FAZER LOGINKayla terdiam, matanya melebar.
Ia tak menyangka Arion bisa mengeluarkan kata-kata sedalam itu. Sementara itu, Arion berusaha menetralkan napasnya."Kenapa aku peduli? Kenapa aku marah? Kayla cuma teman… kan? Tapi kenapa waktu dia bilang nyaman sama Miko… rasanya kayak ketusuk?" gumam Arion dalam hati.Kayla memperhatikan punggung Arion. Ada ketegangan di sana. Bahunya sedikit naik turun karena menahan emosi.Untuk pertama kalinya, Kayla merasa Arion bukan sekadar cerewet atau protektif dia benar-benar… cemburu.Angin sore menyapu rambut Kayla yang keluar dari helm. Namun detik itu, hawa di antara mereka terasa lebih panas daripada cuaca.Tak lama, motor pun kembali melaju. Tapi, keduanya saling diam. Diam dengan pikiran masing masing.**Tak berapa lama, Motor Arion berhenti tepat di depan pagar besi kecil kos-kosan Kayla.Bangunan itu tampak sederhana, deretan pintu berjejer rapi, dengan pot-pot tanaman yang sudah mulai layu di pinggiran loronMikha menelan ludah. Tangannya di dalam saku mengepal semakin kuat.“I—iya.”Arion melangkah lebih dekat. Instingnya berteriak ada yang salah. Sejak kejadian di hutan, ada banyak potongan yang terasa janggal dan Mikha selalu berada terlalu dekat dengan semua kekacauan itu.“Kamu gak kelihatan kayak orang yang mau jenguk,” ucap Arion dingin. “Kamu kelihatan kayak orang yang ketakutan.”Mikha tertawa kecil, dipaksakan.“Kamu lebay.”Namun Arion sudah melihat cukup. Pandangan Arion turun ke tangan Mikha yang tak kunjung keluar dari saku.“Keluarkan tangan kamu,” perintahnya.“Hah?”“Sekarang.” Nada Arion tak bisa dibantah.Mikha mundur satu langkah lagi. Dan di saat itulah sesuatu jatuh dari sakunya ke lantai.Klang!Suara logam kecil memantul di lantai keramik.Mata Arion membelalak.Mikha pucat.Tanpa pikir panjang, Arion langsung mencengkeram pergelangan tangan Mikha dan membantingnya ke dinding.“Kamu gila?!” desis Ari
Tanpa mereka sadari, sejak tadi Mikha berdiri di balik dinding koridor, tubuhnya menempel pada tembok dingin. Nafasnya ditahan, telinganya menajam menangkap setiap kata yang keluar dari mulut kedua orang tuanya.Setiap kalimat Marsha terasa seperti pisau yang mengiris dadanya.Tentang Kayla. Tentang perasaan aneh. Tentang kesamaan. Tentang kecurigaan.Jantung Mikha berdegup liar.Tidak… tidak boleh sampai mereka sadar.Tangannya gemetar, kuku-kukunya menekan telapak tangan sendiri sampai memerah. Saat Rafi menghela napas berat dan Marsha terisak pelan, Mikha tahu, posisinya sedang terancam.Ia mundur perlahan, berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Begitu jaraknya cukup aman, Mikha berbalik dan berlari kecil menuju kamarnya, mengunci pintu rapat-rapat begitu masuk.Brak!Ia bersandar di balik pintu, dada naik turun cepat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Astaga… astaga… astaga…” gumamnya berulang, suara bergetar.Jika Kayla terus dekat dengan Marsha…Jika kesamaan itu terus te
‘’Apa dia habis makan sesuatu?’’‘’Ah iya Dok, dia baru saja makan buah persik,”“Iya, kemungkina besar, dia alersi buah persik,’’ jawab dokter tenang. “Tapi syukurlah cepat diketahui, jadi bisa segera ditangani.”Kata-kata itu menghantam Marsha begitu keras. Tubuhnya langsung mematung.Buah persik.Tangannya refleks menatap buah yang masih ada di piring kecil di atas meja. Wajahnya pucat, dadanya sesak. Ingatannya melayang jauh ke masa lalu ke ruang UGD lain, ke bau antiseptik yang sama, ke dirinya sendiri yang terbaring lemah bertahun-tahun lalu karena reaksi alergi yang sama.“Alergi… persik…” gumamnya lirih, nyaris tak bersuara.Kenapa sama? Kenapa Kayla memiliki alergi yang sama persis dengannya?Marsha terduduk lemas di kursi. Tangannya gemetar hebat, napasnya tak beraturan. Hatinya berdegup tak karuan, bukan hanya karena panik tapi karena ketakutan yang jauh lebih dalam, lebih mengerikan.Matanya menatap Kayla yang kini mulai stabil, n
Di dalam kamar yang sunyi, Miko bersandar pada pintu. Dadanya naik turun, napasnya masih tidak beraturan. Amarah, kecewa, dan rasa sakit bercampur jadi satu, menyesakkan dada.Tangannya gemetar saat merogoh ponsel dari saku celana. Tanpa ragu, ia menekan satu nama yang sejak dulu selalu jadi tempatnya mencari jawaban, Om Edwin.Panggilan tersambung setelah beberapa dering.“Hemm, kenapa Miko?” suara di seberang sana terdengar tenang, tapi ada nada heran.“Om,” suara Miko terdengar berat dan tertahan.Edwin langsung mengernyit, firasat buruk menyelusup. “Kenapa kamu? Suara kamu nggak beres.”Miko mengusap wajahnya kasar. Matanya memerah, bukan hanya karena marah, tapi juga karena rasa dikhianati.“Om… emang dia beneran adik Miko?” suaranya menurun, nyaris berbisik. “Di mana sebenarnya Om nemuin dia?”“Siapa?” Edwin terdiam sejenak. “Mikha?”“Hemm…” jawab Miko singkat.“Kalian berantem?” tanya Edwin hati-hati.Miko tertawa kecil, getir.
Hari demi hari berlalu sejak kejadian di hutan itu. Kayla masih terbaring di rumah sakit, menjalani perawatan intensif. Tubuhnya perlahan membaik, tapi bekas kejadian itu masih tertinggal bukan hanya di fisiknya, melainkan juga di hatinya.Hari ini, Marsha akhirnya menyempatkan diri datang ke rumah sakit.Sejak malam pertengkaran dengan Miko, satu kalimat itu terus terngiang di kepalanya: Kayla hampir mati.Entah kenapa, kalimat itu seperti menekan dadanya. Ada rasa sesak yang tidak bisa ia jelaskan. Padahal Kayla bukan siapa-siapa baginya hanya teman sekolah anaknya. Namun rasa khawatir itu terlalu nyata untuk diabaikan.Begitu melangkah masuk ke ruang perawatan, Marsha langsung melihat sosok Kayla yang terbaring pucat di ranjang rumah sakit. Tubuh gadis itu tampak jauh lebih kecil dari yang ia bayangkan. Selang infus terpasang di tangannya, napasnya teratur namun lemah.Hati Marsha langsung terenyuh.“Kayla…” panggilnya pelan, hampir berbisik
“Miko!!!” teriak Marsha histeris dari ujung lorong. “Astaga Miko, lepasin Mikha!”Marsha berlari tergesa ke arah mereka, wajahnya pucat karena panik.“Rafiiii! Cepetan naik!” teriaknya lagi dengan suara bergetar.Langkah kaki terdengar cepat dari lantai bawah. Rafi yang mendengar keributan itu langsung berlari naik ke lantai dua, wajahnya penuh kebingungan dan kaget melihat pemandangan di hadapannya.Miko yang dipenuhi amarah, Mikha yang menangis ketakutan, dan Marsha yang hampir kehilangan kendali.Setibanya Rafi di lantai dua Pemandangan di depannya membuat darahnya langsung mendidih.Miko berdiri dengan rahang mengeras, tubuhnya menegang penuh amarah, sementara Mikha terhimpit di sudut tembok, wajahnya pucat, air mata sudah membasahi pipinya.Rafi segera menarik tubuh Miko, berusaha memisahkan keduanya. Namun amarah Miko sudah terlanjur meledak. Tatapannya masih tertuju tajam pada Mikha, seolah menunggu satu pengakuan yang tak kunjung keluar dari bibir adik kembarnya itu.“Miko le







