Aga menghela napas panjang. Malam ini rasanya lebih melelahkan daripada semua deadline kerja yang pernah ia hadapi.
Setelah melewati perdebatan tidak penting, mereka akhirnya tiba di apartemen miliknya. Ia memapah Ara yang jalannya sudah limbung. Begitu memasuki lift, aroma alkohol yang melekat di tubuh Ara langsung memenuhi ruang sempit itu. Ara bersandar ke dinding, matanya setengah terpejam, tapi senyum nakal di bibirnya masih bertahan. Ia menatap Aga dengan pandangan yang sulit dibaca campuran antara godaan, kepedihan, dan mabuk yang membuatnya berani. “Aga, kamu ganteng deh.” Aga menghela napas panjang, tak menanggapi. Ia sibuk menahan sesuatu yang aneh dalam dirinya. “Kalau diam makin ganteng,” kata Ara sambil terkekeh pelan, suara tawanya menggema di ruang sempit itu. Aga merapatkan rahangnya, mencoba fokus pada angka yang berganti perlahan di panel lift. Tangannya terkepal di saku, menahan diri. “Aga…” suara Ara memecah keheningan lagi, “aku cantik nggak?” Nada suaranya manja, tapi matanya masih menyimpan sisa tangis. “Hmm…” jawab Aga malas, tak mau terpancing. Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Ara melangkah maju dan memeluknya. Tangan mungilnya langsung melingkar di leher Aga, membuat pria itu tersentak. “Arabella!” suaranya meninggi. “Cium aku,” gumam Ara. Sebelum Aga sempat menolak, bibirnya sudah merapat pada bibir Aga. Aga terkejut, matanya terbelalak. Ia berusaha mendorong tubuh Ara, tapi gadis itu malah menempel semakin erat, seperti orang kesurupan. Napas Ara hangat dan terburu-buru, dan gerakannya tak terkendali. Seakan belum cukup, Ara mengangkat salah satu kakinya lalu melingkarkan kedua kaki di pinggang Aga. Refleks, Aga menahan tubuh Ara agar tidak jatuh, kedua tangannya menyangga di bawah pahanya. Ting! Suara lift berdenting, pintu terbuka. Tanpa membuang waktu, Aga segera memutuskan ciuman itu dan melangkah cepat keluar, membawa Ara dengan posisi gendong seperti koala. Koridor apartemen terasa hening dan panjang, hanya suara langkah Aga yang terdengar. Napasnya berat, mencoba mengabaikan tatapan Ara yang terus menatapnya dari jarak sedekat itu. Begitu sampai di depan pintu unitnya, ia memasukkan kode dengan cepat dan masuk menutup pintu di belakangnya seolah ingin memutus dunia luar dan kejadian absurd di lift tadi. Dan begitu pintu apartemen tertutup rapat, bunyi klik kunci terdengar jelas di tengah hening. Aga belum sempat melepaskan pegangannya ketika Ara kembali menyerang seperti gelombang kedua badai yang datang tanpa jeda. Tanpa memberi waktu untuk bernapas, Ara memegang wajah Aga dan mencium bibirnya dengan kasar. Napasnya hangat dan cepat, penuh rasa putus asa yang dibungkus nafsu. Tidak cukup hanya menempelkan bibir, Ara sesekali menggigitnya, membuat Aga mengerang pelan, separuh karena terkejut, separuh karena nyeri. “Ra… stop…” suara Aga parau, tapi tangannya masih berada di sisi tubuh Ara, menahan agar gadis itu tidak terjatuh. “Kamu mabuk…” Namun Ara tak peduli. Tangannya bergerak ke belakang leher Aga, menariknya lebih dekat, seolah ingin menenggelamkan mereka berdua dalam ciuman yang tak memberi ruang untuk berpikir. Tubuhnya menempel erat, aroma parfum bercampur alkohol menusuk hidung Aga, membuat pikirannya semakin kabur. Aga mengumpat dalam hati. Berkali-kali ia mengingatkan diri sendiri bahwa gadis dalam dekapannya ini adalah tunangan sahabatnya sendiri. Kata-kata itu seperti mantra yang harus ia ulang agar tetap waras. Tapi setiap kali bibir Ara menekan lebih dalam, setiap kali jemari lentik itu mencengkeram lehernya, keyakinan itu terkikis sedikit demi sedikit. Godaan Ara begitu nyata, begitu berbahaya. Dan di balik matanya yang setengah terpejam, Aga tahu itu bukan sekadar mabuk, ada amarah, ada luka, dan ada rasa ingin membalas dunia. “Ara… hentikan,” bisik Aga lagi, suaranya penuh pergulatan. “Ini nggak benar.” Tapi bibirnya tetap berada terlalu dekat, napas mereka bertaut, dan jarak yang seharusnya aman sudah hilang sejak lama. Detik demi detik, Aga merasa kewarasannya semakin terpojok. Ia tahu satu langkah lagi, dan semua batas yang ia pegang akan runtuh. “Hmmh…’’ Ciuman itu terus berlangsung kasar, tak teratur, penuh emosi yang bercampur aduk. Ara seperti tidak memberi ruang bagi Aga untuk bernapas, apalagi berpikir jernih. Jemarinya mencengkeram kuat leher Aga, tubuhnya menempel erat, dan sesekali giginya kembali menggigit bibir Aga hingga membuat rasa perih bercampur panas di sana. Aga memejamkan mata erat, mencoba menahan setiap dorongan untuk membalas. Namun tiba-tiba, di tengah ciuman yang membakar itu, Ara menghentikan gerakannya. Bibirnya masih menempel, tapi tubuhnya mulai bergetar. Aga merasakan ada sesuatu yang hangat menyentuh pipinya air mata. “Ara…” suara Aga pelan, ragu. Gadis itu menjauh sedikit, cukup untuk Aga melihat wajahnya yang kini penuh air mata. “Kenapa… kenapa dia harus lakuin itu sama aku, Ga?” suaranya serak, nyaris patah. Aga terdiam. Hatinya seperti diremas melihat Ara yang barusan begitu agresif, kini terlihat seperti anak kecil yang kehilangan pegangan. Aga mengusap kepala Ara dengan lembut, hingga tak lama mata itu terpejam. Barulah Aga menghela napasnya lega, berharap esok hari saat Ara sadar, gadis itu sudah lebih waras dari saat ini dan tidak menyesal dengan apa yang baru saja mereka lakukan. ** “Ughh!” Pagi harinya, Ara membuka mata perlahan. Kepalanya terasa pusing dan perutnya tidak nyaman. Ia menggeliat, merasakan beban berat di perutnya. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat lengan kekar memeluknya dari belakang. Ara segera menjauh dan menutup tubuhnya dengan selimut. Sepasang matanya menatap ngeri pada pria yang tidur di sampingnya itu. “Kamu udah bangun?” tanya Aga membuka mata. Suaranya terdengar serak khas bangun tidur. Ara ternganga. “A—Aga?! K—kenapa kita bisa di sini?” tanyanya panik. Tapi saat menyadari satu hal, kepanikannya berubah menjadi amarah. “Kamu perkosa aku?!”"Ma, bisa gak kalau bahas pernikahannya nanti aja. Sekarang Ara gak ada," kata Rafi buru-buru, nada suaranya terdengar gelisah."Ara gak ada, tapi kamu ada. Kamu itu laki-laki!" sahut Hera tajam, kedua matanya menyorot penuh kewibawaan seorang ibu."Nanti, Rafi akan bahas dulu sama Ara!" jawab Rafi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba menahan emosi.Hera menghela napas panjang, lalu menatap putranya lekat-lekat. Tatapan itu menusuk, seakan menembus lapisan hati Rafi."Rafi, sampai kamu sakiti Ara. Sama saja kamu menyakiti Mama.""Iya Ma," Rafi menunduk sedikit, tapi suaranya mantap. "Rafi janji, gak akan sakitin Ara. Rafi cinta sama Ara."Ana hanya bisa menunduk, kedua tangannya meremas ujung roknya di bawah meja. Senyum pahit tersungging di bibirnya, kata-kata Rafi tadi menusuk hatinya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia duduk di sini, mendengarkan Rafi berjanji cinta pada Ara, sementara hatinya sendiri tengah ia serahkan pada pria itu?Rafi melirik ke
"Ara, Anna ini adik kamu," ucap Rafi pelan, nada suaranya terdengar seperti sedang berusaha mendamaikan keadaan."Dan Aga juga sahabat kamu," balas Ara santai, seolah tak terpengaruh oleh ketegangan yang mulai terasa di meja makan itu."Ara!" tegur Rafi, matanya menatap tajam pada Ara."Sudah! Kenapa malah kalian berantem," lerai tante Hera. Wanita itu menghela napas, kedua matanya memandang penuh iba pada Ara."Maaf Tante," ucap Ara, menundukkan kepalanya."Gapapa sayang," tante Hera menggenggam tangan Ara dengan hangat, berusaha menenangkan suasana. "Aga kan juga sudah tante anggap anak Tante sendiri.""Terimakasih Tante," ucap Aga tulus, sedikit tersenyum sambil melirik Ara yang masih menunduk.Rafi mendengus kasar, jelas sekali rasa kesalnya tidak bisa ia sembunyikan. Makan siang itu pun berlangsung hening. Suara sendok beradu dengan piring terdengar sayup-sayup, hanya sesekali Tante Hera dan Ara yang berusaha membuka percakapan. Suasana meja terasa kaku dan penuh tekanan.Hingga
“Lebih baik, kamu istirahat aja di sini!” kata Aga sambil menatap Ara yang masih duduk di ujung sofa. “Enggak ah,’’ Ara menggeleng cepat. ‘’kalau aku di sini lama-lama, nanti jadi gosip.” Ara menegakkan punggung, seolah ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja, meski matanya masih berat dan tubuhnya jelas limbung. “Gosip selingkuh juga?” Aga mengangkat alis, mencoba membaca maksudnya. “Bukan!’’ Ara menjawab cepat, matanya melebar sebentar. “Lalu?” tanya Aga, kini dengan nada yang sedikit penasaran, sedikit curiga. “Gosip aku dapat nilai bagus gara-gara deketin CEO. Nanti ada yang lapor ke kampusku,” ujarnya sambil terkekeh. Aga hanya menggeleng, lalu menghela napas berat. Ia memandang Ara lama, cukup kagum dengan ketegaran gadis itu. Andai saja, Raffi bukan sahabatnya, mungkin sudah sejak lama Aga akan mendekati Ara. ‘’Astaga!’’ Aga segera menyadarkan dirinya saat pikiran buruk itu kembali menyerang pikiran nya. Aga kembali duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop yang
“Ayo, Ra,” Rafi meraih tangan Ara, mencoba menariknya menjauh. “Nggak mau! Lepas! Rafi, lepasin aku!” Ara memberontak dengan keras, lalu menatap Aga memohon. “Aga, tolong!” Aga menatap Ara sebentar. Ia sebenarnya tak ingin ikut campur urusan pribadi, tapi rasa kasihan pada Ara membuatnya sulit berpaling. “Raf, nanti sore aja ke sini lagi. Jangan jadi bahan tontonan karyawanku. Ini masih pagi,” ucap Aga dengan nada tajam. “Tapi Ga, ini—” Rafi mencoba membela diri. “Ini kantorku. Jangan buat rusuh,” potong Aga cepat, matanya menyipit. “Tapi dia calon istriku, Ga!” Rafi bersikeras, genggamannya pada tangan Ara semakin erat. Aga menoleh pada Ara. “Kalau gitu, kamu tanya Ara. Dia mau bicara sama kamu, atau kerja?” “Aku mau kerja!” jawab Ara cepat, tanpa keraguan, matanya tak beranjak dari wajah Aga. ‘’Ra, kita harus bicara!’’ Rafi menatap Ara dengan penuh permohonan. Tapi Ara memilih membuang muka dan menatap lain arah. Aga lalu menatap Rafi lekat-lekat. Tatapan itu cukup untuk m
Rafi menelan ludah, wajahnya memucat. “Ra, aku—” “Thanks, Raf,” Ara menyeringai pahit. “Kamu justru semakin meyakinkan untuk aku buat berhenti dari perjodohan ini.” Dengan sentakan tajam, Ara menepis tangan Rafi. Ia segera menaiki tangga, meninggalkan Rafi berdiri di anak tangga dengan tatapan kosong, seolah dunia di sekitarnya runtuh. Langkah kaki Ara terhenti di ambang pintu kamarnya. Ia membuka pintu dengan kasar dan masuk tanpa menyalakan lampu. Dengan gemetar, ia menyandarkan diri di balik pintu, membiarkan punggungnya bersandar di kayu dingin yang seolah menjadi satu-satunya benda yang bisa menopangnya saat ini. Tangannya menyentuh pipinya yang masih perih bekas tamparan ayahnya. Dan hatinya, entah bagaimana lebih sakit dari fisiknya. Namun sebelum ia sempat menghela napas panjang, terdengar ketukan pelan di pintu. Tok. Tok. "Sayang, kamu nggak apa-apa kan?" Suara Mama. Ara menghela napas keras. Tidak. Dia tidak baik-baik saja. Tapi rasanya tidak ada orang yang sungg
Aga mengerutkan dahinya, lalu menghela napas berat, “Kamu lihat baju kamu dan bajuku!”Ara menunduk dan ternyata semua pakaiannya masih utuh. Begitupun dengan pakaian Aga yang juga masih lengkap, walau hanya celana pendek dan kaos saja. Tapi setidaknya masih lengkap.Lalu, ingatan Ara kembali pada semalam. Di mana dia yang menyerang Aga, bukan sebaliknya. Seketika itu Ara ingin merutuki dirinya sendiri.“Udah ingat?” sindir Aga, kemudian bangkit dari tempat tidur dan mengambil air minum.“Ma-maaf,” Ara mengekor di belakang Aga.“Lain kali nggak usah ke klub kalau nggak kuat minum,” kata Aga dengan nada tajam.“Gara-gara sahabat kamu!” ujar Ara berusaha membela diri, tapi kali ini Aga tidak menanggapi.Tak ingin berlama-lama di sana, Ara pun memilih untuk pamit dan pulang. Aga sudah menawarkan agar Ara mandi dan bersiap dari apartemen itu saja, tapi Ara menolak. Ia ingin pulang karena ponselnya sudah memiliki begitu banyak spam dari keluarganya yang mencarinya sejak semalam.Menempuh