LOGINPagi itu langit tampak bersih tanpa satu pun awan menghalangi. Sinar matahari menembus pepohonan di sepanjang jalan kos-kosan Kayla, menciptakan bayangan yang menari pelan di tanah.
Udara masih dingin, namun suasananya terasa sangat cerah, seolah hari itu memang sengaja diciptakan untuk hal-hal manis.Di depan gerbang kosan, Arion sudah berdiri sambil bersandar pada motornya.Seragam rapi, rambut sedikit berantakan tertiup angin, dan senyum yang tidak pernah gagal membuat Kayla gugup.Begitu Kayla keluar, langkah gadis itu langsung terhenti.“Pagi sayang.”Kalimat itu langsung membuat Kayla membeku. Matanya melebar, pipinya merona merah seketika.“Apaan sih, Ar! Jangan begitu ah!” protesnya cepat, mencoba menutupi wajah yang mulai panas.Arion malah tertawa kecil. Tawanya ringan, hangat, dan terdengar jelas menunjukkan bahwa ia menikmatinya.“Kenapa? Kamu suka?”Kayla memelototinya sambil menggigit bibir, berusaha terlihat marah, padahal daMikha terdiam. Dadanya terasa semakin sesak, bukan karena takut, melainkan karena campuran ambisi dan kegelisahan. Di luar tenda, suara tawa para peserta lain terdengar samar, unaware bahwa di salah satu sudut perkemahan itu, sebuah rencana gelap mulai disusun perlahan, diam-diam, dan siap mengguncang semuanya.**Pagi di area perkemahan itu datang dengan udara yang dingin dan lembap. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan tinggi, sementara suara burung hutan bersahutan, seolah menyambut hari baru yang penuh agenda.Para siswa mulai keluar dari tenda masing-masing. Ada yang masih mengucek mata, ada yang sibuk menggulung sleeping bag, dan ada pula yang sudah bersemangat sejak pagi. Panitia OSIS berdiri di tengah lapangan tanah yang dikelilingi pepohonan, membawa pengeras suara dan beberapa bendera kecil berwarna mencolok.“Perhatian semuanya!” suara panitia menggema. “Pagi ini kita akan mengadakan game pencarian bendera. Kalian akan dibagi da
Perjalanan menuju area camping memakan waktu hampir dua jam. Jalanan berkelok, pemandangan berubah dari gedung-gedung kota menjadi hamparan hijau yang menenangkan. Pohon-pohon tinggi menyambut, udara terasa lebih segar saat bus berhenti di pintu masuk kawasan hutan lindung.Begitu turun, aroma tanah basah langsung tercium. Angin sejuk menyapu wajah, membawa suara dedaunan yang saling bergesekan. \Beberapa siswa bersorak kecil, kagum pada suasana yang jauh dari hiruk-pikuk kota.Guru segera membagi kelompok dan area tenda.Kayla berada satu kelompok dengan Miko, Arion, dan beberapa siswa lain. Mikha tanpa kebetulan berada di kelompok yang sama.Saat itulah, sesuatu di wajah Mikha berubah.Awalnya dia masih memainkan perannya. Tersenyum, berbicara lembut, membantu guru membagikan peralatan. Tapi ketika waktu mendirikan tenda tiba, dan Miko refleks lebih sering berdiri di sisi Kayla mengangkat barang, menyiapkan alas, memastikan Kayla tidak terlalu ca
‘’Jalan!’’Sontak Kayla terkekeh kecil. “Aku gak selemah itu, Mik.”Miko mendengus. “Iya iya, keras kepala.”Namun di balik nada bercandanya, ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tahu betul bagaimana Kayla memaksa dirinya terlihat baik-baik saja. Dan entah kenapa, sejak kejadian fitnah itu, nalurinya semakin kuat untuk melindungi gadis itu bahkan dari hal-hal yang belum terjadi.Setibanya di perpustakaan, mereka memilih buku sebelum akhirnya duduk. Hingga tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat di lorong perpustakaan.Kayla yang sedang membuka buku catatan refleks mendongak, begitu juga Miko.Arion muncul dengan ransel diselempangkan di satu bahu. Keringat masih terlihat di pelipisnya, menandakan ia baru saja selesai latihan basket. Seragam olahraganya belum diganti sepenuhnya, hanya jaket tipis yang kini menutupi kaos timnya.“Oh… ternyata kalian di sini,” ucap Arion pelan, senyumnya muncul begitu matanya bertemu Kayla.K
Malam itu, rumah terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.Meja makan yang biasanya dipenuhi obrolan ringan, kini hanya diisi suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Lampu gantung di atas meja memancarkan cahaya hangat, tapi tidak mampu menghangatkan suasana yang dingin dan tegang.Mikha duduk di sisi Marsha, dengan sikap manis yang nyaris sempurna. Rambut pendeknya tersisir rapi, seragam rumah diganti dengan baju rumahan berwarna lembut. Wajahnya terlihat tenang, bahkan terlalu tenang.Sementara itu, Miko duduk di seberang mereka. Rahangnya mengeras sejak tadi. Tangannya mencengkeram sendok begitu kuat sampai buku-buku jarinya memucat. Nafsu makannya hilang entah ke mana.Marsha beberapa kali melirik Mikha, ragu, lalu menghela napas pelan. Akhirnya, wanita itu meletakkan sendoknya.“Mikha…” panggilnya lembut, nyaris seperti membujuk.Mikha menoleh cepat. Senyumnya muncul senyum yang polos, lugu, dan seolah tidak menyimpan apa pun.“Iya, Ma?”Marsha menatap wajah putrinya la
“Mikha udah fitnah Kayla mencuri kalung dari Mama,” ucapnya akhirnya. Dan ucapan itu jatuh seperti petir di tengah ruangan kecil itu.Kayla langsung menunduk dalam-dalam, tubuhnya gemetar halus. Tangannya yang kurus mencengkeram ujung bajunya. Tenggorokannya terasa kering. Ia tidak sanggup menatap siapapun tidak Miko, tidak Marsha.Ingatan tentang tatapan Mikha yang menuduhnya dengan suara lantang masih membekas.Masih terasa di telinganya.Menyakitkan.Memalukan.Menghancurkan.Udara sekitar seolah membeku. Bahkan suara motor dari luar gang pun terasa jauh. Angin sore yang biasanya sejuk kini terasa berat, seolah memahami betapa kusutnya keadaan.Kayla sampai mematung di tempat. Suasana kos yang semula ramai oleh suara warga mendadak terasa hening ketika Miko menyebut itu dengan lantang. Marsha mengerutkan keningnya, terlihat bingung dan mencoba mengurai masalah yang bahkan belum ia pahami sepenuhnya.“Kok bisa?” Tanya Marsha, suaranya
“Mama kok bisa nyasar kesini?” Miko masih terperanjat, suaranya meninggi.“Nyasar gundulmu itu nyasar!” geram Marsha, matanya membesar. “Jawab dulu pertanyaan mama. Ngapain kamu disini!”Tanpa memberi kesempatan Miko mundur, Marsha langsung melangkah cepat ke depan dancess! jari-jarinya yang terkenal tajam itu menjewer kuping anaknya tanpa ampun.“Aduhhh mama sakittt!” teriak Miko sambil menundukkan kepala setengah memohon ampun, setengah ingin lari.Kayla tersentak, tapi kemudian refleks menutup mulut menahan tawa. Cara Marsha menjewer sangat mirip ibu-ibu sinetron, tapi dalam versi real life yang jauh lebih menyeramkan.“Kamu ini ya! Kurang ajar banget!” omel Marsha, masih memelintir kuping Miko. “Kenapa kamu bentak Kayla hah?! Anak orang kamu bentak seenaknya!”“Ad—Aduh Mama cukup, lepasin dulu!” Miko mencoba membuka tangan ibunya, tapi itu cuma membuat jewerannya makin sakit. “Nanti kuping Miko copot gimana!”Setelah beberapa detik drama tarik-me







