percaya diri padahal hatinya gugup langsung bersuara nyaring. “Agaaaa!” pekiknya, matanya berbinar seolah menemukan emas di tengah keramaian. Sementara itu, Rafi justru gugup. “Ara,” gumamnya lirih, matanya seolah menolak kenyataan kalau ia harus berhadapan dengan perempuan yang pernah dia sakiti.“Kalian berdua ngapain?” ulang Aga, nadanya dingin namun penuh wibawa. Rafi buru-buru mencari alasan. “Oh itu, aku mau ada kerjaan ke Paris,” bohongnya s

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 106

    “Ogahhh!” jawabnya cepat, seolah ide itu gila.“Rafiii!” Marsha memekik sambil menghentakkan kaki lagi di lantai teras. Suaranya menggema ke arah jalanan depan rumah.“Apa!” Rafi ikut berseru, nadanya meninggi.“Temenin aku ke Paris juga!”“Mau ngapain?” Rafi mencondongkan tubuh, menatapnya curiga.Marsha menyeringai licik, senyum tipis mengembang di bibirnya. “Gagalin honeymoon mereka!” katanya penuh tekad.Rafi terdiam. Angin sore berhembus pelan, menggerakkan dedaunan mangga di halaman rumah. Ia menatap Marsha lama, sulit percaya dengan ambisi gila gadis itu. Dalam hati ia menggerutu, Ya ampun, kalau aku gak ikut, dia bisa makin nekat. Tapi kalau aku ikut… tamat riwayatku.Ia menunduk, mengusap wajahnya kasar, napasnya berat. Sementara Marsha masih berdiri di depannya dengan sorot mata yang tak bisa ditawar. Teras rumah Rafi yang biasanya tenang, kini berubah jadi arena perdebatan yang panas.**Malam itu, Rafi terbaring di atas

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 105

    “Pokoknya awas ya, aku bakal buat perhitungan. Aku bakal laporin kamu ke polisi!” Marsha mengancam dengan nada tinggi, wajahnya memerah. Tubuhnya sedikit maju, jari telunjuknya menuding tajam ke arah wajah Rafi seolah ingin menembus kulitnya.Rafi mendengus, bersandar ke dinding dengan tangan bersedekap santai. “Gak takut!” balasnya singkat penuh menyepelekan. “Udah sono pulang! Jangan kebanyakan drama di rumah orang!”“Aku emang udah mau pulang! Gak sudi lama-lama di sini!” Marsha mengibaskan rambutnya kasar, lalu menginjak lantai keras-keras.“Bagus!” sahut Rafi cepat. “Hus! Hus! Hus!” Ia bahkan menggerakkan tangannya ke depan Marsha seperti mengusir hewan.Seketika darah Marsha mendidih. “Rafiiiiii!!!” bentaknya keras, hampir membuat kaca jendela bergetar.“Apa?” Rafi malah menatap polos, wajahnya dibuat sebersih mungkin.“Kamu pikir aku ayam hah?” Marsha melotot, dagunya terangkat.Rafi tersenyum miring, matanya menyipit nakal. “Bukan ayam… tapi kucing!”Marsha sudah tak bisa me

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 104

    ‘’Enggakkk!!’’ teriak Rafi dan Marsha hampir bersamaan. Suara keduanya menggema di ruang tamu, membuat Hamzah spontan menutup telinga.“Om ini serius?!” Marsha menunjuk Hamzah dengan ekspresi tak percaya. “Saya datang ke sini minta keadilan, bukan dilamar paksa!”“Pa!” Rafi ikut protes, berdiri sambil menunjuk dirinya sendiri. “Mana ada hukuman model gitu! Rafi tuh gak salah! Lagian, kalaupun salah, terus hukumannya nikah? Emang aku maling ayam, terus disuruh kawin sama ayamnya?!”Hamzah langsung melotot, “Jangan kurang ajar, Raf!”Marsha mengangkat tangan, dramatis, “Saya lebih baik dipenjara daripada menikah sama orang gila ini!”“Eh! Kamu pikir aku mau nikah sama kamu hah?!” Rafi membalas, tangannya menunjuk Marsha dari ujung kaki sampai kepala. “Denger ya, aku masih punya harga diri! Aku gak butuh nikah sama perempuan yang—”Bug! Bantal sofa melayang, dilempar Marsha tepat ke wajah Rafi.“Diam kamu!” seru Marsha.Hamzah hampir tersedak napasnya m

  • Sentuhan Panas Sahabat Pacarku   Bab 103

    Rafi menatap bingung botol air mineral 1500 ml yang kini tergenggam erat di tangan Marsha. Kilatan serius di mata gadis itu membuat suasana sesaat seperti adegan film laga murahan. “Kenapa kamu pakai itu?” Rafi menunjuk botol dengan alis terangkat. “Biar gak berdarah!” jawab Marsha polos, ekspresinya penuh keyakinan seolah botol plastik itu adalah senjata pamungkas. Rafi membeku, menatapnya tak percaya. “Apa kamu yakin, air mineral 1500 mili bisa membunuhku?” suaranya datar, tapi wajahnya hampir tidak bisa menahan ekspresi konyol. “Kalau pun gak bisa bunuh,” Marsha mengangkat botol tinggi-tinggi dengan gaya seperti pejuang, “setidaknya bisa bikin kamu sakit!’’ Hamzah yang sedari tadi menonton dari kursi dengan tangan terlipat, berusaha keras menahan tawanya. Bibirnya bergetar, wajahnya menegang, tapi matanya berkaca-kaca. Dalam hati ia berkata, baru kali ini ada orang niat membunuh, tapi senjatanya air mineral k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status